Mira berusaha mencari informasi tempat penjual ayam, meski tidak tahu apa masih mungkin kebagian atau tidak, setidaknya ia masih ingin berusaha karena tak ingin kehilangan pelanggan di hari pertama.“Permisi, Bu. Apa di sini masih ada penjual ayam ya?” Mira bertanya pada seorang wanita yang baru saja selesai belanja sayuran.“Oh, ada. Biasanya naik motor, Mbak tunggu saja di gerbang keluar desa. Biasanya nggak lama lagi lewat.”Mendengar jawaban wanita tersebut Mira pun merasa ada harapan. Meski kakinya sudah terasa sakit ia tetap melangkah dengan penuh harap.Mira berdiri seraya memandang sekeliling, tetapi tukang ayam yang di maksud masih belum ada juga sedangkan hari perlahan semakin terang.“Bagaimana ini? Apa aku ganti dengan telur saja?” gumam Mira yang mulai cemas.Karena tak ada pilihan lain mau tak mau Mira pun harus membeli telur sebagai pengganti daging ayam. Ia buru-buru belanja semua bahan agar bisa segera kembali ke
Tak terasa adzan subuh telah berkumandang, Mira segera menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Saking mengkhawatirkan sang juragan ia bahkan tak lupa menyematkan doa dalam sujudnya.“Aku sudah begitu banyak berhutang budi pada Juragan. Kuharap Juragan baik-baik saja agar aku bisa membalas semua kebaikannya,” gumam Mira yang baru saja selesai shalat.“Neng, sayur!” teriak tukang sayur langganan Mira.Dengan cepat Mira beranjak dari duduknya dan buru-buru menghampiri tukang sayur langganannya itu.“Neng, ini totalnya dua ratus ribu!” teriak tukang sayur.“Sebentar, Mas. Jangan pergi dulu! Ada yang mau saya omongin,” teriak Mira sambil mengenakan sandalnya.Tukang sayur itu pun mematikan motor yang semula sudah bersiap untuk melaju.“Iya, ada apa Neng Mira?” Tukang sayur tampak mengerutkan kening.“Mas, kenapa Juragan nggak pernah keliatan lagi, ya?”“Oh, Juragan kan lagi sakit. Memang Neng Mira nggak
Mira tak pernah menduga, seorang wanita yang dulu sering membantunya kini malah berdiri menyudutkan dirinya dengan tatapan kebencian.“Mbak Dian?” Mata Mira nanar menatap wanita yang selama ini ia segani.“Dia pernah menggoda suamiku bahkan hampir melakukan hal yang kotor!” teriak Dian.Air mata tak terasa menetes membasahi pipi. Mira sampai dibuat kesulitan berkata-kata setelah mendengar pengakuan Dian.“Tuh kan, kalian dengar sendiri seperti apa dia?” Wanita menyebalkan itu tersenyum sinis, merasa jika dirinya telah memenangkan situasi tersebut.“Heh, kalian bukan warga sini. Jangan fitnah orang, deh! Lebih baik kalian pergi saja! Kamu nggak percaya Mbak Mira seperti itu. Sudah banyak anak muda yang mengantri mengatakan cinta, tapi nggak ada tuh yang dia terima. Masa iya suami kayak gitu saja sampai harus Mbak Mira rebut,” oceh salah seorang pelanggan yang sudah tahu seperti apa Mira karena sehari-hari sering berjumpa.“Hih, dikasih tau malah ngeyel.” Wanita menyebalkan itu memanyun
Sosok itu mengingatkan Mira akan kenangan buruk yang menimpa. Kebencian membuat dadanya terasa sesak, bahkan hingga kesulitan bernapas.‘Ma-mas Damar? Jadi selama ini dia pelakunya.’Mira segera bergeser, menjauh dari jendela, lalu berjongkok sambil membekap mulutnya. Ia ketakutan setengah mati, khawatir jika Damar sampai berbuat macam-macam, mengingat rumahnya begitu mudah dihancurkan hanya dengan sekali dobrak.“Ya Allah, beri hambamu ini perlindungan. Jauhkan kami dari orang-orang yang berniat buruk,” gumam Mira dengan tangan gemetaran.Mira sadar betul jika sampai Damar berbuat nekat maka ia tak bisa berbuat apa-apa. Selain tak memiliki kekuatan juga keadaan rumah yang jauh dari pemukiman warga seakan menambah rasa takut.Mira terus berdoa di tengah rasa takutnya. Ia sudah tak bisa berharap pada manusia, rasanya hanya pertolongan tuhan saja yang menjadi harapan satu-satunya.Di tengah rasa takutnya, sekilas samar Mira mendeng
Tangan Mira seketika gemetaran. Ia merasa jika sudah tidak mungkin lagi tinggal di bekas kandang kambing tersebut dengan keadaan seperti itu.“Padahal aku tidak pernah mengusik siapa pun, tapi kenapa malah ada orang yang berusaha menyakiti keluarga kecilku,” gumam Mira yang kala itu perasaannya bercampur antara sedih dan emosi.Tak terasa kini mereka telah sampai di rumah Mira.“Mbak, Alhamdulillah dagangan sudah habis. Tadi sengaja saya panggil temen-temen biar cepet abis dan Mbak Mira bisa cepet urusin Arka.”Mata Mira berkaca-kaca, kali ini meski beberapa orang ada yang berusaha menyakiti, tetapi beberapa lainnya malah memberi bantuan tanpa pamrih.“Makasih, Bu. Maaf saya malah jadi ngerepotin.” Mira memeluk wanita paruh baya yang sering sekali membantunya itu.“Saya nggak ngerasa direpotin, kok.” Wanita paruh baya itu menepuk-nepuk pundak Mira.Saat itu dari arah rumah keluar Hana dan Kiano sambil berlari menghampiri
“Hana, Ibu titip Kiano dulu, ya! Kalian duduk di sini saja!” Mira menunjuk kursi yang berada di sudut ruang tunggu.“Iya, Bu. Emang ibu mau ke mana?” Hana menatap ibunya dengan tatapan heran.“Ibu ada perlu sebentar. Hana jangan ke mana-mana, ya!” pinta Mira seraya mengusap lembut rambut kedua anaknya.“Iya, Bu.” Hana mengangguk pelan.Mira segera beranjak, lalu berjalan seraya menatap Damar yang kala itu membelakanginya.Karena ingin tahu apa yang sedang Damar lakukan, Mira lantas duduk tepat di kursi belakang pria itu.“Mas, kapan mau menceraikannya?”“Kamu yang sabar, Mas nggak mungkin secepat itu menceraikannya. Semua harta yang kami miliki sebagian besar itu miliknya.”“Terus gimana nasib anak kita? Dokter bilang sebentar lagi melahirkan. Sekarang saja lagi mau nentuin tanggal operasi Cesar, Mas.”“Ya sementara kita begini saja. Aku pasti bakal sering nengokin kamu, kok.”Seolah keberuntungan sedang berpihak pada Mira. Obrolan rahasia itu malah bisa didengar olehnya. Tentu hal te
Setelah selesai dengan urusan di klinik, Mira segera mencari tempat tinggal sementara yang tidak jauh dari klinik. Berhari-hari Mira terus bolak-balik kosan dan klinik demi bisa mengawasi buah hatinya.Tak terasa seminggu berlalu, di saat keuangan Mira semakin menipis saat itu pula kondisi Arka perlahan membaik dan sudah diperbolehkan pulang.“Ibu, nanti makan Arka tolong lebih diawasi lagi, ya!” pesan dokter yang menangani Arka.“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya selama ini.” Mira menjabat tangan dokter tersebut dengan penuh rasa terima kasih.Dokter tersebut memeluk Mira, lalu berbisik, “terima kasih karena sudah menjadi ibu yang hebat. Saya juga seorang ibu, dan merasa salut dengan perjuangan Mbak Mira.”Mata Mira berkaca-kaca, ia merasa tersentuh mendengar ucapan sang dokter. Karena sering bertemu membuat mereka menjadi dekat, hanya saja kini sudah saatnya harus berpisah.Mira sudah menyiapkan barang bawaan sehingga saa
Rani seakan tak ada harga diri di sana. Susi memang terlihat mendominasi karena merasa dirinya mendapat kepercayaan.“Jangan halangi aku! Aku hanya ingin bertemu kakakku! Siapa kamu bisa ikut campur urusan keluargaku?” Rani mendorong Susi agar tak menghalangi jalannya. “Ayo Mbak Mira,” ajaknya seraya menarik tangan Mira.Wajah sinis Susi tampak begitu menjengkelkan, hanya seorang karyawan tapi gayanya jauh melebihi sang pemilik. Rani yang merupakan adik dari atasannya saja tampak tak ada harga diri hanya karena dirinya yang lebih sering mengurus keseluruhan catering.“Cih, hanya status adik saja gayamu sudah seperti bos,” gerutu Susi, seolah tak sadar jika dirinya jauh lebih berlagak.Rani yang sejak awal tidak menyukai Susi kini naik status menjadi benci. Ia sudah tidak peduli lagi jika karyawan kakaknya itu terus mengoceh yang terpenting dirinya dan Mira bisa masuk ke rumah.“Dasar menyebalkan dia sendiri yang berlagak seperti bos,” oce
“Ada apa, Om?” Hana penasaran melihat wajah Hanif yang tampak begitu terkejut.Hanif bingung harus menjawab apa, terlebih isi surat tersebut berisikan tentang sesuatu yang tidak enak untuk didengar.“Ada apa? Katakan saja! Tidak perlu disembunyikan begitu,” ujar Mega menatap sinis sang suami.Hanif terdiam. Unntuk beberapa saat ia terus melirik anak Mira satu persatu.“Memang ke mana ayah kalian pergi?” tanya Hanif tiba-tiba. Tentu saja pertanyaan tersebut membuat situasi semakin membingungkan.“Kata ibu ayah sedang pergi bekerja di tempat yang sangat jauh,” sahut Arka yang semakin tak mengerti kenapa Hanif malah menanyakan tentang ayahnya.Hanif menghela nafas panjang. Jelas terlihat jika ia begitu berat untuk mengatakan apa yang tertulis di surat tersebut. Namun, tidak mungkin juga baginya untuk menutupi, sehingga mau tak tetap harus menjelaskan pada anak-anak.“Dalam surat ini tertulis jika Ibu kalian hendak menyusul ayah. Dia sengaja pergi tiba-tiba agar kalian tidak merengek mint
Mata Mega sudah membelalak, bersiap untuk beranjak dan memberi Mira pelajaran karena sudah bersikap tidak sopan.“Permisi.” Pelayan datang dengan membawa sisa pesanan. “Semua sudah lengkap, ada lagi yang bisa saya bantu?” Kedatangan pelayan tersebut tentu menjadi penengah antara Mega dan Mira. Meski sedang tersulut emosi, setidaknya masih bisa membedakan mana hal baik dan buruk.“Bu ….” Arka memegangi tangan Mira yang saat itu mengepal.Sentuhan lembut si sulung sedikit meluruhkan emosi yang semula terus bergejolak. Begitu pun dengan Mega yang tangannya tak henti Hanif genggam.“Tadi makanan ibu Arka belum datang. Jadi Arka jangan bersedih lagi, ya!” Hanif menyodorkan sepiring nasi beef teriyaki yang semula ia pesan. Ya, dia sengaja memesan dua karena tahu jika sang istri sama sekali tak berniat memberi Mira makan.Mengetahui suaminya memberi Mira satu porsi, Mega lantas semakin tersulut emosi. Hanya saja, ia tidak ingin terlihat kalah di depan Mira sehingga berpura-pura tidak terjad
“Kenapa nggak mau? Bukannya kakak selalu ingin punya kamar sendiri?”Mega dan Mira langsung bisa menangkap apa yang dia bocah itu bicarakan. Mega menorehkan senyum, merasa senang dengan keinginan Hana tersebut.“Jadi, apa Hana ingin punya kamar sendiri?” tanya Mega seraya melirik ke belakang sekilas.“Iya, Tante. Dari dulu Hana sangat ingin punya kamar sendiri. Padahal waktu kita tinggal di kandang kambing saja Hana juga ingin memilih kamar, tapi ibu nggak boleh, katanya takut Hana kedinginan.” Hanya bercerita dengan begitu antusias.Bocah itu sama sekali tak tahu jika Mira kini selalu salah di mata Mega. Perlakuan Mira pada anak-anaknya seringkali terdengar kejam dan tak berperasaan, padahal hanya itu yang bisa ia lakukan demi ketiga anak dengan ketidakmampuannya.Benar saja, Mega seketika mendelik menatap Mira yang kala itu hanya diam tertunduk.“Jadi, kalian pernah tinggal di kandang kambing?” Tatapan Mega semakin tajam menatap Mira.“Iya, Tante. Kandang kambingnya bau dan dingin.
“Bu, Arka mau temenin ibu kerja saja,” ucap Arka seraya melangkah hendak masuk ke rumah Mega.“Arka di rumah saja, jagain adek-adek,” sahut Mira sembari tersenyum.Arka memanyunkan bibirnya. Meski bersama Mega ia begitu dimanja, tetap saja tempat ternyaman adalah berada di samping sang ibu.Kini ketiganya sudah melangkah masuk, Mega tampak duduk dengan Hanif di ruang tamu. Wajah Mega begitu jelas ditekuk, membuat Mira merasa sedikit tidak enak hati.“Permisi, Mbak Mega.” Mira segera berdiri di dekat atasannya itu.“Mas, tolong bawa anak-anak ke kamar dulu. Beri mereka es krim dan permen yang tadi kubelikan,” pinta Mega pada suaminya.“Baiklah, tapi tolong tenangkan dirimu!” Hanif menatap Mega lekat.“Ya,” jawab Mega, ketus.“Ayo anak-anak, tadi Om dan Tante habis belikan kalian pakaian, mainan dan makanan. Kita lihat ke kamar sekarang!” ajak Hanif.“Iya, Om.” Hana menjawab dengan antusias.Berb
“Mira, buka pintunya!” Mega mengetuk pintu cukup kencang.Mira seketika tersentak. Ia buru-buru beranjak dan membukakan pintu.“Iya, ada apa, Mbak?” tanya Mira yang wajahnya menunjukan rasa panik.Mega yang merasa heran dengan sikap panik Mira pun spontan melirik ke dalam, mencari sumber kecemasan wanita dihadapannya.“Apa yang terjadi pada Kiano?” Mega bergegas masuk dengan sedikit mendorong tubuh Mira yang berada diambang pintu.Mega terlihat begitu cemas, dengan cepat ia menggendong tubuh kecil Kiano yang kala itu terlihat lesu.“Biasanya hanya dengan di kompres saja demamnya akan reda,” ucap Mira yang sudah pengalaman merawat anaknya itu.Mega yang tengah menggendong Kiano seketika menghentikan langkahnya, lalu mendelik menatap Mira.“Apa kamu tidak punya perasaan? Hanya di kompres? Tentu saja seorang ibu akan memberikan yang terbaik untuk anaknya,” hardik Mega.Hati Mira terasa sakit saat Mega berk
“Permisi!” Suara seorang pria terdengar dari luar kamar.Mira yang saat itu sudah memegang gagang pintu mendadak ragu saat tahu jika di luar adalah seorang pria yang suaranya saja terasa begitu asing.‘Apa aku harus membuka pintu? Atau membiarkannya saja,’ batin Mira yang kala itu dilanda kebingungan.“Tolong buka pintunya! Aku suami Mega,” ucap pria itu dengan suara yang lembut.Setelah sempat ragu, akhirnya Mira membuka kunci dan segera memutar gagang pintu, lalu menariknya.“Ma-maaf, ada yang bisa saya bantu?” Mira merasa canggung, entah kenapa jika berurusan dengan laki-laki di situasi yang sedikit sepi membuatnya teringat akan kejadian yang telah lalu. Ia takut jika terjadi fitnah atau bahkan dituduh yang tidak-tidak, karenanya memilih untuk tidak keluar dari kamar dan tetap berdiri di ambang pintu dengan disaksikan oleh dua anaknya yang semula sedang berdebat.Bukannya menjawab, pria di hadapan Mira malah terus menatap Hana dan Arka.“Apa mereka Arka dan Hana?” tanya pria itu s
Mira benar-benar canggung berada di situasi tersebut. Ia merasa jika mungkin kotak kecil tersebut adalah sesuatu yang penting.“Buat kalian saja. Ibu kan sudah besar, nggak main mainan.” Mira berusaha menolak secara halus.“Ini bukan mainan, Bu. Ini tuh coklat kasih sayang. Tante bilang sayang sama kita, jadi Tante kasih kita masing-masing dua coklat. Yang satu sudah dimakan jadi yang satu ini buat ibu.” Arka menjelaskan dengan antusias.Mira merasa semakin tak nyaman setelah mendengar penjelasan Arka. Sepertinya Mega tak suka jika coklat kasih sayang itu malah diberikan pada Mira.Kini, Mira berada di posisi serba salah. Ia tak ingin mengecewakan ketiga anaknya tapi juga tak mau membuat kesal Mega.“Ya, sudah. Kalian pegang dulu saja, ibu nggak bisa bawa sekarang karena mau lanjut kerja lagi.” Mira membelai lembut rambut ketiga anaknya.Ia buru-buru beranjak agar bisa melanjutkan pekerjaan, mengingat wajah Mega yang terlihat sem
Di klinik, Mira yang semula tak sadarkan diri itu akhirnya membuka mata. Ia tampak kebingungan saat pertama kali melihat Andi, yang ternyata terus berada di samping, menemani bersama dengan Rani.“Di mana ini?” ucap Mira, lirih.“Tadi Mbak pingsan. Makanya langsung kita bawa ke sini,” jawab Rani yang buru-buru beranjak dari tempat duduk. “Mbak kenapa nggak bilang kalau belum makan?” Mira tersenyum getir, merasa malu dengan pertanyaan Rani. Bukan ia tak mau makan, hanya saja uang yang tersisa hanya cukup untuk makan anak-anak.“Mbak lupa,” jawab Mira, lesu.“Mau nasi padang?” tanya Andi tiba-tiba.“Orang baru siuman langsung ditawari nasi padang. Ada juga beliin bubur dulu biar perutnya nggak kaget,” timpal Rani seraya mendelik ke arah Andi.Andi tersenyum, lalu berkata, “siapa tau Mira lagi nggak selera makan nggak mau makan bubur.”“Udah beli bubur saja!” Rani mendorong tubuh Andi agar pria itu segera membelik
Seperti apa yang Mira duga, para perempuan memang jelas memperlihatkan ketidaksukaannya.“Rani, jadi dia karyawan baru itu?” tanya seorang wanita.“Iya, nanti Mbak Mira ini yang jadi salah satu juru masak di sini.”“Loh, kok langsung jadi juru masak? Giliran kita malah harus lewat banyak proses,” protes salah seorang karyawan.“Sudah, Ran. Aku di mana aja nggak masalah,” bisik Mira yang malas menimbulkan percikan dan membuat permusuhan.Rani tampaknya mengerti akan ketidaknyamanan Mira. Sehingga, meski ia ingin Mira yang memegang bagian masak tetap saja demi lingkungan yang damai mau tak mau Mira harus melalui bagian lain terlebih dahulu.“Memang bagian apa yang kosong sekarang?”Para wanita itu saling pandang, lalu menunjukan senyum penuh akal bulus.“Ya bagian cuci piring lah! Memang bagian apa lagi yang selalu kosong?!” jawab mereka serentak, lalu setelahnya tertawa seolah itu adalah hal lucu.Mira menghela napas panjang, sejak awal sudah menduga jika semua tidak akan berjalan deng