Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.
“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.” “Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.” “Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.” Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat. “Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong. “Di klinik Medika.” “Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi. Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yang mampu mengungkapnya betapa hancurnya Mira. “Bu, jangan nangis lagi! Nanti Hana marahin orang-orang yang sudah marahin ibu,” oceh Hana sambil mendongak, menatap wajah sang ibu. Mira melirik Hana, lalu tersenyum sekilas. “Nggak apa-apa, Han. Mungkin memang ibu yang salah,” jawab Mira yang kembali menatap ke depan tanpa ekspresi. Ketiganya berjalan menuju klinik, yang mana saat itu tampak Arka sedang duduk sambil menangis. “Ibu!” teriak Arka saat melihat kedatangan Mira dan dua adiknya. Mira segera memeluk Arka, lalu mengusap lembut rambut sang anak. “Semua sudah selesai,” ucap Mira. Arka tidak mengerti dengan apa yang Mira katakan. Namun bocah itu merasa lebih lega saat tahu jika sang ibu dalam keadaan baik-baik saja. “Ibu, Arka mau pulang,” rengek Arka sambil menarik pakaian Mira. “Iya, kita pulang sekarang.” Mira segera membayar biaya pengobatan Arka. Uang peninggalan sang suami yang tidak seberapa itu akhirnya hanya tersisa sedikit. Bagi Mira, setidaknya masih ada sisa untuk makan beberapa hari. Kini Mira dan ketiga anaknya berjalan kembali ke rumah. Arka yang tampak kebingungan melihat ekspresi ibunya itu lantas berbisik pada Hana. “Hana, kenapa ibu diam terus? Wajah ibu juga sedikit menakutkan.” “Ibu habis dimarahi orang-orang, Kak. Awas saja, kalau Hana besar nanti, pasti Hana marahi lagi orang-orang itu.” Arka terdiam sambil mengerutkan kening. ‘Bukannya tadi ibu bertengkar dengan Om Damar? Kenapa Hana bilang ibu dimarahi orang-orang?’ batin Arka, masih belum mengerti dengan keadaan sebenarnya. Sepanjang perjalanan Mira sama sekali tak mengatakan sepatah kata pun. Hingga sesampainya di rumah, wanita itu pun segera mengambil tas dari atas lemari. “Anak-anak, bereskan barang yang kalian ingin bawa. Kita tidak akan tinggal lagi di rumah ini?” Hana dan Arka saling pandang. “Tapi, Bu? Kenapa kita harus pergi? Arka nggak mau pergi. Arka sudah sayang sama rumah ini.” “Hana juga nggak mau pergi, Bu. Gimana kalau ayah pulang? Nanti ayah bingung nyariin kita, Bu!” rengek Hana. Meski hanya sebuah rumah gubuk yang tidak begitu layak. Namun, tetap saja itu adalah tempat lahir mereka, di rumah itu pula anak-anak merasa kehangatan keluarga dan tentunya tidak semudah itu bagi mereka untuk meninggalkan tempat tersebut. “Kita sudah tidak bisa tinggal di sini lagi!” Mira mempertegas ucapannya. Arka dan Hana yang masih belum mengerti dengan keadaan itu pun lantas menangis sejadinya, saking tidak ingin pergi. “Arka nggak mau pergi, Bu. Arka mau di sini saja!” “Hana juga, Bu. Hana sayang rumah ini.” Kedua bocah itu terus menangis, membuat kepala Mira terasa mau pecah. Rasanya semua masalah yang ada dalam pikiran seolah mau meledak. “Kita diusir dari desa!” Mira menaikan suaranya. Emosi sudah menyelimuti hati wanita itu. Arka dan Hana tentu terkejut mendengar suara ibunya yang meninggi. Tidak biasanya Mira seperti itu, jika marah pun hanya menegur dengan kelembutan. Kedua bocah itu saling berpelukan. Ketika mereka berhenti menangis, di saat itu pula mendadak Kiano menangis cukup kencang saking takut melihat ibunya yang sedang emosi. Mira yang sejak awal hanya menatap kosong pun lantas mendadak menangis sambil memeluk Kiano. Pilu yang sudah tak tertahankan itu membuat semuanya meluap seiring tangis si kecil yang terdengar memilukan. Arak dan Hana yang semula takut pada ibunya itu pun buru-buru menghampiri, lalu memeluk dengan begitu erat. “Ibu, maafin Arka. Arka mau denger kata Ibu. Kalau Ibu mau pindah, Arka juga mau, kok. Arka lebih sayang Ibu daripada Rumah.” “Hana juga, Bu. Hana mau ikut pindah, tapi nanti Ibu tulis surat dulu ya biar ayah nggak bingung cariin kita,” ungkap Hana sambil menyeka air matanya. Tangis Mira semakin kencang terdengar. Dadanya semakin sesak saat mendengar Hana yang berharap ayahnya pulang. Ia tidak ingin memberitahu anaknya akan kabar yang bisa menghancurkan kebahagiaan mereka. Mira berharap bisa menelan semua luka itu sendiri. Biarlah, setidaknya hanya seperti itu cara untuk mengurangi beban anaknya. Mira segera memeluk ketiga buah hatinya. Hanya tiga anak kecil itu yang ia miliki di saat dunia begitu kejam memperlakukannya. “Maafkan, Ibu. Ibu nggak bermaksud marahin kalian,” ungkap Mira di tengah tangisnya. “Nggak apa-apa, Bu. Tadi kita yang nakal nggak mau dengerin kata Ibu,” sahut Arka sambil mengusap lembut bahu ibunya. “Iyaa, Bu. Maafin kita yang sudah nakal.” Hana melakukan hal yang sama, meniru sang kakak mengusap lembut bahu ibunya. Mira perlahan menjadi lebih tenang, sebuah pelukan membuatnya sedikit merasa jika di dunia ini masih ada yang memperdulikannya. “Cepat pergi sekarang juga!” Suara teriakan seorang wanita seketika mengejutkan Mira dan anak-anaknya. Mira segera menghapus air mata yang membasahi pipi. Buru-buru ia mengambil tas dan memasukkan beberapa lembar pakaiannya dan anak-anak. “Apa ada lagi yang mau Arka dan Hana bawa?” “Bu, Hana boleh bawa batu kesayangan Hana nggak?” Mira tersenyum, lalu mengusap rambut sang anak. “Bawa apa yang Hana ingin bawa.” Melihat batu milik Hana membuat hati Mira semakin terluka. Ya, sejak kecil anak-anaknya tak pernah dibelikan mainan, hanya memainkan benda-benda yang ada di sekitar rumah saja seperti batu, ranting atau terkadang dedaunan. Kini semua barang yang hendak dibawa sudah selesai dikemas. Bahkan sebuah kuali butut pun Mira bawa mengingat jika ia tak tahu bisa membeli yang baru atau tidak nantinya. Mira dan tiga anaknya sudah berjalan keluar rumah. Sebelum pergi sejenak mereka menatap gubuk bambu yang penuh kenangan manis itu. Padahal hanya gubuk itu yang menyisakan kenangan akan Raka. ‘Mas, maafkan aku yang tidak bisa mempertahankan rumah hasil kerja kerasmu. Tapi aku janji, suatu saat nanti aku akan kembali ke desa ini dengan diriku yang berbeda, akan kubuat mereka menyesal memperlakukan kami seperti ini," batin Mira, air mata lagi-lagi tanpa permisi mengalir deras di pipi. Begitu pun Arka dan Hana, yang merasa begitu berat meninggalkan istana yang paling indah bagi mereka itu. Mereka pun berpaling pergi, melangkah pergi, membelakangi rumah penuh cinta itu diiringi tatapan sinis beberapa warga yang hendak memastikan Mira dan anak-anaknya benar-benar pergi. ‘Ke mana aku harus pergi?’ batin Mira.Kini ibu dan tiga anak itu berjalan, menuju ke gerbang desa. Tatapan para warga desa membuat Hana dan Arka terus memegang ibunya dengan erat, saking takut melihat sorot mata yang seakan menggapai mereka adalah seorang penjahat. “Bu?” Arka menarik ujung pakaian Mira. “Tidak usah dilihat! Ada ibu di sini. Lihat ibu saja.” Mira menatap anaknya sambil berusaha tersenyum meski luka menyelimuti. Arka mengangguk tanda mengerti. Ia dan adiknya terus menempel pada sang ibu demi mencari rasa aman. “Lihatlah, baru sehari menjanda sudah menggoda suami orang.” “Wajar saja, sepertinya dia sudah tidak tahan ingin merasakan hidup enak.” “Siapa yang tidak tergoda untuk mendapatkan kekayaan instan. Hanya dengan menjadi istri kedua semua akan terasa lebih mudah.” Sindiran dan umpatan tak henti mengiringi langkah Mira dan ketiga anaknya. Orang-orang itu seakan tak memikirkan perasaan dan mental tiga bocah kecil dan hanya mementingkan emosi saja. “Bu, kenapa orang-orang itu marah-marah terus? Kena
“Ibu nggak sayang Hana! Padahal Hana cuma mau pilih kamar,” ungkap Hana sambil menangis diiringi dengan suara derasnya hujan.Hati Mira terasa semakin miris. Bukan ia tidak sayang pada Hana, hanya saja saat itu bukan waktu yang tepat untuk memilih kamar.“Hana, di sini dingin. Kita harus tidur bersama agar lebih hangat. Ibu nggak mau Hana sakit. Ibu sayang Hana.” Mira memeluk Hana dengan begitu erat.Hana yang semula menangis perlahan berhenti, lalu membalas pelukan ibunya dengan penuh cinta. “Maafin, Hana, Bu.” Hana berkata lirih.“Iyaa, sekarang ayo dekorasi dulu kamar kita. Hana boleh mempercantik ruangan yang paling depan itu.” Hana menunjuk ke arah salah satu bekas kandang yang berada di paling depan.“Ibu, Arka juga mau bantu!” pinta Arka setengah berteriak.Mira tersenyum sambil mengangguk, tak menyangka jika sang anak begitu antusias meski tempat itu hanyalah sebuah bekas kandang kambing.Arka dan Hana bermain penuh canda tawa. Meski hanya sekedar memasang selendang untuk men
Belum sempat Mira meraih botol pupuk, di saat bersamaan Arka terbangun karena terkejut dengan pergerakan ibunya.“Ibu mau ke mana?” tanya Arka sambil menggosok mata. Kepalanya masih pusing karena baru sebentar nyenyak malah dibuat terkejut.Mira terdiam sejenak, pikirannya mendadak semakin kacau dan bingung, tak tahu harus berbuat apa.“Ibu mau membetulkan selendang yang miring biar angin tidak terlalu banyak masuk ke kamar kita ini.”Arka terdiam sejenak.“Bu, tadi Arka mimpi jadi dokter,” ucap si sulung tiba-tiba.Mira kembali ke posisi semula, mengurungkan niat untuk mengambil botol pupuk karena tidak mungkin baginya melakukan hal seperti itu di saat anaknya terjaga.“Ah, iya. Bagus sekali.” Mira tersenyum gugup.“Padahal Arka ingin jadi tentara biar bisa menjaga ibu tapi malah mimpi jadi dokter.” Arka menghela napas. “Tapi tidak apa-apa, mau jadi apa saja yang pasti Arka ingin membahagiakan ibu, Arka mau buat rumah yang besar untuk ibu,” sambungnya sambil merentangkan tangan, memp
Seorang lelaki tua yang diperkirakan berumur tujuh puluh tahun itu berdiri sambil terus menatap Mira dan sesekali menoleh ke arah tiga anaknya. Wajah pria itu sedikit menyeramkan, mirip seorang yang pemarah.“Maaf, saya hanya sedang mencari ikan di sini,” sahut Mira yang segera beranjak. Ia menunduk, tak berani menatap wajah lelaki tua itu.“Apa kalian tinggal di kandang kambing bekas di sebelah sana?” Lelaki tua itu menunjuk ke arah tempat Mira dan tiga anaknya bermalam.Mira menelan saliva, mendadak jantungnya berdebar tak karuan. Ia merasa cemas, khawatir jika dirinya dan anak-anak malah di usir.“Be-benar.” Mira mulai panik.“Memang siapa yang mengizinkan kalian tinggal di sana?” Lelaki tua itu bertanya dengan nada ketus.“Ma-maaf, kami tidak punya rumah. Hanya ingin menumpang sementara saja.”Pria tua itu terdiam sejenak. Namun, bukannya menjawab, ia malah berlari ke arah Kiano. Tentu saja hal tersebut membuat Mira terkejut dan buru-buru mengikuti dari belakang.“Tolong jangan sa
“Kenapa wajahmu pucat begitu, Mira?” tanya Raka sambil menenteng sekantong plastik kecil berisi beras yang baru ia beli setelah bekerja seharian.“Asam lambungku kumat, Mas,” jawab Mira, lirih. Wanita itu berbaring di kasur lusuh sambil memegangi perutnya. Di samping ada ketiga anak yang sedang terlelap karena hari sudah malam.Raka yang panik lantas bergegas ke dapur buru-buru menanak nasi di atas tungku yang baru saja dinyalakan. Tak sampai disitu, karena uang hasil kasbon pada bos hanya cukup membeli beras, ia pun berinisiatif untuk memetik bayam liar di dekat kali yang tidak jauh dari gubuknya.Lelah setelah bekerja seharian tak membuat Raka mengeluh. Dalam pikirannya hanya membayangkan bagaimana caranya agar Mira bisa segera mengisi perutnya. Ia yakin jika sang istri telah menahan lapar sejak pagi demi mementingkan perut buah hati mereka.“Mira, maafin Mas yang belum pernah bisa membahagiakan kalian. Kamu malah harus terus menahan lapar demi anak-anak,” gumam Raka sambil menggese
Raka yang saat itu sedang berada di luar kamar mandi, menunggu giliran seketika menegur sang anak yang terlihat berpura-pura.“Tapi air ini dingin ayah. Memang Ayah tega liat Arka kedinginan?”“Ya sudah. Ayah bakal menjaga rahasia Arka. Tapi kedepannya jangan bohong lagi ya! Dengarkan kata ibu. Arka anak ayah paling besar, nanti Arka yang jagain ibu dan adik-adik.”Arka menghela napas. Ia sudah begitu sering mendengar nasihat sang ayah hingga membuatnya sedikit bosanSetelah selesai di kamar mandi. Arka buru-buru kembali ke dalam rumah. Saat itu makanan sudah terhidang rapi di atas meja lusuh bekas tetangga yang tak terpakai.Saat itu sudah ada Hana dan Kiano dengan wajah masih mengantuk. Sudah menjadi tradisi keluarga kecil itu untuk sarapan bersama. Prinsip mereka, walau lauk tidak seberapa, setidaknya kebersamaan akan membuat makanan terasa jauh lebih nikmat.“Yee, makan daging,” teriak Hana sambil melompat bersemangat.Melihat anaknya begitu bahagia, Mira malah bersedih. Ia merasa
‘Arka, Hana dan Kiano adalah anak yang baik, tapi nasib mereka yang tidak baik terlahir dari rahim seorang perempuan miskin sepertiku,’ batin Mira dengan mata berkaca-kaca.Mira sudah tak kuasa menahan pilu yang seakan tak henti menerpa hidupnya. Ia menghentikan langkahnya, lalu berjongkok memeluk ketiga anaknya itu.“Maafin Ibu yang belum bisa membahagiakan kalian.”Hana dan Arka saling pandang.“Ibu nggak salah, Arka sayang Ibu.”“Hana juga sayang Ibu.”“Eno uda tayang, mbu,” ucap Kiano tiba-tiba.Mendengar ucapan Kiano membuat Mira dan kedua anaknya itu seketika terkejut. Itu adalah kata yang pertama keluar dari mulut bocah kecil itu setelah sekian lama seolah enggan berbicara.Meski awalnya hati terasa pilu, sikap sederhana dari Kiano benar-benar membuat mereka merasa bahagia dan seakan lupa dengan apa yang terjadi sebelumnya.Beberapa jam berlalu, saat Mira masih bekerja sebagai buruh cuci tiba-tiba Raka datang sambil berteriak memanggilnya.“Mira, Mas ada kabar baik. Ayo kita pu
“Benar, ada yang bisa saya bantu?” tanya Mira dengan perasaan tak karuan, bahkan meski polisi tersebut belum mengatakan apa pun dadanya malah sudah terasa begitu sesak.Polisi itu terdiam sejenak sesaat setelah melihat keberadaan tiga bocah kecil yang mengintip dari belakang tubuh ibunya.“Sebelumnya saya minta maaf karena akan menyampaikan kabar kurang baik,” ucap polisi tersebut yang matanya tak henti menatap ketiga anak Mira.Dari usia sang polisi jelas terlihat jika ia pun memiliki anak seumuran ketiga bocah dihadapannya. Pria itu sedikit merasa tidak tega untuk menyampaikan berita yang tentunya akan membuat keluarga kecil itu sangat terpukul.“Ja-jadi, ada apa ya, Pak?” Jantung Mira semakin berdebar tak karuan. Rasanya bahkan begitu sulit untuk bernapas saking dadanya terasa sesak.Polisi itu menghela napas panjang. Ia tampak berat untuk mengatakan kabar buruk tersebut.“Bapak Raka Riswandi telah mengalami kecelakaan. Mobil yang beliau tumpangi masuk ke jurang yang cukup dalam se