1
"Prisa, tolong bilang sama teman kamu, dia harus bertanggung jawab, ya! Kedudaan Papa sudah ternoda. Da sudah melihat aurat Papa. Pokoknya Papa tidak mau tahu, dia harus bertanggung jawab!" teriak Om Pandu dari depan pintu kamar Prisa, membuatku terperangah. Apa katanya? Aku harus bertanggung jawab? Oh My God, yang ternoda di sini, aku. Mata dan otakku sudah ternoda gara-gara melihat ... ah, aku mengacak rambut frustrasi. Menyesal kenapa harus datang ke sini kalau tahu akan seperti ini. "Iya, Pa. Tenang aja, Alvina bukan gadis yang suka lari dari tanggung jawab, kok," balas Prisa juga sambil teriak dan diiringi tawanya yang membahana.Aku melotot kesal ke arah sahabatku itu, tetapi hanya dibalas dengan tawa renyahnya. "Pokoknya Papa tidak mau tahu, dia harus mau menikahi Papa. Kalau tidak, Papa akan tuntut sama orang tuanya!" teriak Om Pandu lagi dari celah pintu kamar Prisa yang sedikit terbuka. Aku semakin terbelalak mendengar ucapan ayah sahabatku itu. Dasar duda meresahkan! Dia yang tidak pakai baju. Kenapa aku yang disalahkan? Sampai meminta tanggung jawab pula. Memangnya dia pikir aku perempuan apa? Dasar Om-om aneh! Duda meresahkan! Aku terus mengumpat dalam hati.Prisa sudah membuka lagi mulutnya hendak menjawab teriakkan papanya. Namun, aku secepat kilat mengeluarkan jurus andalan. Kuterjang sahabatku itu dengan bantal tepat di wajahnya, hingga ia terjungkal di atas karpet tebal kamarnya ini, dan itu sukses membuatnya bungkam dengan mata melotot. Walaupun akhirnya terdengar lagi tawanya yang menyebalkan. Aku memajukan bibir dengan kesal. Teringat kejadian beberapa saat sebelumnya yang menjadi momen pertemuan pertamaku dengan Om Pandu si duda menyebalkan itu.Hari ini aku dan Prisa sudah janjian mengerjakan tugas kuliah bareng. Kami sepakat menajdikan rumah Prisa sebagai tempat mengerjakan tugas. Entah kenapa kali ini ia mau di sini. Padahal biasanya rumahku yang dijadikan base camp kami. Ia menyebut selalu suka suasana rumahku yang hangat, dan yang terpenting Prisa suka masakan ibu. Prisa yang sudah lama tidak merasakan kasih sayang seorang ibu, selalu bermanja-manja dengan ibuku. Kalau dilihat sekilas, seolah-olah ialah yang anak kandung ibu, dan bukan aku. Ia lebih dekat dan manja daripada aku anak kandungnya.Kedekatanku sendiri dengan Prisa sudah terjalin sejak kami menginjakkan kaki di kampus yang sama dua tahun lalu. Berlanjut hingga kini lebih dari dua tahun.
Dengan memesan ojek online, aku menuju rumah Prisa. Hari masih terlalu pagi saat aku tiba karena kami berencana keluar setelah tugas selesai. Aku menekan bel di samping kanan pintu bercat putih hingga beberapa kali karena tak kunjung ada yang membukakan pintu. Kemana Prisa? Apa ia belum bangun sesiang ini? Masa iya anak gadis bangunya siang. Aku yang kerepotan dengan buku-buku tebal di tangan, kesal juga karena cukup lama Prisa tak jua membuka pintu.Tanganku terangkat lagi hendak mengetuk pintu, saat tiba-tiba benda itu terbuka dan langsung menyuguhkan pemandangan yang membuat tubuh ini panas dingin. Seorang pria usia awal empat puluhan berdiri di sana dengan tubuh bagian atas tak berpenutup, hanya celana pendek yang membalut tubuh bagian bawahnya. Keringat terlihat membanjiri seluruh tubuhnya. Dari gelagatnya aku yakin ia baru selesai berolahraga.Mataku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Buku-buku tebal yang kupegang lolos begitu saja dari dekapan, karena sendi-sendiku mendadak lemas tak bertenaga. Ya Tuhan, oh tidak ... mataku ternoda. Aku memalingkan pandangan, tetapi sial mataku malah disuguhi keringat yang mengalir di sela-sela roti sobek pria itu seperti air sungai yang mengalir di sela-sela bebatuan kaki bukit. "Cari siapa?" tanya sang pria seraya maju satu langkah. Aku yang kaget, sontak mundur juga selangkah. "Eh, anu cari ... saya cari keringat, Om." Aku membekap mulut dengan kelima jari yang entah kenapa menjadi gagap. Kemudian kupukuli mulut itu tanpa sadar. "Bagaimana?" tanya sang pria lagi. Kening berkeringatnya terlihat berkerut. "Anu Om, saya mau cari ... anuan ... roti sobeknya, Om." Ya Tuhan, ada apa dengan diriku? Bicara apa aku ini? Semakin tidak karuan saja. Aku memukuli lagi mulut yang tidak tahu malu."Roti sobek?" Sang pria kembali bertanya dengan heran. Ia kembali maju, dan aku refleks mundur lagi dengan mata semakin membeliak. Ternyata setelah di depan pintu dengan pencahayaan matahari, roti sobek dan keringatnya terlihat semakin ... arghhh ... tubuhku semakin panas dingin tak karuan. Dasar payah, kenapa hanya melihat roti sobek saja sampai terhipnotis seperti ini? Alvina, matamu benar-benar ternoda. Matamu sudah tak perawan lagi! "Al, kamu sudah datang?" Suara Prisa terdengar nyaring di balik punggung pria itu. Percayalah, aku merasa seolah terbebas dari tiang gantungan. Menghadapi pria ini bagai dihadapkan vonis kematian. Aku sulit bernapas."Papa apa, sih? Malah nakut-nakutin temanku. Sana minggir! Mana enggak pakai baju, lagi!" Prisa mengomel, mungkin karena melihat wajahku yang pucat. Kemudian ia mendorong tubuh pria yang menghalangi jalannya. "Loh, siapa yang nakut-nakutin? Malah Papa yang takut diterkam sama temanmu itu. Dari tadi dia melihat Papa terus, enggak ngedip-ngedip." Apa? Mataku semakin membulat mendengar ocehannya. Terlihat Prisa memajukan bibirnya. "Iyalah, dia enggak ngedip-ngedip, orang Papa porno begitu," timpal Prisa lagi seraya menunjuk tubuh sang pria. "Masih untung anak orang enggak pingsan. Kalau pingsan Papa mau tanggung jawab?" Kali ini Prisa bertolak pinggang."Loh, kok, jadi Papa yang harus tanggung jawab? Yang ternoda di sini tuh, Papa. Kedudaan Papa sudah ternoda sama dia, jadi dia yang harus tanggung jawab." Pria itu menunjukku.Aku semakin terperangah. Kepalaku berdenyut mendengar perdebatan mereka. Sementara Prisa berdecak kesal. Kemudian memungut buku-buku yang tadi kujatuhkan."Sudah Al, ayo masuk! Kenapa lama banget, sih? Aku tunggu dari tadi, loh!” ujar Prisa tak mempedulikan ayahnya. Ditariknya tanganku yang masih bengong menatap sepasang ayah dan anak aneh itu."Tunggu, Pris!" seru pria itu lagi. Prisa menghentikan langkahnya secara mendadak. Aku yang tidak fokus, menabrak tubuh Prisa karena tanganku digeretnya. "Pokoknya Papa tidak mau tahu, Papa mau meminta pertanggungjawaban temanmu, ya!" Sang pria masih kukuh dengan ucapannya. Aku dan Prisa memutar bola mata malas bersamaan. "Dasar centil!" umpat Prisa kemudian menarik tanganku lagi, membuatku terhuyung-huyung mengikuti langkahnya. Aku pikir semua sudah selesai dan ayah Prisa hanya seseorang yang memiliki selera humor tinggi. Siapa sangka saat kami selesai mengerjakan tugas dan keluar kamar, sang pria sudah menunggu kami di ruangan yang akan kami lewati. Kali ini dengan pakaian lengkap. Sudah rapi juga dengan wajah segar.Aku berusaha cuek dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa hingga tidak disangka sang pria menghadang langkah kami.“Kamu, namamu siapa tadi?” tanyanya dengan gaya so cool. Walaupun kuakui wajah ayah sahabatku masih tampan dan terlihat lebih muda dari usianya.Tapi dia tetap duda, kan? Ayah Prisa juga.Aku melirik Prisa sebelum menjawab singkat. “Alvina, Om.”“Ok, Alvina. Tolong sampaikan kepada orang tuamu, besok Om mau ke rumahmu.”“Rumahku?” Keningku mengernyit. “Baik, Om. Akan saya sampaikan,” lanjutku tanpa curiga.“Kamu enggak nanya saya mau apa ke rumahmu?” Kening ini kurasakan semakin berlipat demi pertanyaan aneh Om Pandu.“Memangnya mau apa, Om?” tanyaku polos.“Mau melamar kamu.”Idih.2“Dasar duda meresahkan!” Aku terus menggerutu sembari mengacak rambut dengan kesal. Walaupun sudah menganggap ucapan ayahnya Prisa hanya angin lalu, tetapi tak ayal pikiran ini terganggu.Bagaimana kalau benar dia datang ke rumah, menemui ibu dan ayah, terus melamarku?“Aarghhh ….” Lagi, aku mengacak rambut. Apa yang akan dipikirkan orang tuaku nantinya? Bagaimana kalau mereka mengira aku dihamili Om Pandu? Atau mereka menyangka aku dihamili Dimas, tapi Dimas tidak mau bertanggung jawab, terus yang nikahin malah ayahnya Prisa?Idih, amit-amit. Masa iya aku harus nikah sama duda. Dudanya ayahnya Prisa lagi. Apa kata dunia? Helo, Alvina apa kamu sudah tidak laku lagi sampai harus nikah sama Om-om? Ingat, dia ayahnya Prisa. Pantasnya jadi ayahmu juga.Tapi kan, dia masih ganteng. Walaupun sudah empat puluhan, dia masih gagah, masih tampan, kaya lagi. Rumah makannya saja memiliki cabang di seleuruh sudut kota. Sisi hatiku yang lain terus mempengarungi. Mungkin itu diriku yang versi berw
3Dua hari semenjak kejadian di rumah makan itu, aku tidak keluar rumah. Aku kesal dengan Prisa dan ayahnya. Saat itu aku sampai pingsan mendengar perkataan Prisa yang seolah mendukung ucapan ayahnya tempo hari. Apa mereka berdua sudah tidak waras? Bahkan mereka bermakar memutuskan sesuatu tanpa meminta persetujuanku dulu.Aku pingsan saking kaget dan tidak percaya dengan ucapan mereka. Dan sesaat sebelum kesadaran benar-benar hilang, entah nyata atau sekadar halusinasiku saja, aku melihat Dimas memasuki resto bersama seorang wanita.Aku meyakini jika itu hanya halusinasi saja. Namanya orang mau pingsan kan, pasti kerja organ tubuh sudah kacau. Aku yakin Dimas tidak seperti itu. Setahun kami berpacaran, ia pasangan yang setia, tidak banyak tingkah, sangat romantis dan kami juga sudah merencanakan hubungan ke jenjang lebih serius. Dia kekasih idaman setiap wanita.Selama dua hari aku tidak keluar rumah. Selama itu pula Prisa bolak-balik menjengukku. Takut terjadi sesuatu denganku katan
4"Alvina!” teriak Prisa dengan suara nyaring saat kelas baru saja berakhir.Aku pura-pura tidak mendengarnya. Kuayun langkah dengan tergesa. Memang sengaja sejak pagi menghindarinya. Aku bahkan tidak mengaktifkan ponsel sejak ia dan ayahnya ke rumah. Aku kesal ia yang terus saja menjodoh-jodohkanku dengan ayahnya.Aku ini masih muda. Baru dua puluh satu tahun. Masa iya harus nikah sama duda. Ayahnya dia pula. Apa kata dunia? Memangnya di dunia ini tidak ada lagi bujangan hingga aku harus nikah sama duda ayah sahabatku sendiri?Idih, amit-amit, deh. Kalau Om Pandu sudah kebelet kawin, kan, bisanyari yang janda lagi.“Al ….” Ternyata walaupun sudah berusaha keras menghindarinya, ia dapat mengejarku. Aku lupa ia jago marathon. Apalagi kalau sedang kepepet dikejar satpam kampus karena parkir motor sembarangan."Temenin makan, yuk," ajaknya ringan seolah tidak menyadari aku sengaja menghindarinya."Aku mau pulang, tidak enak badan." Aku menepis tangannya. Juga terpaksa berbohong.“Ayolah,
5Di sini kami sekarang. Berlima duduk di ruang tamu dengan suasana canggung. Apakah ini yang dimaksud lamaran oleh Om Pandu? Entahlah. Yang pasti ia datang hanya berdua Prisa dengan pakaian sedikit formal dan membawa banyak parsel. Tanpa meminta persetujuanku, mereka tetap mengadakan acara lamaran ini.Aku terpaksa setuju karena ternyata benar kata Prisa, Dimas tidak kembali bahkan hingga hari menjelang sore. Nomornya yang sudah tidak aktif sejak lama, semakin tidak bisa dihubungi, padahal aku lihat dengan mata sendiri ia mengutak-atik ponselnya kemarin. Bahkan kudengar ada panggilan masuk. Itu artinya dia memakai nomor lain. Atau nomorku yang diblokir?Tidak habis pikir dengan Dimas. Apa salahku hingga ia memperlakukanku seperti ini? Aku merasa kami tidak ada masalah apa pun.Kemarin untunglah walaupun dengan marah, Prisa menungguku hingga aku yakin jika Dimas tidak akan kembali. Ternyata Prisa tidak benar-benar pergi. Ia dan Om Pandu menungguku di dalam mobil tak jauh dari tempatku
6Sekarang, hanya kami berdua di sini, di ruang tamu ini. Aku dan Om Pandu. Entah kenapa Ayah, Ibu, dan Prisa pergi ke ruang makan tanpa mengajak kami.Sebenarnya, tadi aku berniat menyusul mereka, tetapi dengan galak Ibu menghardikku, menyuruh tetap tinggal menemani Om Pandu di sini. Ibu galak sekali seolah-olah aku ini anak tiri.Dari sini terdengar mereka makan sambil bercengkerama dengan hangat. Seolah-olah sengaja memanasiku. Aku sebal sama Ayah dan Ibu. Mereka jahat sekali. Tega. Anak mereka itu aku atau Prisa?Aku melipat tangan di dada dengan kesal. Aku tahu dari tadi Om Pandu memperhatikan, tetapi mencoba tidak peduli. Jarak duduk kami lumayan jauh. Aku tetap memasang tampang judes.Dari ekor mata aku bisa melihat Om Pandu berdiri, lalu berjalan mendekat, sepertinya ia mau menghampiriku. Cepat aku menahannya dengan mengangkat tangan."Stop, Om! Berhenti di situ. Jangan dekat-dekat!" hardikku galak.Om Pandu berhenti."Kenapa?" tanyanya dengan mengangkat sebelah alis."Aku ale
7Aku melotot memandangi layar ponsel pagi ini. Terlihat chat di aplikasi hijau masuk dari nomor Dimas. Akhirnya, setelah beberapa hari menunggu, ia menghubungiku juga. Niat hati ingin langsung menghubunginya. Namun, urung saat kubaca isi pesannya.[Al, mulai sekarang kita putus. Tidak perlu mencariku lagi!][Jangan tanya kenapa dan jangan salahkan aku! Kalau mau menyalahkan, salahkan laki-laki tua yang bersama Prisa kemarin.][Dia menghajarku, Al. Dia menyuruhku menjauhimu.][Kita putus, mulai sekarang tidak ada hubungan apa-apa di antara kita.]Dimas? Mengirim pesan ini? Setelah beberapa hari aku menunggunya untuk sekadar mengaktifkan nomor? Lalu, begitu aktif dia langsung bilang putus? Aku menatap nanar layar ponsel. Apakah hubungan yang terjalin setahun ini tidak ada artinya sama sekali baginya? Sehingga ia memutuskan hubungan sepihak tanpa bicara dulu denganku? Apakah aku tidak berharga di matanya? Hingga ia dengan mudahnya bilang putus, bahkan hanya lewat pesan WA?Apa salahku?
8Pagi ini Om Pandu menjemputku untuk fitting baju pengantin. Ya, walaupun masih setengah hati, tetapi aku berusaha ikhlas menerimanya sebagai calon suami. Padahal jauh di lubuk hati terdalam berharap Dimas datang memintaku kepada ayah dan ibu, hingga pertunanganku dengan Om Duda itu batal.Tidak salah kan, aku berharap? Mengingat aku dan Dimas sudah menjalin hubungan satu tahun lebih. Aneh saja tiba-tiba harus menikah dengan orang lain. Orang yang baru kukenal. Duda pula. Ayahnya sahabatku lagi. Seolah aku sudah tidak laku terhadap perjaka.Tidak pernah terbayang harus menjadi ibu tiri dari sahabatku sendiri. Ah, semua sudah terlanjur. Ayah dan ibu sudah menerima lamaran Om Pandu. Dan aku tidak punya alasan kuat untuk menolak. Semua alasan mereka patahkan.Seperti kata ayah, pernikahan seperti membayar utang, harus disegerakan kalau semua sudah siap. Tidak ada alasan untuk ditunda, mengingat usia Om Pandu sudah matang, dan ekonominya sudah mapan. Walaupun hatiku belum mantap. Niatkan
8Aku duduk di lantai, punggung bersandar di tepian ranjang. Kepala kubenamkan di antara kedua lutut yang kupeluk erat.Air mata terus berderai tanpa bisa ditahan. Sungguh tak percaya kalau Dimas selama ini tega mengkhianatiku. Terbayang bagaimana mesranya mereka tadi di mall. Andai aku tidak melihat dengan mata kepala sendiri, mungkin tidak akan percaya jika Dimas selama ini punya pacar lain selain diri ini.Pantas saja akhir-akhir ini semua terasa berbeda. Ia malah menudingku berselingkuh duluan dengan Om Pandu. Mana ada? Aku bahkan masih berharap ia datang membatalkan pertunanganku dengan Om Pandu. Aku yakin jika ia datang dengan serius, orang tuaku akan menerimanya.Nyatanya, jangankan datang memintaku dengan serius pada ayah, aku malah mendapati kenyataan jika aku bukan satu-satunya wanitanya.Aku semakin memejam hingga air mata terus bercucuran. Walaupun sudah bertunangan dengan Om Pandu, tetapi mendapati jika dia yang ada di hati ini ternyata sudah mendua entah sejak kapan, tet
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok