Seorang lelaki tua yang diperkirakan berumur tujuh puluh tahun itu berdiri sambil terus menatap Mira dan sesekali menoleh ke arah tiga anaknya. Wajah pria itu sedikit menyeramkan, mirip seorang yang pemarah.“Maaf, saya hanya sedang mencari ikan di sini,” sahut Mira yang segera beranjak. Ia menunduk, tak berani menatap wajah lelaki tua itu.“Apa kalian tinggal di kandang kambing bekas di sebelah sana?” Lelaki tua itu menunjuk ke arah tempat Mira dan tiga anaknya bermalam.Mira menelan saliva, mendadak jantungnya berdebar tak karuan. Ia merasa cemas, khawatir jika dirinya dan anak-anak malah di usir.“Be-benar.” Mira mulai panik.“Memang siapa yang mengizinkan kalian tinggal di sana?” Lelaki tua itu bertanya dengan nada ketus.“Ma-maaf, kami tidak punya rumah. Hanya ingin menumpang sementara saja.”Pria tua itu terdiam sejenak. Namun, bukannya menjawab, ia malah berlari ke arah Kiano. Tentu saja hal tersebut membuat Mira terkejut dan buru-buru mengikuti dari belakang.“Tolong jangan sa
“Kenapa wajahmu pucat begitu, Mira?” tanya Raka sambil menenteng sekantong plastik kecil berisi beras yang baru ia beli setelah bekerja seharian.“Asam lambungku kumat, Mas,” jawab Mira, lirih. Wanita itu berbaring di kasur lusuh sambil memegangi perutnya. Di samping ada ketiga anak yang sedang terlelap karena hari sudah malam.Raka yang panik lantas bergegas ke dapur buru-buru menanak nasi di atas tungku yang baru saja dinyalakan. Tak sampai disitu, karena uang hasil kasbon pada bos hanya cukup membeli beras, ia pun berinisiatif untuk memetik bayam liar di dekat kali yang tidak jauh dari gubuknya.Lelah setelah bekerja seharian tak membuat Raka mengeluh. Dalam pikirannya hanya membayangkan bagaimana caranya agar Mira bisa segera mengisi perutnya. Ia yakin jika sang istri telah menahan lapar sejak pagi demi mementingkan perut buah hati mereka.“Mira, maafin Mas yang belum pernah bisa membahagiakan kalian. Kamu malah harus terus menahan lapar demi anak-anak,” gumam Raka sambil menggese
Raka yang saat itu sedang berada di luar kamar mandi, menunggu giliran seketika menegur sang anak yang terlihat berpura-pura.“Tapi air ini dingin ayah. Memang Ayah tega liat Arka kedinginan?”“Ya sudah. Ayah bakal menjaga rahasia Arka. Tapi kedepannya jangan bohong lagi ya! Dengarkan kata ibu. Arka anak ayah paling besar, nanti Arka yang jagain ibu dan adik-adik.”Arka menghela napas. Ia sudah begitu sering mendengar nasihat sang ayah hingga membuatnya sedikit bosanSetelah selesai di kamar mandi. Arka buru-buru kembali ke dalam rumah. Saat itu makanan sudah terhidang rapi di atas meja lusuh bekas tetangga yang tak terpakai.Saat itu sudah ada Hana dan Kiano dengan wajah masih mengantuk. Sudah menjadi tradisi keluarga kecil itu untuk sarapan bersama. Prinsip mereka, walau lauk tidak seberapa, setidaknya kebersamaan akan membuat makanan terasa jauh lebih nikmat.“Yee, makan daging,” teriak Hana sambil melompat bersemangat.Melihat anaknya begitu bahagia, Mira malah bersedih. Ia merasa
‘Arka, Hana dan Kiano adalah anak yang baik, tapi nasib mereka yang tidak baik terlahir dari rahim seorang perempuan miskin sepertiku,’ batin Mira dengan mata berkaca-kaca.Mira sudah tak kuasa menahan pilu yang seakan tak henti menerpa hidupnya. Ia menghentikan langkahnya, lalu berjongkok memeluk ketiga anaknya itu.“Maafin Ibu yang belum bisa membahagiakan kalian.”Hana dan Arka saling pandang.“Ibu nggak salah, Arka sayang Ibu.”“Hana juga sayang Ibu.”“Eno uda tayang, mbu,” ucap Kiano tiba-tiba.Mendengar ucapan Kiano membuat Mira dan kedua anaknya itu seketika terkejut. Itu adalah kata yang pertama keluar dari mulut bocah kecil itu setelah sekian lama seolah enggan berbicara.Meski awalnya hati terasa pilu, sikap sederhana dari Kiano benar-benar membuat mereka merasa bahagia dan seakan lupa dengan apa yang terjadi sebelumnya.Beberapa jam berlalu, saat Mira masih bekerja sebagai buruh cuci tiba-tiba Raka datang sambil berteriak memanggilnya.“Mira, Mas ada kabar baik. Ayo kita pu
“Benar, ada yang bisa saya bantu?” tanya Mira dengan perasaan tak karuan, bahkan meski polisi tersebut belum mengatakan apa pun dadanya malah sudah terasa begitu sesak.Polisi itu terdiam sejenak sesaat setelah melihat keberadaan tiga bocah kecil yang mengintip dari belakang tubuh ibunya.“Sebelumnya saya minta maaf karena akan menyampaikan kabar kurang baik,” ucap polisi tersebut yang matanya tak henti menatap ketiga anak Mira.Dari usia sang polisi jelas terlihat jika ia pun memiliki anak seumuran ketiga bocah dihadapannya. Pria itu sedikit merasa tidak tega untuk menyampaikan berita yang tentunya akan membuat keluarga kecil itu sangat terpukul.“Ja-jadi, ada apa ya, Pak?” Jantung Mira semakin berdebar tak karuan. Rasanya bahkan begitu sulit untuk bernapas saking dadanya terasa sesak.Polisi itu menghela napas panjang. Ia tampak berat untuk mengatakan kabar buruk tersebut.“Bapak Raka Riswandi telah mengalami kecelakaan. Mobil yang beliau tumpangi masuk ke jurang yang cukup dalam se
Mira memeluk Arka erat. Ia menaruh telunjuknya di tengah bibir sang anak, lalu berbisik, “Arka jangan bersuara. Nanti juga pergi.”Meski berusaha menenangkan Arka, tetapi tidak dipungkiri jika perasaannya sedang cemas kala itu. Si pengintip yang sempat menghilang kini kembali lagi.‘Kenapa dia datang lagi? Siapa dia? Apa maunya? Apa jebakan yang Mas Raka buat tidak membuatnya jera?’ Mira seketika terdiam, perlahan mulai sadar jika si pengintip tersebut datang karena tahu kalau suaminya telah tiada. Lagi-lagi air mata berlinang, baru sebentar Raka pergi tapi satu masalah sudah mulai muncul.‘Mas Raka, semoga aku bisa menghadapi semua ini,’ batin Mira sambil memeluk Arka erat.Beberapa kali sosok bayangan tersebut melintas di dekat celah yang sedikit lebih besar. Mira berdebar tak karuan, meski hanya mengintip, tetapi rasa takut itu begitu besar.Beruntung tak berselang lama suara ayam berkokok mengiringi perginya si pengintip tersebut.Arka susah terlelap di pelukan Mira. Keduanya ter
“Lepas! Jika tidak, aku akan berteriak!” ancam Mira.“Kamu pikir aku takut? Lagipula mereka akan lebih membelaku daripada kamu.”Mata Mira berkaca-kaca, dirinya tak menyangka jika baru satu hari kepergian Raka tapi seorang pria malah datang dengan niat buruk padanya.“Ayolah, ikut aku! Tenang saja, aku akan membayar semuanya. Atau kalau mau, aku bisa menjadikanmu istri kedua, semua kebutuhanmu dan anak-anak akan kutanggung.”Mira menggeleng kepala pelan. Bulir bening itu kian bercucuran membasahi wajahnya.“Lepaskan!” balas Mira yang sama sekali tak menghiraukan tawaran pria hidung belang itu.Ia tak habis pikir, bisa-bisanya suami dari wanita yang begitu baik padanya ternyata memiliki sifat yang seolah berbalikan dengan istrinya.Pria itu bernama Damar, suami dari Dian, orang yang sering sekali membantu Mira. Ibu tiga anak itu merasa tidak tega jika sampai ia berteriak dan membuat Dian tahu kelakuan Damar. Juga satu sisi Mira tak ingin kalau dirinya sampai ternodai oleh pria yang bu
Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.”“Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.”“Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.”Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat.“Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong.“Di klinik Medika.”“Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi.Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yan