Beranda / Pernikahan / Daging Keong Untuk Tiga Anakku / Bab 4. Langit Seakan Runtuh

Share

Bab 4. Langit Seakan Runtuh

“Benar, ada yang bisa saya bantu?” tanya Mira dengan perasaan tak karuan, bahkan meski polisi tersebut belum mengatakan apa pun dadanya malah sudah terasa begitu sesak.

Polisi itu terdiam sejenak sesaat setelah melihat keberadaan tiga bocah kecil yang mengintip dari belakang tubuh ibunya.

“Sebelumnya saya minta maaf karena akan menyampaikan kabar kurang baik,” ucap polisi tersebut yang matanya tak henti menatap ketiga anak Mira.

Dari usia sang polisi jelas terlihat jika ia pun memiliki anak seumuran ketiga bocah dihadapannya. Pria itu sedikit merasa tidak tega untuk menyampaikan berita yang tentunya akan membuat keluarga kecil itu sangat terpukul.

“Ja-jadi, ada apa ya, Pak?” Jantung Mira semakin berdebar tak karuan. Rasanya bahkan begitu sulit untuk bernapas saking dadanya terasa sesak.

Polisi itu menghela napas panjang. Ia tampak berat untuk mengatakan kabar buruk tersebut.

“Bapak Raka Riswandi telah mengalami kecelakaan. Mobil yang beliau tumpangi masuk ke jurang yang cukup dalam sehingga kami kesulitan untuk mengevakuasi-nya. Untuk sementara seluruh penumpang dinyatakan ….” Polisi tersebut menghela napas dalam. “Meninggal,” sambungnya dengan suara pelan, hingga tak terdengar oleh ketiga bocah di belakang Mira.

Kalimat panjang yang polisi itu ucapkan begitu menyakitkan bagi Mira. Hidupnya terasa hancur, hatinya begitu sakit bagai disayat ribuan belati. Dunianya seakan runtuh ketika sang belahan jiwa sudah tiada di dunia lagi.

Pandangan yang semula terhalang bulir bening mendadak menjadi gelap. Tubuh kurus Mira tergeletak di samping ketiga anaknya yang tidak mengerti apa-apa itu.

“Ibu … ibu ….” Arka dan Hana menangis histeris, digoyangkan tubuh sang ibu yang sedang lemah tak sadarkan diri.

“Pak polisi, tolong bantu ibu! Raka janji nggak nakal lagi,” mohon Raka sambil mengusap mata yang begitu basah oleh air.

Polisi yang sejak awal sudah berjongkok di samping Mira pun lantas segera menggendong wanita itu menuju ranjang tanpa kasur.

Di saat bersamaan, beberapa tetangga yang merasa kasihan pada Mira pun lantas segera membantu. Ada yang mengoles minyak angin dekat hidung Mira, ada pula yang berusaha menenangkan ketiga bocah kecil yang tidak tahu apa-apa itu.

“Sudah, ibumu nggak kenapa-kenapa, cuma pingsan saja,” ujar salah satu tetangga. “Bukannya ibumu sudah sering pingsan?”

Arka menghentikan tangisnya, apa yang dikatakan sang tetangga benar adanya. Mira memang kerap kali pingsan akibat menahan lapar. Namun, bocah itu merasa jika kali ini ibunya pingsan karena sesuatu yang berbeda dari biasanya.

Di saat Hana dan Arka sudah berhenti menangis, si kecil Kiano yang ingin ibunya segera membuka mata itu malah terus menangis, bahkan semakin kencang. Beberapa tetangga satu persatu pulang, tersisa satu orang wanita yang biasa memakai jasa Mira untuk mencuci di rumahnya.

“Bu Dian, kapan Ibu Arka bangun?” tanya Arka sambil memijat-mijat kaki Mira.

“Mungkin sebentar lagi. Arka yang sabar ya,” ucap Dian, warga desa yang paling peduli pada keluarga kecil tersebut.

“Tapi ini sudah lama sekali, Bu Dian. Apa Ibu nggak akan buka mata?”

Dian mengibaskan tangannya, lalu berkata, “hush, nggak boleh ngomong sembarangan! Sebentar lagi juga ibu Arka bangun.”

Arka tertunduk lesu dan di saat bersamaan Mira membuka mata, akan tetapi tatapannya kosong, menatap langit-langit rumah seakan menembusnya.

“Ibu!” Ketiga anak Mira segera memeluk ibunya yang masih terbaring itu.

“Karena Ibu kalian sudah bangun, Bu Dian pulang dulu, ya.” Dian bergegas pergi karena hari sudah larut malam.

Ketiga bocah itu terus memeluk ibunya. Namun mereka merasa aneh saat sang ibu tidak membalas pelukan itu, tak seperti biasanya.

“Bu, kenapa diam saja?” tanya Arka sambil sedikit menggoyangkan tubuh Mira.

Mira bergeming. Jangankan untuk beranjak, sedikit bergeser saja tidak. Entah sudah berapa menit Mira terus berada di posisi seperti itu, tiada yang bergerak selain kelopak yang butuh berkedip.

“Mas Raka,” ucap Mira untuk pertama kalinya.

“Bu … Ayah pasti pulang, Ibu jangan sedih lagi!” Arka berusaha menghibur Mira karena berpikir jika mungkin ibunya itu sedang merindukan ayahnya.

Niat Arka yang ingin menghibur sang ibu malah berakhir menambah luka. Keluguan si sulung membuat Mira tak kuasa membendung air mata yang sempat tertahan.

“Mas Raka,” gumam Mira yang kini matanya dibanjiri bulir-bulir air.

“Bu, Ibu ….” Arka berusaha menggoyangkan tubuh Mira meski percuma. Berulang kali mencoba, hingga akhirnya bocah itu merasa lelah.

Hari semakin malam, ketiga bocah itu pada akhirnya terlelap sambil memeluk sang ibu. Kiano dan Hana memeluk sambil tidur di samping, sedangkan Arka memeluk perut sang ibu. Ketiganya tidur saling berdempetan.

Mira terbangun dari lamunan, tatapan yang semula kosong tiba-tiba melirik sebuah tali bekas ayunan Kiano yang menggantung di tiang atap.

“Mas Raka,” ucap Mira, lirih, “aku ingin ikut, Mas.”

Iman Mira kala itu sedang goyah, melihat seutas tali malah membuatnya berpikir untuk mengakhiri semua penderitaan dan menyusul pria yang begitu dicintai.

Mira berusaha melepas pelukan ketiga anaknya secara perlahan agar mereka tidak terbangun. Ia beranjak, lalu berjalan dengan pelan. Suara langkahnya hampir tidak terdengar.

Diraihnya sebuah kursi reot, lalu ditaruh di bawah seutas tali yang menggantung. Mira kala itu sama sekali tak bisa berpikir jernih, isi kepalanya hanya ada bayang-bayang akan kem4tian sang suami.

Kursi reot ternyata masih mampu menopang tubuh kurus Mira. Ia kini berdiri di atasnya, lalu membuat simpul dari ujung tali.

“Mbu, Eno tayang, Mbu,” ucap si kecil Kiano yang kala itu sedang mengigau.

Suara si bungsu mengalihkan pandangan Mira. Kakinya bergetar hebat, tiba-tiba ada perasaan takut dan marah pada diri sendiri.

“Kenapa aku sangat egois?” ucap Mira, lirih.

Pandangan Mira terfokus pada tiga anak kecil dengan pakaian lusuh yang tergeletak di atas ranjang kayu tanpa kasur. Ketiganya meringkuk kedinginan karena sosok pemberi kehangatan tengah berdiri di bawah seutas tali, hendak mengakhiri h!dup.

“Arka, Hana, Kiano ….”

Tangis Mira pecah ketika membayangkan bagaimana nasib ketiga anaknya jika ia sampai mengakhiri h!dup? Siapa yang akan menyayangi mereka? Siapa yang akan menjaga mereka? Bagaimana cara mereka melanjutkan hidup?

Dada Mira sesak, pikirannya semakin kacau, hingga tanpa disadari kursi reot tak sanggup lagi menopang.

Suara tubuh Mira yang ambruk ke tanah seketika membangunkan Arka.

“Ibu ….” teriak bocah kecil yang tidak tahu jika ibunya sedang berniat mengakhiri h!dup.

Arka berlari meski kepala masih pusing karena baru saja bangun tidur. Tanpa banyak berpikir bocah kecil itu segera memeluk tubuh sang ibu yang terkulai lemah di lantai tanah.

“Ibu, kenapa jatuh? Apa ada yang sakit? Mau Arka pijit?” Arka memijat-mijat tangan Mira.

Tangis Mira semakin kencang. Ia bahkan sampai memukul-mukul dadanya akibat sesak yang tak terhingga.

“Ibu, jangan pukul-pukul badan ibu. Nanti sakit!” Arka menarik lengan Mira.

Dalam tangisnya, Mira segera memeluk Arka.

“Maafkan, Ibu. Ibu janji bahagiakan kalian.”

Arka tak mengerti apa-apa, dan malah tersenyum mendengar janji sang ibu.

Keduanya cukup lama berpelukan, hingga sekelebat bayangan tampak jelas melintas dari celah anyaman bambu yang membuat Mira dan Arka seketika terperanjat.

“Bu, Arka takut,” bisik Arka sambil memeluk Mira begitu erat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status