“Lepas! Jika tidak, aku akan berteriak!” ancam Mira.
“Kamu pikir aku takut? Lagipula mereka akan lebih membelaku daripada kamu.” Mata Mira berkaca-kaca, dirinya tak menyangka jika baru satu hari kepergian Raka tapi seorang pria malah datang dengan niat buruk padanya. “Ayolah, ikut aku! Tenang saja, aku akan membayar semuanya. Atau kalau mau, aku bisa menjadikanmu istri kedua, semua kebutuhanmu dan anak-anak akan kutanggung.” Mira menggeleng kepala pelan. Bulir bening itu kian bercucuran membasahi wajahnya. “Lepaskan!” balas Mira yang sama sekali tak menghiraukan tawaran pria hidung belang itu. Ia tak habis pikir, bisa-bisanya suami dari wanita yang begitu baik padanya ternyata memiliki sifat yang seolah berbalikan dengan istrinya. Pria itu bernama Damar, suami dari Dian, orang yang sering sekali membantu Mira. Ibu tiga anak itu merasa tidak tega jika sampai ia berteriak dan membuat Dian tahu kelakuan Damar. Juga satu sisi Mira tak ingin kalau dirinya sampai ternodai oleh pria yang bukan suaminya itu. Di tengah perjuangan Mira untuk mempertahankan dirinya agar tidak ditarik ke kebun belakang rumah, di situ pula Arka datang dengan membawa sebuah ranting kecil. “Lepaskan Ibu! Kalau tidak mau Arka pukul!” ancam bocah kecil itu sambil mengacung ranting yang jika dipukul ke tubuh Damar mungkin hanya terasa menggelitik. “Bocah kecil, lebih baik kamu masuk ke rumah saja. Biarkan Om dan ibumu bersenang-senang!” hardik Damar sambil memelototi Arka. Rasa takut menghinggapi Arka. Bocah kecil itu tak berani melihat tatapan Damar yang dipenuhi amarah. Namun, rasa sayangnya pada sang ibu jauh lebih besar. Meski tubuhnya kecil dan kurus setidaknya jika mengorbankan diri, mungkin bisa sedikit membantu ibu yang sedang dalam kesulitan. Tanpa banyak berpikir lagi Arka segera menghampiri Damar. Ia memukul ranting kecil ke tubuh pria yang jelas jauh lebih besar berkali lipat dari tubuhnya. “Dasar anak bod*h, kamu pikir sebuah ranting kecil bisa melukaiku?” Damar tertawa geli, akan tetapi tangannya masih begitu kuat mencengkram tangan Mira. “Arka, pergi saja ke dalam. Ibu bisa menyelesaikan ini sendiri,” pinta Mira dengan air mata yang semakin deras. Hati Mira begitu sakit. Ia terluka dan tidak rela jika Arka sampai melihat hal buruk yang tak sepantasnya dilihat anak seumurannya. Terlebih, Mira tak ingin jika Arka sampai terluka karena Damar. “Nggak! Arka mau bantu ibu! Arka harus jaga ibu!” tegas Arka sambil berjalan menghampiri Damar lagi. Kali ini tidak menggunakan sebuah ranting, tapi dengan tekad yang kuat Arka menggigit Damar tepat di tangan agar segera melepaskan ibunya. “Aahh.” Damar berteriak kesakitan. “Dasar anak sialan! Berani sekali menggigitku.” Damar yang tersulut emosi segera mendorong tubuh kecil Arka, yang mana tanpa sengaja kepala sang bocah terbentur batu hingga tak sadarkan diri. “Arka!” teriak Mira, yang langsung mendorong tubuh Damar, membuat keduanya jatuh bersamaan. Mira segera beranjak, menuju tubuh sang anak lalu menggendongnya. Belum sempat pergi, Damar malah menarik Mira kembali. Gejolak di dada yang telah lama dipendam seolah sudah tak tertahankan lagi. Pria itu ingin segera memiliki Mira seutuhnya. “Sudahlah, Mira. Jika kamu menerimaku, Arka akan segera kubawa ke rumah sakit.” Damar memegangi bahu Mira, menahannya agar tidak pergi. Emosi Mira benar-benar sudah melewati batasnya. Tanpa berpikir panjang ia segera berteriak begitu kencang. “Tolong! Ada pria m*sum! Tolong!” teriak Mira sebelum akhirnya ia dibekap. Suara Mira yang melengking itu sempat terdengar oleh beberapa warga dan dengan cepat mereka segera menuju ke arah sumber suara. Merasa panik, Damar pun lantas merobek pakaian bagian depannya, lalu duduk tepat di dekat Mira. “Ada apa ini? Kami dengar ada yang minta tolong.” Mira yang sedang menangis pun berusaha menjelaskan meski lidah terasa kelu. “Mas Damar–” “Mira berusaha menggodaku. Dia memintaku untuk menjadikannya istri kedua dan berusaha menjebakku agar terlihat seolah menodainya,” potong Damar dengan ekspresi yang begitu meyakinkan. “Bohong! Aku tidak mungkin melakukan itu! Tolong biarkan aku pergi, Arka harus mendapat pertolongan,” timpal Mira, terisak. “Jangan pergi dari sini sebelum masalah ini selesai,” ujar salah seorang warga yang dengan cepat mengambil Arka dari gendongan Mira, membawanya ke klinik desa untuk ditangani. Beberapa warga menyusul berdatangan, mereka mulai mempertanyakan tentang apa yang terjadi sampai salah seorang wanita yang tidak terlalu menyukai Mira pun bersuara. “Lihatlah! Pakaian Damar robek di bagian depan! Sepertinya Mira memang telah menggodanya. Apalagi kalian tahu sendiri, dia baru saja menjanda, sudah bingung harus bagaimana menghidupi ketiga anak dengan kondisi seperti itu!” Beberapa orang mulai terpengaruh dengan ucapan wanita tadi karena terdengar cukup masuk akal. Mereka saling berbisik sambil menatap Mira, hingga Dian datang dengan wajah terkejut. “Mas, apa yang terjadi?” Dian mendekati suaminya, matanya tak henti memandangi pakaian Damar yang robek. “Mira.” Damar melirik Mira dengan tatapan menjijikan. “Dia ingin aku menjadikannya istri kedua.” “Itu bohong, Mbak Dian! Saya tidak mungkin memiliki niat kotor seperti itu! Meski saya seorang janda miskin dengan tiga anak, tapi saya masih mampu untuk menghidupi mereka,” sahut Mira di tengah tangisnya. Dian terdiam, matanya hanya terfokus pada pakaian Damar yang robek. Rasa cinta membuat wanita itu tentu akan lebih mempercayai suaminya. “Aku nggak nyangka kalau kamu setega ini, Mira. Padahal selama ini aku selalu membantumu. Tapi ternyata ini balasan yang kuterima?” Dian meneteskan air mata, merasa sakit hati atas pengkhianatan yang Mira lakukan. Ucapan Dian barusan semakin menyulut emosi warga. Kini tatapan sinis tertuju pada Mira yang hanya bisa menangis tertunduk. “Cepat usir dia dari kampung ini!” “Jangan biarkan dia menggoda para suami kita!” Di saat bersamaan Hana dan Kiano berlari ke arah Mira, lalu memeluknya erat. “Ibu, kenapa mereka membuat ibu menangis?” tanya Hana sambil memandangi para warga dengan tatapan ketakutan. Mira tak berani berkata-kata, lidahnya terasa kelu. Ia sudah menebak akan terjadi seperti ini, bagaimanapun orang miskin sepertinya tidak mungkin mendapat kepercayaan warga. Kala itu hanya sebuah pelukan yang bisa diberi pada dua anaknya. “Tolong, jangan berkata yang tidak-tidak di depan anak-anak! Saya akan pergi sendiri dari sini,” teriak Mira yang sudah tak tahan lagi melihat raut ketakutan di wajah kedua anaknya. Para warga saling berbisik, terlihat jelas ketidakpuasan tersirat dari wajah mereka. Namun, mendengar Mira akan pergi sendiri seakan membuat mereka tak bisa berkata-kata lagi. “Mira, kuharap kamu bisa secepatnya pergi dari sini! Jangan pernah tunjukan lagi wajah menjijikan itu!” timpal Dian. Bagai dihantam benda besar, dada Mira terasa begitu sesak. Sosok yang selama ini ia anggap sebagai kakak, ternyata begitu tega mengatakan hal seperti itu padanya. Mira segera beranjak, perlahan ia berjalan ke arah Dian dan Damar. Para warga yang berada di dekat mereka sudah bersiap, khawatir jika ibu tiga anak itu hendak berbuat yang tidak-tidak. Dian yang sedikit ngeri melihat Mira pun lantas berjalan mundur perlahan. Namun, saat Mira menunjukan sebuah senyum penuh luka ia pun menghentikan langkahnya. “Terima kasih atas bantuan Mbak selama ini. Saya tidak akan melupakan itu, semoga kebaikan Mbak Dian mendapat balasan berlipat-lipat,” ungkap Mira. Dian mengerutkan alis, sedikit bergidik melihat wajah Mira yang malah menorehkan senyum di saat seperti itu.Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.”“Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.”“Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.”Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat.“Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong.“Di klinik Medika.”“Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi.Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yan
Kini ibu dan tiga anak itu berjalan, menuju ke gerbang desa. Tatapan para warga desa membuat Hana dan Arka terus memegang ibunya dengan erat, saking takut melihat sorot mata yang seakan menggapai mereka adalah seorang penjahat. “Bu?” Arka menarik ujung pakaian Mira. “Tidak usah dilihat! Ada ibu di sini. Lihat ibu saja.” Mira menatap anaknya sambil berusaha tersenyum meski luka menyelimuti. Arka mengangguk tanda mengerti. Ia dan adiknya terus menempel pada sang ibu demi mencari rasa aman. “Lihatlah, baru sehari menjanda sudah menggoda suami orang.” “Wajar saja, sepertinya dia sudah tidak tahan ingin merasakan hidup enak.” “Siapa yang tidak tergoda untuk mendapatkan kekayaan instan. Hanya dengan menjadi istri kedua semua akan terasa lebih mudah.” Sindiran dan umpatan tak henti mengiringi langkah Mira dan ketiga anaknya. Orang-orang itu seakan tak memikirkan perasaan dan mental tiga bocah kecil dan hanya mementingkan emosi saja. “Bu, kenapa orang-orang itu marah-marah terus? Kena
“Ibu nggak sayang Hana! Padahal Hana cuma mau pilih kamar,” ungkap Hana sambil menangis diiringi dengan suara derasnya hujan.Hati Mira terasa semakin miris. Bukan ia tidak sayang pada Hana, hanya saja saat itu bukan waktu yang tepat untuk memilih kamar.“Hana, di sini dingin. Kita harus tidur bersama agar lebih hangat. Ibu nggak mau Hana sakit. Ibu sayang Hana.” Mira memeluk Hana dengan begitu erat.Hana yang semula menangis perlahan berhenti, lalu membalas pelukan ibunya dengan penuh cinta. “Maafin, Hana, Bu.” Hana berkata lirih.“Iyaa, sekarang ayo dekorasi dulu kamar kita. Hana boleh mempercantik ruangan yang paling depan itu.” Hana menunjuk ke arah salah satu bekas kandang yang berada di paling depan.“Ibu, Arka juga mau bantu!” pinta Arka setengah berteriak.Mira tersenyum sambil mengangguk, tak menyangka jika sang anak begitu antusias meski tempat itu hanyalah sebuah bekas kandang kambing.Arka dan Hana bermain penuh canda tawa. Meski hanya sekedar memasang selendang untuk men
Belum sempat Mira meraih botol pupuk, di saat bersamaan Arka terbangun karena terkejut dengan pergerakan ibunya.“Ibu mau ke mana?” tanya Arka sambil menggosok mata. Kepalanya masih pusing karena baru sebentar nyenyak malah dibuat terkejut.Mira terdiam sejenak, pikirannya mendadak semakin kacau dan bingung, tak tahu harus berbuat apa.“Ibu mau membetulkan selendang yang miring biar angin tidak terlalu banyak masuk ke kamar kita ini.”Arka terdiam sejenak.“Bu, tadi Arka mimpi jadi dokter,” ucap si sulung tiba-tiba.Mira kembali ke posisi semula, mengurungkan niat untuk mengambil botol pupuk karena tidak mungkin baginya melakukan hal seperti itu di saat anaknya terjaga.“Ah, iya. Bagus sekali.” Mira tersenyum gugup.“Padahal Arka ingin jadi tentara biar bisa menjaga ibu tapi malah mimpi jadi dokter.” Arka menghela napas. “Tapi tidak apa-apa, mau jadi apa saja yang pasti Arka ingin membahagiakan ibu, Arka mau buat rumah yang besar untuk ibu,” sambungnya sambil merentangkan tangan, memp
Seorang lelaki tua yang diperkirakan berumur tujuh puluh tahun itu berdiri sambil terus menatap Mira dan sesekali menoleh ke arah tiga anaknya. Wajah pria itu sedikit menyeramkan, mirip seorang yang pemarah.“Maaf, saya hanya sedang mencari ikan di sini,” sahut Mira yang segera beranjak. Ia menunduk, tak berani menatap wajah lelaki tua itu.“Apa kalian tinggal di kandang kambing bekas di sebelah sana?” Lelaki tua itu menunjuk ke arah tempat Mira dan tiga anaknya bermalam.Mira menelan saliva, mendadak jantungnya berdebar tak karuan. Ia merasa cemas, khawatir jika dirinya dan anak-anak malah di usir.“Be-benar.” Mira mulai panik.“Memang siapa yang mengizinkan kalian tinggal di sana?” Lelaki tua itu bertanya dengan nada ketus.“Ma-maaf, kami tidak punya rumah. Hanya ingin menumpang sementara saja.”Pria tua itu terdiam sejenak. Namun, bukannya menjawab, ia malah berlari ke arah Kiano. Tentu saja hal tersebut membuat Mira terkejut dan buru-buru mengikuti dari belakang.“Tolong jangan sa
Beruntung lumpur hanya mengenai tubuh Mira meski wanita tua itu mengarahkannya pada Kiano.“Apa Anda tidak memiliki perasaan? Memang kenapa kalau menginjak sawah? Saya sama sekali tidak merusaknya!” teriak Mira yang mulai kesal.Orang lain boleh menyakiti dirinya, tetapi tidak dengan anaknya. Wanita tua itu jelas sekali hendak mengarahkan lumpur ke Kiano dengan tanpa perasaannya.“Hey, berisik sekali! Cepat pergi dari sawahku! Aku benci melihat perempuan muda berjalan di sekitar sawahku.”Mira sampai dibuat keheranan. Namun, ia memilih untuk mengalah karena tak tega melihat ketiga anaknya ketakutan.“Arka … Hana … ayo kita pergi dari sini,” ajak Mira seraya menuntun Hana dan membiarkan Arka berjalan di depan.Wanita itu tampak tersenyum puas melihat Mira dan ketiga anaknya pergi. Hingga mendadak pria tua yang meminta Mira mencarikan keong untuknya itu datang dengan mengendarai motor butut.“Apa kamu sudah mendapatkan apa yang aku mau?” tanya pria tua itu dengan tatapan sinis.“Belum.”
“Iya, saya akan menjaga rahasia itu,” jawab Mira dengan perasaan gugup.“Bagus. Kalau begitu sekarang buatkan aku keong bumbu kuning. Jika ada yang bertanya bilang saja kalau itu makanan untukmu,” titah Agus dengan gaya angkuhnya.“I-iya, Pak.”Mira tak banyak bertanya dan hanya menebak jika mungkin rahasia yang dimaksud adalah tentang keong tersebut. ‘Apa mungkin dia malu karena identitasnya yang orang berada?’ batin Mira seraya mulai mengupas bumbu.“Bu, Hana mau bantu.”“Arka juga, Bu.”“Hana dan Arka jaga Kiano saja. Biar ibu yang masak.”“Tapi, Bu … Kiano lagi asyik sama kakek itu.” Hana menunjuk ke arah Agus yang sedang bermain dengan si bungsu.Mira terpaku, tak menyangka jika Kiano malah menjadi sedekat itu dengan Agus meski mereka baru saling kenal.Demi bisa tinggal di bekas kandang kambing itu dengan gratis, Mira pun tak mau membuang waktu dan bergegas membuat apa yang Agus inginkan dengan dibantu oleh Arka dan Hana.“Bu, Kenapa kakek itu suka keong? Bukannya orang kaya bi
“Aku hanya sedang berpegangan karena baru saja tergelincir. Lihatlah! Bajuku saja sampai kotor gara-gara jatuh.” Mira menunjukan bagian belakang pakaiannya yang dipenuhi lumpur.“Bohong! Dia berniat menyakitiku!” Nunung tak ingin Mira lolos begitu saja.Beberapa orang yang hadir di sana seolah lebih mempercayai Mira melihat bukti nyata di depan mata. Sedangkan Nunung hanya berbicara tanpa dasar.“Maaf, mungkin hanya terjadi salah paham di sini. Harusnya aku meminta izin dulu baru memegang tangan Ibu.” Mira meraih tangan Nunung lalu menggenggamnya lembut.Emosi sudah menguasai Nunung, tentu saja ia kesal saat Mira menyentuh tangannya sehingga dengan penuh amarah wanita tua itu segera menarik tangannya dengan begitu kencang.“Aku tidak sudi bersentuhan denganmu!” hardik Nunung.Orang-orang yang semula hendak menolong Nunung pun seketika menjadi tak senang dengan caranya memperlakukan Mira.“Yaelah, Bu. Cuma dipegang aja sa
Mira benar-benar canggung berada di situasi tersebut. Ia merasa jika mungkin kotak kecil tersebut adalah sesuatu yang penting.“Buat kalian saja. Ibu kan sudah besar, nggak main mainan.” Mira berusaha menolak secara halus.“Ini bukan mainan, Bu. Ini tuh coklat kasih sayang. Tante bilang sayang sama kita, jadi Tante kasih kita masing-masing dua coklat. Yang satu sudah dimakan jadi yang satu ini buat ibu.” Arka menjelaskan dengan antusias.Mira merasa semakin tak nyaman setelah mendengar penjelasan Arka. Sepertinya Mega tak suka jika coklat kasih sayang itu malah diberikan pada Mira.Kini, Mira berada di posisi serba salah. Ia tak ingin mengecewakan ketiga anaknya tapi juga tak mau membuat kesal Mega.“Ya, sudah. Kalian pegang dulu saja, ibu nggak bisa bawa sekarang karena mau lanjut kerja lagi.” Mira membelai lembut rambut ketiga anaknya.Ia buru-buru beranjak agar bisa melanjutkan pekerjaan, mengingat wajah Mega yang terlihat sem
Di klinik, Mira yang semula tak sadarkan diri itu akhirnya membuka mata. Ia tampak kebingungan saat pertama kali melihat Andi, yang ternyata terus berada di samping, menemani bersama dengan Rani.“Di mana ini?” ucap Mira, lirih.“Tadi Mbak pingsan. Makanya langsung kita bawa ke sini,” jawab Rani yang buru-buru beranjak dari tempat duduk. “Mbak kenapa nggak bilang kalau belum makan?” Mira tersenyum getir, merasa malu dengan pertanyaan Rani. Bukan ia tak mau makan, hanya saja uang yang tersisa hanya cukup untuk makan anak-anak.“Mbak lupa,” jawab Mira, lesu.“Mau nasi padang?” tanya Andi tiba-tiba.“Orang baru siuman langsung ditawari nasi padang. Ada juga beliin bubur dulu biar perutnya nggak kaget,” timpal Rani seraya mendelik ke arah Andi.Andi tersenyum, lalu berkata, “siapa tau Mira lagi nggak selera makan nggak mau makan bubur.”“Udah beli bubur saja!” Rani mendorong tubuh Andi agar pria itu segera membelik
Seperti apa yang Mira duga, para perempuan memang jelas memperlihatkan ketidaksukaannya.“Rani, jadi dia karyawan baru itu?” tanya seorang wanita.“Iya, nanti Mbak Mira ini yang jadi salah satu juru masak di sini.”“Loh, kok langsung jadi juru masak? Giliran kita malah harus lewat banyak proses,” protes salah seorang karyawan.“Sudah, Ran. Aku di mana aja nggak masalah,” bisik Mira yang malas menimbulkan percikan dan membuat permusuhan.Rani tampaknya mengerti akan ketidaknyamanan Mira. Sehingga, meski ia ingin Mira yang memegang bagian masak tetap saja demi lingkungan yang damai mau tak mau Mira harus melalui bagian lain terlebih dahulu.“Memang bagian apa yang kosong sekarang?”Para wanita itu saling pandang, lalu menunjukan senyum penuh akal bulus.“Ya bagian cuci piring lah! Memang bagian apa lagi yang selalu kosong?!” jawab mereka serentak, lalu setelahnya tertawa seolah itu adalah hal lucu.Mira menghela napas panjang, sejak awal sudah menduga jika semua tidak akan berjalan deng
Rani seakan tak ada harga diri di sana. Susi memang terlihat mendominasi karena merasa dirinya mendapat kepercayaan.“Jangan halangi aku! Aku hanya ingin bertemu kakakku! Siapa kamu bisa ikut campur urusan keluargaku?” Rani mendorong Susi agar tak menghalangi jalannya. “Ayo Mbak Mira,” ajaknya seraya menarik tangan Mira.Wajah sinis Susi tampak begitu menjengkelkan, hanya seorang karyawan tapi gayanya jauh melebihi sang pemilik. Rani yang merupakan adik dari atasannya saja tampak tak ada harga diri hanya karena dirinya yang lebih sering mengurus keseluruhan catering.“Cih, hanya status adik saja gayamu sudah seperti bos,” gerutu Susi, seolah tak sadar jika dirinya jauh lebih berlagak.Rani yang sejak awal tidak menyukai Susi kini naik status menjadi benci. Ia sudah tidak peduli lagi jika karyawan kakaknya itu terus mengoceh yang terpenting dirinya dan Mira bisa masuk ke rumah.“Dasar menyebalkan dia sendiri yang berlagak seperti bos,” oce
Setelah selesai dengan urusan di klinik, Mira segera mencari tempat tinggal sementara yang tidak jauh dari klinik. Berhari-hari Mira terus bolak-balik kosan dan klinik demi bisa mengawasi buah hatinya.Tak terasa seminggu berlalu, di saat keuangan Mira semakin menipis saat itu pula kondisi Arka perlahan membaik dan sudah diperbolehkan pulang.“Ibu, nanti makan Arka tolong lebih diawasi lagi, ya!” pesan dokter yang menangani Arka.“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya selama ini.” Mira menjabat tangan dokter tersebut dengan penuh rasa terima kasih.Dokter tersebut memeluk Mira, lalu berbisik, “terima kasih karena sudah menjadi ibu yang hebat. Saya juga seorang ibu, dan merasa salut dengan perjuangan Mbak Mira.”Mata Mira berkaca-kaca, ia merasa tersentuh mendengar ucapan sang dokter. Karena sering bertemu membuat mereka menjadi dekat, hanya saja kini sudah saatnya harus berpisah.Mira sudah menyiapkan barang bawaan sehingga saa
“Hana, Ibu titip Kiano dulu, ya! Kalian duduk di sini saja!” Mira menunjuk kursi yang berada di sudut ruang tunggu.“Iya, Bu. Emang ibu mau ke mana?” Hana menatap ibunya dengan tatapan heran.“Ibu ada perlu sebentar. Hana jangan ke mana-mana, ya!” pinta Mira seraya mengusap lembut rambut kedua anaknya.“Iya, Bu.” Hana mengangguk pelan.Mira segera beranjak, lalu berjalan seraya menatap Damar yang kala itu membelakanginya.Karena ingin tahu apa yang sedang Damar lakukan, Mira lantas duduk tepat di kursi belakang pria itu.“Mas, kapan mau menceraikannya?”“Kamu yang sabar, Mas nggak mungkin secepat itu menceraikannya. Semua harta yang kami miliki sebagian besar itu miliknya.”“Terus gimana nasib anak kita? Dokter bilang sebentar lagi melahirkan. Sekarang saja lagi mau nentuin tanggal operasi Cesar, Mas.”“Ya sementara kita begini saja. Aku pasti bakal sering nengokin kamu, kok.”Seolah keberuntungan sedang berpihak pada Mira. Obrolan rahasia itu malah bisa didengar olehnya. Tentu hal te
Tangan Mira seketika gemetaran. Ia merasa jika sudah tidak mungkin lagi tinggal di bekas kandang kambing tersebut dengan keadaan seperti itu.“Padahal aku tidak pernah mengusik siapa pun, tapi kenapa malah ada orang yang berusaha menyakiti keluarga kecilku,” gumam Mira yang kala itu perasaannya bercampur antara sedih dan emosi.Tak terasa kini mereka telah sampai di rumah Mira.“Mbak, Alhamdulillah dagangan sudah habis. Tadi sengaja saya panggil temen-temen biar cepet abis dan Mbak Mira bisa cepet urusin Arka.”Mata Mira berkaca-kaca, kali ini meski beberapa orang ada yang berusaha menyakiti, tetapi beberapa lainnya malah memberi bantuan tanpa pamrih.“Makasih, Bu. Maaf saya malah jadi ngerepotin.” Mira memeluk wanita paruh baya yang sering sekali membantunya itu.“Saya nggak ngerasa direpotin, kok.” Wanita paruh baya itu menepuk-nepuk pundak Mira.Saat itu dari arah rumah keluar Hana dan Kiano sambil berlari menghampiri
Sosok itu mengingatkan Mira akan kenangan buruk yang menimpa. Kebencian membuat dadanya terasa sesak, bahkan hingga kesulitan bernapas.‘Ma-mas Damar? Jadi selama ini dia pelakunya.’Mira segera bergeser, menjauh dari jendela, lalu berjongkok sambil membekap mulutnya. Ia ketakutan setengah mati, khawatir jika Damar sampai berbuat macam-macam, mengingat rumahnya begitu mudah dihancurkan hanya dengan sekali dobrak.“Ya Allah, beri hambamu ini perlindungan. Jauhkan kami dari orang-orang yang berniat buruk,” gumam Mira dengan tangan gemetaran.Mira sadar betul jika sampai Damar berbuat nekat maka ia tak bisa berbuat apa-apa. Selain tak memiliki kekuatan juga keadaan rumah yang jauh dari pemukiman warga seakan menambah rasa takut.Mira terus berdoa di tengah rasa takutnya. Ia sudah tak bisa berharap pada manusia, rasanya hanya pertolongan tuhan saja yang menjadi harapan satu-satunya.Di tengah rasa takutnya, sekilas samar Mira mendeng
Mira tak pernah menduga, seorang wanita yang dulu sering membantunya kini malah berdiri menyudutkan dirinya dengan tatapan kebencian.“Mbak Dian?” Mata Mira nanar menatap wanita yang selama ini ia segani.“Dia pernah menggoda suamiku bahkan hampir melakukan hal yang kotor!” teriak Dian.Air mata tak terasa menetes membasahi pipi. Mira sampai dibuat kesulitan berkata-kata setelah mendengar pengakuan Dian.“Tuh kan, kalian dengar sendiri seperti apa dia?” Wanita menyebalkan itu tersenyum sinis, merasa jika dirinya telah memenangkan situasi tersebut.“Heh, kalian bukan warga sini. Jangan fitnah orang, deh! Lebih baik kalian pergi saja! Kamu nggak percaya Mbak Mira seperti itu. Sudah banyak anak muda yang mengantri mengatakan cinta, tapi nggak ada tuh yang dia terima. Masa iya suami kayak gitu saja sampai harus Mbak Mira rebut,” oceh salah seorang pelanggan yang sudah tahu seperti apa Mira karena sehari-hari sering berjumpa.“Hih, dikasih tau malah ngeyel.” Wanita menyebalkan itu memanyun