“Lepas! Jika tidak, aku akan berteriak!” ancam Mira.
“Kamu pikir aku takut? Lagipula mereka akan lebih membelaku daripada kamu.” Mata Mira berkaca-kaca, dirinya tak menyangka jika baru satu hari kepergian Raka tapi seorang pria malah datang dengan niat buruk padanya. “Ayolah, ikut aku! Tenang saja, aku akan membayar semuanya. Atau kalau mau, aku bisa menjadikanmu istri kedua, semua kebutuhanmu dan anak-anak akan kutanggung.” Mira menggeleng kepala pelan. Bulir bening itu kian bercucuran membasahi wajahnya. “Lepaskan!” balas Mira yang sama sekali tak menghiraukan tawaran pria hidung belang itu. Ia tak habis pikir, bisa-bisanya suami dari wanita yang begitu baik padanya ternyata memiliki sifat yang seolah berbalikan dengan istrinya. Pria itu bernama Damar, suami dari Dian, orang yang sering sekali membantu Mira. Ibu tiga anak itu merasa tidak tega jika sampai ia berteriak dan membuat Dian tahu kelakuan Damar. Juga satu sisi Mira tak ingin kalau dirinya sampai ternodai oleh pria yang bukan suaminya itu. Di tengah perjuangan Mira untuk mempertahankan dirinya agar tidak ditarik ke kebun belakang rumah, di situ pula Arka datang dengan membawa sebuah ranting kecil. “Lepaskan Ibu! Kalau tidak mau Arka pukul!” ancam bocah kecil itu sambil mengacung ranting yang jika dipukul ke tubuh Damar mungkin hanya terasa menggelitik. “Bocah kecil, lebih baik kamu masuk ke rumah saja. Biarkan Om dan ibumu bersenang-senang!” hardik Damar sambil memelototi Arka. Rasa takut menghinggapi Arka. Bocah kecil itu tak berani melihat tatapan Damar yang dipenuhi amarah. Namun, rasa sayangnya pada sang ibu jauh lebih besar. Meski tubuhnya kecil dan kurus setidaknya jika mengorbankan diri, mungkin bisa sedikit membantu ibu yang sedang dalam kesulitan. Tanpa banyak berpikir lagi Arka segera menghampiri Damar. Ia memukul ranting kecil ke tubuh pria yang jelas jauh lebih besar berkali lipat dari tubuhnya. “Dasar anak bod*h, kamu pikir sebuah ranting kecil bisa melukaiku?” Damar tertawa geli, akan tetapi tangannya masih begitu kuat mencengkram tangan Mira. “Arka, pergi saja ke dalam. Ibu bisa menyelesaikan ini sendiri,” pinta Mira dengan air mata yang semakin deras. Hati Mira begitu sakit. Ia terluka dan tidak rela jika Arka sampai melihat hal buruk yang tak sepantasnya dilihat anak seumurannya. Terlebih, Mira tak ingin jika Arka sampai terluka karena Damar. “Nggak! Arka mau bantu ibu! Arka harus jaga ibu!” tegas Arka sambil berjalan menghampiri Damar lagi. Kali ini tidak menggunakan sebuah ranting, tapi dengan tekad yang kuat Arka menggigit Damar tepat di tangan agar segera melepaskan ibunya. “Aahh.” Damar berteriak kesakitan. “Dasar anak sialan! Berani sekali menggigitku.” Damar yang tersulut emosi segera mendorong tubuh kecil Arka, yang mana tanpa sengaja kepala sang bocah terbentur batu hingga tak sadarkan diri. “Arka!” teriak Mira, yang langsung mendorong tubuh Damar, membuat keduanya jatuh bersamaan. Mira segera beranjak, menuju tubuh sang anak lalu menggendongnya. Belum sempat pergi, Damar malah menarik Mira kembali. Gejolak di dada yang telah lama dipendam seolah sudah tak tertahankan lagi. Pria itu ingin segera memiliki Mira seutuhnya. “Sudahlah, Mira. Jika kamu menerimaku, Arka akan segera kubawa ke rumah sakit.” Damar memegangi bahu Mira, menahannya agar tidak pergi. Emosi Mira benar-benar sudah melewati batasnya. Tanpa berpikir panjang ia segera berteriak begitu kencang. “Tolong! Ada pria m*sum! Tolong!” teriak Mira sebelum akhirnya ia dibekap. Suara Mira yang melengking itu sempat terdengar oleh beberapa warga dan dengan cepat mereka segera menuju ke arah sumber suara. Merasa panik, Damar pun lantas merobek pakaian bagian depannya, lalu duduk tepat di dekat Mira. “Ada apa ini? Kami dengar ada yang minta tolong.” Mira yang sedang menangis pun berusaha menjelaskan meski lidah terasa kelu. “Mas Damar–” “Mira berusaha menggodaku. Dia memintaku untuk menjadikannya istri kedua dan berusaha menjebakku agar terlihat seolah menodainya,” potong Damar dengan ekspresi yang begitu meyakinkan. “Bohong! Aku tidak mungkin melakukan itu! Tolong biarkan aku pergi, Arka harus mendapat pertolongan,” timpal Mira, terisak. “Jangan pergi dari sini sebelum masalah ini selesai,” ujar salah seorang warga yang dengan cepat mengambil Arka dari gendongan Mira, membawanya ke klinik desa untuk ditangani. Beberapa warga menyusul berdatangan, mereka mulai mempertanyakan tentang apa yang terjadi sampai salah seorang wanita yang tidak terlalu menyukai Mira pun bersuara. “Lihatlah! Pakaian Damar robek di bagian depan! Sepertinya Mira memang telah menggodanya. Apalagi kalian tahu sendiri, dia baru saja menjanda, sudah bingung harus bagaimana menghidupi ketiga anak dengan kondisi seperti itu!” Beberapa orang mulai terpengaruh dengan ucapan wanita tadi karena terdengar cukup masuk akal. Mereka saling berbisik sambil menatap Mira, hingga Dian datang dengan wajah terkejut. “Mas, apa yang terjadi?” Dian mendekati suaminya, matanya tak henti memandangi pakaian Damar yang robek. “Mira.” Damar melirik Mira dengan tatapan menjijikan. “Dia ingin aku menjadikannya istri kedua.” “Itu bohong, Mbak Dian! Saya tidak mungkin memiliki niat kotor seperti itu! Meski saya seorang janda miskin dengan tiga anak, tapi saya masih mampu untuk menghidupi mereka,” sahut Mira di tengah tangisnya. Dian terdiam, matanya hanya terfokus pada pakaian Damar yang robek. Rasa cinta membuat wanita itu tentu akan lebih mempercayai suaminya. “Aku nggak nyangka kalau kamu setega ini, Mira. Padahal selama ini aku selalu membantumu. Tapi ternyata ini balasan yang kuterima?” Dian meneteskan air mata, merasa sakit hati atas pengkhianatan yang Mira lakukan. Ucapan Dian barusan semakin menyulut emosi warga. Kini tatapan sinis tertuju pada Mira yang hanya bisa menangis tertunduk. “Cepat usir dia dari kampung ini!” “Jangan biarkan dia menggoda para suami kita!” Di saat bersamaan Hana dan Kiano berlari ke arah Mira, lalu memeluknya erat. “Ibu, kenapa mereka membuat ibu menangis?” tanya Hana sambil memandangi para warga dengan tatapan ketakutan. Mira tak berani berkata-kata, lidahnya terasa kelu. Ia sudah menebak akan terjadi seperti ini, bagaimanapun orang miskin sepertinya tidak mungkin mendapat kepercayaan warga. Kala itu hanya sebuah pelukan yang bisa diberi pada dua anaknya. “Tolong, jangan berkata yang tidak-tidak di depan anak-anak! Saya akan pergi sendiri dari sini,” teriak Mira yang sudah tak tahan lagi melihat raut ketakutan di wajah kedua anaknya. Para warga saling berbisik, terlihat jelas ketidakpuasan tersirat dari wajah mereka. Namun, mendengar Mira akan pergi sendiri seakan membuat mereka tak bisa berkata-kata lagi. “Mira, kuharap kamu bisa secepatnya pergi dari sini! Jangan pernah tunjukan lagi wajah menjijikan itu!” timpal Dian. Bagai dihantam benda besar, dada Mira terasa begitu sesak. Sosok yang selama ini ia anggap sebagai kakak, ternyata begitu tega mengatakan hal seperti itu padanya. Mira segera beranjak, perlahan ia berjalan ke arah Dian dan Damar. Para warga yang berada di dekat mereka sudah bersiap, khawatir jika ibu tiga anak itu hendak berbuat yang tidak-tidak. Dian yang sedikit ngeri melihat Mira pun lantas berjalan mundur perlahan. Namun, saat Mira menunjukan sebuah senyum penuh luka ia pun menghentikan langkahnya. “Terima kasih atas bantuan Mbak selama ini. Saya tidak akan melupakan itu, semoga kebaikan Mbak Dian mendapat balasan berlipat-lipat,” ungkap Mira. Dian mengerutkan alis, sedikit bergidik melihat wajah Mira yang malah menorehkan senyum di saat seperti itu.Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.”“Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.”“Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.”Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat.“Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong.“Di klinik Medika.”“Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi.Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yan
Kini ibu dan tiga anak itu berjalan, menuju ke gerbang desa. Tatapan para warga desa membuat Hana dan Arka terus memegang ibunya dengan erat, saking takut melihat sorot mata yang seakan menggapai mereka adalah seorang penjahat. “Bu?” Arka menarik ujung pakaian Mira. “Tidak usah dilihat! Ada ibu di sini. Lihat ibu saja.” Mira menatap anaknya sambil berusaha tersenyum meski luka menyelimuti. Arka mengangguk tanda mengerti. Ia dan adiknya terus menempel pada sang ibu demi mencari rasa aman. “Lihatlah, baru sehari menjanda sudah menggoda suami orang.” “Wajar saja, sepertinya dia sudah tidak tahan ingin merasakan hidup enak.” “Siapa yang tidak tergoda untuk mendapatkan kekayaan instan. Hanya dengan menjadi istri kedua semua akan terasa lebih mudah.” Sindiran dan umpatan tak henti mengiringi langkah Mira dan ketiga anaknya. Orang-orang itu seakan tak memikirkan perasaan dan mental tiga bocah kecil dan hanya mementingkan emosi saja. “Bu, kenapa orang-orang itu marah-marah terus? Kena
“Ibu nggak sayang Hana! Padahal Hana cuma mau pilih kamar,” ungkap Hana sambil menangis diiringi dengan suara derasnya hujan.Hati Mira terasa semakin miris. Bukan ia tidak sayang pada Hana, hanya saja saat itu bukan waktu yang tepat untuk memilih kamar.“Hana, di sini dingin. Kita harus tidur bersama agar lebih hangat. Ibu nggak mau Hana sakit. Ibu sayang Hana.” Mira memeluk Hana dengan begitu erat.Hana yang semula menangis perlahan berhenti, lalu membalas pelukan ibunya dengan penuh cinta. “Maafin, Hana, Bu.” Hana berkata lirih.“Iyaa, sekarang ayo dekorasi dulu kamar kita. Hana boleh mempercantik ruangan yang paling depan itu.” Hana menunjuk ke arah salah satu bekas kandang yang berada di paling depan.“Ibu, Arka juga mau bantu!” pinta Arka setengah berteriak.Mira tersenyum sambil mengangguk, tak menyangka jika sang anak begitu antusias meski tempat itu hanyalah sebuah bekas kandang kambing.Arka dan Hana bermain penuh canda tawa. Meski hanya sekedar memasang selendang untuk men
Belum sempat Mira meraih botol pupuk, di saat bersamaan Arka terbangun karena terkejut dengan pergerakan ibunya.“Ibu mau ke mana?” tanya Arka sambil menggosok mata. Kepalanya masih pusing karena baru sebentar nyenyak malah dibuat terkejut.Mira terdiam sejenak, pikirannya mendadak semakin kacau dan bingung, tak tahu harus berbuat apa.“Ibu mau membetulkan selendang yang miring biar angin tidak terlalu banyak masuk ke kamar kita ini.”Arka terdiam sejenak.“Bu, tadi Arka mimpi jadi dokter,” ucap si sulung tiba-tiba.Mira kembali ke posisi semula, mengurungkan niat untuk mengambil botol pupuk karena tidak mungkin baginya melakukan hal seperti itu di saat anaknya terjaga.“Ah, iya. Bagus sekali.” Mira tersenyum gugup.“Padahal Arka ingin jadi tentara biar bisa menjaga ibu tapi malah mimpi jadi dokter.” Arka menghela napas. “Tapi tidak apa-apa, mau jadi apa saja yang pasti Arka ingin membahagiakan ibu, Arka mau buat rumah yang besar untuk ibu,” sambungnya sambil merentangkan tangan, memp
Seorang lelaki tua yang diperkirakan berumur tujuh puluh tahun itu berdiri sambil terus menatap Mira dan sesekali menoleh ke arah tiga anaknya. Wajah pria itu sedikit menyeramkan, mirip seorang yang pemarah.“Maaf, saya hanya sedang mencari ikan di sini,” sahut Mira yang segera beranjak. Ia menunduk, tak berani menatap wajah lelaki tua itu.“Apa kalian tinggal di kandang kambing bekas di sebelah sana?” Lelaki tua itu menunjuk ke arah tempat Mira dan tiga anaknya bermalam.Mira menelan saliva, mendadak jantungnya berdebar tak karuan. Ia merasa cemas, khawatir jika dirinya dan anak-anak malah di usir.“Be-benar.” Mira mulai panik.“Memang siapa yang mengizinkan kalian tinggal di sana?” Lelaki tua itu bertanya dengan nada ketus.“Ma-maaf, kami tidak punya rumah. Hanya ingin menumpang sementara saja.”Pria tua itu terdiam sejenak. Namun, bukannya menjawab, ia malah berlari ke arah Kiano. Tentu saja hal tersebut membuat Mira terkejut dan buru-buru mengikuti dari belakang.“Tolong jangan sa
“Kenapa wajahmu pucat begitu, Mira?” tanya Raka sambil menenteng sekantong plastik kecil berisi beras yang baru ia beli setelah bekerja seharian.“Asam lambungku kumat, Mas,” jawab Mira, lirih. Wanita itu berbaring di kasur lusuh sambil memegangi perutnya. Di samping ada ketiga anak yang sedang terlelap karena hari sudah malam.Raka yang panik lantas bergegas ke dapur buru-buru menanak nasi di atas tungku yang baru saja dinyalakan. Tak sampai disitu, karena uang hasil kasbon pada bos hanya cukup membeli beras, ia pun berinisiatif untuk memetik bayam liar di dekat kali yang tidak jauh dari gubuknya.Lelah setelah bekerja seharian tak membuat Raka mengeluh. Dalam pikirannya hanya membayangkan bagaimana caranya agar Mira bisa segera mengisi perutnya. Ia yakin jika sang istri telah menahan lapar sejak pagi demi mementingkan perut buah hati mereka.“Mira, maafin Mas yang belum pernah bisa membahagiakan kalian. Kamu malah harus terus menahan lapar demi anak-anak,” gumam Raka sambil menggese
Raka yang saat itu sedang berada di luar kamar mandi, menunggu giliran seketika menegur sang anak yang terlihat berpura-pura.“Tapi air ini dingin ayah. Memang Ayah tega liat Arka kedinginan?”“Ya sudah. Ayah bakal menjaga rahasia Arka. Tapi kedepannya jangan bohong lagi ya! Dengarkan kata ibu. Arka anak ayah paling besar, nanti Arka yang jagain ibu dan adik-adik.”Arka menghela napas. Ia sudah begitu sering mendengar nasihat sang ayah hingga membuatnya sedikit bosanSetelah selesai di kamar mandi. Arka buru-buru kembali ke dalam rumah. Saat itu makanan sudah terhidang rapi di atas meja lusuh bekas tetangga yang tak terpakai.Saat itu sudah ada Hana dan Kiano dengan wajah masih mengantuk. Sudah menjadi tradisi keluarga kecil itu untuk sarapan bersama. Prinsip mereka, walau lauk tidak seberapa, setidaknya kebersamaan akan membuat makanan terasa jauh lebih nikmat.“Yee, makan daging,” teriak Hana sambil melompat bersemangat.Melihat anaknya begitu bahagia, Mira malah bersedih. Ia merasa
‘Arka, Hana dan Kiano adalah anak yang baik, tapi nasib mereka yang tidak baik terlahir dari rahim seorang perempuan miskin sepertiku,’ batin Mira dengan mata berkaca-kaca.Mira sudah tak kuasa menahan pilu yang seakan tak henti menerpa hidupnya. Ia menghentikan langkahnya, lalu berjongkok memeluk ketiga anaknya itu.“Maafin Ibu yang belum bisa membahagiakan kalian.”Hana dan Arka saling pandang.“Ibu nggak salah, Arka sayang Ibu.”“Hana juga sayang Ibu.”“Eno uda tayang, mbu,” ucap Kiano tiba-tiba.Mendengar ucapan Kiano membuat Mira dan kedua anaknya itu seketika terkejut. Itu adalah kata yang pertama keluar dari mulut bocah kecil itu setelah sekian lama seolah enggan berbicara.Meski awalnya hati terasa pilu, sikap sederhana dari Kiano benar-benar membuat mereka merasa bahagia dan seakan lupa dengan apa yang terjadi sebelumnya.Beberapa jam berlalu, saat Mira masih bekerja sebagai buruh cuci tiba-tiba Raka datang sambil berteriak memanggilnya.“Mira, Mas ada kabar baik. Ayo kita pu