Kini di depan rumah megah milik Agus sudah ramai digeruduk oleh para pekerjanya. Ternyata ada desas-desus yang membuat mereka merasa tak terima sampai berniat menuntut keadilan.
“Budi, di mana juragan? Kami ingin menuntut apa yang seharusnya menjadi hak kami!” teriak salah seorang anak buah Agus.“Tunggu sebentar, Juragan sebentar lagi akan kemari.” Budi tampak panik sejak tadi.Para pekerja pun semakin tidak puas karena Agus kunjung datang. Hingga saat Budi berniat untuk menyusul sang atasan di saat itu pula orang yang dicari datang sambil mengendarai sepeda motor.“Hey, lihat! Juragan sudah datang!” ujar salah seorang warga di tengah kerumunan.Saat itu para pekerja yang semula berisik mendadak terdiam ketika melihat wajah kesal sang atasan. Mereka sedikit takut, namun tetap ingin menyuarakan ketidakpuasan.Agus perlahan berjalan menuju ke depan para anak buahnya yang sedang protes.“Ada apa?” tanyanya dengan suara menMira merasa cemas, khawatir jika pria itu akan salah mengira.Melihat rasa cemas yang tersirat di wajah Mira membuat Nunung merasa semakin yakin dirinya akan menang kali ini.Dengan suara lantang dan nyaring Nunung pun segera berteriak, “Dadang!”Pria yang ternyata bernama Dadang pun seketika menoleh saat mendengar suara Nunung yang begitu kencang. Ia menoleh sambil memicingkan mata.“Ada apa?” teriak Dadang.“Cepat kemari!” balas Nunung yang juga berteriak.Mira semakin cemas saat tahu jika Nunung ternyata kenal dengan si pemilik uang. Kalau begitu apa mungkin pria itu akan lebih mempercayai Nunung dibanding dirinya?“Kenapa kamu selalu berusaha menyulitkanku? Padahal aku tidak pernah mengusikmu!” Mira menatap Nunung tajam.“Salah sendiri kenapa menggoda Juragan. Kalau begitu sama saja berurusan denganku.” Nunung tertawa jahat.Mira tersenyum miring. Ternyata alasan Nunung terus mengganggunya sangatlah
Mira yang semula lupa akan kehadiran Agus seketika sedikit terkejut saat tak sengaja matanya melirik pria tua itu.“Ah, maafkan saya, Juragan. Saya lupa menyisakan bakwan untuk Anda.” Mira tersenyum getir, merasa tidak enak karena merasa telah bersikap tidak sopan.“Kenapa harus minta maaf? Aku sudah sering makan yang seperti itu. Lagian aku mau belalang bukan bakwan!”Mata Mira langsung membola, teringat akan belalang pedas manis yang masih ia taruh di belakang.“Tunggu sebentar, Juragan! Saya ambilkan dulu belalang pedas manisnya.” Mira lekas beranjak pergi ke dapur.Mira menatap belalang pedas manis itu dengan harapan jika Agus akan menyukainya. Bagaimanapun ia bisa tinggal di bekas kandang kambing dengan nyaman semua adalah berkat bantuan pria tua itu.“Ini Juragan! Semoga suka!” ucap Mira seraya menyodorkan sepiring belalang pedas manis yang jika dihitung hanya terdapat tiga puluh ekor.Agus yang semula memasang wajah sinis seketika tampak bahagia saat melihat belalang terhidang
Mira berusaha mencari informasi tempat penjual ayam, meski tidak tahu apa masih mungkin kebagian atau tidak, setidaknya ia masih ingin berusaha karena tak ingin kehilangan pelanggan di hari pertama.“Permisi, Bu. Apa di sini masih ada penjual ayam ya?” Mira bertanya pada seorang wanita yang baru saja selesai belanja sayuran.“Oh, ada. Biasanya naik motor, Mbak tunggu saja di gerbang keluar desa. Biasanya nggak lama lagi lewat.”Mendengar jawaban wanita tersebut Mira pun merasa ada harapan. Meski kakinya sudah terasa sakit ia tetap melangkah dengan penuh harap.Mira berdiri seraya memandang sekeliling, tetapi tukang ayam yang di maksud masih belum ada juga sedangkan hari perlahan semakin terang.“Bagaimana ini? Apa aku ganti dengan telur saja?” gumam Mira yang mulai cemas.Karena tak ada pilihan lain mau tak mau Mira pun harus membeli telur sebagai pengganti daging ayam. Ia buru-buru belanja semua bahan agar bisa segera kembali ke
Tak terasa adzan subuh telah berkumandang, Mira segera menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Saking mengkhawatirkan sang juragan ia bahkan tak lupa menyematkan doa dalam sujudnya.“Aku sudah begitu banyak berhutang budi pada Juragan. Kuharap Juragan baik-baik saja agar aku bisa membalas semua kebaikannya,” gumam Mira yang baru saja selesai shalat.“Neng, sayur!” teriak tukang sayur langganan Mira.Dengan cepat Mira beranjak dari duduknya dan buru-buru menghampiri tukang sayur langganannya itu.“Neng, ini totalnya dua ratus ribu!” teriak tukang sayur.“Sebentar, Mas. Jangan pergi dulu! Ada yang mau saya omongin,” teriak Mira sambil mengenakan sandalnya.Tukang sayur itu pun mematikan motor yang semula sudah bersiap untuk melaju.“Iya, ada apa Neng Mira?” Tukang sayur tampak mengerutkan kening.“Mas, kenapa Juragan nggak pernah keliatan lagi, ya?”“Oh, Juragan kan lagi sakit. Memang Neng Mira nggak
Mira tak pernah menduga, seorang wanita yang dulu sering membantunya kini malah berdiri menyudutkan dirinya dengan tatapan kebencian.“Mbak Dian?” Mata Mira nanar menatap wanita yang selama ini ia segani.“Dia pernah menggoda suamiku bahkan hampir melakukan hal yang kotor!” teriak Dian.Air mata tak terasa menetes membasahi pipi. Mira sampai dibuat kesulitan berkata-kata setelah mendengar pengakuan Dian.“Tuh kan, kalian dengar sendiri seperti apa dia?” Wanita menyebalkan itu tersenyum sinis, merasa jika dirinya telah memenangkan situasi tersebut.“Heh, kalian bukan warga sini. Jangan fitnah orang, deh! Lebih baik kalian pergi saja! Kamu nggak percaya Mbak Mira seperti itu. Sudah banyak anak muda yang mengantri mengatakan cinta, tapi nggak ada tuh yang dia terima. Masa iya suami kayak gitu saja sampai harus Mbak Mira rebut,” oceh salah seorang pelanggan yang sudah tahu seperti apa Mira karena sehari-hari sering berjumpa.“Hih, dikasih tau malah ngeyel.” Wanita menyebalkan itu memanyun
Sosok itu mengingatkan Mira akan kenangan buruk yang menimpa. Kebencian membuat dadanya terasa sesak, bahkan hingga kesulitan bernapas.‘Ma-mas Damar? Jadi selama ini dia pelakunya.’Mira segera bergeser, menjauh dari jendela, lalu berjongkok sambil membekap mulutnya. Ia ketakutan setengah mati, khawatir jika Damar sampai berbuat macam-macam, mengingat rumahnya begitu mudah dihancurkan hanya dengan sekali dobrak.“Ya Allah, beri hambamu ini perlindungan. Jauhkan kami dari orang-orang yang berniat buruk,” gumam Mira dengan tangan gemetaran.Mira sadar betul jika sampai Damar berbuat nekat maka ia tak bisa berbuat apa-apa. Selain tak memiliki kekuatan juga keadaan rumah yang jauh dari pemukiman warga seakan menambah rasa takut.Mira terus berdoa di tengah rasa takutnya. Ia sudah tak bisa berharap pada manusia, rasanya hanya pertolongan tuhan saja yang menjadi harapan satu-satunya.Di tengah rasa takutnya, sekilas samar Mira mendeng
Tangan Mira seketika gemetaran. Ia merasa jika sudah tidak mungkin lagi tinggal di bekas kandang kambing tersebut dengan keadaan seperti itu.“Padahal aku tidak pernah mengusik siapa pun, tapi kenapa malah ada orang yang berusaha menyakiti keluarga kecilku,” gumam Mira yang kala itu perasaannya bercampur antara sedih dan emosi.Tak terasa kini mereka telah sampai di rumah Mira.“Mbak, Alhamdulillah dagangan sudah habis. Tadi sengaja saya panggil temen-temen biar cepet abis dan Mbak Mira bisa cepet urusin Arka.”Mata Mira berkaca-kaca, kali ini meski beberapa orang ada yang berusaha menyakiti, tetapi beberapa lainnya malah memberi bantuan tanpa pamrih.“Makasih, Bu. Maaf saya malah jadi ngerepotin.” Mira memeluk wanita paruh baya yang sering sekali membantunya itu.“Saya nggak ngerasa direpotin, kok.” Wanita paruh baya itu menepuk-nepuk pundak Mira.Saat itu dari arah rumah keluar Hana dan Kiano sambil berlari menghampiri
“Hana, Ibu titip Kiano dulu, ya! Kalian duduk di sini saja!” Mira menunjuk kursi yang berada di sudut ruang tunggu.“Iya, Bu. Emang ibu mau ke mana?” Hana menatap ibunya dengan tatapan heran.“Ibu ada perlu sebentar. Hana jangan ke mana-mana, ya!” pinta Mira seraya mengusap lembut rambut kedua anaknya.“Iya, Bu.” Hana mengangguk pelan.Mira segera beranjak, lalu berjalan seraya menatap Damar yang kala itu membelakanginya.Karena ingin tahu apa yang sedang Damar lakukan, Mira lantas duduk tepat di kursi belakang pria itu.“Mas, kapan mau menceraikannya?”“Kamu yang sabar, Mas nggak mungkin secepat itu menceraikannya. Semua harta yang kami miliki sebagian besar itu miliknya.”“Terus gimana nasib anak kita? Dokter bilang sebentar lagi melahirkan. Sekarang saja lagi mau nentuin tanggal operasi Cesar, Mas.”“Ya sementara kita begini saja. Aku pasti bakal sering nengokin kamu, kok.”Seolah keberuntungan sedang berpihak pada Mira. Obrolan rahasia itu malah bisa didengar olehnya. Tentu hal te
Mira benar-benar canggung berada di situasi tersebut. Ia merasa jika mungkin kotak kecil tersebut adalah sesuatu yang penting.“Buat kalian saja. Ibu kan sudah besar, nggak main mainan.” Mira berusaha menolak secara halus.“Ini bukan mainan, Bu. Ini tuh coklat kasih sayang. Tante bilang sayang sama kita, jadi Tante kasih kita masing-masing dua coklat. Yang satu sudah dimakan jadi yang satu ini buat ibu.” Arka menjelaskan dengan antusias.Mira merasa semakin tak nyaman setelah mendengar penjelasan Arka. Sepertinya Mega tak suka jika coklat kasih sayang itu malah diberikan pada Mira.Kini, Mira berada di posisi serba salah. Ia tak ingin mengecewakan ketiga anaknya tapi juga tak mau membuat kesal Mega.“Ya, sudah. Kalian pegang dulu saja, ibu nggak bisa bawa sekarang karena mau lanjut kerja lagi.” Mira membelai lembut rambut ketiga anaknya.Ia buru-buru beranjak agar bisa melanjutkan pekerjaan, mengingat wajah Mega yang terlihat sem
Di klinik, Mira yang semula tak sadarkan diri itu akhirnya membuka mata. Ia tampak kebingungan saat pertama kali melihat Andi, yang ternyata terus berada di samping, menemani bersama dengan Rani.“Di mana ini?” ucap Mira, lirih.“Tadi Mbak pingsan. Makanya langsung kita bawa ke sini,” jawab Rani yang buru-buru beranjak dari tempat duduk. “Mbak kenapa nggak bilang kalau belum makan?” Mira tersenyum getir, merasa malu dengan pertanyaan Rani. Bukan ia tak mau makan, hanya saja uang yang tersisa hanya cukup untuk makan anak-anak.“Mbak lupa,” jawab Mira, lesu.“Mau nasi padang?” tanya Andi tiba-tiba.“Orang baru siuman langsung ditawari nasi padang. Ada juga beliin bubur dulu biar perutnya nggak kaget,” timpal Rani seraya mendelik ke arah Andi.Andi tersenyum, lalu berkata, “siapa tau Mira lagi nggak selera makan nggak mau makan bubur.”“Udah beli bubur saja!” Rani mendorong tubuh Andi agar pria itu segera membelik
Seperti apa yang Mira duga, para perempuan memang jelas memperlihatkan ketidaksukaannya.“Rani, jadi dia karyawan baru itu?” tanya seorang wanita.“Iya, nanti Mbak Mira ini yang jadi salah satu juru masak di sini.”“Loh, kok langsung jadi juru masak? Giliran kita malah harus lewat banyak proses,” protes salah seorang karyawan.“Sudah, Ran. Aku di mana aja nggak masalah,” bisik Mira yang malas menimbulkan percikan dan membuat permusuhan.Rani tampaknya mengerti akan ketidaknyamanan Mira. Sehingga, meski ia ingin Mira yang memegang bagian masak tetap saja demi lingkungan yang damai mau tak mau Mira harus melalui bagian lain terlebih dahulu.“Memang bagian apa yang kosong sekarang?”Para wanita itu saling pandang, lalu menunjukan senyum penuh akal bulus.“Ya bagian cuci piring lah! Memang bagian apa lagi yang selalu kosong?!” jawab mereka serentak, lalu setelahnya tertawa seolah itu adalah hal lucu.Mira menghela napas panjang, sejak awal sudah menduga jika semua tidak akan berjalan deng
Rani seakan tak ada harga diri di sana. Susi memang terlihat mendominasi karena merasa dirinya mendapat kepercayaan.“Jangan halangi aku! Aku hanya ingin bertemu kakakku! Siapa kamu bisa ikut campur urusan keluargaku?” Rani mendorong Susi agar tak menghalangi jalannya. “Ayo Mbak Mira,” ajaknya seraya menarik tangan Mira.Wajah sinis Susi tampak begitu menjengkelkan, hanya seorang karyawan tapi gayanya jauh melebihi sang pemilik. Rani yang merupakan adik dari atasannya saja tampak tak ada harga diri hanya karena dirinya yang lebih sering mengurus keseluruhan catering.“Cih, hanya status adik saja gayamu sudah seperti bos,” gerutu Susi, seolah tak sadar jika dirinya jauh lebih berlagak.Rani yang sejak awal tidak menyukai Susi kini naik status menjadi benci. Ia sudah tidak peduli lagi jika karyawan kakaknya itu terus mengoceh yang terpenting dirinya dan Mira bisa masuk ke rumah.“Dasar menyebalkan dia sendiri yang berlagak seperti bos,” oce
Setelah selesai dengan urusan di klinik, Mira segera mencari tempat tinggal sementara yang tidak jauh dari klinik. Berhari-hari Mira terus bolak-balik kosan dan klinik demi bisa mengawasi buah hatinya.Tak terasa seminggu berlalu, di saat keuangan Mira semakin menipis saat itu pula kondisi Arka perlahan membaik dan sudah diperbolehkan pulang.“Ibu, nanti makan Arka tolong lebih diawasi lagi, ya!” pesan dokter yang menangani Arka.“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya selama ini.” Mira menjabat tangan dokter tersebut dengan penuh rasa terima kasih.Dokter tersebut memeluk Mira, lalu berbisik, “terima kasih karena sudah menjadi ibu yang hebat. Saya juga seorang ibu, dan merasa salut dengan perjuangan Mbak Mira.”Mata Mira berkaca-kaca, ia merasa tersentuh mendengar ucapan sang dokter. Karena sering bertemu membuat mereka menjadi dekat, hanya saja kini sudah saatnya harus berpisah.Mira sudah menyiapkan barang bawaan sehingga saa
“Hana, Ibu titip Kiano dulu, ya! Kalian duduk di sini saja!” Mira menunjuk kursi yang berada di sudut ruang tunggu.“Iya, Bu. Emang ibu mau ke mana?” Hana menatap ibunya dengan tatapan heran.“Ibu ada perlu sebentar. Hana jangan ke mana-mana, ya!” pinta Mira seraya mengusap lembut rambut kedua anaknya.“Iya, Bu.” Hana mengangguk pelan.Mira segera beranjak, lalu berjalan seraya menatap Damar yang kala itu membelakanginya.Karena ingin tahu apa yang sedang Damar lakukan, Mira lantas duduk tepat di kursi belakang pria itu.“Mas, kapan mau menceraikannya?”“Kamu yang sabar, Mas nggak mungkin secepat itu menceraikannya. Semua harta yang kami miliki sebagian besar itu miliknya.”“Terus gimana nasib anak kita? Dokter bilang sebentar lagi melahirkan. Sekarang saja lagi mau nentuin tanggal operasi Cesar, Mas.”“Ya sementara kita begini saja. Aku pasti bakal sering nengokin kamu, kok.”Seolah keberuntungan sedang berpihak pada Mira. Obrolan rahasia itu malah bisa didengar olehnya. Tentu hal te
Tangan Mira seketika gemetaran. Ia merasa jika sudah tidak mungkin lagi tinggal di bekas kandang kambing tersebut dengan keadaan seperti itu.“Padahal aku tidak pernah mengusik siapa pun, tapi kenapa malah ada orang yang berusaha menyakiti keluarga kecilku,” gumam Mira yang kala itu perasaannya bercampur antara sedih dan emosi.Tak terasa kini mereka telah sampai di rumah Mira.“Mbak, Alhamdulillah dagangan sudah habis. Tadi sengaja saya panggil temen-temen biar cepet abis dan Mbak Mira bisa cepet urusin Arka.”Mata Mira berkaca-kaca, kali ini meski beberapa orang ada yang berusaha menyakiti, tetapi beberapa lainnya malah memberi bantuan tanpa pamrih.“Makasih, Bu. Maaf saya malah jadi ngerepotin.” Mira memeluk wanita paruh baya yang sering sekali membantunya itu.“Saya nggak ngerasa direpotin, kok.” Wanita paruh baya itu menepuk-nepuk pundak Mira.Saat itu dari arah rumah keluar Hana dan Kiano sambil berlari menghampiri
Sosok itu mengingatkan Mira akan kenangan buruk yang menimpa. Kebencian membuat dadanya terasa sesak, bahkan hingga kesulitan bernapas.‘Ma-mas Damar? Jadi selama ini dia pelakunya.’Mira segera bergeser, menjauh dari jendela, lalu berjongkok sambil membekap mulutnya. Ia ketakutan setengah mati, khawatir jika Damar sampai berbuat macam-macam, mengingat rumahnya begitu mudah dihancurkan hanya dengan sekali dobrak.“Ya Allah, beri hambamu ini perlindungan. Jauhkan kami dari orang-orang yang berniat buruk,” gumam Mira dengan tangan gemetaran.Mira sadar betul jika sampai Damar berbuat nekat maka ia tak bisa berbuat apa-apa. Selain tak memiliki kekuatan juga keadaan rumah yang jauh dari pemukiman warga seakan menambah rasa takut.Mira terus berdoa di tengah rasa takutnya. Ia sudah tak bisa berharap pada manusia, rasanya hanya pertolongan tuhan saja yang menjadi harapan satu-satunya.Di tengah rasa takutnya, sekilas samar Mira mendeng
Mira tak pernah menduga, seorang wanita yang dulu sering membantunya kini malah berdiri menyudutkan dirinya dengan tatapan kebencian.“Mbak Dian?” Mata Mira nanar menatap wanita yang selama ini ia segani.“Dia pernah menggoda suamiku bahkan hampir melakukan hal yang kotor!” teriak Dian.Air mata tak terasa menetes membasahi pipi. Mira sampai dibuat kesulitan berkata-kata setelah mendengar pengakuan Dian.“Tuh kan, kalian dengar sendiri seperti apa dia?” Wanita menyebalkan itu tersenyum sinis, merasa jika dirinya telah memenangkan situasi tersebut.“Heh, kalian bukan warga sini. Jangan fitnah orang, deh! Lebih baik kalian pergi saja! Kamu nggak percaya Mbak Mira seperti itu. Sudah banyak anak muda yang mengantri mengatakan cinta, tapi nggak ada tuh yang dia terima. Masa iya suami kayak gitu saja sampai harus Mbak Mira rebut,” oceh salah seorang pelanggan yang sudah tahu seperti apa Mira karena sehari-hari sering berjumpa.“Hih, dikasih tau malah ngeyel.” Wanita menyebalkan itu memanyun