“Kenapa wajahmu pucat begitu, Mira?” tanya Raka sambil menenteng sekantong plastik kecil berisi beras yang baru ia beli setelah bekerja seharian.
“Asam lambungku kumat, Mas,” jawab Mira, lirih. Wanita itu berbaring di kasur lusuh sambil memegangi perutnya. Di samping ada ketiga anak yang sedang terlelap karena hari sudah malam. Raka yang panik lantas bergegas ke dapur buru-buru menanak nasi di atas tungku yang baru saja dinyalakan. Tak sampai disitu, karena uang hasil kasbon pada bos hanya cukup membeli beras, ia pun berinisiatif untuk memetik bayam liar di dekat kali yang tidak jauh dari gubuknya. Lelah setelah bekerja seharian tak membuat Raka mengeluh. Dalam pikirannya hanya membayangkan bagaimana caranya agar Mira bisa segera mengisi perutnya. Ia yakin jika sang istri telah menahan lapar sejak pagi demi mementingkan perut buah hati mereka. “Mira, maafin Mas yang belum pernah bisa membahagiakan kalian. Kamu malah harus terus menahan lapar demi anak-anak,” gumam Raka sambil menggeser-geser kayu bakar agar terus menyala. Bulir bening tak terasa menetes. Air mata seorang pria hanya keluar ketika hati benar-benar terluka. Ya, Raka begitu hancur saat terbayang wajah pucat Mira yang terbaring lesu akibat menahan lapar. Hanya ada garam di dapur, tidak ada bawang atau bumbu lain yang bisa membuat makanan menjadi lebih nikmat. Namun, bagi orang seperti Raka bisa makan saja sudah lebih dari cukup, rasa enak hanyalah sebuah angan yang entah kapan bisa mereka rasakan. Detik demi detik berlalu, yang dinanti akhirnya datang juga. Dengan cepat Raka menyendok nasi dan sayur bayam untuk kemudian diberikan kepada Mira. “Mir, makan dulu mumpung masih hangat.” Raka menyodorkan sepiring nasi yang hanya berhiaskan bayam layu itu. Sambil menahan sakit yang luar biasa, Mira beranjak. Ia tidak ingin menunjukan rasa sakitnya meski wajah jelas terlihat pucat. Wanita itu enggan membuat sang suami bersedih. “Mas baru pulang kerja malah langsung kerepotan. Padahal biar Mira saja yang masak,” ucap Mira sambil tersenyum dengan mata layu. “Mas lagi pengen masak, mengasah bakat terpendam.” Raka tertawa seolah tak ada beban. Tawa Raka mengandung banyak luka, beruntung Mira malah bahagia melihat tawa itu. Terkadang ia merasa beruntung memiliki suami seperti Raka, meski belum bisa memberi kebahagiaan materi, tetapi perhatian dan tanggung jawabnya sudah tak bisa diragukan lagi. “Mas, nggak makan?” tanya Mira sambil menyuap nasi yang hanya terasa asin itu. “Mas sudah kenyang.” Raka mengusap perutnya yang saat itu ia buat buncit. Namun, perutnya seakan tak bisa diajak kompromi. Ditengah kebohongan tersebut perutnya itu malah berbunyi, membuat Mira tersenyum simpul. “Coba deh bayamnya, Mas. Kayaknya ini sedikit pahit.” Mira menyodorkan sesendok nasi dan bayam pada Raka. Raka mengerutkan alis, mendadak merasa khawatir jika bayam buatannya ternyata tidak enak. Tanpa banyak bicara Raka pun memakan satu suap yang barusan Mira sodorkan. Raka berpikir sambil mengunyah. “Sepertinya nggak ada yang salah dengan bayam ini,” sahut Raka dengan wajah kebingungan. “Tapi ini sedikit pahit, Mas. Atau mungkin karena suapan pertama, ya? Coba di suapan kedua, siapa tahu terasa pahitnya.” Raka yang masih kebingungan pun tak menyadari jika itu hanyalah akal-akalan Mira agar sang suami mau makan meski beberapa suap. “Nggak pahit, kok. Ini sudah suapan ke lima tapi rasanya masih sama.” Mira tersenyum sambil berkata, “mungkin lidahku yang pahit, Mas.” Raka yang gemas dengan tingkah Mira langsung mencubit pipi istrinya itu. Rasa lelah akan pekerjaan dan kehidupan yang begitu menyedihkan seolah terlupakan ketika ada pasangan yang begitu setia dan menerima apa adanya di sampingnya. Hingga setelah sejenak berbincang, Raka dan Mira pun terlelap dalam keadaan perut yang belum terlalu kenyang, tapi juga tidak kelaparan. **** Terik mentari pagi menyelinap masuk melalui celah dinding bambu yang anyamannya sedikit asal itu. Maklum saja, rumah itu berdiri dengan dana seadanya, asal ada buat berteduh saja. Lantai nya saja masih tanah. Para tetangga seringkali mengatakan jika rumah mereka bahkan tidak lebih baik dari kandang seekor sapi. Mira yang kala itu baru pulang mencari keong sawah dan memetik kangkung liar tampak begitu bahagia meski dua bahan makanan itu bukanlah sesuatu yang mewah. Buru-buru ia masak sebelum suami dan anaknya bangun. “Semoga anak-anak tidak tahu kalau ini keong sawah,” gumam Mira yang saat itu tampak begitu bahagia. Meski hanya keong setidaknya itu adalah daging. ‘Bukankah di meja makan ada daging dan sayur sudah sedikit mewah dibanding biasanya?’ batin Mira sambil tersenyum simpul. Aroma masakan yang tidak seberapa itu membangunkan Arka, anak sulung Mira dan Raka. Bocah kecil itu langsung memegangi perutnya yang lapar. “Bu, masak apa? Mau Arka bantu?” tanya bocah kecil itu. “Sudah hampir selesai. Arka tunggu di dalam saja,” pinta Mira. “Iya, Bu.” Mata Arka tanpa sengaja menangkap benda yang begitu tidak asing baginya. Ya, itu adalah cangkang keong. Bocah itu pun langsung menyadari jika yang sedang sang ibu masak adalah hewan kecil yang sering berada di sawah itu. Ia menelan ludah, membayangkan saja sudah terasa geli. “Kenapa ibu masak keong?” celetuk Arka. Mira yang awalnya senang itu seketika berubah panik. Ia khawatir jika anaknya akan jijik dan tidak mau makan. “Maaf, tapi cuma ini yang bisa ibu kasih. Kalau ada uang nanti, ibu janji bakal belikan Arka ayam.” Mira menjawab sembari tertunduk lesu. Arka, si bocah yang didewasakan oleh keadaan itu merasa bersalah saat melihat wajah lesu sang ibu. “Nggak apa-apa, Bu. Kata teman-teman Arka, keong itu enak, kok. Ibu jangan sedih lagi, ya,” ucap bocah itu. Mendengar ucapan sang anak, air mata Mira tanpa sadar menetes membasahi pipi. Dengan cepat ia memeluk Arka begitu erat. “Maafin ibu. Ibu janji akan membahagiakan kalian suatu saat nanti,” ungkap Mira sambil sesekali mengusap rambut anaknya. “Iya, Bu. Ibu jangan nangis lagi, ya! Nanti Arka jadi ikut sedih.” Mira melepas pelukannya. Ia segera menghapus air mata yang sudah membasahi pipi. Arka segera kembali ke tempat tidur tanpa kasur itu, mungkin lebih tepatnya kayu beralaskan tikar. Mata bocah kecil itu menatap kedua adiknya yang masih terlelap. “Semoga Hana sama Kiano nggak denger obrolan tadi,” gumam Arka sambil memandangi kedua adiknya. Ia segera bergegas ke kamar mandinya yang hanya bertutupkan terpal itu. “Dingin … semoga Ibu nggak tau kalau Arka cuma pura-pura mandi,” ucap bocah kecil itu sambil membasahi beberapa bagian tubuhnya. “Arka ….” Seketika Arka terperanjat sesaat setelah namanya dipanggil.Raka yang saat itu sedang berada di luar kamar mandi, menunggu giliran seketika menegur sang anak yang terlihat berpura-pura.“Tapi air ini dingin ayah. Memang Ayah tega liat Arka kedinginan?”“Ya sudah. Ayah bakal menjaga rahasia Arka. Tapi kedepannya jangan bohong lagi ya! Dengarkan kata ibu. Arka anak ayah paling besar, nanti Arka yang jagain ibu dan adik-adik.”Arka menghela napas. Ia sudah begitu sering mendengar nasihat sang ayah hingga membuatnya sedikit bosanSetelah selesai di kamar mandi. Arka buru-buru kembali ke dalam rumah. Saat itu makanan sudah terhidang rapi di atas meja lusuh bekas tetangga yang tak terpakai.Saat itu sudah ada Hana dan Kiano dengan wajah masih mengantuk. Sudah menjadi tradisi keluarga kecil itu untuk sarapan bersama. Prinsip mereka, walau lauk tidak seberapa, setidaknya kebersamaan akan membuat makanan terasa jauh lebih nikmat.“Yee, makan daging,” teriak Hana sambil melompat bersemangat.Melihat anaknya begitu bahagia, Mira malah bersedih. Ia merasa
‘Arka, Hana dan Kiano adalah anak yang baik, tapi nasib mereka yang tidak baik terlahir dari rahim seorang perempuan miskin sepertiku,’ batin Mira dengan mata berkaca-kaca.Mira sudah tak kuasa menahan pilu yang seakan tak henti menerpa hidupnya. Ia menghentikan langkahnya, lalu berjongkok memeluk ketiga anaknya itu.“Maafin Ibu yang belum bisa membahagiakan kalian.”Hana dan Arka saling pandang.“Ibu nggak salah, Arka sayang Ibu.”“Hana juga sayang Ibu.”“Eno uda tayang, mbu,” ucap Kiano tiba-tiba.Mendengar ucapan Kiano membuat Mira dan kedua anaknya itu seketika terkejut. Itu adalah kata yang pertama keluar dari mulut bocah kecil itu setelah sekian lama seolah enggan berbicara.Meski awalnya hati terasa pilu, sikap sederhana dari Kiano benar-benar membuat mereka merasa bahagia dan seakan lupa dengan apa yang terjadi sebelumnya.Beberapa jam berlalu, saat Mira masih bekerja sebagai buruh cuci tiba-tiba Raka datang sambil berteriak memanggilnya.“Mira, Mas ada kabar baik. Ayo kita pu
“Benar, ada yang bisa saya bantu?” tanya Mira dengan perasaan tak karuan, bahkan meski polisi tersebut belum mengatakan apa pun dadanya malah sudah terasa begitu sesak.Polisi itu terdiam sejenak sesaat setelah melihat keberadaan tiga bocah kecil yang mengintip dari belakang tubuh ibunya.“Sebelumnya saya minta maaf karena akan menyampaikan kabar kurang baik,” ucap polisi tersebut yang matanya tak henti menatap ketiga anak Mira.Dari usia sang polisi jelas terlihat jika ia pun memiliki anak seumuran ketiga bocah dihadapannya. Pria itu sedikit merasa tidak tega untuk menyampaikan berita yang tentunya akan membuat keluarga kecil itu sangat terpukul.“Ja-jadi, ada apa ya, Pak?” Jantung Mira semakin berdebar tak karuan. Rasanya bahkan begitu sulit untuk bernapas saking dadanya terasa sesak.Polisi itu menghela napas panjang. Ia tampak berat untuk mengatakan kabar buruk tersebut.“Bapak Raka Riswandi telah mengalami kecelakaan. Mobil yang beliau tumpangi masuk ke jurang yang cukup dalam se
Mira memeluk Arka erat. Ia menaruh telunjuknya di tengah bibir sang anak, lalu berbisik, “Arka jangan bersuara. Nanti juga pergi.”Meski berusaha menenangkan Arka, tetapi tidak dipungkiri jika perasaannya sedang cemas kala itu. Si pengintip yang sempat menghilang kini kembali lagi.‘Kenapa dia datang lagi? Siapa dia? Apa maunya? Apa jebakan yang Mas Raka buat tidak membuatnya jera?’ Mira seketika terdiam, perlahan mulai sadar jika si pengintip tersebut datang karena tahu kalau suaminya telah tiada. Lagi-lagi air mata berlinang, baru sebentar Raka pergi tapi satu masalah sudah mulai muncul.‘Mas Raka, semoga aku bisa menghadapi semua ini,’ batin Mira sambil memeluk Arka erat.Beberapa kali sosok bayangan tersebut melintas di dekat celah yang sedikit lebih besar. Mira berdebar tak karuan, meski hanya mengintip, tetapi rasa takut itu begitu besar.Beruntung tak berselang lama suara ayam berkokok mengiringi perginya si pengintip tersebut.Arka susah terlelap di pelukan Mira. Keduanya ter
“Lepas! Jika tidak, aku akan berteriak!” ancam Mira.“Kamu pikir aku takut? Lagipula mereka akan lebih membelaku daripada kamu.”Mata Mira berkaca-kaca, dirinya tak menyangka jika baru satu hari kepergian Raka tapi seorang pria malah datang dengan niat buruk padanya.“Ayolah, ikut aku! Tenang saja, aku akan membayar semuanya. Atau kalau mau, aku bisa menjadikanmu istri kedua, semua kebutuhanmu dan anak-anak akan kutanggung.”Mira menggeleng kepala pelan. Bulir bening itu kian bercucuran membasahi wajahnya.“Lepaskan!” balas Mira yang sama sekali tak menghiraukan tawaran pria hidung belang itu.Ia tak habis pikir, bisa-bisanya suami dari wanita yang begitu baik padanya ternyata memiliki sifat yang seolah berbalikan dengan istrinya.Pria itu bernama Damar, suami dari Dian, orang yang sering sekali membantu Mira. Ibu tiga anak itu merasa tidak tega jika sampai ia berteriak dan membuat Dian tahu kelakuan Damar. Juga satu sisi Mira tak ingin kalau dirinya sampai ternodai oleh pria yang bu
Mira segera menggendong Kiano, lalu menuntun Hana. Bergegas meninggalkan para warga yang tak hentinya menatap sinis.“Lihatlah, mentang-mentang cantik dia pikir bisa merebut suami orang seenaknya.”“Untung langsung ketahuan. Kalau tidak bisa kena suami kita.”“Benar, dia itu kan miskin. Hanya dengan menjadi simpanan baru bisa merasakan hidup enak.”Mira berjalan dengan langkah pelan, kakinya terasa begitu lemas. Kali ini ia menghampiri warga yang sebelumnya membawa Arka. Tampaknya hanya pria itu yang masih sedikit waras dan memiliki bekas kasih mau mengantar Arka yang terluka ke klinik terdekat.“Ke mana Anda membawa Arka?” tanya Mira, tersenyum namun tatapannya kosong.“Di klinik Medika.”“Terima kasih,” balas Mira sambil berlalu pergi.Langkah Mira diiringi tatapan sinis para warga. Kebencian itu begitu jelas terlihat. Hati yang sudah terlanjur hancur berkeping-keping itu seolah sudah tak memiliki rasa untuk sekedar marah atas ketidakadilan. Hanya air mata yang tak henti menetes yan
Kini ibu dan tiga anak itu berjalan, menuju ke gerbang desa. Tatapan para warga desa membuat Hana dan Arka terus memegang ibunya dengan erat, saking takut melihat sorot mata yang seakan menggapai mereka adalah seorang penjahat. “Bu?” Arka menarik ujung pakaian Mira. “Tidak usah dilihat! Ada ibu di sini. Lihat ibu saja.” Mira menatap anaknya sambil berusaha tersenyum meski luka menyelimuti. Arka mengangguk tanda mengerti. Ia dan adiknya terus menempel pada sang ibu demi mencari rasa aman. “Lihatlah, baru sehari menjanda sudah menggoda suami orang.” “Wajar saja, sepertinya dia sudah tidak tahan ingin merasakan hidup enak.” “Siapa yang tidak tergoda untuk mendapatkan kekayaan instan. Hanya dengan menjadi istri kedua semua akan terasa lebih mudah.” Sindiran dan umpatan tak henti mengiringi langkah Mira dan ketiga anaknya. Orang-orang itu seakan tak memikirkan perasaan dan mental tiga bocah kecil dan hanya mementingkan emosi saja. “Bu, kenapa orang-orang itu marah-marah terus? Kena
“Ibu nggak sayang Hana! Padahal Hana cuma mau pilih kamar,” ungkap Hana sambil menangis diiringi dengan suara derasnya hujan.Hati Mira terasa semakin miris. Bukan ia tidak sayang pada Hana, hanya saja saat itu bukan waktu yang tepat untuk memilih kamar.“Hana, di sini dingin. Kita harus tidur bersama agar lebih hangat. Ibu nggak mau Hana sakit. Ibu sayang Hana.” Mira memeluk Hana dengan begitu erat.Hana yang semula menangis perlahan berhenti, lalu membalas pelukan ibunya dengan penuh cinta. “Maafin, Hana, Bu.” Hana berkata lirih.“Iyaa, sekarang ayo dekorasi dulu kamar kita. Hana boleh mempercantik ruangan yang paling depan itu.” Hana menunjuk ke arah salah satu bekas kandang yang berada di paling depan.“Ibu, Arka juga mau bantu!” pinta Arka setengah berteriak.Mira tersenyum sambil mengangguk, tak menyangka jika sang anak begitu antusias meski tempat itu hanyalah sebuah bekas kandang kambing.Arka dan Hana bermain penuh canda tawa. Meski hanya sekedar memasang selendang untuk men