Share

Daging Keong Untuk Tiga Anakku
Daging Keong Untuk Tiga Anakku
Penulis: L.A. Zahra

Bab 1. Daging Keong

“Kenapa wajahmu pucat begitu, Mira?” tanya Raka sambil menenteng sekantong plastik kecil berisi beras yang baru ia beli setelah bekerja seharian.

“Asam lambungku kumat, Mas,” jawab Mira, lirih. Wanita itu berbaring di kasur lusuh sambil memegangi perutnya. Di samping ada ketiga anak yang sedang terlelap karena hari sudah malam.

Raka yang panik lantas bergegas ke dapur buru-buru menanak nasi di atas tungku yang baru saja dinyalakan. Tak sampai disitu, karena uang hasil kasbon pada bos hanya cukup membeli beras, ia pun berinisiatif untuk memetik bayam liar di dekat kali yang tidak jauh dari gubuknya.

Lelah setelah bekerja seharian tak membuat Raka mengeluh. Dalam pikirannya hanya membayangkan bagaimana caranya agar Mira bisa segera mengisi perutnya. Ia yakin jika sang istri telah menahan lapar sejak pagi demi mementingkan perut buah hati mereka.

“Mira, maafin Mas yang belum pernah bisa membahagiakan kalian. Kamu malah harus terus menahan lapar demi anak-anak,” gumam Raka sambil menggeser-geser kayu bakar agar terus menyala.

Bulir bening tak terasa menetes. Air mata seorang pria hanya keluar ketika hati benar-benar terluka. Ya, Raka begitu hancur saat terbayang wajah pucat Mira yang terbaring lesu akibat menahan lapar.

Hanya ada garam di dapur, tidak ada bawang atau bumbu lain yang bisa membuat makanan menjadi lebih nikmat. Namun, bagi orang seperti Raka bisa makan saja sudah lebih dari cukup, rasa enak hanyalah sebuah angan yang entah kapan bisa mereka rasakan.

Detik demi detik berlalu, yang dinanti akhirnya datang juga. Dengan cepat Raka menyendok nasi dan sayur bayam untuk kemudian diberikan kepada Mira.

“Mir, makan dulu mumpung masih hangat.” Raka menyodorkan sepiring nasi yang hanya berhiaskan bayam layu itu.

Sambil menahan sakit yang luar biasa, Mira beranjak. Ia tidak ingin menunjukan rasa sakitnya meski wajah jelas terlihat pucat. Wanita itu enggan membuat sang suami bersedih.

“Mas baru pulang kerja malah langsung kerepotan. Padahal biar Mira saja yang masak,” ucap Mira sambil tersenyum dengan mata layu.

“Mas lagi pengen masak, mengasah bakat terpendam.” Raka tertawa seolah tak ada beban.

Tawa Raka mengandung banyak luka, beruntung Mira malah bahagia melihat tawa itu. Terkadang ia merasa beruntung memiliki suami seperti Raka, meski belum bisa memberi kebahagiaan materi, tetapi perhatian dan tanggung jawabnya sudah tak bisa diragukan lagi.

“Mas, nggak makan?” tanya Mira sambil menyuap nasi yang hanya terasa asin itu.

“Mas sudah kenyang.” Raka mengusap perutnya yang saat itu ia buat buncit.

Namun, perutnya seakan tak bisa diajak kompromi. Ditengah kebohongan tersebut perutnya itu malah berbunyi, membuat Mira tersenyum simpul.

“Coba deh bayamnya, Mas. Kayaknya ini sedikit pahit.” Mira menyodorkan sesendok nasi dan bayam pada Raka.

Raka mengerutkan alis, mendadak merasa khawatir jika bayam buatannya ternyata tidak enak. Tanpa banyak bicara Raka pun memakan satu suap yang barusan Mira sodorkan. Raka berpikir sambil mengunyah.

“Sepertinya nggak ada yang salah dengan bayam ini,” sahut Raka dengan wajah kebingungan.

“Tapi ini sedikit pahit, Mas. Atau mungkin karena suapan pertama, ya? Coba di suapan kedua, siapa tahu terasa pahitnya.”

Raka yang masih kebingungan pun tak menyadari jika itu hanyalah akal-akalan Mira agar sang suami mau makan meski beberapa suap.

“Nggak pahit, kok. Ini sudah suapan ke lima tapi rasanya masih sama.”

Mira tersenyum sambil berkata, “mungkin lidahku yang pahit, Mas.”

Raka yang gemas dengan tingkah Mira langsung mencubit pipi istrinya itu. Rasa lelah akan pekerjaan dan kehidupan yang begitu menyedihkan seolah terlupakan ketika ada pasangan yang begitu setia dan menerima apa adanya di sampingnya. Hingga setelah sejenak berbincang, Raka dan Mira pun terlelap dalam keadaan perut yang belum terlalu kenyang, tapi juga tidak kelaparan.

****

Terik mentari pagi menyelinap masuk melalui celah dinding bambu yang anyamannya sedikit asal itu. Maklum saja, rumah itu berdiri dengan dana seadanya, asal ada buat berteduh saja. Lantai nya saja masih tanah. Para tetangga seringkali mengatakan jika rumah mereka bahkan tidak lebih baik dari kandang seekor sapi.

Mira yang kala itu baru pulang mencari keong sawah dan memetik kangkung liar tampak begitu bahagia meski dua bahan makanan itu bukanlah sesuatu yang mewah. Buru-buru ia masak sebelum suami dan anaknya bangun.

“Semoga anak-anak tidak tahu kalau ini keong sawah,” gumam Mira yang saat itu tampak begitu bahagia.

Meski hanya keong setidaknya itu adalah daging.

‘Bukankah di meja makan ada daging dan sayur sudah sedikit mewah dibanding biasanya?’ batin Mira sambil tersenyum simpul.

Aroma masakan yang tidak seberapa itu membangunkan Arka, anak sulung Mira dan Raka. Bocah kecil itu langsung memegangi perutnya yang lapar.

“Bu, masak apa? Mau Arka bantu?” tanya bocah kecil itu.

“Sudah hampir selesai. Arka tunggu di dalam saja,” pinta Mira.

“Iya, Bu.”

Mata Arka tanpa sengaja menangkap benda yang begitu tidak asing baginya. Ya, itu adalah cangkang keong. Bocah itu pun langsung menyadari jika yang sedang sang ibu masak adalah hewan kecil yang sering berada di sawah itu. Ia menelan ludah, membayangkan saja sudah terasa geli.

“Kenapa ibu masak keong?” celetuk Arka.

Mira yang awalnya senang itu seketika berubah panik. Ia khawatir jika anaknya akan jijik dan tidak mau makan.

“Maaf, tapi cuma ini yang bisa ibu kasih. Kalau ada uang nanti, ibu janji bakal belikan Arka ayam.” Mira menjawab sembari tertunduk lesu.

Arka, si bocah yang didewasakan oleh keadaan itu merasa bersalah saat melihat wajah lesu sang ibu.

“Nggak apa-apa, Bu. Kata teman-teman Arka, keong itu enak, kok. Ibu jangan sedih lagi, ya,” ucap bocah itu.

Mendengar ucapan sang anak, air mata Mira tanpa sadar menetes membasahi pipi. Dengan cepat ia memeluk Arka begitu erat.

“Maafin ibu. Ibu janji akan membahagiakan kalian suatu saat nanti,” ungkap Mira sambil sesekali mengusap rambut anaknya.

“Iya, Bu. Ibu jangan nangis lagi, ya! Nanti Arka jadi ikut sedih.”

Mira melepas pelukannya. Ia segera menghapus air mata yang sudah membasahi pipi.

Arka segera kembali ke tempat tidur tanpa kasur itu, mungkin lebih tepatnya kayu beralaskan tikar. Mata bocah kecil itu menatap kedua adiknya yang masih terlelap.

“Semoga Hana sama Kiano nggak denger obrolan tadi,” gumam Arka sambil memandangi kedua adiknya. Ia segera bergegas ke kamar mandinya yang hanya bertutupkan terpal itu.

“Dingin … semoga Ibu nggak tau kalau Arka cuma pura-pura mandi,” ucap bocah kecil itu sambil membasahi beberapa bagian tubuhnya.

“Arka ….”

Seketika Arka terperanjat sesaat setelah namanya dipanggil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status