Mira memeluk Arka erat. Ia menaruh telunjuknya di tengah bibir sang anak, lalu berbisik, “Arka jangan bersuara. Nanti juga pergi.”
Meski berusaha menenangkan Arka, tetapi tidak dipungkiri jika perasaannya sedang cemas kala itu. Si pengintip yang sempat menghilang kini kembali lagi. ‘Kenapa dia datang lagi? Siapa dia? Apa maunya? Apa jebakan yang Mas Raka buat tidak membuatnya jera?’ Mira seketika terdiam, perlahan mulai sadar jika si pengintip tersebut datang karena tahu kalau suaminya telah tiada. Lagi-lagi air mata berlinang, baru sebentar Raka pergi tapi satu masalah sudah mulai muncul. ‘Mas Raka, semoga aku bisa menghadapi semua ini,’ batin Mira sambil memeluk Arka erat. Beberapa kali sosok bayangan tersebut melintas di dekat celah yang sedikit lebih besar. Mira berdebar tak karuan, meski hanya mengintip, tetapi rasa takut itu begitu besar. Beruntung tak berselang lama suara ayam berkokok mengiringi perginya si pengintip tersebut. Arka susah terlelap di pelukan Mira. Keduanya terus berbaring di tanah hanya demi tak memancing perhatian si pengintip. Mira dengan cepat menggendong tubuh mungil Arka agar bisa melanjutkan tidurnya di kasur. “Arka, Hana, Kiano … maafkan ibu yang sempat melakukan hal bodoh,” gumam Mira seraya mengusap lembut rambut anaknya satu persatu, lalu setelah mengecup kening mereka dengan mata yang berlinang. Setidaknya penyesalan itu datang tidak terlambat. Tampaknya tuhan masih menyayangi Mira dan ketiga anaknya. Tidak ingin wanita itu wafat dalam keadaan berdosa dan menghancurkan kehidupan tiga anaknya. Karena tidur terlalu larut, ketiga bocah kecil itu masih terlelap meski langit sudah cukup terang. Mira yang selesai memandangi tiga anaknya pun lantas segera beranjak. “Ya, aku harus membahagiakan mereka. Mulai dari hal kecil seperti makanan enak,” ucap Mira sambil menghapus air mata yang sejak tadi tiada henti mengalir. Mira bergegas berganti pakaian, diambilnya uang dalam amplop pemberian Raka kemarin. Bayang akan sang suami kembali terngiang, jelas terlintas senyum yang tak pernah bisa dilupakan. Siapa sangka, jika itu adalah senyum terakhir Raka. “Mas, semoga aku kuat menjalani hidup tanpamu,” ucap Mira yang lagi-lagi mengusap air mata saat melihat amplop pemberian terakhir sang suami. Dengan berat hati, mau tak mau Mira harus memakai uang pemberian Raka meski itu adalah kenangan-kenangan terakhir dari sang suami. Ya, tentu itu semua demi sang buah hati. Ia ingin menyenangkan ketiga anaknya sebagai obat atas rasa kehilangan yang sesungguhnya tak mereka ketahui. Perlahan Mira berjalan menuju warung tempat ia biasa berhutang. Niatnya ingin sekalian mencicil sebagian hutang. “Mbak, saya mau ayam seperempat sama bumbu ungkepnya sekalian,” pinta Mira sambil tersenyum meski pemilik warung menunjukan wajah masam. “Sama apa lagi?” Apa lagi? Mira tidak berniat untuk membeli yang lain, hingga tiba-tiba ia berpikir untuk sekalian membeli bumbu dapur yang sudah habis sejak lama. “Bawang merah sama bawang putih juga Mbak. Masing-masing seperempat,” pinta Mira lagi. Tatapan pemilik warung masih tetap sinis, tampak jelas jika wanita itu tak senang dengan kedatangan Mira. “Uangnya ada nggak?” tanya Iyun, si pemilik warung dengan nada ketus. Mira lantas menyerahkan sejumlah uang dengan percaya diri karena biasanya ia hanya mampu menunduk menahan malu saat hendak berhutang. Iyun dengan cepat meraih uang dari tangan Mira, lalu menghitungnya sejenak. Ia segera memasukan secomot bawang merah dan bawang putih ke dalam kantong plastik kecil. “Nih,” ujar Iyun seraya menyodorkan kantong plastik dengan ketus. Mira mengerutkan alis saat melihat kantong plastik yang tampak sedikit isinya itu, tidak seperti apa yang ia pesan sebelumnya. “Kok cuma ini, Mbak? Saya pesan ayam sama bumbu ungkep.” “Itu buat lunasin hutangmu. Suamimu kan sudah nggak ada, aku nggak yakin kamu bisa bayar hutang nantinya,” ujar Iyun, ketus. Dada Mira terasa begitu sesak, belum lama Raka pergi tapi ia malah sudah mendapat perlakuan seperti itu. “Tapi saya mau bayar separuhnya dulu mbak. Nanti saya cicil kalau sudah kerja di rumah Mbak Dian.” “Ya sudah, makan ayamnya nanti saja kalau kamu sudah kerja sama Dian. Lagian kamu kan nggak tiap hari nyuciin baju dia. Gimana bisa ngumpulin uang dan bayar separuh hutangmu lagi?” Mira kesal sekaligus sedih, tetapi tidak bisa berbuat banyak karena dirinya memang punya hutang. Dengan wajah murung ia kembali sambil membawa bawang yang setengah kantong plastik saja tidak ada. “Bagaimana ini? Padahal aku sudah berniat ingin membuat ayam goreng untuk mereka,” gumam Mira sambil menatap bawang dalam kantong plastik. Sepanjang perjalan Mira terus memikirkan bagaimana cara agar bisa membuatkan makanan enak demi membahagiakan buah hatinya. Hingga terbesit pikiran untuk membuat nasi goreng spesial. “Nasi goreng spesial? Tapi aku hanya punya bawang.” Mira menghela napas dalam. Saat tengah melintasi sawah salah satu warga, terlintas di benak Mira untuk mengambil beberapa keong demi menambah cita rasa daging pada nasi goreng spesial. “Ide bagus, semoga anak-anak suka,” gumam Mira yang berjalan perlahan di pinggiran sawah demi mencari beberapa keong sawah. Setelah selesai, Mira bergegas pulang agar bisa menyajikan nasi goreng sebelum ketiga anaknya bangun. Di sisi lain, Arka yang bangun lebih dulu itu begitu terkejut saat tak mendapati sang ibu di sampingnya. Segera ia mencari ke setiap sisi rumah, namun tetapi tidak ada. Karena cemas, bocah itu lantas mencari ke warung. “Ternyata ibu cuma ke warung.” Arka menghembuskan napas lega. “Tapi, kenapa ibu terlihat bersedih?” Karena penasaran Arka pun berniat mengendap-ngendap mengikuti ibunya. Hingga ia mendapati Mira sedang mengambil keong lagi dari sawah. “Makan keong lagi?” Arka sebenarnya tidak suka makan keong, selain baginya menjijikan, di desa itu orang-orang lebih sering menjadikan hewan kecil tersebut sebagai pakan bebek. “Tidak, demi ibu Arka harus suka keong.” Arka teringat kembali akan pesan sang ayah yang memintanya untuk menjaga sang ibu. “Jangan membuat Ibu bersedih, jangan mengecewakan ibu, harus jaga ibu karena Arka anak paling besar,” sambung bocah itu, bersemangat. Saat Mira tengah asyik mengambil keong di sawah, di saat itu pula Arka bergegas kembali ke rumah. Berbaring di kasur agar ibunya itu berpikir jika bocah kecil itu masih tidur. Mendadak Arka teringat kembali uang pemberian ayahnya kemarin. Rasanya ingin sekali meminta sang ibu untuk membelikan ayam, tapi mau bagaimana lagi, bocah itu tidak mau sampai memberatkan ibunya hanya karena sebuah makanan yang dalam sekejap saja sudah habis. Aroma bawang goreng begitu menyengat, membuat perut Arka semakin keroncongan. Bocah itu sudah mendambakan makanan buatan sang ibu untuk mengisi perut yang kosong. Namun, di tengah penantian Arka, saat itu juga terdengar suara wajan yang jatuh mengenai batu. “Tolong lepaskan saya!” teriak Mira. “Ibu?” Arka yang terkejut bukan main pun lantas segera beranjak dari tempat tidur, lalu bergegas menuju ke dapur.“Lepas! Jika tidak, aku akan berteriak!” ancam Mira.“Kamu pikir aku takut? Lagipula mereka akan lebih membelaku daripada kamu.”Mata Mira berkaca-kaca, dirinya tak menyangka jika baru satu hari kepergian Raka tapi seorang pria malah datang dengan niat buruk padanya.“Ayolah, ikut aku! Tenang saja, aku akan membayar semuanya. Atau kalau mau, aku bisa menjadikanmu istri kedua, semua kebutuhanmu dan anak-anak akan kutanggung.”Mira menggeleng kepala pelan. Bulir bening itu kian bercucuran membasahi wajahnya.“Lepaskan!” balas Mira yang sama sekali tak menghiraukan tawaran pria hidung belang itu.Ia tak habis pikir, bisa-bisanya suami dari wanita yang begitu baik padanya ternyata memiliki sifat yang seolah berbalikan dengan istrinya.Pria itu bernama Damar, suami dari Dian, orang yang sering sekali membantu Mira. Ibu tiga anak itu merasa tidak tega jika sampai ia berteriak dan membuat Dian tahu kelakuan Damar. Juga satu sisi Mira tak ingin kalau dirinya sampai ternodai oleh pria yang bu
Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.”“Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.”“Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.”Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat.“Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong.“Di klinik Medika.”“Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi.Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yan
Kini ibu dan tiga anak itu berjalan, menuju ke gerbang desa. Tatapan para warga desa membuat Hana dan Arka terus memegang ibunya dengan erat, saking takut melihat sorot mata yang seakan menggapai mereka adalah seorang penjahat. “Bu?” Arka menarik ujung pakaian Mira. “Tidak usah dilihat! Ada ibu di sini. Lihat ibu saja.” Mira menatap anaknya sambil berusaha tersenyum meski luka menyelimuti. Arka mengangguk tanda mengerti. Ia dan adiknya terus menempel pada sang ibu demi mencari rasa aman. “Lihatlah, baru sehari menjanda sudah menggoda suami orang.” “Wajar saja, sepertinya dia sudah tidak tahan ingin merasakan hidup enak.” “Siapa yang tidak tergoda untuk mendapatkan kekayaan instan. Hanya dengan menjadi istri kedua semua akan terasa lebih mudah.” Sindiran dan umpatan tak henti mengiringi langkah Mira dan ketiga anaknya. Orang-orang itu seakan tak memikirkan perasaan dan mental tiga bocah kecil dan hanya mementingkan emosi saja. “Bu, kenapa orang-orang itu marah-marah terus? Kena
“Ibu nggak sayang Hana! Padahal Hana cuma mau pilih kamar,” ungkap Hana sambil menangis diiringi dengan suara derasnya hujan.Hati Mira terasa semakin miris. Bukan ia tidak sayang pada Hana, hanya saja saat itu bukan waktu yang tepat untuk memilih kamar.“Hana, di sini dingin. Kita harus tidur bersama agar lebih hangat. Ibu nggak mau Hana sakit. Ibu sayang Hana.” Mira memeluk Hana dengan begitu erat.Hana yang semula menangis perlahan berhenti, lalu membalas pelukan ibunya dengan penuh cinta. “Maafin, Hana, Bu.” Hana berkata lirih.“Iyaa, sekarang ayo dekorasi dulu kamar kita. Hana boleh mempercantik ruangan yang paling depan itu.” Hana menunjuk ke arah salah satu bekas kandang yang berada di paling depan.“Ibu, Arka juga mau bantu!” pinta Arka setengah berteriak.Mira tersenyum sambil mengangguk, tak menyangka jika sang anak begitu antusias meski tempat itu hanyalah sebuah bekas kandang kambing.Arka dan Hana bermain penuh canda tawa. Meski hanya sekedar memasang selendang untuk men
Belum sempat Mira meraih botol pupuk, di saat bersamaan Arka terbangun karena terkejut dengan pergerakan ibunya.“Ibu mau ke mana?” tanya Arka sambil menggosok mata. Kepalanya masih pusing karena baru sebentar nyenyak malah dibuat terkejut.Mira terdiam sejenak, pikirannya mendadak semakin kacau dan bingung, tak tahu harus berbuat apa.“Ibu mau membetulkan selendang yang miring biar angin tidak terlalu banyak masuk ke kamar kita ini.”Arka terdiam sejenak.“Bu, tadi Arka mimpi jadi dokter,” ucap si sulung tiba-tiba.Mira kembali ke posisi semula, mengurungkan niat untuk mengambil botol pupuk karena tidak mungkin baginya melakukan hal seperti itu di saat anaknya terjaga.“Ah, iya. Bagus sekali.” Mira tersenyum gugup.“Padahal Arka ingin jadi tentara biar bisa menjaga ibu tapi malah mimpi jadi dokter.” Arka menghela napas. “Tapi tidak apa-apa, mau jadi apa saja yang pasti Arka ingin membahagiakan ibu, Arka mau buat rumah yang besar untuk ibu,” sambungnya sambil merentangkan tangan, memp
Seorang lelaki tua yang diperkirakan berumur tujuh puluh tahun itu berdiri sambil terus menatap Mira dan sesekali menoleh ke arah tiga anaknya. Wajah pria itu sedikit menyeramkan, mirip seorang yang pemarah.“Maaf, saya hanya sedang mencari ikan di sini,” sahut Mira yang segera beranjak. Ia menunduk, tak berani menatap wajah lelaki tua itu.“Apa kalian tinggal di kandang kambing bekas di sebelah sana?” Lelaki tua itu menunjuk ke arah tempat Mira dan tiga anaknya bermalam.Mira menelan saliva, mendadak jantungnya berdebar tak karuan. Ia merasa cemas, khawatir jika dirinya dan anak-anak malah di usir.“Be-benar.” Mira mulai panik.“Memang siapa yang mengizinkan kalian tinggal di sana?” Lelaki tua itu bertanya dengan nada ketus.“Ma-maaf, kami tidak punya rumah. Hanya ingin menumpang sementara saja.”Pria tua itu terdiam sejenak. Namun, bukannya menjawab, ia malah berlari ke arah Kiano. Tentu saja hal tersebut membuat Mira terkejut dan buru-buru mengikuti dari belakang.“Tolong jangan sa
“Kenapa wajahmu pucat begitu, Mira?” tanya Raka sambil menenteng sekantong plastik kecil berisi beras yang baru ia beli setelah bekerja seharian.“Asam lambungku kumat, Mas,” jawab Mira, lirih. Wanita itu berbaring di kasur lusuh sambil memegangi perutnya. Di samping ada ketiga anak yang sedang terlelap karena hari sudah malam.Raka yang panik lantas bergegas ke dapur buru-buru menanak nasi di atas tungku yang baru saja dinyalakan. Tak sampai disitu, karena uang hasil kasbon pada bos hanya cukup membeli beras, ia pun berinisiatif untuk memetik bayam liar di dekat kali yang tidak jauh dari gubuknya.Lelah setelah bekerja seharian tak membuat Raka mengeluh. Dalam pikirannya hanya membayangkan bagaimana caranya agar Mira bisa segera mengisi perutnya. Ia yakin jika sang istri telah menahan lapar sejak pagi demi mementingkan perut buah hati mereka.“Mira, maafin Mas yang belum pernah bisa membahagiakan kalian. Kamu malah harus terus menahan lapar demi anak-anak,” gumam Raka sambil menggese
Raka yang saat itu sedang berada di luar kamar mandi, menunggu giliran seketika menegur sang anak yang terlihat berpura-pura.“Tapi air ini dingin ayah. Memang Ayah tega liat Arka kedinginan?”“Ya sudah. Ayah bakal menjaga rahasia Arka. Tapi kedepannya jangan bohong lagi ya! Dengarkan kata ibu. Arka anak ayah paling besar, nanti Arka yang jagain ibu dan adik-adik.”Arka menghela napas. Ia sudah begitu sering mendengar nasihat sang ayah hingga membuatnya sedikit bosanSetelah selesai di kamar mandi. Arka buru-buru kembali ke dalam rumah. Saat itu makanan sudah terhidang rapi di atas meja lusuh bekas tetangga yang tak terpakai.Saat itu sudah ada Hana dan Kiano dengan wajah masih mengantuk. Sudah menjadi tradisi keluarga kecil itu untuk sarapan bersama. Prinsip mereka, walau lauk tidak seberapa, setidaknya kebersamaan akan membuat makanan terasa jauh lebih nikmat.“Yee, makan daging,” teriak Hana sambil melompat bersemangat.Melihat anaknya begitu bahagia, Mira malah bersedih. Ia merasa