Share

Bab 2. Karena Kemiskinan

Raka yang saat itu sedang berada di luar kamar mandi, menunggu giliran seketika menegur sang anak yang terlihat berpura-pura.

“Tapi air ini dingin ayah. Memang Ayah tega liat Arka kedinginan?”

“Ya sudah. Ayah bakal menjaga rahasia Arka. Tapi kedepannya jangan bohong lagi ya! Dengarkan kata ibu. Arka anak ayah paling besar, nanti Arka yang jagain ibu dan adik-adik.”

Arka menghela napas. Ia sudah begitu sering mendengar nasihat sang ayah hingga membuatnya sedikit bosan

Setelah selesai di kamar mandi. Arka buru-buru kembali ke dalam rumah. Saat itu makanan sudah terhidang rapi di atas meja lusuh bekas tetangga yang tak terpakai.

Saat itu sudah ada Hana dan Kiano dengan wajah masih mengantuk. Sudah menjadi tradisi keluarga kecil itu untuk sarapan bersama. Prinsip mereka, walau lauk tidak seberapa, setidaknya kebersamaan akan membuat makanan terasa jauh lebih nikmat.

“Yee, makan daging,” teriak Hana sambil melompat bersemangat.

Melihat anaknya begitu bahagia, Mira malah bersedih. Ia merasa jadi ibu yang buruk karena telah membohongi sang anak.

Sarapan kali itu dipenuhi perasaan bahagia. Hingga setelah Raka pamit untuk kerja, Mira pun segera mendatangi tetangga yang biasa menggunakan jasanya untuk mencuci.

“Arka jaga adik-adik dulu ya, Ibu mau nyuci sebentar,” pinta Mira.

“Iyaa, Bu.”

Arka segera membawa adik-adiknya untuk bermain di kebun dekat Mira sedang bekerja. Ketiga bocah itu sama sekali tidak pernah bermain dengan anak lain di sana karena dikucilkan akibat kemiskinan mereka.

“Hey, liat tuh! Si tiga anak miskin,” ucap seorang anak sambil menunjuk ketiga anak kecil yang sedang asyik bermain.

Arka dan Hana yang lebih mengerti memilih untuk mengabaikan ucapan anak kecil lain yang sejak dulu memang sering menghina mereka.

“Hana, biarkan saja. Jangan dilihat,” bisik Arka.

“Iya, Kak. Hana tahu,” jawab Hana yang saat itu sedang membentuk tanah liat.

Diamnya ketiga bocah itu membuat anak lain yang meledek mereka menjadi murka. Salah seorang dari anak nakal itu lantas mengambil segumpal tanah dan melemparkannya pada si bungsu. Tentu saja Kiano yang tidak tahu apa-apa itu seketika menangis cukup kencang.

“Ha-ha-ha, pura-pura nggak denger tahunya malah nangis.”

Para anak-anak nakal itu tertawa terbahak-bahak melihat Kiano menangis. Mereka terlihat begitu puas seolah itu adalah sebuah hiburan.

Arka mulai kesal, tetapi berusaha untuk bersabar karena pada akhirnya kemiskinan membuat mereka akan berakhir disalahkan. Ia segera menuntun Kiano, hendak membawa si bungsu pergi menjauh dari anak-anak nakal.

“Ayo Hana, kita main di tempat lain saja,” ajak Arka.

Seakan belum puas dengan tangis Kiano, para anak nakal itu pun kembali melempar gumpalan tanah dan kali ini mengenai Hana. Entah apa yang ada di dalam gumpalan itu, sehingga kening Hana berdarah. Tentu gadis kecil itu akhirnya menangis meski sudah menahan sedih sejak tadi.

“Ibu … jidat Hana sakit,” teriak Hana sambil mengusap keningnya. Tangis bocah itu semakin keras saat ia melihat darah di jarinya, “jidat Hana berdarah, Kak Arka.”

Arka yang murka lantas melepas pegangannya pada Kiano.

“Kakak titip Kiano dulu,” ucap Arka pada Hana.

Hana tak menjawab dan hanya menggenggam tangan mungil Kiano yang masih belum berhenti menangis.

“Hey, jangan ganggu adikku! Kalau berani lawan aku!” teriak Arka yang sudah murka.

Anak-anak nakal itu merasa terpanggil. Mereka mendekati Arka dengan tatapan meremehkan.

Yang terjadi selanjutnya diluar dugaan bocah-bocah nakal itu. Arka dengan penuh emosi mendorong salah satu anak yang tadi melempar tanah ke arah Hana dan Kiano.

Anak nakal yang Arka dorong pun seketika menangis. Salah satu diantara mereka bergegas berlari, menjemput orang tua dari si anak nakal yang menangis.

Tak berselang lama, orang tua bocah itu datang dengan wajah merah padam. Tanpa perasaan pria itu menjewer telinga Arka.

“Dasar bocah miskin! Kamu pikir kamu siapa?” Pria itu menjewer semakin kencang, tak memperdulikan Arka yang meringis kesakitan.

Hana yang melihat kejadian itu bergegas menghampiri Mira sambil menuntun Kiano. Gadis kecil itu sadar diri, meski ingin menolong tetap saja hal tersebut sangat tidak mungkin mengingat dirinya jauh lebih kecil dan tidak berdaya.

“Ibu … Bu … Kak Arka lagi dijewer Om Tino,” teriak Hana sesampainya di rumah tempat Mira bekerja.

Melihat kondisi kening Hana yang berdarah-darah tentu membuat Mira pun menjadi panik. Belum lagi Kiano masih belum berhenti menangis.

“Apa yang terjadi, Hana? Di mana Kakakmu?” Mira mengedarkan pandangan, mencari keberadaan anak sulungnya itu.

“Itu … di sebelah sana, Bu!” Hana menunjuk ke arah kebun tempat mereka bermain tadi.

Dengan perasaan cemas tak karuan Mira bergegas menuju ke tempat Arka. Benar saja, saat sampai di lokasi, ia mendapati anaknya sedang dijewer oleh Toni, bahkan pria itu sudah mengangkat tangannya seperti hendak menampar.

“Berhenti!” teriak Mira sambil berlari ke arah Toni, “lepaskan Arka!”

Melihat kedatangan Mira, Toni yang semula tampak emosi itu seketika berubah tersenyum. Pria itu menatap dengan sorot mata genit menjijikan.

“Eh, Dek Mira. Tolong anaknya di kasih tau. Arka ini sudah keterlaluan,” ucap Toni sambil tersenyum genit.

“Maaf, Pak Toni. Tapi saya tau seperti apa Arka, kalau nggak diganggu dia nggak bakal ganggu anak lain duluan.”

Mira tahu persis seperti anaknya. Terlebih ia melihat kening Hana yang terluka dan juga Kiano yang tak henti menangis. Dari kedua hal tersebut saja bisa disimpulkan jika Arka sedang berusaha membela adiknya.

“Bohong Ayah, Arka yang duluan mendorong!” ujar bocah nakal seakan tak terima dengan ucapan Mira.

“Bener itu, Om. Arka yang ganggu duluan,” bela anak lainnya.

“Bohong, kalian yang melempar duluan! Jidat Hana sampai berdarah begitu!” Arka pun tak tinggal diam.

Toni yang tak senang dengan Arka lantas memelototi bocah itu seolah bola matanya hendak keluar. Tanpa sadar ia mengangkat tangannya, hendak melayangkan sebuah tamparan.

Di saat bersamaan, Mira secara reflek menghalangi tubuh mungil Arka dengan tubuhnya. Hingga tamparan itu malah mengenai punggungnya.

Rasanya sangat menyakitkan, Mira yang orang dewasa saja sampai meringis. Entah apa yang akan terjadi jika sampai mengenai Arka.

“Ibu … maafin Arka, Bu.” Tangis Arka yang semula tertahan pada akhirnya meluap semua. Bocah kecil itu tidak tega melihat sang ibu meringis kesakitan.

“Pak, Apa ini sudah cukup? Kalau begitu saya pergi dulu. Saya harap Anda bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah sebelum bertindak sesuatu.” Mira segera menuntun Arka dan Hana sambil menggendong Kiano.

Sepanjang perjalanan kembali ke tempat kerjanya, Mira sama sekali tak bicara. Hana dan Arka terus menatap wajah ibunya itu dengan perasaan sedih sekaligus takut.

“Bu, maafin Arka. Arka janji nggak deket-deket anak nakal itu lagi.”

Mira menghela napas, lalu berusaha menunjukan senyum menutupi luka.

“Arka nggak salah. Ibu tau Arka pengen ngelindungin adek-adek.”

Dada Mira terasa sesak. Kemiskinan membuat anaknya sampai harus diperlakukan seperti itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status