“Benar, ada yang bisa saya bantu?” tanya Mira dengan perasaan tak karuan, bahkan meski polisi tersebut belum mengatakan apa pun dadanya malah sudah terasa begitu sesak.
Polisi itu terdiam sejenak sesaat setelah melihat keberadaan tiga bocah kecil yang mengintip dari belakang tubuh ibunya. “Sebelumnya saya minta maaf karena akan menyampaikan kabar kurang baik,” ucap polisi tersebut yang matanya tak henti menatap ketiga anak Mira. Dari usia sang polisi jelas terlihat jika ia pun memiliki anak seumuran ketiga bocah dihadapannya. Pria itu sedikit merasa tidak tega untuk menyampaikan berita yang tentunya akan membuat keluarga kecil itu sangat terpukul. “Ja-jadi, ada apa ya, Pak?” Jantung Mira semakin berdebar tak karuan. Rasanya bahkan begitu sulit untuk bernapas saking dadanya terasa sesak. Polisi itu menghela napas panjang. Ia tampak berat untuk mengatakan kabar buruk tersebut. “Bapak Raka Riswandi telah mengalami kecelakaan. Mobil yang beliau tumpangi masuk ke jurang yang cukup dalam sehingga kami kesulitan untuk mengevakuasi-nya. Untuk sementara seluruh penumpang dinyatakan ….” Polisi tersebut menghela napas dalam. “Meninggal,” sambungnya dengan suara pelan, hingga tak terdengar oleh ketiga bocah di belakang Mira. Kalimat panjang yang polisi itu ucapkan begitu menyakitkan bagi Mira. Hidupnya terasa hancur, hatinya begitu sakit bagai disayat ribuan belati. Dunianya seakan runtuh ketika sang belahan jiwa sudah tiada di dunia lagi. Pandangan yang semula terhalang bulir bening mendadak menjadi gelap. Tubuh kurus Mira tergeletak di samping ketiga anaknya yang tidak mengerti apa-apa itu. “Ibu … ibu ….” Arka dan Hana menangis histeris, digoyangkan tubuh sang ibu yang sedang lemah tak sadarkan diri. “Pak polisi, tolong bantu ibu! Raka janji nggak nakal lagi,” mohon Raka sambil mengusap mata yang begitu basah oleh air. Polisi yang sejak awal sudah berjongkok di samping Mira pun lantas segera menggendong wanita itu menuju ranjang tanpa kasur. Di saat bersamaan, beberapa tetangga yang merasa kasihan pada Mira pun lantas segera membantu. Ada yang mengoles minyak angin dekat hidung Mira, ada pula yang berusaha menenangkan ketiga bocah kecil yang tidak tahu apa-apa itu. “Sudah, ibumu nggak kenapa-kenapa, cuma pingsan saja,” ujar salah satu tetangga. “Bukannya ibumu sudah sering pingsan?” Arka menghentikan tangisnya, apa yang dikatakan sang tetangga benar adanya. Mira memang kerap kali pingsan akibat menahan lapar. Namun, bocah itu merasa jika kali ini ibunya pingsan karena sesuatu yang berbeda dari biasanya. Di saat Hana dan Arka sudah berhenti menangis, si kecil Kiano yang ingin ibunya segera membuka mata itu malah terus menangis, bahkan semakin kencang. Beberapa tetangga satu persatu pulang, tersisa satu orang wanita yang biasa memakai jasa Mira untuk mencuci di rumahnya. “Bu Dian, kapan Ibu Arka bangun?” tanya Arka sambil memijat-mijat kaki Mira. “Mungkin sebentar lagi. Arka yang sabar ya,” ucap Dian, warga desa yang paling peduli pada keluarga kecil tersebut. “Tapi ini sudah lama sekali, Bu Dian. Apa Ibu nggak akan buka mata?” Dian mengibaskan tangannya, lalu berkata, “hush, nggak boleh ngomong sembarangan! Sebentar lagi juga ibu Arka bangun.” Arka tertunduk lesu dan di saat bersamaan Mira membuka mata, akan tetapi tatapannya kosong, menatap langit-langit rumah seakan menembusnya. “Ibu!” Ketiga anak Mira segera memeluk ibunya yang masih terbaring itu. “Karena Ibu kalian sudah bangun, Bu Dian pulang dulu, ya.” Dian bergegas pergi karena hari sudah larut malam. Ketiga bocah itu terus memeluk ibunya. Namun mereka merasa aneh saat sang ibu tidak membalas pelukan itu, tak seperti biasanya. “Bu, kenapa diam saja?” tanya Arka sambil sedikit menggoyangkan tubuh Mira. Mira bergeming. Jangankan untuk beranjak, sedikit bergeser saja tidak. Entah sudah berapa menit Mira terus berada di posisi seperti itu, tiada yang bergerak selain kelopak yang butuh berkedip. “Mas Raka,” ucap Mira untuk pertama kalinya. “Bu … Ayah pasti pulang, Ibu jangan sedih lagi!” Arka berusaha menghibur Mira karena berpikir jika mungkin ibunya itu sedang merindukan ayahnya. Niat Arka yang ingin menghibur sang ibu malah berakhir menambah luka. Keluguan si sulung membuat Mira tak kuasa membendung air mata yang sempat tertahan. “Mas Raka,” gumam Mira yang kini matanya dibanjiri bulir-bulir air. “Bu, Ibu ….” Arka berusaha menggoyangkan tubuh Mira meski percuma. Berulang kali mencoba, hingga akhirnya bocah itu merasa lelah. Hari semakin malam, ketiga bocah itu pada akhirnya terlelap sambil memeluk sang ibu. Kiano dan Hana memeluk sambil tidur di samping, sedangkan Arka memeluk perut sang ibu. Ketiganya tidur saling berdempetan. Mira terbangun dari lamunan, tatapan yang semula kosong tiba-tiba melirik sebuah tali bekas ayunan Kiano yang menggantung di tiang atap. “Mas Raka,” ucap Mira, lirih, “aku ingin ikut, Mas.” Iman Mira kala itu sedang goyah, melihat seutas tali malah membuatnya berpikir untuk mengakhiri semua penderitaan dan menyusul pria yang begitu dicintai. Mira berusaha melepas pelukan ketiga anaknya secara perlahan agar mereka tidak terbangun. Ia beranjak, lalu berjalan dengan pelan. Suara langkahnya hampir tidak terdengar. Diraihnya sebuah kursi reot, lalu ditaruh di bawah seutas tali yang menggantung. Mira kala itu sama sekali tak bisa berpikir jernih, isi kepalanya hanya ada bayang-bayang akan kem4tian sang suami. Kursi reot ternyata masih mampu menopang tubuh kurus Mira. Ia kini berdiri di atasnya, lalu membuat simpul dari ujung tali. “Mbu, Eno tayang, Mbu,” ucap si kecil Kiano yang kala itu sedang mengigau. Suara si bungsu mengalihkan pandangan Mira. Kakinya bergetar hebat, tiba-tiba ada perasaan takut dan marah pada diri sendiri. “Kenapa aku sangat egois?” ucap Mira, lirih. Pandangan Mira terfokus pada tiga anak kecil dengan pakaian lusuh yang tergeletak di atas ranjang kayu tanpa kasur. Ketiganya meringkuk kedinginan karena sosok pemberi kehangatan tengah berdiri di bawah seutas tali, hendak mengakhiri h!dup. “Arka, Hana, Kiano ….” Tangis Mira pecah ketika membayangkan bagaimana nasib ketiga anaknya jika ia sampai mengakhiri h!dup? Siapa yang akan menyayangi mereka? Siapa yang akan menjaga mereka? Bagaimana cara mereka melanjutkan hidup? Dada Mira sesak, pikirannya semakin kacau, hingga tanpa disadari kursi reot tak sanggup lagi menopang. Suara tubuh Mira yang ambruk ke tanah seketika membangunkan Arka. “Ibu ….” teriak bocah kecil yang tidak tahu jika ibunya sedang berniat mengakhiri h!dup. Arka berlari meski kepala masih pusing karena baru saja bangun tidur. Tanpa banyak berpikir bocah kecil itu segera memeluk tubuh sang ibu yang terkulai lemah di lantai tanah. “Ibu, kenapa jatuh? Apa ada yang sakit? Mau Arka pijit?” Arka memijat-mijat tangan Mira. Tangis Mira semakin kencang. Ia bahkan sampai memukul-mukul dadanya akibat sesak yang tak terhingga. “Ibu, jangan pukul-pukul badan ibu. Nanti sakit!” Arka menarik lengan Mira. Dalam tangisnya, Mira segera memeluk Arka. “Maafkan, Ibu. Ibu janji bahagiakan kalian.” Arka tak mengerti apa-apa, dan malah tersenyum mendengar janji sang ibu. Keduanya cukup lama berpelukan, hingga sekelebat bayangan tampak jelas melintas dari celah anyaman bambu yang membuat Mira dan Arka seketika terperanjat. “Bu, Arka takut,” bisik Arka sambil memeluk Mira begitu erat.Mira memeluk Arka erat. Ia menaruh telunjuknya di tengah bibir sang anak, lalu berbisik, “Arka jangan bersuara. Nanti juga pergi.”Meski berusaha menenangkan Arka, tetapi tidak dipungkiri jika perasaannya sedang cemas kala itu. Si pengintip yang sempat menghilang kini kembali lagi.‘Kenapa dia datang lagi? Siapa dia? Apa maunya? Apa jebakan yang Mas Raka buat tidak membuatnya jera?’ Mira seketika terdiam, perlahan mulai sadar jika si pengintip tersebut datang karena tahu kalau suaminya telah tiada. Lagi-lagi air mata berlinang, baru sebentar Raka pergi tapi satu masalah sudah mulai muncul.‘Mas Raka, semoga aku bisa menghadapi semua ini,’ batin Mira sambil memeluk Arka erat.Beberapa kali sosok bayangan tersebut melintas di dekat celah yang sedikit lebih besar. Mira berdebar tak karuan, meski hanya mengintip, tetapi rasa takut itu begitu besar.Beruntung tak berselang lama suara ayam berkokok mengiringi perginya si pengintip tersebut.Arka susah terlelap di pelukan Mira. Keduanya ter
“Lepas! Jika tidak, aku akan berteriak!” ancam Mira.“Kamu pikir aku takut? Lagipula mereka akan lebih membelaku daripada kamu.”Mata Mira berkaca-kaca, dirinya tak menyangka jika baru satu hari kepergian Raka tapi seorang pria malah datang dengan niat buruk padanya.“Ayolah, ikut aku! Tenang saja, aku akan membayar semuanya. Atau kalau mau, aku bisa menjadikanmu istri kedua, semua kebutuhanmu dan anak-anak akan kutanggung.”Mira menggeleng kepala pelan. Bulir bening itu kian bercucuran membasahi wajahnya.“Lepaskan!” balas Mira yang sama sekali tak menghiraukan tawaran pria hidung belang itu.Ia tak habis pikir, bisa-bisanya suami dari wanita yang begitu baik padanya ternyata memiliki sifat yang seolah berbalikan dengan istrinya.Pria itu bernama Damar, suami dari Dian, orang yang sering sekali membantu Mira. Ibu tiga anak itu merasa tidak tega jika sampai ia berteriak dan membuat Dian tahu kelakuan Damar. Juga satu sisi Mira tak ingin kalau dirinya sampai ternodai oleh pria yang bu
Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.”“Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.”“Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.”Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat.“Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong.“Di klinik Medika.”“Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi.Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yan
Kini ibu dan tiga anak itu berjalan, menuju ke gerbang desa. Tatapan para warga desa membuat Hana dan Arka terus memegang ibunya dengan erat, saking takut melihat sorot mata yang seakan menggapai mereka adalah seorang penjahat. “Bu?” Arka menarik ujung pakaian Mira. “Tidak usah dilihat! Ada ibu di sini. Lihat ibu saja.” Mira menatap anaknya sambil berusaha tersenyum meski luka menyelimuti. Arka mengangguk tanda mengerti. Ia dan adiknya terus menempel pada sang ibu demi mencari rasa aman. “Lihatlah, baru sehari menjanda sudah menggoda suami orang.” “Wajar saja, sepertinya dia sudah tidak tahan ingin merasakan hidup enak.” “Siapa yang tidak tergoda untuk mendapatkan kekayaan instan. Hanya dengan menjadi istri kedua semua akan terasa lebih mudah.” Sindiran dan umpatan tak henti mengiringi langkah Mira dan ketiga anaknya. Orang-orang itu seakan tak memikirkan perasaan dan mental tiga bocah kecil dan hanya mementingkan emosi saja. “Bu, kenapa orang-orang itu marah-marah terus? Kena
“Ibu nggak sayang Hana! Padahal Hana cuma mau pilih kamar,” ungkap Hana sambil menangis diiringi dengan suara derasnya hujan.Hati Mira terasa semakin miris. Bukan ia tidak sayang pada Hana, hanya saja saat itu bukan waktu yang tepat untuk memilih kamar.“Hana, di sini dingin. Kita harus tidur bersama agar lebih hangat. Ibu nggak mau Hana sakit. Ibu sayang Hana.” Mira memeluk Hana dengan begitu erat.Hana yang semula menangis perlahan berhenti, lalu membalas pelukan ibunya dengan penuh cinta. “Maafin, Hana, Bu.” Hana berkata lirih.“Iyaa, sekarang ayo dekorasi dulu kamar kita. Hana boleh mempercantik ruangan yang paling depan itu.” Hana menunjuk ke arah salah satu bekas kandang yang berada di paling depan.“Ibu, Arka juga mau bantu!” pinta Arka setengah berteriak.Mira tersenyum sambil mengangguk, tak menyangka jika sang anak begitu antusias meski tempat itu hanyalah sebuah bekas kandang kambing.Arka dan Hana bermain penuh canda tawa. Meski hanya sekedar memasang selendang untuk men
Belum sempat Mira meraih botol pupuk, di saat bersamaan Arka terbangun karena terkejut dengan pergerakan ibunya.“Ibu mau ke mana?” tanya Arka sambil menggosok mata. Kepalanya masih pusing karena baru sebentar nyenyak malah dibuat terkejut.Mira terdiam sejenak, pikirannya mendadak semakin kacau dan bingung, tak tahu harus berbuat apa.“Ibu mau membetulkan selendang yang miring biar angin tidak terlalu banyak masuk ke kamar kita ini.”Arka terdiam sejenak.“Bu, tadi Arka mimpi jadi dokter,” ucap si sulung tiba-tiba.Mira kembali ke posisi semula, mengurungkan niat untuk mengambil botol pupuk karena tidak mungkin baginya melakukan hal seperti itu di saat anaknya terjaga.“Ah, iya. Bagus sekali.” Mira tersenyum gugup.“Padahal Arka ingin jadi tentara biar bisa menjaga ibu tapi malah mimpi jadi dokter.” Arka menghela napas. “Tapi tidak apa-apa, mau jadi apa saja yang pasti Arka ingin membahagiakan ibu, Arka mau buat rumah yang besar untuk ibu,” sambungnya sambil merentangkan tangan, memp
Seorang lelaki tua yang diperkirakan berumur tujuh puluh tahun itu berdiri sambil terus menatap Mira dan sesekali menoleh ke arah tiga anaknya. Wajah pria itu sedikit menyeramkan, mirip seorang yang pemarah.“Maaf, saya hanya sedang mencari ikan di sini,” sahut Mira yang segera beranjak. Ia menunduk, tak berani menatap wajah lelaki tua itu.“Apa kalian tinggal di kandang kambing bekas di sebelah sana?” Lelaki tua itu menunjuk ke arah tempat Mira dan tiga anaknya bermalam.Mira menelan saliva, mendadak jantungnya berdebar tak karuan. Ia merasa cemas, khawatir jika dirinya dan anak-anak malah di usir.“Be-benar.” Mira mulai panik.“Memang siapa yang mengizinkan kalian tinggal di sana?” Lelaki tua itu bertanya dengan nada ketus.“Ma-maaf, kami tidak punya rumah. Hanya ingin menumpang sementara saja.”Pria tua itu terdiam sejenak. Namun, bukannya menjawab, ia malah berlari ke arah Kiano. Tentu saja hal tersebut membuat Mira terkejut dan buru-buru mengikuti dari belakang.“Tolong jangan sa
Beruntung lumpur hanya mengenai tubuh Mira meski wanita tua itu mengarahkannya pada Kiano.“Apa Anda tidak memiliki perasaan? Memang kenapa kalau menginjak sawah? Saya sama sekali tidak merusaknya!” teriak Mira yang mulai kesal.Orang lain boleh menyakiti dirinya, tetapi tidak dengan anaknya. Wanita tua itu jelas sekali hendak mengarahkan lumpur ke Kiano dengan tanpa perasaannya.“Hey, berisik sekali! Cepat pergi dari sawahku! Aku benci melihat perempuan muda berjalan di sekitar sawahku.”Mira sampai dibuat keheranan. Namun, ia memilih untuk mengalah karena tak tega melihat ketiga anaknya ketakutan.“Arka … Hana … ayo kita pergi dari sini,” ajak Mira seraya menuntun Hana dan membiarkan Arka berjalan di depan.Wanita itu tampak tersenyum puas melihat Mira dan ketiga anaknya pergi. Hingga mendadak pria tua yang meminta Mira mencarikan keong untuknya itu datang dengan mengendarai motor butut.“Apa kamu sudah mendapatkan apa yang aku mau?” tanya pria tua itu dengan tatapan sinis.“Belum.”
Mira berusaha mempertahankan diri karena saat itu Syafa sedang berada dalam gendongan.“Ah, apa yang kamu lakukan?” teriak Mira sambil berusaha berbalik demi bisa menghindar.Namun saat berbalik betapa terkejutnya Mira mengetahui jika orang di belakangnya adalah Dian. Mira membelalak, matanya berkaca-kaca iya berdiri mematung saking terkejutnya.“Mbak Dian?” ucap Mira, lirih.Kala itu penampilan Dian sangatlah kacau. Pakaiannya compang-camping rambutnya kusut tidak terawat bahkan nyaris gimbal wajahnya pun sedikit kotor beruntung Mira masih bisa mengenali.Dian terlihat seperti orang tidak waras bahkan beberapa kali dia berusaha untuk menyakiti Mira sambil tertawa cekikikan.“Mira, awas!” Raka muncul secara tiba-tiba berusaha melindungi Mira yang kala itu sedang saling berhadapan dengan Dian.Dian mendadak terdiam setelah melihat kedatangan Raka. Entah apa yang ada dipikirannya. Hanya saja, ia yang semula cekikikan mendadak menangis cukup kencang.Beberapa warga yang melihat tingkah D
Agus secara tiba-tiba memberikan sebuah gunting dengan hiasan pita kepada Mira. Tentu saja hal tersebut membuat Mira dan Raka kebingungan.“Pak, apa maksudnya ini?” bisik Mira yang kala itu tampak kebingungan.“Ini milik kalian. Hadiah dariku atas kelahiran Syafa, juga ucapan selamat atas usaha kalian yang semakin sukses,” jelas Agus dengan santainya.“Tapi ini terlalu berlebihan, Pak.” Raka turut menjawab.“Hey, yang namanya hadiah ya suka-suka yang ngasih!” tegas Agus sambil menatap tajam, “apa jangan-jangan kalian nggak mau menerima hadiah dariku?”Raka terkejut mendengar ucapan Agus, tentu saja bukan itu yang dia maksud.“Bukan, Pak! Tapi ini–”“Semuanya, saya disini hanya mendampingi Mira dan Raka untuk melancarkan bisnis wisata ini. Mereka hanya punya uang, tapi tidak tahu alur untuk pengelolaan bisnis wisata,” jelas Agus dengan menggunakan pengeras suara.Bukan hanya para warga yang terus menghujat, Mira dan Raka saja sampai dibuat tak bisa berkata-kata mendengar ucapan Agus.“
Pagi itu, ketika Mira tengah memberi ASI anaknya yang baru lahir, mendadak suara bell rumah mengejutkannya.“Siapa yang datang pagi-pagi begini?” gumam Mira sambil perlahan berusaha bergeser agar anaknya tidak terbangun.Setelah berhasil lepas dari pelukan sang anak, Mira buru-buru keluar kamar, lalu membukakan pintu.“Surprise,” ucap Agus yang kala itu tengah bersama Raka dan ketiga anak mereka.Mira mengerutkan kening, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.“Surprise?” Mira mengerutkan kening sambil tersenyum bingung.Agus melirik Raka, meminta pria itu untuk menjelaskan semuanya pada Mira.“Ceritanya panjang, cuma Pak Agus minta kita buat kembali ke kampung, ada yang harus kita liat,” jelas Raka.“Memangnya apa?” Mira masih belum mengerti dengan apa yang sebenarnya Raka maksud.“Mas juga kurang tau–”“Sudahlah! Jangan banyak tanya! Kalian pergi hari ini juga, biar bisnis kalian asistenku yang urus.”Mira dan Raka saling pandang sambil berbicara dengan nada cukup tinggi, saking
“Kita langsung ke dokter saja, ya! Mungkin ini efek kamu terlalu stres mikirin masalah tadi,” ungkap Raka seraya merangkul sang istri. Mira dengan tubuh lemas dan perut yang mualnya tak tertahankan lebih memilih duduk terlebih dahulu untuk meredakan rasa yang membuatnya tak nyaman tersebut. Anak-anak yang mengerti jika sang ibu sedang tak enak badan itu seketika meniru ayah mereka memijat-mijat pelan di bagian lengan dan kaki. “Mas, kalau udah enakan saja ya pergi ke kliniknya, perutku lagi nggak nyaman banget.” “Kalau begitu biar Mas panggilkan dokter ke rumah saja.” Raka segera menelpon dokter kenalannya. ART di rumah pun tak kalah perhatian. Ia langsung membawakan teh manis hangat ketika tahu Mira sedang tidak enak badan. “Bu, sebelumnya saya minta maaf kalau agak kurang sopan. Kalau boleh tahu kapan ibu terakhir haid?” tanya asisten rumah tangga tersebut. Mira mengerutkan alis dan sontak terkejut seketika. “I-itu, apa mungkin?” Mira tersenyum canggung. Raka yang sedang men
Raka yang sedang berada tak jauh dari tempat Mira menerima panggilan telepon sontak terkejut saat mendengar sang istri setengah berteriak.“Ada apa? Kenapa sampai terkejut begitu?” Raka memegangi bahu Mira.“Ini Mas.” Mira menunjukan sebuah pesan pada Raka.Raka segera meraih ponsel Mira dan membaca isi pesan di dalamnya. Ia mengerutkan alis dan terdiam untuk beberapa saat.Kala itu Mira tampak sedang menahan air mata, tak menyangka dengan apa yang dibacanya.“Setelah sekian lama mencampakanmu sekarang mereka malah berusaha mempermalukanmu begini?” Raka tanpa sengaja meremas ponsel Mira saking merasa kesal.“Kupikir mereka sudah nggak menganggapku ada. Tapi ternyata di saat aku sudah sukses, malah mengatakan pada semua orang kalau aku menelantarkan mereka.”“Om dan bibimu sudah sangat keterlaluan. Biar aku bantu luruskan saja semuanya. Biar keluargamu itu pada tau.”“Percuma, mereka nggak bakalan mau dengar. Kalau begitu, Mas antar aku ke rumah sakit saja. Biar sekalian ketemu keluarg
Kala itu warung Iyun barang dagangannya tak terlihat sepadat dulu. Hanya beberapa barang saja yang dipajang, itu pun tampak sudah berdebu seperti tak tersentuh.Beruntung cabut-cabutan yang Arka inginkan masih ada dan bahkan masih begitu banyak.“Bu, Arka mau semua boleh?” tanya Arka seraya menunjuk yang ia inginkan.Mendengar suara Arka, Iyun yang semula sedang terkantuk menunggui warung sampai dibuat terkejut.“Mi-mira?” gumam Iyun dengan mata membelalak, “mau ngapain kamu ke sini?” tanyanya seraya menatap sinis.Iyun sama sekali tak tahu jika Mira yang kini sudah di hadapannya berbeda dengan yang dulu.“Maaf, saya ke sini karena ada yang mau dibeli.”Iyun perlahan menatap pakaian Mira dan anak-anak yang kini terlihat bagus. Ia pun lebih memilih diam dan membiarkan Mira belanja di tempatnya.“Ibu Arka mau kue juga.”“Ambil saja.”Anak-anak tampaknya sengaja mengambil apa yang dulu tak bisa me
“Bukannya itu Mira? Apa aku nggak salah liat? Dia naik mobil mahal dan mewah begitu.”“Iya, anak-anaknya juga pake baju bagus. Mereka benar-benar jauh berbeda.”“Apa mungkin mereka pesugihan? Masa iya bisa kayak secepat itu?”“Loh, kamu nggak tahu? Mira itu kan sempat viral di media sosial.”Para warga desa yang menyaksikan kedatang Mira dan Raka tak hentinya berbisik. Mereka antara bingung, terkejut, juga tak menyangka dengan apa yang mereka lihat.Hanya saja, Mira kali ini berusaha untuk tak ambil pusing tentang ucapan para warga desa dan memilih fokus pada orang yang dituju saja.Kala itu di rumah Roni tampak istrinya yang sedang hamil besar terkejut melihat kedatang Mira dan Raka.“Mas Roninya ada, Mbak?” tanya Mira seraya tersenyum.Istri Roni pun heran karena ternyata Mira datang-datang malah mencari suaminya.“Maaf Mbak Mira, apa suami pernah pinjam uang? Atau melakukan kesalahan?” tanya wanita itu dengan wajah kebingungan.Mira tersenyum melihat tingkah istri Roni. Ia tahu bet
Semua mata tertuju pada Raka dan Mira, sepasang suami istri yang begitu serasi, membuat mereka yang melihat menjadi kagum dan terpana.“Wah, sepertinya laki-laki itu memang suaminya. Mereka cocok sekali.”“Benar, tatapan keduanya saja keliatan saling mencintai.”“Yah, beberti Nunung saja yang iri dia nggak bisa dapetin laki-laki seganteng suami si Mbak itu.”Orang-orang yang menyaksikan sontak tertawa. Mereka menertawakan Nunung karena telah gegabah menuduh yang tidak-tidak.Merasa malu, Nunung pun segera pergi sambil menggerutu, sedangkan orang-orang yang berkerumun bergegas membubarkan diri.Mira dan Raka saling pandang, sejak tadi mereka terus menahan tawa.“Mas datang di saat yang tepat,” ungkap Mira.“Sebenarnya Mas sudah perhatikan dari tadi. Cuma nunggu waktu yang pas yang paling greget saja.” Raka terkekeh.Mira mencubit lengan sang suami, “jadi, apa seru melihatku dipermalukan?” “Enggak begitu sayang.” Raka terlihat panik.Mira malah tersenyum melihat tingkah sang suami.Di
Hari itu setelah Mira menitipkan toko pada Nia dan Susi, ia pun segera bersiap mengemas barang-barang yang akan dibawanya.Kenangan pahit itu terus terngiang, dada Mira seringkali terasa sesak ketika teringat tentang dirinya dan anak-anak yang diusir dari desa dengan tidak terhormat.“Kenapa melamun terus? Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan?” tanya Raka seraya menggenggam tangan Mira.Mira menatap Raka lekat, rasanya ia ingin mencurahkan apa yang mengganjal di dalam hati. Namun, mendadak ia khawatir dengan respon sang suami nantinya.“Ada sesuatu yang terus mengganggu pikiranku,” ungkap Mira yang sedang berusaha terlihat tenang.“Apa? Katakan saja,” pinta Raka sambil mengusap lembut kepala Mira.Mira menghela napas panjang, lalu berucap, “Mas janji nggak bakalan marah kalau ceritain?”“Ya, Mas janji.” Raka terlihat semakin penasaran, tatapannya terlihat semakin tajam, bahkan tarikan napasnya terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya.Mira lagi-lagi menghela napas panjang, matanya tak b