Home / Pernikahan / Daging Keong Untuk Tiga Anakku / Bab 5. Gagal Makan Ayam

Share

Bab 5. Gagal Makan Ayam

Mira memeluk Arka erat. Ia menaruh telunjuknya di tengah bibir sang anak, lalu berbisik, “Arka jangan bersuara. Nanti juga pergi.”

Meski berusaha menenangkan Arka, tetapi tidak dipungkiri jika perasaannya sedang cemas kala itu. Si pengintip yang sempat menghilang kini kembali lagi.

‘Kenapa dia datang lagi? Siapa dia? Apa maunya? Apa jebakan yang Mas Raka buat tidak membuatnya jera?’

Mira seketika terdiam, perlahan mulai sadar jika si pengintip tersebut datang karena tahu kalau suaminya telah tiada. Lagi-lagi air mata berlinang, baru sebentar Raka pergi tapi satu masalah sudah mulai muncul.

‘Mas Raka, semoga aku bisa menghadapi semua ini,’ batin Mira sambil memeluk Arka erat.

Beberapa kali sosok bayangan tersebut melintas di dekat celah yang sedikit lebih besar. Mira berdebar tak karuan, meski hanya mengintip, tetapi rasa takut itu begitu besar.

Beruntung tak berselang lama suara ayam berkokok mengiringi perginya si pengintip tersebut.

Arka susah terlelap di pelukan Mira. Keduanya terus berbaring di tanah hanya demi tak memancing perhatian si pengintip.

Mira dengan cepat menggendong tubuh mungil Arka agar bisa melanjutkan tidurnya di kasur.

“Arka, Hana, Kiano … maafkan ibu yang sempat melakukan hal bodoh,” gumam Mira seraya mengusap lembut rambut anaknya satu persatu, lalu setelah mengecup kening mereka dengan mata yang berlinang.

Setidaknya penyesalan itu datang tidak terlambat. Tampaknya tuhan masih menyayangi Mira dan ketiga anaknya. Tidak ingin wanita itu wafat dalam keadaan berdosa dan menghancurkan kehidupan tiga anaknya.

Karena tidur terlalu larut, ketiga bocah kecil itu masih terlelap meski langit sudah cukup terang. Mira yang selesai memandangi tiga anaknya pun lantas segera beranjak.

“Ya, aku harus membahagiakan mereka. Mulai dari hal kecil seperti makanan enak,” ucap Mira sambil menghapus air mata yang sejak tadi tiada henti mengalir.

Mira bergegas berganti pakaian, diambilnya uang dalam amplop pemberian Raka kemarin. Bayang akan sang suami kembali terngiang, jelas terlintas senyum yang tak pernah bisa dilupakan. Siapa sangka, jika itu adalah senyum terakhir Raka.

“Mas, semoga aku kuat menjalani hidup tanpamu,” ucap Mira yang lagi-lagi mengusap air mata saat melihat amplop pemberian terakhir sang suami.

Dengan berat hati, mau tak mau Mira harus memakai uang pemberian Raka meski itu adalah kenangan-kenangan terakhir dari sang suami. Ya, tentu itu semua demi sang buah hati. Ia ingin menyenangkan ketiga anaknya sebagai obat atas rasa kehilangan yang sesungguhnya tak mereka ketahui.

Perlahan Mira berjalan menuju warung tempat ia biasa berhutang. Niatnya ingin sekalian mencicil sebagian hutang.

“Mbak, saya mau ayam seperempat sama bumbu ungkepnya sekalian,” pinta Mira sambil tersenyum meski pemilik warung menunjukan wajah masam.

“Sama apa lagi?”

Apa lagi? Mira tidak berniat untuk membeli yang lain, hingga tiba-tiba ia berpikir untuk sekalian membeli bumbu dapur yang sudah habis sejak lama.

“Bawang merah sama bawang putih juga Mbak. Masing-masing seperempat,” pinta Mira lagi.

Tatapan pemilik warung masih tetap sinis, tampak jelas jika wanita itu tak senang dengan kedatangan Mira.

“Uangnya ada nggak?” tanya Iyun, si pemilik warung dengan nada ketus.

Mira lantas menyerahkan sejumlah uang dengan percaya diri karena biasanya ia hanya mampu menunduk menahan malu saat hendak berhutang.

Iyun dengan cepat meraih uang dari tangan Mira, lalu menghitungnya sejenak. Ia segera memasukan secomot bawang merah dan bawang putih ke dalam kantong plastik kecil.

“Nih,” ujar Iyun seraya menyodorkan kantong plastik dengan ketus.

Mira mengerutkan alis saat melihat kantong plastik yang tampak sedikit isinya itu, tidak seperti apa yang ia pesan sebelumnya.

“Kok cuma ini, Mbak? Saya pesan ayam sama bumbu ungkep.”

“Itu buat lunasin hutangmu. Suamimu kan sudah nggak ada, aku nggak yakin kamu bisa bayar hutang nantinya,” ujar Iyun, ketus.

Dada Mira terasa begitu sesak, belum lama Raka pergi tapi ia malah sudah mendapat perlakuan seperti itu.

“Tapi saya mau bayar separuhnya dulu mbak. Nanti saya cicil kalau sudah kerja di rumah Mbak Dian.”

“Ya sudah, makan ayamnya nanti saja kalau kamu sudah kerja sama Dian. Lagian kamu kan nggak tiap hari nyuciin baju dia. Gimana bisa ngumpulin uang dan bayar separuh hutangmu lagi?”

Mira kesal sekaligus sedih, tetapi tidak bisa berbuat banyak karena dirinya memang punya hutang. Dengan wajah murung ia kembali sambil membawa bawang yang setengah kantong plastik saja tidak ada.

“Bagaimana ini? Padahal aku sudah berniat ingin membuat ayam goreng untuk mereka,” gumam Mira sambil menatap bawang dalam kantong plastik.

Sepanjang perjalan Mira terus memikirkan bagaimana cara agar bisa membuatkan makanan enak demi membahagiakan buah hatinya. Hingga terbesit pikiran untuk membuat nasi goreng spesial.

“Nasi goreng spesial? Tapi aku hanya punya bawang.” Mira menghela napas dalam.

Saat tengah melintasi sawah salah satu warga, terlintas di benak Mira untuk mengambil beberapa keong demi menambah cita rasa daging pada nasi goreng spesial.

“Ide bagus, semoga anak-anak suka,” gumam Mira yang berjalan perlahan di pinggiran sawah demi mencari beberapa keong sawah.

Setelah selesai, Mira bergegas pulang agar bisa menyajikan nasi goreng sebelum ketiga anaknya bangun.

Di sisi lain, Arka yang bangun lebih dulu itu begitu terkejut saat tak mendapati sang ibu di sampingnya. Segera ia mencari ke setiap sisi rumah, namun tetapi tidak ada. Karena cemas, bocah itu lantas mencari ke warung.

“Ternyata ibu cuma ke warung.” Arka menghembuskan napas lega. “Tapi, kenapa ibu terlihat bersedih?”

Karena penasaran Arka pun berniat mengendap-ngendap mengikuti ibunya. Hingga ia mendapati Mira sedang mengambil keong lagi dari sawah.

“Makan keong lagi?” Arka sebenarnya tidak suka makan keong, selain baginya menjijikan, di desa itu orang-orang lebih sering menjadikan hewan kecil tersebut sebagai pakan bebek. “Tidak, demi ibu Arka harus suka keong.”

Arka teringat kembali akan pesan sang ayah yang memintanya untuk menjaga sang ibu.

“Jangan membuat Ibu bersedih, jangan mengecewakan ibu, harus jaga ibu karena Arka anak paling besar,” sambung bocah itu, bersemangat.

Saat Mira tengah asyik mengambil keong di sawah, di saat itu pula Arka bergegas kembali ke rumah. Berbaring di kasur agar ibunya itu berpikir jika bocah kecil itu masih tidur.

Mendadak Arka teringat kembali uang pemberian ayahnya kemarin. Rasanya ingin sekali meminta sang ibu untuk membelikan ayam, tapi mau bagaimana lagi, bocah itu tidak mau sampai memberatkan ibunya hanya karena sebuah makanan yang dalam sekejap saja sudah habis.

Aroma bawang goreng begitu menyengat, membuat perut Arka semakin keroncongan. Bocah itu sudah mendambakan makanan buatan sang ibu untuk mengisi perut yang kosong.

Namun, di tengah penantian Arka, saat itu juga terdengar suara wajan yang jatuh mengenai batu.

“Tolong lepaskan saya!” teriak Mira.

“Ibu?”

Arka yang terkejut bukan main pun lantas segera beranjak dari tempat tidur, lalu bergegas menuju ke dapur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status