Belum sempat Mira meraih botol pupuk, di saat bersamaan Arka terbangun karena terkejut dengan pergerakan ibunya.“Ibu mau ke mana?” tanya Arka sambil menggosok mata. Kepalanya masih pusing karena baru sebentar nyenyak malah dibuat terkejut.Mira terdiam sejenak, pikirannya mendadak semakin kacau dan bingung, tak tahu harus berbuat apa.“Ibu mau membetulkan selendang yang miring biar angin tidak terlalu banyak masuk ke kamar kita ini.”Arka terdiam sejenak.“Bu, tadi Arka mimpi jadi dokter,” ucap si sulung tiba-tiba.Mira kembali ke posisi semula, mengurungkan niat untuk mengambil botol pupuk karena tidak mungkin baginya melakukan hal seperti itu di saat anaknya terjaga.“Ah, iya. Bagus sekali.” Mira tersenyum gugup.“Padahal Arka ingin jadi tentara biar bisa menjaga ibu tapi malah mimpi jadi dokter.” Arka menghela napas. “Tapi tidak apa-apa, mau jadi apa saja yang pasti Arka ingin membahagiakan ibu, Arka mau buat rumah yang besar untuk ibu,” sambungnya sambil merentangkan tangan, memp
Seorang lelaki tua yang diperkirakan berumur tujuh puluh tahun itu berdiri sambil terus menatap Mira dan sesekali menoleh ke arah tiga anaknya. Wajah pria itu sedikit menyeramkan, mirip seorang yang pemarah.“Maaf, saya hanya sedang mencari ikan di sini,” sahut Mira yang segera beranjak. Ia menunduk, tak berani menatap wajah lelaki tua itu.“Apa kalian tinggal di kandang kambing bekas di sebelah sana?” Lelaki tua itu menunjuk ke arah tempat Mira dan tiga anaknya bermalam.Mira menelan saliva, mendadak jantungnya berdebar tak karuan. Ia merasa cemas, khawatir jika dirinya dan anak-anak malah di usir.“Be-benar.” Mira mulai panik.“Memang siapa yang mengizinkan kalian tinggal di sana?” Lelaki tua itu bertanya dengan nada ketus.“Ma-maaf, kami tidak punya rumah. Hanya ingin menumpang sementara saja.”Pria tua itu terdiam sejenak. Namun, bukannya menjawab, ia malah berlari ke arah Kiano. Tentu saja hal tersebut membuat Mira terkejut dan buru-buru mengikuti dari belakang.“Tolong jangan sa
Beruntung lumpur hanya mengenai tubuh Mira meski wanita tua itu mengarahkannya pada Kiano.“Apa Anda tidak memiliki perasaan? Memang kenapa kalau menginjak sawah? Saya sama sekali tidak merusaknya!” teriak Mira yang mulai kesal.Orang lain boleh menyakiti dirinya, tetapi tidak dengan anaknya. Wanita tua itu jelas sekali hendak mengarahkan lumpur ke Kiano dengan tanpa perasaannya.“Hey, berisik sekali! Cepat pergi dari sawahku! Aku benci melihat perempuan muda berjalan di sekitar sawahku.”Mira sampai dibuat keheranan. Namun, ia memilih untuk mengalah karena tak tega melihat ketiga anaknya ketakutan.“Arka … Hana … ayo kita pergi dari sini,” ajak Mira seraya menuntun Hana dan membiarkan Arka berjalan di depan.Wanita itu tampak tersenyum puas melihat Mira dan ketiga anaknya pergi. Hingga mendadak pria tua yang meminta Mira mencarikan keong untuknya itu datang dengan mengendarai motor butut.“Apa kamu sudah mendapatkan apa yang aku mau?” tanya pria tua itu dengan tatapan sinis.“Belum.”
“Iya, saya akan menjaga rahasia itu,” jawab Mira dengan perasaan gugup.“Bagus. Kalau begitu sekarang buatkan aku keong bumbu kuning. Jika ada yang bertanya bilang saja kalau itu makanan untukmu,” titah Agus dengan gaya angkuhnya.“I-iya, Pak.”Mira tak banyak bertanya dan hanya menebak jika mungkin rahasia yang dimaksud adalah tentang keong tersebut. ‘Apa mungkin dia malu karena identitasnya yang orang berada?’ batin Mira seraya mulai mengupas bumbu.“Bu, Hana mau bantu.”“Arka juga, Bu.”“Hana dan Arka jaga Kiano saja. Biar ibu yang masak.”“Tapi, Bu … Kiano lagi asyik sama kakek itu.” Hana menunjuk ke arah Agus yang sedang bermain dengan si bungsu.Mira terpaku, tak menyangka jika Kiano malah menjadi sedekat itu dengan Agus meski mereka baru saling kenal.Demi bisa tinggal di bekas kandang kambing itu dengan gratis, Mira pun tak mau membuang waktu dan bergegas membuat apa yang Agus inginkan dengan dibantu oleh Arka dan Hana.“Bu, Kenapa kakek itu suka keong? Bukannya orang kaya bi
“Aku hanya sedang berpegangan karena baru saja tergelincir. Lihatlah! Bajuku saja sampai kotor gara-gara jatuh.” Mira menunjukan bagian belakang pakaiannya yang dipenuhi lumpur.“Bohong! Dia berniat menyakitiku!” Nunung tak ingin Mira lolos begitu saja.Beberapa orang yang hadir di sana seolah lebih mempercayai Mira melihat bukti nyata di depan mata. Sedangkan Nunung hanya berbicara tanpa dasar.“Maaf, mungkin hanya terjadi salah paham di sini. Harusnya aku meminta izin dulu baru memegang tangan Ibu.” Mira meraih tangan Nunung lalu menggenggamnya lembut.Emosi sudah menguasai Nunung, tentu saja ia kesal saat Mira menyentuh tangannya sehingga dengan penuh amarah wanita tua itu segera menarik tangannya dengan begitu kencang.“Aku tidak sudi bersentuhan denganmu!” hardik Nunung.Orang-orang yang semula hendak menolong Nunung pun seketika menjadi tak senang dengan caranya memperlakukan Mira.“Yaelah, Bu. Cuma dipegang aja sa
Nunung terus tertawa seolah ada sesuatu yang telah membuatnya bahagia. Sambil berjalan ia segera memakan ubi dan kacang pemberian Agus tersebut.“Rasanya begitu enak. Apa karena ini pemberian Juragan Agus?” Nunung memegangi pipinya yang memerah akibat membayangkan wajah sang atasan yang tak lain adalah pujaan hatinya.Semua ubi dan kacang yang semula akan diberikan untuk pada Mira dan anak-anaknya pun seketika ludes dilahap oleh Nunung.“Hihihi, kebetulan sekali ada kotoran sapi. Biar tau rasa tuh perempuan gatal.” Nunung memungut kotoran sapi tersebut, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik.Meski menjijikan Nunung sama sekali tak menghiraukannya, dalam pikiran hanya ada tentang bagaimana cara memberi pelajaran pada Mira.Nunung berjalan sambil menenteng kantong plastik berisi kotoran sapi. Meski usia sudah menginjak kepala lima tetap saja tak menghilangkan sifat kekanak-kanakan yang timbul akibat kecemburuan tak berdasar.Ia kini telah sampai di tempat yang Mira tinggali. Nunun
Helaan napas terasa begitu berat mengiringi langkah Mira. Meski berusaha yakin jika kangkung liarnya akan ada yang beli, tetap saja keraguan masih ada dalam benak terlebih rasa cemas seakan terus menghantui, khawatir jika anaknya akan berakhir lebih kecewa dibanding saat mendapatkan kotoran sapi tadi pagi. “Bu, kalau nggak ada yang beli, apa kita jadi jajan?” Hana menatap ibunya dengan wajah sendu. “Kalian tetap jajan nanti.” Mira pada akhirnya tak tega, ia berpikir jika tidak laku sekarang mungkin bisa mencari uang di lain waktu. Yang terpenting kali ini adalah bagaimana caranya agar tidak membuat anak-anak kecewa. Kini mereka sudah berada di luar warung sayur yang terlihat sepi itu. Ada keraguan di hati Mira, terlebih saat melihat isi warung yang bahkan tak lengkap dan asal. “Assalamualaikum,” sapa Mira pada pemilik warung yang semula asyik bermain ponsel. “Waalaikumsalam.” Pria penjaga warung beranjak dari
Mira tersentak seketika saking kebingungan melihat tingkah wanita di depannya.“Maaf, apa maksud Anda?” Mira perlahan mundur.“Jadi kamu pelakor yang selama ini memeras suamiku?” Perempuan itu berteriak lagi, membuat beberapa orang yang sedang melintas seketika menghampiri.Situasi itu terasa familiar. Ya, Mira kembali teringat akan kenangan sebelum dirinya diusir dari desa karena sebuah fitnah. Ia tidak ingin jika hal seperti itu terjadi kedua kalinya.“Apa buktinya jika saya seorang pelakor? Tolong jangan menuduh sembarangan!” Mira berkata dengan tegas.“Bukti? Kamu pikir bukti ini tidak cukup kuat?”“Rita! Kamu sudah keterlaluan, ini adalah uang dari Pak bos dan beberapa iuran teman-teman!” teriak teman Raka.Mira tersenyum tipis, pada akhirnya semua langsung terkuak tanpa butuh waktu lama. Ia menyayangkan wanita di hadapan yang begitu ceroboh, sembarangan menuduh tanpa mau mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu.
Mira benar-benar canggung berada di situasi tersebut. Ia merasa jika mungkin kotak kecil tersebut adalah sesuatu yang penting.“Buat kalian saja. Ibu kan sudah besar, nggak main mainan.” Mira berusaha menolak secara halus.“Ini bukan mainan, Bu. Ini tuh coklat kasih sayang. Tante bilang sayang sama kita, jadi Tante kasih kita masing-masing dua coklat. Yang satu sudah dimakan jadi yang satu ini buat ibu.” Arka menjelaskan dengan antusias.Mira merasa semakin tak nyaman setelah mendengar penjelasan Arka. Sepertinya Mega tak suka jika coklat kasih sayang itu malah diberikan pada Mira.Kini, Mira berada di posisi serba salah. Ia tak ingin mengecewakan ketiga anaknya tapi juga tak mau membuat kesal Mega.“Ya, sudah. Kalian pegang dulu saja, ibu nggak bisa bawa sekarang karena mau lanjut kerja lagi.” Mira membelai lembut rambut ketiga anaknya.Ia buru-buru beranjak agar bisa melanjutkan pekerjaan, mengingat wajah Mega yang terlihat sem
Di klinik, Mira yang semula tak sadarkan diri itu akhirnya membuka mata. Ia tampak kebingungan saat pertama kali melihat Andi, yang ternyata terus berada di samping, menemani bersama dengan Rani.“Di mana ini?” ucap Mira, lirih.“Tadi Mbak pingsan. Makanya langsung kita bawa ke sini,” jawab Rani yang buru-buru beranjak dari tempat duduk. “Mbak kenapa nggak bilang kalau belum makan?” Mira tersenyum getir, merasa malu dengan pertanyaan Rani. Bukan ia tak mau makan, hanya saja uang yang tersisa hanya cukup untuk makan anak-anak.“Mbak lupa,” jawab Mira, lesu.“Mau nasi padang?” tanya Andi tiba-tiba.“Orang baru siuman langsung ditawari nasi padang. Ada juga beliin bubur dulu biar perutnya nggak kaget,” timpal Rani seraya mendelik ke arah Andi.Andi tersenyum, lalu berkata, “siapa tau Mira lagi nggak selera makan nggak mau makan bubur.”“Udah beli bubur saja!” Rani mendorong tubuh Andi agar pria itu segera membelik
Seperti apa yang Mira duga, para perempuan memang jelas memperlihatkan ketidaksukaannya.“Rani, jadi dia karyawan baru itu?” tanya seorang wanita.“Iya, nanti Mbak Mira ini yang jadi salah satu juru masak di sini.”“Loh, kok langsung jadi juru masak? Giliran kita malah harus lewat banyak proses,” protes salah seorang karyawan.“Sudah, Ran. Aku di mana aja nggak masalah,” bisik Mira yang malas menimbulkan percikan dan membuat permusuhan.Rani tampaknya mengerti akan ketidaknyamanan Mira. Sehingga, meski ia ingin Mira yang memegang bagian masak tetap saja demi lingkungan yang damai mau tak mau Mira harus melalui bagian lain terlebih dahulu.“Memang bagian apa yang kosong sekarang?”Para wanita itu saling pandang, lalu menunjukan senyum penuh akal bulus.“Ya bagian cuci piring lah! Memang bagian apa lagi yang selalu kosong?!” jawab mereka serentak, lalu setelahnya tertawa seolah itu adalah hal lucu.Mira menghela napas panjang, sejak awal sudah menduga jika semua tidak akan berjalan deng
Rani seakan tak ada harga diri di sana. Susi memang terlihat mendominasi karena merasa dirinya mendapat kepercayaan.“Jangan halangi aku! Aku hanya ingin bertemu kakakku! Siapa kamu bisa ikut campur urusan keluargaku?” Rani mendorong Susi agar tak menghalangi jalannya. “Ayo Mbak Mira,” ajaknya seraya menarik tangan Mira.Wajah sinis Susi tampak begitu menjengkelkan, hanya seorang karyawan tapi gayanya jauh melebihi sang pemilik. Rani yang merupakan adik dari atasannya saja tampak tak ada harga diri hanya karena dirinya yang lebih sering mengurus keseluruhan catering.“Cih, hanya status adik saja gayamu sudah seperti bos,” gerutu Susi, seolah tak sadar jika dirinya jauh lebih berlagak.Rani yang sejak awal tidak menyukai Susi kini naik status menjadi benci. Ia sudah tidak peduli lagi jika karyawan kakaknya itu terus mengoceh yang terpenting dirinya dan Mira bisa masuk ke rumah.“Dasar menyebalkan dia sendiri yang berlagak seperti bos,” oce
Setelah selesai dengan urusan di klinik, Mira segera mencari tempat tinggal sementara yang tidak jauh dari klinik. Berhari-hari Mira terus bolak-balik kosan dan klinik demi bisa mengawasi buah hatinya.Tak terasa seminggu berlalu, di saat keuangan Mira semakin menipis saat itu pula kondisi Arka perlahan membaik dan sudah diperbolehkan pulang.“Ibu, nanti makan Arka tolong lebih diawasi lagi, ya!” pesan dokter yang menangani Arka.“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya selama ini.” Mira menjabat tangan dokter tersebut dengan penuh rasa terima kasih.Dokter tersebut memeluk Mira, lalu berbisik, “terima kasih karena sudah menjadi ibu yang hebat. Saya juga seorang ibu, dan merasa salut dengan perjuangan Mbak Mira.”Mata Mira berkaca-kaca, ia merasa tersentuh mendengar ucapan sang dokter. Karena sering bertemu membuat mereka menjadi dekat, hanya saja kini sudah saatnya harus berpisah.Mira sudah menyiapkan barang bawaan sehingga saa
“Hana, Ibu titip Kiano dulu, ya! Kalian duduk di sini saja!” Mira menunjuk kursi yang berada di sudut ruang tunggu.“Iya, Bu. Emang ibu mau ke mana?” Hana menatap ibunya dengan tatapan heran.“Ibu ada perlu sebentar. Hana jangan ke mana-mana, ya!” pinta Mira seraya mengusap lembut rambut kedua anaknya.“Iya, Bu.” Hana mengangguk pelan.Mira segera beranjak, lalu berjalan seraya menatap Damar yang kala itu membelakanginya.Karena ingin tahu apa yang sedang Damar lakukan, Mira lantas duduk tepat di kursi belakang pria itu.“Mas, kapan mau menceraikannya?”“Kamu yang sabar, Mas nggak mungkin secepat itu menceraikannya. Semua harta yang kami miliki sebagian besar itu miliknya.”“Terus gimana nasib anak kita? Dokter bilang sebentar lagi melahirkan. Sekarang saja lagi mau nentuin tanggal operasi Cesar, Mas.”“Ya sementara kita begini saja. Aku pasti bakal sering nengokin kamu, kok.”Seolah keberuntungan sedang berpihak pada Mira. Obrolan rahasia itu malah bisa didengar olehnya. Tentu hal te
Tangan Mira seketika gemetaran. Ia merasa jika sudah tidak mungkin lagi tinggal di bekas kandang kambing tersebut dengan keadaan seperti itu.“Padahal aku tidak pernah mengusik siapa pun, tapi kenapa malah ada orang yang berusaha menyakiti keluarga kecilku,” gumam Mira yang kala itu perasaannya bercampur antara sedih dan emosi.Tak terasa kini mereka telah sampai di rumah Mira.“Mbak, Alhamdulillah dagangan sudah habis. Tadi sengaja saya panggil temen-temen biar cepet abis dan Mbak Mira bisa cepet urusin Arka.”Mata Mira berkaca-kaca, kali ini meski beberapa orang ada yang berusaha menyakiti, tetapi beberapa lainnya malah memberi bantuan tanpa pamrih.“Makasih, Bu. Maaf saya malah jadi ngerepotin.” Mira memeluk wanita paruh baya yang sering sekali membantunya itu.“Saya nggak ngerasa direpotin, kok.” Wanita paruh baya itu menepuk-nepuk pundak Mira.Saat itu dari arah rumah keluar Hana dan Kiano sambil berlari menghampiri
Sosok itu mengingatkan Mira akan kenangan buruk yang menimpa. Kebencian membuat dadanya terasa sesak, bahkan hingga kesulitan bernapas.‘Ma-mas Damar? Jadi selama ini dia pelakunya.’Mira segera bergeser, menjauh dari jendela, lalu berjongkok sambil membekap mulutnya. Ia ketakutan setengah mati, khawatir jika Damar sampai berbuat macam-macam, mengingat rumahnya begitu mudah dihancurkan hanya dengan sekali dobrak.“Ya Allah, beri hambamu ini perlindungan. Jauhkan kami dari orang-orang yang berniat buruk,” gumam Mira dengan tangan gemetaran.Mira sadar betul jika sampai Damar berbuat nekat maka ia tak bisa berbuat apa-apa. Selain tak memiliki kekuatan juga keadaan rumah yang jauh dari pemukiman warga seakan menambah rasa takut.Mira terus berdoa di tengah rasa takutnya. Ia sudah tak bisa berharap pada manusia, rasanya hanya pertolongan tuhan saja yang menjadi harapan satu-satunya.Di tengah rasa takutnya, sekilas samar Mira mendeng
Mira tak pernah menduga, seorang wanita yang dulu sering membantunya kini malah berdiri menyudutkan dirinya dengan tatapan kebencian.“Mbak Dian?” Mata Mira nanar menatap wanita yang selama ini ia segani.“Dia pernah menggoda suamiku bahkan hampir melakukan hal yang kotor!” teriak Dian.Air mata tak terasa menetes membasahi pipi. Mira sampai dibuat kesulitan berkata-kata setelah mendengar pengakuan Dian.“Tuh kan, kalian dengar sendiri seperti apa dia?” Wanita menyebalkan itu tersenyum sinis, merasa jika dirinya telah memenangkan situasi tersebut.“Heh, kalian bukan warga sini. Jangan fitnah orang, deh! Lebih baik kalian pergi saja! Kamu nggak percaya Mbak Mira seperti itu. Sudah banyak anak muda yang mengantri mengatakan cinta, tapi nggak ada tuh yang dia terima. Masa iya suami kayak gitu saja sampai harus Mbak Mira rebut,” oceh salah seorang pelanggan yang sudah tahu seperti apa Mira karena sehari-hari sering berjumpa.“Hih, dikasih tau malah ngeyel.” Wanita menyebalkan itu memanyun