Beranda / Pernikahan / Daging Keong Untuk Tiga Anakku / Bab 7. Istana yang Paling Indah

Share

Bab 7. Istana yang Paling Indah

Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.

“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.”

“Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.”

“Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.”

Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat.

“Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong.

“Di klinik Medika.”

“Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi.

Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yang mampu mengungkapnya betapa hancurnya Mira.

“Bu, jangan nangis lagi! Nanti Hana marahin orang-orang yang sudah marahin ibu,” oceh Hana sambil mendongak, menatap wajah sang ibu.

Mira melirik Hana, lalu tersenyum sekilas.

“Nggak apa-apa, Han. Mungkin memang ibu yang salah,” jawab Mira yang kembali menatap ke depan tanpa ekspresi.

Ketiganya berjalan menuju klinik, yang mana saat itu tampak Arka sedang duduk sambil menangis.

“Ibu!” teriak Arka saat melihat kedatangan Mira dan dua adiknya.

Mira segera memeluk Arka, lalu mengusap lembut rambut sang anak.

“Semua sudah selesai,” ucap Mira.

Arka tidak mengerti dengan apa yang Mira katakan. Namun bocah itu merasa lebih lega saat tahu jika sang ibu dalam keadaan baik-baik saja.

“Ibu, Arka mau pulang,” rengek Arka sambil menarik pakaian Mira.

“Iya, kita pulang sekarang.”

Mira segera membayar biaya pengobatan Arka. Uang peninggalan sang suami yang tidak seberapa itu akhirnya hanya tersisa sedikit. Bagi Mira, setidaknya masih ada sisa untuk makan beberapa hari.

Kini Mira dan ketiga anaknya berjalan kembali ke rumah.

Arka yang tampak kebingungan melihat ekspresi ibunya itu lantas berbisik pada Hana.

“Hana, kenapa ibu diam terus? Wajah ibu juga sedikit menakutkan.”

“Ibu habis dimarahi orang-orang, Kak. Awas saja, kalau Hana besar nanti, pasti Hana marahi lagi orang-orang itu.”

Arka terdiam sambil mengerutkan kening.

‘Bukannya tadi ibu bertengkar dengan Om Damar? Kenapa Hana bilang ibu dimarahi orang-orang?’ batin Arka, masih belum mengerti dengan keadaan sebenarnya.

Sepanjang perjalanan Mira sama sekali tak mengatakan sepatah kata pun. Hingga sesampainya di rumah, wanita itu pun segera mengambil tas dari atas lemari.

“Anak-anak, bereskan barang yang kalian ingin bawa. Kita tidak akan tinggal lagi di rumah ini?”

Hana dan Arka saling pandang.

“Tapi, Bu? Kenapa kita harus pergi? Arka nggak mau pergi. Arka sudah sayang sama rumah ini.”

“Hana juga nggak mau pergi, Bu. Gimana kalau ayah pulang? Nanti ayah bingung nyariin kita, Bu!” rengek Hana.

Meski hanya sebuah rumah gubuk yang tidak begitu layak. Namun, tetap saja itu adalah tempat lahir mereka, di rumah itu pula anak-anak merasa kehangatan keluarga dan tentunya tidak semudah itu bagi mereka untuk meninggalkan tempat tersebut.

“Kita sudah tidak bisa tinggal di sini lagi!” Mira mempertegas ucapannya.

Arka dan Hana yang masih belum mengerti dengan keadaan itu pun lantas menangis sejadinya, saking tidak ingin pergi.

“Arka nggak mau pergi, Bu. Arka mau di sini saja!”

“Hana juga, Bu. Hana sayang rumah ini.”

Kedua bocah itu terus menangis, membuat kepala Mira terasa mau pecah. Rasanya semua masalah yang ada dalam pikiran seolah mau meledak.

“Kita diusir dari desa!” Mira menaikan suaranya. Emosi sudah menyelimuti hati wanita itu.

Arka dan Hana tentu terkejut mendengar suara ibunya yang meninggi. Tidak biasanya Mira seperti itu, jika marah pun hanya menegur dengan kelembutan.

Kedua bocah itu saling berpelukan. Ketika mereka berhenti menangis, di saat itu pula mendadak Kiano menangis cukup kencang saking takut melihat ibunya yang sedang emosi.

Mira yang sejak awal hanya menatap kosong pun lantas mendadak menangis sambil memeluk Kiano. Pilu yang sudah tak tertahankan itu membuat semuanya meluap seiring tangis si kecil yang terdengar memilukan.

Arak dan Hana yang semula takut pada ibunya itu pun buru-buru menghampiri, lalu memeluk dengan begitu erat.

“Ibu, maafin Arka. Arka mau denger kata Ibu. Kalau Ibu mau pindah, Arka juga mau, kok. Arka lebih sayang Ibu daripada Rumah.”

“Hana juga, Bu. Hana mau ikut pindah, tapi nanti Ibu tulis surat dulu ya biar ayah nggak bingung cariin kita,” ungkap Hana sambil menyeka air matanya.

Tangis Mira semakin kencang terdengar. Dadanya semakin sesak saat mendengar Hana yang berharap ayahnya pulang. Ia tidak ingin memberitahu anaknya akan kabar yang bisa menghancurkan kebahagiaan mereka. Mira berharap bisa menelan semua luka itu sendiri. Biarlah, setidaknya hanya seperti itu cara untuk mengurangi beban anaknya.

Mira segera memeluk ketiga buah hatinya. Hanya tiga anak kecil itu yang ia miliki di saat dunia begitu kejam memperlakukannya.

“Maafkan, Ibu. Ibu nggak bermaksud marahin kalian,” ungkap Mira di tengah tangisnya.

“Nggak apa-apa, Bu. Tadi kita yang nakal nggak mau dengerin kata Ibu,” sahut Arka sambil mengusap lembut bahu ibunya.

“Iyaa, Bu. Maafin kita yang sudah nakal.” Hana melakukan hal yang sama, meniru sang kakak mengusap lembut bahu ibunya.

Mira perlahan menjadi lebih tenang, sebuah pelukan membuatnya sedikit merasa jika di dunia ini masih ada yang memperdulikannya.

“Cepat pergi sekarang juga!” Suara teriakan seorang wanita seketika mengejutkan Mira dan anak-anaknya.

Mira segera menghapus air mata yang membasahi pipi. Buru-buru ia mengambil tas dan memasukkan beberapa lembar pakaiannya dan anak-anak.

“Apa ada lagi yang mau Arka dan Hana bawa?”

“Bu, Hana boleh bawa batu kesayangan Hana nggak?”

Mira tersenyum, lalu mengusap rambut sang anak.

“Bawa apa yang Hana ingin bawa.”

Melihat batu milik Hana membuat hati Mira semakin terluka. Ya, sejak kecil anak-anaknya tak pernah dibelikan mainan, hanya memainkan benda-benda yang ada di sekitar rumah saja seperti batu, ranting atau terkadang dedaunan.

Kini semua barang yang hendak dibawa sudah selesai dikemas. Bahkan sebuah kuali butut pun Mira bawa mengingat jika ia tak tahu bisa membeli yang baru atau tidak nantinya.

Mira dan tiga anaknya sudah berjalan keluar rumah. Sebelum pergi sejenak mereka menatap gubuk bambu yang penuh kenangan manis itu. Padahal hanya gubuk itu yang menyisakan kenangan akan Raka.

‘Mas, maafkan aku yang tidak bisa mempertahankan rumah hasil kerja kerasmu. Tapi aku janji, suatu saat nanti aku akan kembali ke desa ini dengan diriku yang berbeda, akan kubuat mereka menyesal memperlakukan kami seperti ini," batin Mira, air mata lagi-lagi tanpa permisi mengalir deras di pipi.

Begitu pun Arka dan Hana, yang merasa begitu berat meninggalkan istana yang paling indah bagi mereka itu.

Mereka pun berpaling pergi, melangkah pergi, membelakangi rumah penuh cinta itu diiringi tatapan sinis beberapa warga yang hendak memastikan Mira dan anak-anaknya benar-benar pergi.

‘Ke mana aku harus pergi?’ batin Mira.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status