“Bu, kenapa nangis? Memangnya apa isi kantong plastik itu?” Arka mendadak cemas.
Mira mengusap perlahan air matanya. Meski hati hancur, tetapi tak ingin membuat kedua anaknya khawatir.“Ini sajadah sama sarung punya ayah.” Mira berusaha tersenyum meski mata menunjukan betapa dirinya terluka.Arka dan Hana saling pandang. Mereka sama sekali tak mengerti kenapa ibunya sampai menangisi sebuah sajadah dan saru?Mira memeluk sarung dan sajadah itu. Masih ada aroma sang suami yang tertinggal. Kenangan akan senyum pria yang begitu dicintai kembali terlintas, membuat rindu kian menggebu dan bulir bening semakin deras. Terlebih, mungkin hanya dua benda itulah peninggalan Raka satu-satunya, mengingat pakaian yang hanya beberapa lembar telah dibawa saat pergi.Di dalam kantong plastik itu terdapat secarik kertas tulisan tangan dari pemilik toko.~Sajadah dan sarung ini tertinggal di rumahku waktu Raka pulang terburu-buru. Aku belum per“Bingung? Sedih?” Nunung tertawa begitu kencang. Wanita paruh baya itu menikmati rasa bingung Mira yang tersirat di wajah.“Maaf, tapi Pak Agus tidak pernah mempermasalahkan tempat ini aku tinggali.”“Oh, ya? Lalu kamu pikir ini apa? Renovasi?” Tawa Nunung semakin kencang terdengar, membuat anak-anak sontak ketakutan dan bersembunyi di belakang ibunya.“Ya, memang aku ingin merenovasi tempat ini.” Agus setengah berteriak sesaat setelah turun dari sepeda motornya.Nunung tertunduk lesu, menahan malu akibat ucapannya yang sudah pasti terdengar oleh sang atasan.“Lanjutkan pekerjaanmu!” titah Agus seraya melirik Nunung.“Ba-baik, Juragan.”Nunung lantas pergi dengan patuh. Bahkan ia terus menunduk dengan penuh hormat ketika melintasi Mira.Melihat kehadiran Agus, Mira pun merasa sedikit lega. Rasa cemas dan keputusasaan yang semula menyelimuti perlahan mereda dan menghilang.“Kakek, kenapa tadi pagi kasih
Kini di depan rumah megah milik Agus sudah ramai digeruduk oleh para pekerjanya. Ternyata ada desas-desus yang membuat mereka merasa tak terima sampai berniat menuntut keadilan.“Budi, di mana juragan? Kami ingin menuntut apa yang seharusnya menjadi hak kami!” teriak salah seorang anak buah Agus.“Tunggu sebentar, Juragan sebentar lagi akan kemari.” Budi tampak panik sejak tadi.Para pekerja pun semakin tidak puas karena Agus kunjung datang. Hingga saat Budi berniat untuk menyusul sang atasan di saat itu pula orang yang dicari datang sambil mengendarai sepeda motor.“Hey, lihat! Juragan sudah datang!” ujar salah seorang warga di tengah kerumunan.Saat itu para pekerja yang semula berisik mendadak terdiam ketika melihat wajah kesal sang atasan. Mereka sedikit takut, namun tetap ingin menyuarakan ketidakpuasan.Agus perlahan berjalan menuju ke depan para anak buahnya yang sedang protes.“Ada apa?” tanyanya dengan suara men
Mira merasa cemas, khawatir jika pria itu akan salah mengira.Melihat rasa cemas yang tersirat di wajah Mira membuat Nunung merasa semakin yakin dirinya akan menang kali ini.Dengan suara lantang dan nyaring Nunung pun segera berteriak, “Dadang!”Pria yang ternyata bernama Dadang pun seketika menoleh saat mendengar suara Nunung yang begitu kencang. Ia menoleh sambil memicingkan mata.“Ada apa?” teriak Dadang.“Cepat kemari!” balas Nunung yang juga berteriak.Mira semakin cemas saat tahu jika Nunung ternyata kenal dengan si pemilik uang. Kalau begitu apa mungkin pria itu akan lebih mempercayai Nunung dibanding dirinya?“Kenapa kamu selalu berusaha menyulitkanku? Padahal aku tidak pernah mengusikmu!” Mira menatap Nunung tajam.“Salah sendiri kenapa menggoda Juragan. Kalau begitu sama saja berurusan denganku.” Nunung tertawa jahat.Mira tersenyum miring. Ternyata alasan Nunung terus mengganggunya sangatlah
Mira yang semula lupa akan kehadiran Agus seketika sedikit terkejut saat tak sengaja matanya melirik pria tua itu.“Ah, maafkan saya, Juragan. Saya lupa menyisakan bakwan untuk Anda.” Mira tersenyum getir, merasa tidak enak karena merasa telah bersikap tidak sopan.“Kenapa harus minta maaf? Aku sudah sering makan yang seperti itu. Lagian aku mau belalang bukan bakwan!”Mata Mira langsung membola, teringat akan belalang pedas manis yang masih ia taruh di belakang.“Tunggu sebentar, Juragan! Saya ambilkan dulu belalang pedas manisnya.” Mira lekas beranjak pergi ke dapur.Mira menatap belalang pedas manis itu dengan harapan jika Agus akan menyukainya. Bagaimanapun ia bisa tinggal di bekas kandang kambing dengan nyaman semua adalah berkat bantuan pria tua itu.“Ini Juragan! Semoga suka!” ucap Mira seraya menyodorkan sepiring belalang pedas manis yang jika dihitung hanya terdapat tiga puluh ekor.Agus yang semula memasang wajah sinis seketika tampak bahagia saat melihat belalang terhidang
Mira berusaha mencari informasi tempat penjual ayam, meski tidak tahu apa masih mungkin kebagian atau tidak, setidaknya ia masih ingin berusaha karena tak ingin kehilangan pelanggan di hari pertama.“Permisi, Bu. Apa di sini masih ada penjual ayam ya?” Mira bertanya pada seorang wanita yang baru saja selesai belanja sayuran.“Oh, ada. Biasanya naik motor, Mbak tunggu saja di gerbang keluar desa. Biasanya nggak lama lagi lewat.”Mendengar jawaban wanita tersebut Mira pun merasa ada harapan. Meski kakinya sudah terasa sakit ia tetap melangkah dengan penuh harap.Mira berdiri seraya memandang sekeliling, tetapi tukang ayam yang di maksud masih belum ada juga sedangkan hari perlahan semakin terang.“Bagaimana ini? Apa aku ganti dengan telur saja?” gumam Mira yang mulai cemas.Karena tak ada pilihan lain mau tak mau Mira pun harus membeli telur sebagai pengganti daging ayam. Ia buru-buru belanja semua bahan agar bisa segera kembali ke
Tak terasa adzan subuh telah berkumandang, Mira segera menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Saking mengkhawatirkan sang juragan ia bahkan tak lupa menyematkan doa dalam sujudnya.“Aku sudah begitu banyak berhutang budi pada Juragan. Kuharap Juragan baik-baik saja agar aku bisa membalas semua kebaikannya,” gumam Mira yang baru saja selesai shalat.“Neng, sayur!” teriak tukang sayur langganan Mira.Dengan cepat Mira beranjak dari duduknya dan buru-buru menghampiri tukang sayur langganannya itu.“Neng, ini totalnya dua ratus ribu!” teriak tukang sayur.“Sebentar, Mas. Jangan pergi dulu! Ada yang mau saya omongin,” teriak Mira sambil mengenakan sandalnya.Tukang sayur itu pun mematikan motor yang semula sudah bersiap untuk melaju.“Iya, ada apa Neng Mira?” Tukang sayur tampak mengerutkan kening.“Mas, kenapa Juragan nggak pernah keliatan lagi, ya?”“Oh, Juragan kan lagi sakit. Memang Neng Mira nggak
Mira tak pernah menduga, seorang wanita yang dulu sering membantunya kini malah berdiri menyudutkan dirinya dengan tatapan kebencian.“Mbak Dian?” Mata Mira nanar menatap wanita yang selama ini ia segani.“Dia pernah menggoda suamiku bahkan hampir melakukan hal yang kotor!” teriak Dian.Air mata tak terasa menetes membasahi pipi. Mira sampai dibuat kesulitan berkata-kata setelah mendengar pengakuan Dian.“Tuh kan, kalian dengar sendiri seperti apa dia?” Wanita menyebalkan itu tersenyum sinis, merasa jika dirinya telah memenangkan situasi tersebut.“Heh, kalian bukan warga sini. Jangan fitnah orang, deh! Lebih baik kalian pergi saja! Kamu nggak percaya Mbak Mira seperti itu. Sudah banyak anak muda yang mengantri mengatakan cinta, tapi nggak ada tuh yang dia terima. Masa iya suami kayak gitu saja sampai harus Mbak Mira rebut,” oceh salah seorang pelanggan yang sudah tahu seperti apa Mira karena sehari-hari sering berjumpa.“Hih, dikasih tau malah ngeyel.” Wanita menyebalkan itu memanyun
Sosok itu mengingatkan Mira akan kenangan buruk yang menimpa. Kebencian membuat dadanya terasa sesak, bahkan hingga kesulitan bernapas.‘Ma-mas Damar? Jadi selama ini dia pelakunya.’Mira segera bergeser, menjauh dari jendela, lalu berjongkok sambil membekap mulutnya. Ia ketakutan setengah mati, khawatir jika Damar sampai berbuat macam-macam, mengingat rumahnya begitu mudah dihancurkan hanya dengan sekali dobrak.“Ya Allah, beri hambamu ini perlindungan. Jauhkan kami dari orang-orang yang berniat buruk,” gumam Mira dengan tangan gemetaran.Mira sadar betul jika sampai Damar berbuat nekat maka ia tak bisa berbuat apa-apa. Selain tak memiliki kekuatan juga keadaan rumah yang jauh dari pemukiman warga seakan menambah rasa takut.Mira terus berdoa di tengah rasa takutnya. Ia sudah tak bisa berharap pada manusia, rasanya hanya pertolongan tuhan saja yang menjadi harapan satu-satunya.Di tengah rasa takutnya, sekilas samar Mira mendeng
“Ada apa, Om?” Hana penasaran melihat wajah Hanif yang tampak begitu terkejut.Hanif bingung harus menjawab apa, terlebih isi surat tersebut berisikan tentang sesuatu yang tidak enak untuk didengar.“Ada apa? Katakan saja! Tidak perlu disembunyikan begitu,” ujar Mega menatap sinis sang suami.Hanif terdiam. Unntuk beberapa saat ia terus melirik anak Mira satu persatu.“Memang ke mana ayah kalian pergi?” tanya Hanif tiba-tiba. Tentu saja pertanyaan tersebut membuat situasi semakin membingungkan.“Kata ibu ayah sedang pergi bekerja di tempat yang sangat jauh,” sahut Arka yang semakin tak mengerti kenapa Hanif malah menanyakan tentang ayahnya.Hanif menghela nafas panjang. Jelas terlihat jika ia begitu berat untuk mengatakan apa yang tertulis di surat tersebut. Namun, tidak mungkin juga baginya untuk menutupi, sehingga mau tak tetap harus menjelaskan pada anak-anak.“Dalam surat ini tertulis jika Ibu kalian hendak menyusul ayah. Dia sengaja pergi tiba-tiba agar kalian tidak merengek mint
Mata Mega sudah membelalak, bersiap untuk beranjak dan memberi Mira pelajaran karena sudah bersikap tidak sopan.“Permisi.” Pelayan datang dengan membawa sisa pesanan. “Semua sudah lengkap, ada lagi yang bisa saya bantu?” Kedatangan pelayan tersebut tentu menjadi penengah antara Mega dan Mira. Meski sedang tersulut emosi, setidaknya masih bisa membedakan mana hal baik dan buruk.“Bu ….” Arka memegangi tangan Mira yang saat itu mengepal.Sentuhan lembut si sulung sedikit meluruhkan emosi yang semula terus bergejolak. Begitu pun dengan Mega yang tangannya tak henti Hanif genggam.“Tadi makanan ibu Arka belum datang. Jadi Arka jangan bersedih lagi, ya!” Hanif menyodorkan sepiring nasi beef teriyaki yang semula ia pesan. Ya, dia sengaja memesan dua karena tahu jika sang istri sama sekali tak berniat memberi Mira makan.Mengetahui suaminya memberi Mira satu porsi, Mega lantas semakin tersulut emosi. Hanya saja, ia tidak ingin terlihat kalah di depan Mira sehingga berpura-pura tidak terjad
“Kenapa nggak mau? Bukannya kakak selalu ingin punya kamar sendiri?”Mega dan Mira langsung bisa menangkap apa yang dia bocah itu bicarakan. Mega menorehkan senyum, merasa senang dengan keinginan Hana tersebut.“Jadi, apa Hana ingin punya kamar sendiri?” tanya Mega seraya melirik ke belakang sekilas.“Iya, Tante. Dari dulu Hana sangat ingin punya kamar sendiri. Padahal waktu kita tinggal di kandang kambing saja Hana juga ingin memilih kamar, tapi ibu nggak boleh, katanya takut Hana kedinginan.” Hanya bercerita dengan begitu antusias.Bocah itu sama sekali tak tahu jika Mira kini selalu salah di mata Mega. Perlakuan Mira pada anak-anaknya seringkali terdengar kejam dan tak berperasaan, padahal hanya itu yang bisa ia lakukan demi ketiga anak dengan ketidakmampuannya.Benar saja, Mega seketika mendelik menatap Mira yang kala itu hanya diam tertunduk.“Jadi, kalian pernah tinggal di kandang kambing?” Tatapan Mega semakin tajam menatap Mira.“Iya, Tante. Kandang kambingnya bau dan dingin.
“Bu, Arka mau temenin ibu kerja saja,” ucap Arka seraya melangkah hendak masuk ke rumah Mega.“Arka di rumah saja, jagain adek-adek,” sahut Mira sembari tersenyum.Arka memanyunkan bibirnya. Meski bersama Mega ia begitu dimanja, tetap saja tempat ternyaman adalah berada di samping sang ibu.Kini ketiganya sudah melangkah masuk, Mega tampak duduk dengan Hanif di ruang tamu. Wajah Mega begitu jelas ditekuk, membuat Mira merasa sedikit tidak enak hati.“Permisi, Mbak Mega.” Mira segera berdiri di dekat atasannya itu.“Mas, tolong bawa anak-anak ke kamar dulu. Beri mereka es krim dan permen yang tadi kubelikan,” pinta Mega pada suaminya.“Baiklah, tapi tolong tenangkan dirimu!” Hanif menatap Mega lekat.“Ya,” jawab Mega, ketus.“Ayo anak-anak, tadi Om dan Tante habis belikan kalian pakaian, mainan dan makanan. Kita lihat ke kamar sekarang!” ajak Hanif.“Iya, Om.” Hana menjawab dengan antusias.Berb
“Mira, buka pintunya!” Mega mengetuk pintu cukup kencang.Mira seketika tersentak. Ia buru-buru beranjak dan membukakan pintu.“Iya, ada apa, Mbak?” tanya Mira yang wajahnya menunjukan rasa panik.Mega yang merasa heran dengan sikap panik Mira pun spontan melirik ke dalam, mencari sumber kecemasan wanita dihadapannya.“Apa yang terjadi pada Kiano?” Mega bergegas masuk dengan sedikit mendorong tubuh Mira yang berada diambang pintu.Mega terlihat begitu cemas, dengan cepat ia menggendong tubuh kecil Kiano yang kala itu terlihat lesu.“Biasanya hanya dengan di kompres saja demamnya akan reda,” ucap Mira yang sudah pengalaman merawat anaknya itu.Mega yang tengah menggendong Kiano seketika menghentikan langkahnya, lalu mendelik menatap Mira.“Apa kamu tidak punya perasaan? Hanya di kompres? Tentu saja seorang ibu akan memberikan yang terbaik untuk anaknya,” hardik Mega.Hati Mira terasa sakit saat Mega berk
“Permisi!” Suara seorang pria terdengar dari luar kamar.Mira yang saat itu sudah memegang gagang pintu mendadak ragu saat tahu jika di luar adalah seorang pria yang suaranya saja terasa begitu asing.‘Apa aku harus membuka pintu? Atau membiarkannya saja,’ batin Mira yang kala itu dilanda kebingungan.“Tolong buka pintunya! Aku suami Mega,” ucap pria itu dengan suara yang lembut.Setelah sempat ragu, akhirnya Mira membuka kunci dan segera memutar gagang pintu, lalu menariknya.“Ma-maaf, ada yang bisa saya bantu?” Mira merasa canggung, entah kenapa jika berurusan dengan laki-laki di situasi yang sedikit sepi membuatnya teringat akan kejadian yang telah lalu. Ia takut jika terjadi fitnah atau bahkan dituduh yang tidak-tidak, karenanya memilih untuk tidak keluar dari kamar dan tetap berdiri di ambang pintu dengan disaksikan oleh dua anaknya yang semula sedang berdebat.Bukannya menjawab, pria di hadapan Mira malah terus menatap Hana dan Arka.“Apa mereka Arka dan Hana?” tanya pria itu s
Mira benar-benar canggung berada di situasi tersebut. Ia merasa jika mungkin kotak kecil tersebut adalah sesuatu yang penting.“Buat kalian saja. Ibu kan sudah besar, nggak main mainan.” Mira berusaha menolak secara halus.“Ini bukan mainan, Bu. Ini tuh coklat kasih sayang. Tante bilang sayang sama kita, jadi Tante kasih kita masing-masing dua coklat. Yang satu sudah dimakan jadi yang satu ini buat ibu.” Arka menjelaskan dengan antusias.Mira merasa semakin tak nyaman setelah mendengar penjelasan Arka. Sepertinya Mega tak suka jika coklat kasih sayang itu malah diberikan pada Mira.Kini, Mira berada di posisi serba salah. Ia tak ingin mengecewakan ketiga anaknya tapi juga tak mau membuat kesal Mega.“Ya, sudah. Kalian pegang dulu saja, ibu nggak bisa bawa sekarang karena mau lanjut kerja lagi.” Mira membelai lembut rambut ketiga anaknya.Ia buru-buru beranjak agar bisa melanjutkan pekerjaan, mengingat wajah Mega yang terlihat sem
Di klinik, Mira yang semula tak sadarkan diri itu akhirnya membuka mata. Ia tampak kebingungan saat pertama kali melihat Andi, yang ternyata terus berada di samping, menemani bersama dengan Rani.“Di mana ini?” ucap Mira, lirih.“Tadi Mbak pingsan. Makanya langsung kita bawa ke sini,” jawab Rani yang buru-buru beranjak dari tempat duduk. “Mbak kenapa nggak bilang kalau belum makan?” Mira tersenyum getir, merasa malu dengan pertanyaan Rani. Bukan ia tak mau makan, hanya saja uang yang tersisa hanya cukup untuk makan anak-anak.“Mbak lupa,” jawab Mira, lesu.“Mau nasi padang?” tanya Andi tiba-tiba.“Orang baru siuman langsung ditawari nasi padang. Ada juga beliin bubur dulu biar perutnya nggak kaget,” timpal Rani seraya mendelik ke arah Andi.Andi tersenyum, lalu berkata, “siapa tau Mira lagi nggak selera makan nggak mau makan bubur.”“Udah beli bubur saja!” Rani mendorong tubuh Andi agar pria itu segera membelik
Seperti apa yang Mira duga, para perempuan memang jelas memperlihatkan ketidaksukaannya.“Rani, jadi dia karyawan baru itu?” tanya seorang wanita.“Iya, nanti Mbak Mira ini yang jadi salah satu juru masak di sini.”“Loh, kok langsung jadi juru masak? Giliran kita malah harus lewat banyak proses,” protes salah seorang karyawan.“Sudah, Ran. Aku di mana aja nggak masalah,” bisik Mira yang malas menimbulkan percikan dan membuat permusuhan.Rani tampaknya mengerti akan ketidaknyamanan Mira. Sehingga, meski ia ingin Mira yang memegang bagian masak tetap saja demi lingkungan yang damai mau tak mau Mira harus melalui bagian lain terlebih dahulu.“Memang bagian apa yang kosong sekarang?”Para wanita itu saling pandang, lalu menunjukan senyum penuh akal bulus.“Ya bagian cuci piring lah! Memang bagian apa lagi yang selalu kosong?!” jawab mereka serentak, lalu setelahnya tertawa seolah itu adalah hal lucu.Mira menghela napas panjang, sejak awal sudah menduga jika semua tidak akan berjalan deng