“Benar, ada yang bisa saya bantu?” tanya Mira dengan perasaan tak karuan, bahkan meski polisi tersebut belum mengatakan apa pun dadanya malah sudah terasa begitu sesak.
Polisi itu terdiam sejenak sesaat setelah melihat keberadaan tiga bocah kecil yang mengintip dari belakang tubuh ibunya. “Sebelumnya saya minta maaf karena akan menyampaikan kabar kurang baik,” ucap polisi tersebut yang matanya tak henti menatap ketiga anak Mira. Dari usia sang polisi jelas terlihat jika ia pun memiliki anak seumuran ketiga bocah dihadapannya. Pria itu sedikit merasa tidak tega untuk menyampaikan berita yang tentunya akan membuat keluarga kecil itu sangat terpukul. “Ja-jadi, ada apa ya, Pak?” Jantung Mira semakin berdebar tak karuan. Rasanya bahkan begitu sulit untuk bernapas saking dadanya terasa sesak. Polisi itu menghela napas panjang. Ia tampak berat untuk mengatakan kabar buruk tersebut. “Bapak Raka Riswandi telah mengalami kecelakaan. Mobil yang beliau tumpangi masuk ke jurang yang cukup dalam sehingga kami kesulitan untuk mengevakuasi-nya. Untuk sementara seluruh penumpang dinyatakan ….” Polisi tersebut menghela napas dalam. “Meninggal,” sambungnya dengan suara pelan, hingga tak terdengar oleh ketiga bocah di belakang Mira. Kalimat panjang yang polisi itu ucapkan begitu menyakitkan bagi Mira. Hidupnya terasa hancur, hatinya begitu sakit bagai disayat ribuan belati. Dunianya seakan runtuh ketika sang belahan jiwa sudah tiada di dunia lagi. Pandangan yang semula terhalang bulir bening mendadak menjadi gelap. Tubuh kurus Mira tergeletak di samping ketiga anaknya yang tidak mengerti apa-apa itu. “Ibu … ibu ….” Arka dan Hana menangis histeris, digoyangkan tubuh sang ibu yang sedang lemah tak sadarkan diri. “Pak polisi, tolong bantu ibu! Raka janji nggak nakal lagi,” mohon Raka sambil mengusap mata yang begitu basah oleh air. Polisi yang sejak awal sudah berjongkok di samping Mira pun lantas segera menggendong wanita itu menuju ranjang tanpa kasur. Di saat bersamaan, beberapa tetangga yang merasa kasihan pada Mira pun lantas segera membantu. Ada yang mengoles minyak angin dekat hidung Mira, ada pula yang berusaha menenangkan ketiga bocah kecil yang tidak tahu apa-apa itu. “Sudah, ibumu nggak kenapa-kenapa, cuma pingsan saja,” ujar salah satu tetangga. “Bukannya ibumu sudah sering pingsan?” Arka menghentikan tangisnya, apa yang dikatakan sang tetangga benar adanya. Mira memang kerap kali pingsan akibat menahan lapar. Namun, bocah itu merasa jika kali ini ibunya pingsan karena sesuatu yang berbeda dari biasanya. Di saat Hana dan Arka sudah berhenti menangis, si kecil Kiano yang ingin ibunya segera membuka mata itu malah terus menangis, bahkan semakin kencang. Beberapa tetangga satu persatu pulang, tersisa satu orang wanita yang biasa memakai jasa Mira untuk mencuci di rumahnya. “Bu Dian, kapan Ibu Arka bangun?” tanya Arka sambil memijat-mijat kaki Mira. “Mungkin sebentar lagi. Arka yang sabar ya,” ucap Dian, warga desa yang paling peduli pada keluarga kecil tersebut. “Tapi ini sudah lama sekali, Bu Dian. Apa Ibu nggak akan buka mata?” Dian mengibaskan tangannya, lalu berkata, “hush, nggak boleh ngomong sembarangan! Sebentar lagi juga ibu Arka bangun.” Arka tertunduk lesu dan di saat bersamaan Mira membuka mata, akan tetapi tatapannya kosong, menatap langit-langit rumah seakan menembusnya. “Ibu!” Ketiga anak Mira segera memeluk ibunya yang masih terbaring itu. “Karena Ibu kalian sudah bangun, Bu Dian pulang dulu, ya.” Dian bergegas pergi karena hari sudah larut malam. Ketiga bocah itu terus memeluk ibunya. Namun mereka merasa aneh saat sang ibu tidak membalas pelukan itu, tak seperti biasanya. “Bu, kenapa diam saja?” tanya Arka sambil sedikit menggoyangkan tubuh Mira. Mira bergeming. Jangankan untuk beranjak, sedikit bergeser saja tidak. Entah sudah berapa menit Mira terus berada di posisi seperti itu, tiada yang bergerak selain kelopak yang butuh berkedip. “Mas Raka,” ucap Mira untuk pertama kalinya. “Bu … Ayah pasti pulang, Ibu jangan sedih lagi!” Arka berusaha menghibur Mira karena berpikir jika mungkin ibunya itu sedang merindukan ayahnya. Niat Arka yang ingin menghibur sang ibu malah berakhir menambah luka. Keluguan si sulung membuat Mira tak kuasa membendung air mata yang sempat tertahan. “Mas Raka,” gumam Mira yang kini matanya dibanjiri bulir-bulir air. “Bu, Ibu ….” Arka berusaha menggoyangkan tubuh Mira meski percuma. Berulang kali mencoba, hingga akhirnya bocah itu merasa lelah. Hari semakin malam, ketiga bocah itu pada akhirnya terlelap sambil memeluk sang ibu. Kiano dan Hana memeluk sambil tidur di samping, sedangkan Arka memeluk perut sang ibu. Ketiganya tidur saling berdempetan. Mira terbangun dari lamunan, tatapan yang semula kosong tiba-tiba melirik sebuah tali bekas ayunan Kiano yang menggantung di tiang atap. “Mas Raka,” ucap Mira, lirih, “aku ingin ikut, Mas.” Iman Mira kala itu sedang goyah, melihat seutas tali malah membuatnya berpikir untuk mengakhiri semua penderitaan dan menyusul pria yang begitu dicintai. Mira berusaha melepas pelukan ketiga anaknya secara perlahan agar mereka tidak terbangun. Ia beranjak, lalu berjalan dengan pelan. Suara langkahnya hampir tidak terdengar. Diraihnya sebuah kursi reot, lalu ditaruh di bawah seutas tali yang menggantung. Mira kala itu sama sekali tak bisa berpikir jernih, isi kepalanya hanya ada bayang-bayang akan kem4tian sang suami. Kursi reot ternyata masih mampu menopang tubuh kurus Mira. Ia kini berdiri di atasnya, lalu membuat simpul dari ujung tali. “Mbu, Eno tayang, Mbu,” ucap si kecil Kiano yang kala itu sedang mengigau. Suara si bungsu mengalihkan pandangan Mira. Kakinya bergetar hebat, tiba-tiba ada perasaan takut dan marah pada diri sendiri. “Kenapa aku sangat egois?” ucap Mira, lirih. Pandangan Mira terfokus pada tiga anak kecil dengan pakaian lusuh yang tergeletak di atas ranjang kayu tanpa kasur. Ketiganya meringkuk kedinginan karena sosok pemberi kehangatan tengah berdiri di bawah seutas tali, hendak mengakhiri h!dup. “Arka, Hana, Kiano ….” Tangis Mira pecah ketika membayangkan bagaimana nasib ketiga anaknya jika ia sampai mengakhiri h!dup? Siapa yang akan menyayangi mereka? Siapa yang akan menjaga mereka? Bagaimana cara mereka melanjutkan hidup? Dada Mira sesak, pikirannya semakin kacau, hingga tanpa disadari kursi reot tak sanggup lagi menopang. Suara tubuh Mira yang ambruk ke tanah seketika membangunkan Arka. “Ibu ….” teriak bocah kecil yang tidak tahu jika ibunya sedang berniat mengakhiri h!dup. Arka berlari meski kepala masih pusing karena baru saja bangun tidur. Tanpa banyak berpikir bocah kecil itu segera memeluk tubuh sang ibu yang terkulai lemah di lantai tanah. “Ibu, kenapa jatuh? Apa ada yang sakit? Mau Arka pijit?” Arka memijat-mijat tangan Mira. Tangis Mira semakin kencang. Ia bahkan sampai memukul-mukul dadanya akibat sesak yang tak terhingga. “Ibu, jangan pukul-pukul badan ibu. Nanti sakit!” Arka menarik lengan Mira. Dalam tangisnya, Mira segera memeluk Arka. “Maafkan, Ibu. Ibu janji bahagiakan kalian.” Arka tak mengerti apa-apa, dan malah tersenyum mendengar janji sang ibu. Keduanya cukup lama berpelukan, hingga sekelebat bayangan tampak jelas melintas dari celah anyaman bambu yang membuat Mira dan Arka seketika terperanjat. “Bu, Arka takut,” bisik Arka sambil memeluk Mira begitu erat.Mira memeluk Arka erat. Ia menaruh telunjuknya di tengah bibir sang anak, lalu berbisik, “Arka jangan bersuara. Nanti juga pergi.”Meski berusaha menenangkan Arka, tetapi tidak dipungkiri jika perasaannya sedang cemas kala itu. Si pengintip yang sempat menghilang kini kembali lagi.‘Kenapa dia datang lagi? Siapa dia? Apa maunya? Apa jebakan yang Mas Raka buat tidak membuatnya jera?’ Mira seketika terdiam, perlahan mulai sadar jika si pengintip tersebut datang karena tahu kalau suaminya telah tiada. Lagi-lagi air mata berlinang, baru sebentar Raka pergi tapi satu masalah sudah mulai muncul.‘Mas Raka, semoga aku bisa menghadapi semua ini,’ batin Mira sambil memeluk Arka erat.Beberapa kali sosok bayangan tersebut melintas di dekat celah yang sedikit lebih besar. Mira berdebar tak karuan, meski hanya mengintip, tetapi rasa takut itu begitu besar.Beruntung tak berselang lama suara ayam berkokok mengiringi perginya si pengintip tersebut.Arka susah terlelap di pelukan Mira. Keduanya ter
“Lepas! Jika tidak, aku akan berteriak!” ancam Mira.“Kamu pikir aku takut? Lagipula mereka akan lebih membelaku daripada kamu.”Mata Mira berkaca-kaca, dirinya tak menyangka jika baru satu hari kepergian Raka tapi seorang pria malah datang dengan niat buruk padanya.“Ayolah, ikut aku! Tenang saja, aku akan membayar semuanya. Atau kalau mau, aku bisa menjadikanmu istri kedua, semua kebutuhanmu dan anak-anak akan kutanggung.”Mira menggeleng kepala pelan. Bulir bening itu kian bercucuran membasahi wajahnya.“Lepaskan!” balas Mira yang sama sekali tak menghiraukan tawaran pria hidung belang itu.Ia tak habis pikir, bisa-bisanya suami dari wanita yang begitu baik padanya ternyata memiliki sifat yang seolah berbalikan dengan istrinya.Pria itu bernama Damar, suami dari Dian, orang yang sering sekali membantu Mira. Ibu tiga anak itu merasa tidak tega jika sampai ia berteriak dan membuat Dian tahu kelakuan Damar. Juga satu sisi Mira tak ingin kalau dirinya sampai ternodai oleh pria yang bu
Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.”“Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.”“Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.”Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat.“Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong.“Di klinik Medika.”“Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi.Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yan
Kini ibu dan tiga anak itu berjalan, menuju ke gerbang desa. Tatapan para warga desa membuat Hana dan Arka terus memegang ibunya dengan erat, saking takut melihat sorot mata yang seakan menggapai mereka adalah seorang penjahat. “Bu?” Arka menarik ujung pakaian Mira. “Tidak usah dilihat! Ada ibu di sini. Lihat ibu saja.” Mira menatap anaknya sambil berusaha tersenyum meski luka menyelimuti. Arka mengangguk tanda mengerti. Ia dan adiknya terus menempel pada sang ibu demi mencari rasa aman. “Lihatlah, baru sehari menjanda sudah menggoda suami orang.” “Wajar saja, sepertinya dia sudah tidak tahan ingin merasakan hidup enak.” “Siapa yang tidak tergoda untuk mendapatkan kekayaan instan. Hanya dengan menjadi istri kedua semua akan terasa lebih mudah.” Sindiran dan umpatan tak henti mengiringi langkah Mira dan ketiga anaknya. Orang-orang itu seakan tak memikirkan perasaan dan mental tiga bocah kecil dan hanya mementingkan emosi saja. “Bu, kenapa orang-orang itu marah-marah terus? Kena
“Ibu nggak sayang Hana! Padahal Hana cuma mau pilih kamar,” ungkap Hana sambil menangis diiringi dengan suara derasnya hujan.Hati Mira terasa semakin miris. Bukan ia tidak sayang pada Hana, hanya saja saat itu bukan waktu yang tepat untuk memilih kamar.“Hana, di sini dingin. Kita harus tidur bersama agar lebih hangat. Ibu nggak mau Hana sakit. Ibu sayang Hana.” Mira memeluk Hana dengan begitu erat.Hana yang semula menangis perlahan berhenti, lalu membalas pelukan ibunya dengan penuh cinta. “Maafin, Hana, Bu.” Hana berkata lirih.“Iyaa, sekarang ayo dekorasi dulu kamar kita. Hana boleh mempercantik ruangan yang paling depan itu.” Hana menunjuk ke arah salah satu bekas kandang yang berada di paling depan.“Ibu, Arka juga mau bantu!” pinta Arka setengah berteriak.Mira tersenyum sambil mengangguk, tak menyangka jika sang anak begitu antusias meski tempat itu hanyalah sebuah bekas kandang kambing.Arka dan Hana bermain penuh canda tawa. Meski hanya sekedar memasang selendang untuk men
Belum sempat Mira meraih botol pupuk, di saat bersamaan Arka terbangun karena terkejut dengan pergerakan ibunya.“Ibu mau ke mana?” tanya Arka sambil menggosok mata. Kepalanya masih pusing karena baru sebentar nyenyak malah dibuat terkejut.Mira terdiam sejenak, pikirannya mendadak semakin kacau dan bingung, tak tahu harus berbuat apa.“Ibu mau membetulkan selendang yang miring biar angin tidak terlalu banyak masuk ke kamar kita ini.”Arka terdiam sejenak.“Bu, tadi Arka mimpi jadi dokter,” ucap si sulung tiba-tiba.Mira kembali ke posisi semula, mengurungkan niat untuk mengambil botol pupuk karena tidak mungkin baginya melakukan hal seperti itu di saat anaknya terjaga.“Ah, iya. Bagus sekali.” Mira tersenyum gugup.“Padahal Arka ingin jadi tentara biar bisa menjaga ibu tapi malah mimpi jadi dokter.” Arka menghela napas. “Tapi tidak apa-apa, mau jadi apa saja yang pasti Arka ingin membahagiakan ibu, Arka mau buat rumah yang besar untuk ibu,” sambungnya sambil merentangkan tangan, memp
Seorang lelaki tua yang diperkirakan berumur tujuh puluh tahun itu berdiri sambil terus menatap Mira dan sesekali menoleh ke arah tiga anaknya. Wajah pria itu sedikit menyeramkan, mirip seorang yang pemarah.“Maaf, saya hanya sedang mencari ikan di sini,” sahut Mira yang segera beranjak. Ia menunduk, tak berani menatap wajah lelaki tua itu.“Apa kalian tinggal di kandang kambing bekas di sebelah sana?” Lelaki tua itu menunjuk ke arah tempat Mira dan tiga anaknya bermalam.Mira menelan saliva, mendadak jantungnya berdebar tak karuan. Ia merasa cemas, khawatir jika dirinya dan anak-anak malah di usir.“Be-benar.” Mira mulai panik.“Memang siapa yang mengizinkan kalian tinggal di sana?” Lelaki tua itu bertanya dengan nada ketus.“Ma-maaf, kami tidak punya rumah. Hanya ingin menumpang sementara saja.”Pria tua itu terdiam sejenak. Namun, bukannya menjawab, ia malah berlari ke arah Kiano. Tentu saja hal tersebut membuat Mira terkejut dan buru-buru mengikuti dari belakang.“Tolong jangan sa
“Kenapa wajahmu pucat begitu, Mira?” tanya Raka sambil menenteng sekantong plastik kecil berisi beras yang baru ia beli setelah bekerja seharian.“Asam lambungku kumat, Mas,” jawab Mira, lirih. Wanita itu berbaring di kasur lusuh sambil memegangi perutnya. Di samping ada ketiga anak yang sedang terlelap karena hari sudah malam.Raka yang panik lantas bergegas ke dapur buru-buru menanak nasi di atas tungku yang baru saja dinyalakan. Tak sampai disitu, karena uang hasil kasbon pada bos hanya cukup membeli beras, ia pun berinisiatif untuk memetik bayam liar di dekat kali yang tidak jauh dari gubuknya.Lelah setelah bekerja seharian tak membuat Raka mengeluh. Dalam pikirannya hanya membayangkan bagaimana caranya agar Mira bisa segera mengisi perutnya. Ia yakin jika sang istri telah menahan lapar sejak pagi demi mementingkan perut buah hati mereka.“Mira, maafin Mas yang belum pernah bisa membahagiakan kalian. Kamu malah harus terus menahan lapar demi anak-anak,” gumam Raka sambil menggese