Raka yang saat itu sedang berada di luar kamar mandi, menunggu giliran seketika menegur sang anak yang terlihat berpura-pura.
“Tapi air ini dingin ayah. Memang Ayah tega liat Arka kedinginan?” “Ya sudah. Ayah bakal menjaga rahasia Arka. Tapi kedepannya jangan bohong lagi ya! Dengarkan kata ibu. Arka anak ayah paling besar, nanti Arka yang jagain ibu dan adik-adik.” Arka menghela napas. Ia sudah begitu sering mendengar nasihat sang ayah hingga membuatnya sedikit bosan Setelah selesai di kamar mandi. Arka buru-buru kembali ke dalam rumah. Saat itu makanan sudah terhidang rapi di atas meja lusuh bekas tetangga yang tak terpakai. Saat itu sudah ada Hana dan Kiano dengan wajah masih mengantuk. Sudah menjadi tradisi keluarga kecil itu untuk sarapan bersama. Prinsip mereka, walau lauk tidak seberapa, setidaknya kebersamaan akan membuat makanan terasa jauh lebih nikmat. “Yee, makan daging,” teriak Hana sambil melompat bersemangat. Melihat anaknya begitu bahagia, Mira malah bersedih. Ia merasa jadi ibu yang buruk karena telah membohongi sang anak. Sarapan kali itu dipenuhi perasaan bahagia. Hingga setelah Raka pamit untuk kerja, Mira pun segera mendatangi tetangga yang biasa menggunakan jasanya untuk mencuci. “Arka jaga adik-adik dulu ya, Ibu mau nyuci sebentar,” pinta Mira. “Iyaa, Bu.” Arka segera membawa adik-adiknya untuk bermain di kebun dekat Mira sedang bekerja. Ketiga bocah itu sama sekali tidak pernah bermain dengan anak lain di sana karena dikucilkan akibat kemiskinan mereka. “Hey, liat tuh! Si tiga anak miskin,” ucap seorang anak sambil menunjuk ketiga anak kecil yang sedang asyik bermain. Arka dan Hana yang lebih mengerti memilih untuk mengabaikan ucapan anak kecil lain yang sejak dulu memang sering menghina mereka. “Hana, biarkan saja. Jangan dilihat,” bisik Arka. “Iya, Kak. Hana tahu,” jawab Hana yang saat itu sedang membentuk tanah liat. Diamnya ketiga bocah itu membuat anak lain yang meledek mereka menjadi murka. Salah seorang dari anak nakal itu lantas mengambil segumpal tanah dan melemparkannya pada si bungsu. Tentu saja Kiano yang tidak tahu apa-apa itu seketika menangis cukup kencang. “Ha-ha-ha, pura-pura nggak denger tahunya malah nangis.” Para anak-anak nakal itu tertawa terbahak-bahak melihat Kiano menangis. Mereka terlihat begitu puas seolah itu adalah sebuah hiburan. Arka mulai kesal, tetapi berusaha untuk bersabar karena pada akhirnya kemiskinan membuat mereka akan berakhir disalahkan. Ia segera menuntun Kiano, hendak membawa si bungsu pergi menjauh dari anak-anak nakal. “Ayo Hana, kita main di tempat lain saja,” ajak Arka. Seakan belum puas dengan tangis Kiano, para anak nakal itu pun kembali melempar gumpalan tanah dan kali ini mengenai Hana. Entah apa yang ada di dalam gumpalan itu, sehingga kening Hana berdarah. Tentu gadis kecil itu akhirnya menangis meski sudah menahan sedih sejak tadi. “Ibu … jidat Hana sakit,” teriak Hana sambil mengusap keningnya. Tangis bocah itu semakin keras saat ia melihat darah di jarinya, “jidat Hana berdarah, Kak Arka.” Arka yang murka lantas melepas pegangannya pada Kiano. “Kakak titip Kiano dulu,” ucap Arka pada Hana. Hana tak menjawab dan hanya menggenggam tangan mungil Kiano yang masih belum berhenti menangis. “Hey, jangan ganggu adikku! Kalau berani lawan aku!” teriak Arka yang sudah murka. Anak-anak nakal itu merasa terpanggil. Mereka mendekati Arka dengan tatapan meremehkan. Yang terjadi selanjutnya diluar dugaan bocah-bocah nakal itu. Arka dengan penuh emosi mendorong salah satu anak yang tadi melempar tanah ke arah Hana dan Kiano. Anak nakal yang Arka dorong pun seketika menangis. Salah satu diantara mereka bergegas berlari, menjemput orang tua dari si anak nakal yang menangis. Tak berselang lama, orang tua bocah itu datang dengan wajah merah padam. Tanpa perasaan pria itu menjewer telinga Arka. “Dasar bocah miskin! Kamu pikir kamu siapa?” Pria itu menjewer semakin kencang, tak memperdulikan Arka yang meringis kesakitan. Hana yang melihat kejadian itu bergegas menghampiri Mira sambil menuntun Kiano. Gadis kecil itu sadar diri, meski ingin menolong tetap saja hal tersebut sangat tidak mungkin mengingat dirinya jauh lebih kecil dan tidak berdaya. “Ibu … Bu … Kak Arka lagi dijewer Om Tino,” teriak Hana sesampainya di rumah tempat Mira bekerja. Melihat kondisi kening Hana yang berdarah-darah tentu membuat Mira pun menjadi panik. Belum lagi Kiano masih belum berhenti menangis. “Apa yang terjadi, Hana? Di mana Kakakmu?” Mira mengedarkan pandangan, mencari keberadaan anak sulungnya itu. “Itu … di sebelah sana, Bu!” Hana menunjuk ke arah kebun tempat mereka bermain tadi. Dengan perasaan cemas tak karuan Mira bergegas menuju ke tempat Arka. Benar saja, saat sampai di lokasi, ia mendapati anaknya sedang dijewer oleh Toni, bahkan pria itu sudah mengangkat tangannya seperti hendak menampar. “Berhenti!” teriak Mira sambil berlari ke arah Toni, “lepaskan Arka!” Melihat kedatangan Mira, Toni yang semula tampak emosi itu seketika berubah tersenyum. Pria itu menatap dengan sorot mata genit menjijikan. “Eh, Dek Mira. Tolong anaknya di kasih tau. Arka ini sudah keterlaluan,” ucap Toni sambil tersenyum genit. “Maaf, Pak Toni. Tapi saya tau seperti apa Arka, kalau nggak diganggu dia nggak bakal ganggu anak lain duluan.” Mira tahu persis seperti anaknya. Terlebih ia melihat kening Hana yang terluka dan juga Kiano yang tak henti menangis. Dari kedua hal tersebut saja bisa disimpulkan jika Arka sedang berusaha membela adiknya. “Bohong Ayah, Arka yang duluan mendorong!” ujar bocah nakal seakan tak terima dengan ucapan Mira. “Bener itu, Om. Arka yang ganggu duluan,” bela anak lainnya. “Bohong, kalian yang melempar duluan! Jidat Hana sampai berdarah begitu!” Arka pun tak tinggal diam. Toni yang tak senang dengan Arka lantas memelototi bocah itu seolah bola matanya hendak keluar. Tanpa sadar ia mengangkat tangannya, hendak melayangkan sebuah tamparan. Di saat bersamaan, Mira secara reflek menghalangi tubuh mungil Arka dengan tubuhnya. Hingga tamparan itu malah mengenai punggungnya. Rasanya sangat menyakitkan, Mira yang orang dewasa saja sampai meringis. Entah apa yang akan terjadi jika sampai mengenai Arka. “Ibu … maafin Arka, Bu.” Tangis Arka yang semula tertahan pada akhirnya meluap semua. Bocah kecil itu tidak tega melihat sang ibu meringis kesakitan. “Pak, Apa ini sudah cukup? Kalau begitu saya pergi dulu. Saya harap Anda bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah sebelum bertindak sesuatu.” Mira segera menuntun Arka dan Hana sambil menggendong Kiano. Sepanjang perjalanan kembali ke tempat kerjanya, Mira sama sekali tak bicara. Hana dan Arka terus menatap wajah ibunya itu dengan perasaan sedih sekaligus takut. “Bu, maafin Arka. Arka janji nggak deket-deket anak nakal itu lagi.” Mira menghela napas, lalu berusaha menunjukan senyum menutupi luka. “Arka nggak salah. Ibu tau Arka pengen ngelindungin adek-adek.” Dada Mira terasa sesak. Kemiskinan membuat anaknya sampai harus diperlakukan seperti itu.‘Arka, Hana dan Kiano adalah anak yang baik, tapi nasib mereka yang tidak baik terlahir dari rahim seorang perempuan miskin sepertiku,’ batin Mira dengan mata berkaca-kaca.Mira sudah tak kuasa menahan pilu yang seakan tak henti menerpa hidupnya. Ia menghentikan langkahnya, lalu berjongkok memeluk ketiga anaknya itu.“Maafin Ibu yang belum bisa membahagiakan kalian.”Hana dan Arka saling pandang.“Ibu nggak salah, Arka sayang Ibu.”“Hana juga sayang Ibu.”“Eno uda tayang, mbu,” ucap Kiano tiba-tiba.Mendengar ucapan Kiano membuat Mira dan kedua anaknya itu seketika terkejut. Itu adalah kata yang pertama keluar dari mulut bocah kecil itu setelah sekian lama seolah enggan berbicara.Meski awalnya hati terasa pilu, sikap sederhana dari Kiano benar-benar membuat mereka merasa bahagia dan seakan lupa dengan apa yang terjadi sebelumnya.Beberapa jam berlalu, saat Mira masih bekerja sebagai buruh cuci tiba-tiba Raka datang sambil berteriak memanggilnya.“Mira, Mas ada kabar baik. Ayo kita pu
“Benar, ada yang bisa saya bantu?” tanya Mira dengan perasaan tak karuan, bahkan meski polisi tersebut belum mengatakan apa pun dadanya malah sudah terasa begitu sesak.Polisi itu terdiam sejenak sesaat setelah melihat keberadaan tiga bocah kecil yang mengintip dari belakang tubuh ibunya.“Sebelumnya saya minta maaf karena akan menyampaikan kabar kurang baik,” ucap polisi tersebut yang matanya tak henti menatap ketiga anak Mira.Dari usia sang polisi jelas terlihat jika ia pun memiliki anak seumuran ketiga bocah dihadapannya. Pria itu sedikit merasa tidak tega untuk menyampaikan berita yang tentunya akan membuat keluarga kecil itu sangat terpukul.“Ja-jadi, ada apa ya, Pak?” Jantung Mira semakin berdebar tak karuan. Rasanya bahkan begitu sulit untuk bernapas saking dadanya terasa sesak.Polisi itu menghela napas panjang. Ia tampak berat untuk mengatakan kabar buruk tersebut.“Bapak Raka Riswandi telah mengalami kecelakaan. Mobil yang beliau tumpangi masuk ke jurang yang cukup dalam se
Mira memeluk Arka erat. Ia menaruh telunjuknya di tengah bibir sang anak, lalu berbisik, “Arka jangan bersuara. Nanti juga pergi.”Meski berusaha menenangkan Arka, tetapi tidak dipungkiri jika perasaannya sedang cemas kala itu. Si pengintip yang sempat menghilang kini kembali lagi.‘Kenapa dia datang lagi? Siapa dia? Apa maunya? Apa jebakan yang Mas Raka buat tidak membuatnya jera?’ Mira seketika terdiam, perlahan mulai sadar jika si pengintip tersebut datang karena tahu kalau suaminya telah tiada. Lagi-lagi air mata berlinang, baru sebentar Raka pergi tapi satu masalah sudah mulai muncul.‘Mas Raka, semoga aku bisa menghadapi semua ini,’ batin Mira sambil memeluk Arka erat.Beberapa kali sosok bayangan tersebut melintas di dekat celah yang sedikit lebih besar. Mira berdebar tak karuan, meski hanya mengintip, tetapi rasa takut itu begitu besar.Beruntung tak berselang lama suara ayam berkokok mengiringi perginya si pengintip tersebut.Arka susah terlelap di pelukan Mira. Keduanya ter
“Lepas! Jika tidak, aku akan berteriak!” ancam Mira.“Kamu pikir aku takut? Lagipula mereka akan lebih membelaku daripada kamu.”Mata Mira berkaca-kaca, dirinya tak menyangka jika baru satu hari kepergian Raka tapi seorang pria malah datang dengan niat buruk padanya.“Ayolah, ikut aku! Tenang saja, aku akan membayar semuanya. Atau kalau mau, aku bisa menjadikanmu istri kedua, semua kebutuhanmu dan anak-anak akan kutanggung.”Mira menggeleng kepala pelan. Bulir bening itu kian bercucuran membasahi wajahnya.“Lepaskan!” balas Mira yang sama sekali tak menghiraukan tawaran pria hidung belang itu.Ia tak habis pikir, bisa-bisanya suami dari wanita yang begitu baik padanya ternyata memiliki sifat yang seolah berbalikan dengan istrinya.Pria itu bernama Damar, suami dari Dian, orang yang sering sekali membantu Mira. Ibu tiga anak itu merasa tidak tega jika sampai ia berteriak dan membuat Dian tahu kelakuan Damar. Juga satu sisi Mira tak ingin kalau dirinya sampai ternodai oleh pria yang bu
Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.”“Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.”“Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.”Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat.“Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong.“Di klinik Medika.”“Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi.Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yan
Kini ibu dan tiga anak itu berjalan, menuju ke gerbang desa. Tatapan para warga desa membuat Hana dan Arka terus memegang ibunya dengan erat, saking takut melihat sorot mata yang seakan menggapai mereka adalah seorang penjahat. “Bu?” Arka menarik ujung pakaian Mira. “Tidak usah dilihat! Ada ibu di sini. Lihat ibu saja.” Mira menatap anaknya sambil berusaha tersenyum meski luka menyelimuti. Arka mengangguk tanda mengerti. Ia dan adiknya terus menempel pada sang ibu demi mencari rasa aman. “Lihatlah, baru sehari menjanda sudah menggoda suami orang.” “Wajar saja, sepertinya dia sudah tidak tahan ingin merasakan hidup enak.” “Siapa yang tidak tergoda untuk mendapatkan kekayaan instan. Hanya dengan menjadi istri kedua semua akan terasa lebih mudah.” Sindiran dan umpatan tak henti mengiringi langkah Mira dan ketiga anaknya. Orang-orang itu seakan tak memikirkan perasaan dan mental tiga bocah kecil dan hanya mementingkan emosi saja. “Bu, kenapa orang-orang itu marah-marah terus? Kena
“Ibu nggak sayang Hana! Padahal Hana cuma mau pilih kamar,” ungkap Hana sambil menangis diiringi dengan suara derasnya hujan.Hati Mira terasa semakin miris. Bukan ia tidak sayang pada Hana, hanya saja saat itu bukan waktu yang tepat untuk memilih kamar.“Hana, di sini dingin. Kita harus tidur bersama agar lebih hangat. Ibu nggak mau Hana sakit. Ibu sayang Hana.” Mira memeluk Hana dengan begitu erat.Hana yang semula menangis perlahan berhenti, lalu membalas pelukan ibunya dengan penuh cinta. “Maafin, Hana, Bu.” Hana berkata lirih.“Iyaa, sekarang ayo dekorasi dulu kamar kita. Hana boleh mempercantik ruangan yang paling depan itu.” Hana menunjuk ke arah salah satu bekas kandang yang berada di paling depan.“Ibu, Arka juga mau bantu!” pinta Arka setengah berteriak.Mira tersenyum sambil mengangguk, tak menyangka jika sang anak begitu antusias meski tempat itu hanyalah sebuah bekas kandang kambing.Arka dan Hana bermain penuh canda tawa. Meski hanya sekedar memasang selendang untuk men
Belum sempat Mira meraih botol pupuk, di saat bersamaan Arka terbangun karena terkejut dengan pergerakan ibunya.“Ibu mau ke mana?” tanya Arka sambil menggosok mata. Kepalanya masih pusing karena baru sebentar nyenyak malah dibuat terkejut.Mira terdiam sejenak, pikirannya mendadak semakin kacau dan bingung, tak tahu harus berbuat apa.“Ibu mau membetulkan selendang yang miring biar angin tidak terlalu banyak masuk ke kamar kita ini.”Arka terdiam sejenak.“Bu, tadi Arka mimpi jadi dokter,” ucap si sulung tiba-tiba.Mira kembali ke posisi semula, mengurungkan niat untuk mengambil botol pupuk karena tidak mungkin baginya melakukan hal seperti itu di saat anaknya terjaga.“Ah, iya. Bagus sekali.” Mira tersenyum gugup.“Padahal Arka ingin jadi tentara biar bisa menjaga ibu tapi malah mimpi jadi dokter.” Arka menghela napas. “Tapi tidak apa-apa, mau jadi apa saja yang pasti Arka ingin membahagiakan ibu, Arka mau buat rumah yang besar untuk ibu,” sambungnya sambil merentangkan tangan, memp