Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.
“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.” “Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.” “Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.” Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat. “Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong. “Di klinik Medika.” “Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi. Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yang mampu mengungkapnya betapa hancurnya Mira. “Bu, jangan nangis lagi! Nanti Hana marahin orang-orang yang sudah marahin ibu,” oceh Hana sambil mendongak, menatap wajah sang ibu. Mira melirik Hana, lalu tersenyum sekilas. “Nggak apa-apa, Han. Mungkin memang ibu yang salah,” jawab Mira yang kembali menatap ke depan tanpa ekspresi. Ketiganya berjalan menuju klinik, yang mana saat itu tampak Arka sedang duduk sambil menangis. “Ibu!” teriak Arka saat melihat kedatangan Mira dan dua adiknya. Mira segera memeluk Arka, lalu mengusap lembut rambut sang anak. “Semua sudah selesai,” ucap Mira. Arka tidak mengerti dengan apa yang Mira katakan. Namun bocah itu merasa lebih lega saat tahu jika sang ibu dalam keadaan baik-baik saja. “Ibu, Arka mau pulang,” rengek Arka sambil menarik pakaian Mira. “Iya, kita pulang sekarang.” Mira segera membayar biaya pengobatan Arka. Uang peninggalan sang suami yang tidak seberapa itu akhirnya hanya tersisa sedikit. Bagi Mira, setidaknya masih ada sisa untuk makan beberapa hari. Kini Mira dan ketiga anaknya berjalan kembali ke rumah. Arka yang tampak kebingungan melihat ekspresi ibunya itu lantas berbisik pada Hana. “Hana, kenapa ibu diam terus? Wajah ibu juga sedikit menakutkan.” “Ibu habis dimarahi orang-orang, Kak. Awas saja, kalau Hana besar nanti, pasti Hana marahi lagi orang-orang itu.” Arka terdiam sambil mengerutkan kening. ‘Bukannya tadi ibu bertengkar dengan Om Damar? Kenapa Hana bilang ibu dimarahi orang-orang?’ batin Arka, masih belum mengerti dengan keadaan sebenarnya. Sepanjang perjalanan Mira sama sekali tak mengatakan sepatah kata pun. Hingga sesampainya di rumah, wanita itu pun segera mengambil tas dari atas lemari. “Anak-anak, bereskan barang yang kalian ingin bawa. Kita tidak akan tinggal lagi di rumah ini?” Hana dan Arka saling pandang. “Tapi, Bu? Kenapa kita harus pergi? Arka nggak mau pergi. Arka sudah sayang sama rumah ini.” “Hana juga nggak mau pergi, Bu. Gimana kalau ayah pulang? Nanti ayah bingung nyariin kita, Bu!” rengek Hana. Meski hanya sebuah rumah gubuk yang tidak begitu layak. Namun, tetap saja itu adalah tempat lahir mereka, di rumah itu pula anak-anak merasa kehangatan keluarga dan tentunya tidak semudah itu bagi mereka untuk meninggalkan tempat tersebut. “Kita sudah tidak bisa tinggal di sini lagi!” Mira mempertegas ucapannya. Arka dan Hana yang masih belum mengerti dengan keadaan itu pun lantas menangis sejadinya, saking tidak ingin pergi. “Arka nggak mau pergi, Bu. Arka mau di sini saja!” “Hana juga, Bu. Hana sayang rumah ini.” Kedua bocah itu terus menangis, membuat kepala Mira terasa mau pecah. Rasanya semua masalah yang ada dalam pikiran seolah mau meledak. “Kita diusir dari desa!” Mira menaikan suaranya. Emosi sudah menyelimuti hati wanita itu. Arka dan Hana tentu terkejut mendengar suara ibunya yang meninggi. Tidak biasanya Mira seperti itu, jika marah pun hanya menegur dengan kelembutan. Kedua bocah itu saling berpelukan. Ketika mereka berhenti menangis, di saat itu pula mendadak Kiano menangis cukup kencang saking takut melihat ibunya yang sedang emosi. Mira yang sejak awal hanya menatap kosong pun lantas mendadak menangis sambil memeluk Kiano. Pilu yang sudah tak tertahankan itu membuat semuanya meluap seiring tangis si kecil yang terdengar memilukan. Arak dan Hana yang semula takut pada ibunya itu pun buru-buru menghampiri, lalu memeluk dengan begitu erat. “Ibu, maafin Arka. Arka mau denger kata Ibu. Kalau Ibu mau pindah, Arka juga mau, kok. Arka lebih sayang Ibu daripada Rumah.” “Hana juga, Bu. Hana mau ikut pindah, tapi nanti Ibu tulis surat dulu ya biar ayah nggak bingung cariin kita,” ungkap Hana sambil menyeka air matanya. Tangis Mira semakin kencang terdengar. Dadanya semakin sesak saat mendengar Hana yang berharap ayahnya pulang. Ia tidak ingin memberitahu anaknya akan kabar yang bisa menghancurkan kebahagiaan mereka. Mira berharap bisa menelan semua luka itu sendiri. Biarlah, setidaknya hanya seperti itu cara untuk mengurangi beban anaknya. Mira segera memeluk ketiga buah hatinya. Hanya tiga anak kecil itu yang ia miliki di saat dunia begitu kejam memperlakukannya. “Maafkan, Ibu. Ibu nggak bermaksud marahin kalian,” ungkap Mira di tengah tangisnya. “Nggak apa-apa, Bu. Tadi kita yang nakal nggak mau dengerin kata Ibu,” sahut Arka sambil mengusap lembut bahu ibunya. “Iyaa, Bu. Maafin kita yang sudah nakal.” Hana melakukan hal yang sama, meniru sang kakak mengusap lembut bahu ibunya. Mira perlahan menjadi lebih tenang, sebuah pelukan membuatnya sedikit merasa jika di dunia ini masih ada yang memperdulikannya. “Cepat pergi sekarang juga!” Suara teriakan seorang wanita seketika mengejutkan Mira dan anak-anaknya. Mira segera menghapus air mata yang membasahi pipi. Buru-buru ia mengambil tas dan memasukkan beberapa lembar pakaiannya dan anak-anak. “Apa ada lagi yang mau Arka dan Hana bawa?” “Bu, Hana boleh bawa batu kesayangan Hana nggak?” Mira tersenyum, lalu mengusap rambut sang anak. “Bawa apa yang Hana ingin bawa.” Melihat batu milik Hana membuat hati Mira semakin terluka. Ya, sejak kecil anak-anaknya tak pernah dibelikan mainan, hanya memainkan benda-benda yang ada di sekitar rumah saja seperti batu, ranting atau terkadang dedaunan. Kini semua barang yang hendak dibawa sudah selesai dikemas. Bahkan sebuah kuali butut pun Mira bawa mengingat jika ia tak tahu bisa membeli yang baru atau tidak nantinya. Mira dan tiga anaknya sudah berjalan keluar rumah. Sebelum pergi sejenak mereka menatap gubuk bambu yang penuh kenangan manis itu. Padahal hanya gubuk itu yang menyisakan kenangan akan Raka. ‘Mas, maafkan aku yang tidak bisa mempertahankan rumah hasil kerja kerasmu. Tapi aku janji, suatu saat nanti aku akan kembali ke desa ini dengan diriku yang berbeda, akan kubuat mereka menyesal memperlakukan kami seperti ini," batin Mira, air mata lagi-lagi tanpa permisi mengalir deras di pipi. Begitu pun Arka dan Hana, yang merasa begitu berat meninggalkan istana yang paling indah bagi mereka itu. Mereka pun berpaling pergi, melangkah pergi, membelakangi rumah penuh cinta itu diiringi tatapan sinis beberapa warga yang hendak memastikan Mira dan anak-anaknya benar-benar pergi. ‘Ke mana aku harus pergi?’ batin Mira.Kini ibu dan tiga anak itu berjalan, menuju ke gerbang desa. Tatapan para warga desa membuat Hana dan Arka terus memegang ibunya dengan erat, saking takut melihat sorot mata yang seakan menggapai mereka adalah seorang penjahat. “Bu?” Arka menarik ujung pakaian Mira. “Tidak usah dilihat! Ada ibu di sini. Lihat ibu saja.” Mira menatap anaknya sambil berusaha tersenyum meski luka menyelimuti. Arka mengangguk tanda mengerti. Ia dan adiknya terus menempel pada sang ibu demi mencari rasa aman. “Lihatlah, baru sehari menjanda sudah menggoda suami orang.” “Wajar saja, sepertinya dia sudah tidak tahan ingin merasakan hidup enak.” “Siapa yang tidak tergoda untuk mendapatkan kekayaan instan. Hanya dengan menjadi istri kedua semua akan terasa lebih mudah.” Sindiran dan umpatan tak henti mengiringi langkah Mira dan ketiga anaknya. Orang-orang itu seakan tak memikirkan perasaan dan mental tiga bocah kecil dan hanya mementingkan emosi saja. “Bu, kenapa orang-orang itu marah-marah terus? Kena
“Ibu nggak sayang Hana! Padahal Hana cuma mau pilih kamar,” ungkap Hana sambil menangis diiringi dengan suara derasnya hujan.Hati Mira terasa semakin miris. Bukan ia tidak sayang pada Hana, hanya saja saat itu bukan waktu yang tepat untuk memilih kamar.“Hana, di sini dingin. Kita harus tidur bersama agar lebih hangat. Ibu nggak mau Hana sakit. Ibu sayang Hana.” Mira memeluk Hana dengan begitu erat.Hana yang semula menangis perlahan berhenti, lalu membalas pelukan ibunya dengan penuh cinta. “Maafin, Hana, Bu.” Hana berkata lirih.“Iyaa, sekarang ayo dekorasi dulu kamar kita. Hana boleh mempercantik ruangan yang paling depan itu.” Hana menunjuk ke arah salah satu bekas kandang yang berada di paling depan.“Ibu, Arka juga mau bantu!” pinta Arka setengah berteriak.Mira tersenyum sambil mengangguk, tak menyangka jika sang anak begitu antusias meski tempat itu hanyalah sebuah bekas kandang kambing.Arka dan Hana bermain penuh canda tawa. Meski hanya sekedar memasang selendang untuk men
Belum sempat Mira meraih botol pupuk, di saat bersamaan Arka terbangun karena terkejut dengan pergerakan ibunya.“Ibu mau ke mana?” tanya Arka sambil menggosok mata. Kepalanya masih pusing karena baru sebentar nyenyak malah dibuat terkejut.Mira terdiam sejenak, pikirannya mendadak semakin kacau dan bingung, tak tahu harus berbuat apa.“Ibu mau membetulkan selendang yang miring biar angin tidak terlalu banyak masuk ke kamar kita ini.”Arka terdiam sejenak.“Bu, tadi Arka mimpi jadi dokter,” ucap si sulung tiba-tiba.Mira kembali ke posisi semula, mengurungkan niat untuk mengambil botol pupuk karena tidak mungkin baginya melakukan hal seperti itu di saat anaknya terjaga.“Ah, iya. Bagus sekali.” Mira tersenyum gugup.“Padahal Arka ingin jadi tentara biar bisa menjaga ibu tapi malah mimpi jadi dokter.” Arka menghela napas. “Tapi tidak apa-apa, mau jadi apa saja yang pasti Arka ingin membahagiakan ibu, Arka mau buat rumah yang besar untuk ibu,” sambungnya sambil merentangkan tangan, memp
Seorang lelaki tua yang diperkirakan berumur tujuh puluh tahun itu berdiri sambil terus menatap Mira dan sesekali menoleh ke arah tiga anaknya. Wajah pria itu sedikit menyeramkan, mirip seorang yang pemarah.“Maaf, saya hanya sedang mencari ikan di sini,” sahut Mira yang segera beranjak. Ia menunduk, tak berani menatap wajah lelaki tua itu.“Apa kalian tinggal di kandang kambing bekas di sebelah sana?” Lelaki tua itu menunjuk ke arah tempat Mira dan tiga anaknya bermalam.Mira menelan saliva, mendadak jantungnya berdebar tak karuan. Ia merasa cemas, khawatir jika dirinya dan anak-anak malah di usir.“Be-benar.” Mira mulai panik.“Memang siapa yang mengizinkan kalian tinggal di sana?” Lelaki tua itu bertanya dengan nada ketus.“Ma-maaf, kami tidak punya rumah. Hanya ingin menumpang sementara saja.”Pria tua itu terdiam sejenak. Namun, bukannya menjawab, ia malah berlari ke arah Kiano. Tentu saja hal tersebut membuat Mira terkejut dan buru-buru mengikuti dari belakang.“Tolong jangan sa
Beruntung lumpur hanya mengenai tubuh Mira meski wanita tua itu mengarahkannya pada Kiano.“Apa Anda tidak memiliki perasaan? Memang kenapa kalau menginjak sawah? Saya sama sekali tidak merusaknya!” teriak Mira yang mulai kesal.Orang lain boleh menyakiti dirinya, tetapi tidak dengan anaknya. Wanita tua itu jelas sekali hendak mengarahkan lumpur ke Kiano dengan tanpa perasaannya.“Hey, berisik sekali! Cepat pergi dari sawahku! Aku benci melihat perempuan muda berjalan di sekitar sawahku.”Mira sampai dibuat keheranan. Namun, ia memilih untuk mengalah karena tak tega melihat ketiga anaknya ketakutan.“Arka … Hana … ayo kita pergi dari sini,” ajak Mira seraya menuntun Hana dan membiarkan Arka berjalan di depan.Wanita itu tampak tersenyum puas melihat Mira dan ketiga anaknya pergi. Hingga mendadak pria tua yang meminta Mira mencarikan keong untuknya itu datang dengan mengendarai motor butut.“Apa kamu sudah mendapatkan apa yang aku mau?” tanya pria tua itu dengan tatapan sinis.“Belum.”
“Iya, saya akan menjaga rahasia itu,” jawab Mira dengan perasaan gugup.“Bagus. Kalau begitu sekarang buatkan aku keong bumbu kuning. Jika ada yang bertanya bilang saja kalau itu makanan untukmu,” titah Agus dengan gaya angkuhnya.“I-iya, Pak.”Mira tak banyak bertanya dan hanya menebak jika mungkin rahasia yang dimaksud adalah tentang keong tersebut. ‘Apa mungkin dia malu karena identitasnya yang orang berada?’ batin Mira seraya mulai mengupas bumbu.“Bu, Hana mau bantu.”“Arka juga, Bu.”“Hana dan Arka jaga Kiano saja. Biar ibu yang masak.”“Tapi, Bu … Kiano lagi asyik sama kakek itu.” Hana menunjuk ke arah Agus yang sedang bermain dengan si bungsu.Mira terpaku, tak menyangka jika Kiano malah menjadi sedekat itu dengan Agus meski mereka baru saling kenal.Demi bisa tinggal di bekas kandang kambing itu dengan gratis, Mira pun tak mau membuang waktu dan bergegas membuat apa yang Agus inginkan dengan dibantu oleh Arka dan Hana.“Bu, Kenapa kakek itu suka keong? Bukannya orang kaya bi
“Aku hanya sedang berpegangan karena baru saja tergelincir. Lihatlah! Bajuku saja sampai kotor gara-gara jatuh.” Mira menunjukan bagian belakang pakaiannya yang dipenuhi lumpur.“Bohong! Dia berniat menyakitiku!” Nunung tak ingin Mira lolos begitu saja.Beberapa orang yang hadir di sana seolah lebih mempercayai Mira melihat bukti nyata di depan mata. Sedangkan Nunung hanya berbicara tanpa dasar.“Maaf, mungkin hanya terjadi salah paham di sini. Harusnya aku meminta izin dulu baru memegang tangan Ibu.” Mira meraih tangan Nunung lalu menggenggamnya lembut.Emosi sudah menguasai Nunung, tentu saja ia kesal saat Mira menyentuh tangannya sehingga dengan penuh amarah wanita tua itu segera menarik tangannya dengan begitu kencang.“Aku tidak sudi bersentuhan denganmu!” hardik Nunung.Orang-orang yang semula hendak menolong Nunung pun seketika menjadi tak senang dengan caranya memperlakukan Mira.“Yaelah, Bu. Cuma dipegang aja sa
Nunung terus tertawa seolah ada sesuatu yang telah membuatnya bahagia. Sambil berjalan ia segera memakan ubi dan kacang pemberian Agus tersebut.“Rasanya begitu enak. Apa karena ini pemberian Juragan Agus?” Nunung memegangi pipinya yang memerah akibat membayangkan wajah sang atasan yang tak lain adalah pujaan hatinya.Semua ubi dan kacang yang semula akan diberikan untuk pada Mira dan anak-anaknya pun seketika ludes dilahap oleh Nunung.“Hihihi, kebetulan sekali ada kotoran sapi. Biar tau rasa tuh perempuan gatal.” Nunung memungut kotoran sapi tersebut, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik.Meski menjijikan Nunung sama sekali tak menghiraukannya, dalam pikiran hanya ada tentang bagaimana cara memberi pelajaran pada Mira.Nunung berjalan sambil menenteng kantong plastik berisi kotoran sapi. Meski usia sudah menginjak kepala lima tetap saja tak menghilangkan sifat kekanak-kanakan yang timbul akibat kecemburuan tak berdasar.Ia kini telah sampai di tempat yang Mira tinggali. Nunun
Agus secara tiba-tiba memberikan sebuah gunting dengan hiasan pita kepada Mira. Tentu saja hal tersebut membuat Mira dan Raka kebingungan.“Pak, apa maksudnya ini?” bisik Mira yang kala itu tampak kebingungan.“Ini milik kalian. Hadiah dariku atas kelahiran Syafa, juga ucapan selamat atas usaha kalian yang semakin sukses,” jelas Agus dengan santainya.“Tapi ini terlalu berlebihan, Pak.” Raka turut menjawab.“Hey, yang namanya hadiah ya suka-suka yang ngasih!” tegas Agus sambil menatap tajam, “apa jangan-jangan kalian nggak mau menerima hadiah dariku?”Raka terkejut mendengar ucapan Agus, tentu saja bukan itu yang dia maksud.“Bukan, Pak! Tapi ini–”“Semuanya, saya disini hanya mendampingi Mira dan Raka untuk melancarkan bisnis wisata ini. Mereka hanya punya uang, tapi tidak tahu alur untuk pengelolaan bisnis wisata,” jelas Agus dengan menggunakan pengeras suara.Bukan hanya para warga yang terus menghujat, Mira dan Raka saja sampai dibuat tak bisa berkata-kata mendengar ucapan Agus.“
Pagi itu, ketika Mira tengah memberi ASI anaknya yang baru lahir, mendadak suara bell rumah mengejutkannya.“Siapa yang datang pagi-pagi begini?” gumam Mira sambil perlahan berusaha bergeser agar anaknya tidak terbangun.Setelah berhasil lepas dari pelukan sang anak, Mira buru-buru keluar kamar, lalu membukakan pintu.“Surprise,” ucap Agus yang kala itu tengah bersama Raka dan ketiga anak mereka.Mira mengerutkan kening, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.“Surprise?” Mira mengerutkan kening sambil tersenyum bingung.Agus melirik Raka, meminta pria itu untuk menjelaskan semuanya pada Mira.“Ceritanya panjang, cuma Pak Agus minta kita buat kembali ke kampung, ada yang harus kita liat,” jelas Raka.“Memangnya apa?” Mira masih belum mengerti dengan apa yang sebenarnya Raka maksud.“Mas juga kurang tau–”“Sudahlah! Jangan banyak tanya! Kalian pergi hari ini juga, biar bisnis kalian asistenku yang urus.”Mira dan Raka saling pandang sambil berbicara dengan nada cukup tinggi, saking
“Kita langsung ke dokter saja, ya! Mungkin ini efek kamu terlalu stres mikirin masalah tadi,” ungkap Raka seraya merangkul sang istri. Mira dengan tubuh lemas dan perut yang mualnya tak tertahankan lebih memilih duduk terlebih dahulu untuk meredakan rasa yang membuatnya tak nyaman tersebut. Anak-anak yang mengerti jika sang ibu sedang tak enak badan itu seketika meniru ayah mereka memijat-mijat pelan di bagian lengan dan kaki. “Mas, kalau udah enakan saja ya pergi ke kliniknya, perutku lagi nggak nyaman banget.” “Kalau begitu biar Mas panggilkan dokter ke rumah saja.” Raka segera menelpon dokter kenalannya. ART di rumah pun tak kalah perhatian. Ia langsung membawakan teh manis hangat ketika tahu Mira sedang tidak enak badan. “Bu, sebelumnya saya minta maaf kalau agak kurang sopan. Kalau boleh tahu kapan ibu terakhir haid?” tanya asisten rumah tangga tersebut. Mira mengerutkan alis dan sontak terkejut seketika. “I-itu, apa mungkin?” Mira tersenyum canggung. Raka yang sedang men
Raka yang sedang berada tak jauh dari tempat Mira menerima panggilan telepon sontak terkejut saat mendengar sang istri setengah berteriak.“Ada apa? Kenapa sampai terkejut begitu?” Raka memegangi bahu Mira.“Ini Mas.” Mira menunjukan sebuah pesan pada Raka.Raka segera meraih ponsel Mira dan membaca isi pesan di dalamnya. Ia mengerutkan alis dan terdiam untuk beberapa saat.Kala itu Mira tampak sedang menahan air mata, tak menyangka dengan apa yang dibacanya.“Setelah sekian lama mencampakanmu sekarang mereka malah berusaha mempermalukanmu begini?” Raka tanpa sengaja meremas ponsel Mira saking merasa kesal.“Kupikir mereka sudah nggak menganggapku ada. Tapi ternyata di saat aku sudah sukses, malah mengatakan pada semua orang kalau aku menelantarkan mereka.”“Om dan bibimu sudah sangat keterlaluan. Biar aku bantu luruskan saja semuanya. Biar keluargamu itu pada tau.”“Percuma, mereka nggak bakalan mau dengar. Kalau begitu, Mas antar aku ke rumah sakit saja. Biar sekalian ketemu keluarg
Kala itu warung Iyun barang dagangannya tak terlihat sepadat dulu. Hanya beberapa barang saja yang dipajang, itu pun tampak sudah berdebu seperti tak tersentuh.Beruntung cabut-cabutan yang Arka inginkan masih ada dan bahkan masih begitu banyak.“Bu, Arka mau semua boleh?” tanya Arka seraya menunjuk yang ia inginkan.Mendengar suara Arka, Iyun yang semula sedang terkantuk menunggui warung sampai dibuat terkejut.“Mi-mira?” gumam Iyun dengan mata membelalak, “mau ngapain kamu ke sini?” tanyanya seraya menatap sinis.Iyun sama sekali tak tahu jika Mira yang kini sudah di hadapannya berbeda dengan yang dulu.“Maaf, saya ke sini karena ada yang mau dibeli.”Iyun perlahan menatap pakaian Mira dan anak-anak yang kini terlihat bagus. Ia pun lebih memilih diam dan membiarkan Mira belanja di tempatnya.“Ibu Arka mau kue juga.”“Ambil saja.”Anak-anak tampaknya sengaja mengambil apa yang dulu tak bisa me
“Bukannya itu Mira? Apa aku nggak salah liat? Dia naik mobil mahal dan mewah begitu.”“Iya, anak-anaknya juga pake baju bagus. Mereka benar-benar jauh berbeda.”“Apa mungkin mereka pesugihan? Masa iya bisa kayak secepat itu?”“Loh, kamu nggak tahu? Mira itu kan sempat viral di media sosial.”Para warga desa yang menyaksikan kedatang Mira dan Raka tak hentinya berbisik. Mereka antara bingung, terkejut, juga tak menyangka dengan apa yang mereka lihat.Hanya saja, Mira kali ini berusaha untuk tak ambil pusing tentang ucapan para warga desa dan memilih fokus pada orang yang dituju saja.Kala itu di rumah Roni tampak istrinya yang sedang hamil besar terkejut melihat kedatang Mira dan Raka.“Mas Roninya ada, Mbak?” tanya Mira seraya tersenyum.Istri Roni pun heran karena ternyata Mira datang-datang malah mencari suaminya.“Maaf Mbak Mira, apa suami pernah pinjam uang? Atau melakukan kesalahan?” tanya wanita itu dengan wajah kebingungan.Mira tersenyum melihat tingkah istri Roni. Ia tahu bet
Semua mata tertuju pada Raka dan Mira, sepasang suami istri yang begitu serasi, membuat mereka yang melihat menjadi kagum dan terpana.“Wah, sepertinya laki-laki itu memang suaminya. Mereka cocok sekali.”“Benar, tatapan keduanya saja keliatan saling mencintai.”“Yah, beberti Nunung saja yang iri dia nggak bisa dapetin laki-laki seganteng suami si Mbak itu.”Orang-orang yang menyaksikan sontak tertawa. Mereka menertawakan Nunung karena telah gegabah menuduh yang tidak-tidak.Merasa malu, Nunung pun segera pergi sambil menggerutu, sedangkan orang-orang yang berkerumun bergegas membubarkan diri.Mira dan Raka saling pandang, sejak tadi mereka terus menahan tawa.“Mas datang di saat yang tepat,” ungkap Mira.“Sebenarnya Mas sudah perhatikan dari tadi. Cuma nunggu waktu yang pas yang paling greget saja.” Raka terkekeh.Mira mencubit lengan sang suami, “jadi, apa seru melihatku dipermalukan?” “Enggak begitu sayang.” Raka terlihat panik.Mira malah tersenyum melihat tingkah sang suami.Di
Hari itu setelah Mira menitipkan toko pada Nia dan Susi, ia pun segera bersiap mengemas barang-barang yang akan dibawanya.Kenangan pahit itu terus terngiang, dada Mira seringkali terasa sesak ketika teringat tentang dirinya dan anak-anak yang diusir dari desa dengan tidak terhormat.“Kenapa melamun terus? Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan?” tanya Raka seraya menggenggam tangan Mira.Mira menatap Raka lekat, rasanya ia ingin mencurahkan apa yang mengganjal di dalam hati. Namun, mendadak ia khawatir dengan respon sang suami nantinya.“Ada sesuatu yang terus mengganggu pikiranku,” ungkap Mira yang sedang berusaha terlihat tenang.“Apa? Katakan saja,” pinta Raka sambil mengusap lembut kepala Mira.Mira menghela napas panjang, lalu berucap, “Mas janji nggak bakalan marah kalau ceritain?”“Ya, Mas janji.” Raka terlihat semakin penasaran, tatapannya terlihat semakin tajam, bahkan tarikan napasnya terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya.Mira lagi-lagi menghela napas panjang, matanya tak b
“Ah, iya. Kebetulan aku kenal Mira,” sahut Jojo malu-malu.“Jadi, kamu kenal Mbak Mira? Wah rasanya dunia sempit sekali, sekian lama aku cariin kamu sekarang malah ketemu di saat seperti ini.”Jojo hanya tersenyum, jantungnya berdebar tak karuan. Melihat wajah Rani membuatnya teringat akan luka lama.“Kenapa diam saja? Kamu malas ngobrol sama aku? Kamu tuh setelah tiba-tiba pergi tanpa ada kata putus sekarang malah kayak gini sama aku. Kamu kenapa sih sebenernya?” protes Rani sambil memanyunkan bibir.Jojo lagi-lagi hanya tersenyum dan tak mengatakan apa-apa.Mendapat respon yang kurang baik, Rani pun memilih untuk diam meski dalam hati terasa begitu kesal.Meski sedang saling diam mereka tetap memilih untuk membantu Mira meski masing-masing merasa tak nyaman dengan situasi tersebut.“Alhamdulillah, akhirnya bisa istirahat juga,” ungkap Mira seraya merentangkan tangan yang pegal.“Bisnismu bagus sekali. Aku salut dengan cara pemasaran kalian. Apa kalian nggak ada niat buat memperluas