Share

Bab 6. Fitnah

“Lepas! Jika tidak, aku akan berteriak!” ancam Mira.

“Kamu pikir aku takut? Lagipula mereka akan lebih membelaku daripada kamu.”

Mata Mira berkaca-kaca, dirinya tak menyangka jika baru satu hari kepergian Raka tapi seorang pria malah datang dengan niat buruk padanya.

“Ayolah, ikut aku! Tenang saja, aku akan membayar semuanya. Atau kalau mau, aku bisa menjadikanmu istri kedua, semua kebutuhanmu dan anak-anak akan kutanggung.”

Mira menggeleng kepala pelan. Bulir bening itu kian bercucuran membasahi wajahnya.

“Lepaskan!” balas Mira yang sama sekali tak menghiraukan tawaran pria hidung belang itu.

Ia tak habis pikir, bisa-bisanya suami dari wanita yang begitu baik padanya ternyata memiliki sifat yang seolah berbalikan dengan istrinya.

Pria itu bernama Damar, suami dari Dian, orang yang sering sekali membantu Mira.

Ibu tiga anak itu merasa tidak tega jika sampai ia berteriak dan membuat Dian tahu kelakuan Damar. Juga satu sisi Mira tak ingin kalau dirinya sampai ternodai oleh pria yang bukan suaminya itu.

Di tengah perjuangan Mira untuk mempertahankan dirinya agar tidak ditarik ke kebun belakang rumah, di situ pula Arka datang dengan membawa sebuah ranting kecil.

“Lepaskan Ibu! Kalau tidak mau Arka pukul!” ancam bocah kecil itu sambil mengacung ranting yang jika dipukul ke tubuh Damar mungkin hanya terasa menggelitik.

“Bocah kecil, lebih baik kamu masuk ke rumah saja. Biarkan Om dan ibumu bersenang-senang!” hardik Damar sambil memelototi Arka.

Rasa takut menghinggapi Arka. Bocah kecil itu tak berani melihat tatapan Damar yang dipenuhi amarah. Namun, rasa sayangnya pada sang ibu jauh lebih besar. Meski tubuhnya kecil dan kurus setidaknya jika mengorbankan diri, mungkin bisa sedikit membantu ibu yang sedang dalam kesulitan.

Tanpa banyak berpikir lagi Arka segera menghampiri Damar. Ia memukul ranting kecil ke tubuh pria yang jelas jauh lebih besar berkali lipat dari tubuhnya.

“Dasar anak bod*h, kamu pikir sebuah ranting kecil bisa melukaiku?” Damar tertawa geli, akan tetapi tangannya masih begitu kuat mencengkram tangan Mira.

“Arka, pergi saja ke dalam. Ibu bisa menyelesaikan ini sendiri,” pinta Mira dengan air mata yang semakin deras.

Hati Mira begitu sakit. Ia terluka dan tidak rela jika Arka sampai melihat hal buruk yang tak sepantasnya dilihat anak seumurannya. Terlebih, Mira tak ingin jika Arka sampai terluka karena Damar.

“Nggak! Arka mau bantu ibu! Arka harus jaga ibu!” tegas Arka sambil berjalan menghampiri Damar lagi.

Kali ini tidak menggunakan sebuah ranting, tapi dengan tekad yang kuat Arka menggigit Damar tepat di tangan agar segera melepaskan ibunya.

“Aahh.” Damar berteriak kesakitan. “Dasar anak sialan! Berani sekali menggigitku.”

Damar yang tersulut emosi segera mendorong tubuh kecil Arka, yang mana tanpa sengaja kepala sang bocah terbentur batu hingga tak sadarkan diri.

“Arka!” teriak Mira, yang langsung mendorong tubuh Damar, membuat keduanya jatuh bersamaan.

Mira segera beranjak, menuju tubuh sang anak lalu menggendongnya.

Belum sempat pergi, Damar malah menarik Mira kembali. Gejolak di dada yang telah lama dipendam seolah sudah tak tertahankan lagi. Pria itu ingin segera memiliki Mira seutuhnya.

“Sudahlah, Mira. Jika kamu menerimaku, Arka akan segera kubawa ke rumah sakit.” Damar memegangi bahu Mira, menahannya agar tidak pergi.

Emosi Mira benar-benar sudah melewati batasnya. Tanpa berpikir panjang ia segera berteriak begitu kencang.

“Tolong! Ada pria m*sum! Tolong!” teriak Mira sebelum akhirnya ia dibekap.

Suara Mira yang melengking itu sempat terdengar oleh beberapa warga dan dengan cepat mereka segera menuju ke arah sumber suara.

Merasa panik, Damar pun lantas merobek pakaian bagian depannya, lalu duduk tepat di dekat Mira.

“Ada apa ini? Kami dengar ada yang minta tolong.”

Mira yang sedang menangis pun berusaha menjelaskan meski lidah terasa kelu.

“Mas Damar–”

“Mira berusaha menggodaku. Dia memintaku untuk menjadikannya istri kedua dan berusaha menjebakku agar terlihat seolah menodainya,” potong Damar dengan ekspresi yang begitu meyakinkan.

“Bohong! Aku tidak mungkin melakukan itu! Tolong biarkan aku pergi, Arka harus mendapat pertolongan,” timpal Mira, terisak.

“Jangan pergi dari sini sebelum masalah ini selesai,” ujar salah seorang warga yang dengan cepat mengambil Arka dari gendongan Mira, membawanya ke klinik desa untuk ditangani.

Beberapa warga menyusul berdatangan, mereka mulai mempertanyakan tentang apa yang terjadi sampai salah seorang wanita yang tidak terlalu menyukai Mira pun bersuara.

“Lihatlah! Pakaian Damar robek di bagian depan! Sepertinya Mira memang telah menggodanya. Apalagi kalian tahu sendiri, dia baru saja menjanda, sudah bingung harus bagaimana menghidupi ketiga anak dengan kondisi seperti itu!”

Beberapa orang mulai terpengaruh dengan ucapan wanita tadi karena terdengar cukup masuk akal. Mereka saling berbisik sambil menatap Mira, hingga Dian datang dengan wajah terkejut.

“Mas, apa yang terjadi?” Dian mendekati suaminya, matanya tak henti memandangi pakaian Damar yang robek.

“Mira.” Damar melirik Mira dengan tatapan menjijikan. “Dia ingin aku menjadikannya istri kedua.”

“Itu bohong, Mbak Dian! Saya tidak mungkin memiliki niat kotor seperti itu! Meski saya seorang janda miskin dengan tiga anak, tapi saya masih mampu untuk menghidupi mereka,” sahut Mira di tengah tangisnya.

Dian terdiam, matanya hanya terfokus pada pakaian Damar yang robek. Rasa cinta membuat wanita itu tentu akan lebih mempercayai suaminya.

“Aku nggak nyangka kalau kamu setega ini, Mira. Padahal selama ini aku selalu membantumu. Tapi ternyata ini balasan yang kuterima?” Dian meneteskan air mata, merasa sakit hati atas pengkhianatan yang Mira lakukan.

Ucapan Dian barusan semakin menyulut emosi warga. Kini tatapan sinis tertuju pada Mira yang hanya bisa menangis tertunduk.

“Cepat usir dia dari kampung ini!”

“Jangan biarkan dia menggoda para suami kita!”

Di saat bersamaan Hana dan Kiano berlari ke arah Mira, lalu memeluknya erat.

“Ibu, kenapa mereka membuat ibu menangis?” tanya Hana sambil memandangi para warga dengan tatapan ketakutan.

Mira tak berani berkata-kata, lidahnya terasa kelu. Ia sudah menebak akan terjadi seperti ini, bagaimanapun orang miskin sepertinya tidak mungkin mendapat kepercayaan warga.

Kala itu hanya sebuah pelukan yang bisa diberi pada dua anaknya.

“Tolong, jangan berkata yang tidak-tidak di depan anak-anak! Saya akan pergi sendiri dari sini,” teriak Mira yang sudah tak tahan lagi melihat raut ketakutan di wajah kedua anaknya.

Para warga saling berbisik, terlihat jelas ketidakpuasan tersirat dari wajah mereka. Namun, mendengar Mira akan pergi sendiri seakan membuat mereka tak bisa berkata-kata lagi.

“Mira, kuharap kamu bisa secepatnya pergi dari sini! Jangan pernah tunjukan lagi wajah menjijikan itu!” timpal Dian.

Bagai dihantam benda besar, dada Mira terasa begitu sesak. Sosok yang selama ini ia anggap sebagai kakak, ternyata begitu tega mengatakan hal seperti itu padanya.

Mira segera beranjak, perlahan ia berjalan ke arah Dian dan Damar. Para warga yang berada di dekat mereka sudah bersiap, khawatir jika ibu tiga anak itu hendak berbuat yang tidak-tidak.

Dian yang sedikit ngeri melihat Mira pun lantas berjalan mundur perlahan. Namun, saat Mira menunjukan sebuah senyum penuh luka ia pun menghentikan langkahnya.

“Terima kasih atas bantuan Mbak selama ini. Saya tidak akan melupakan itu, semoga kebaikan Mbak Dian mendapat balasan berlipat-lipat,” ungkap Mira.

Dian mengerutkan alis, sedikit bergidik melihat wajah Mira yang malah menorehkan senyum di saat seperti itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status