5
Di sini kami sekarang. Berlima duduk di ruang tamu dengan suasana canggung. Apakah ini yang dimaksud lamaran oleh Om Pandu? Entahlah. Yang pasti ia datang hanya berdua Prisa dengan pakaian sedikit formal dan membawa banyak parsel. Tanpa meminta persetujuanku, mereka tetap mengadakan acara lamaran ini.
Aku terpaksa setuju karena ternyata benar kata Prisa, Dimas tidak kembali bahkan hingga hari menjelang sore. Nomornya yang sudah tidak aktif sejak lama, semakin tidak bisa dihubungi, padahal aku lihat dengan mata sendiri ia mengutak-atik ponselnya kemarin. Bahkan kudengar ada panggilan masuk. Itu artinya dia memakai nomor lain. Atau nomorku yang diblokir?
Tidak habis pikir dengan Dimas. Apa salahku hingga ia memperlakukanku seperti ini? Aku merasa kami tidak ada masalah apa pun.
Kemarin untunglah walaupun dengan marah, Prisa menungguku hingga aku yakin jika Dimas tidak akan kembali. Ternyata Prisa tidak benar-benar pergi. Ia dan Om Pandu menungguku di dalam mobil tak jauh dari tempatku menunggu Dimas seperti orang bodoh. Seperti yang dikatakan Prisa.
Tidak ada alasan lagi untukku melarang Om Pandu datang ke rumah menemui orang tuaku. Aku terpaksa menerima walaupun masih dengan setengah hati.
Om Pandu, Prisa, juga kedua orang tuaku berbincang dengan akrab. Mereka bahkan menggunakan pakaian yang sedikit formal hari ini dengan persiapan yang berlebihan menurutku seolah akan mengadakan acara besar.
Aku sendiri tidak ada persiapan spesial. Bahkan terkesan seadanya. Berdandan dan berpakaian biasa seolah-olah tidak ada acara khusus. Sementara ibu agak berlebihan. Masak banyak dan spesial hari ini.
Aku menatap Om Pandu yang sejak kedatangannya terlihat sangat semringah. Wajah tampannya lebih bercahaya. Duda meresahkan itu memakai atasan kemeja berbahan semi sutra berwarna abu-abu. Ada aksen senada kain yang digunakan Prisa di sepanjang penutup kancing, juga di ujung lengannya. Lalu, Prisa memakai kebaya lengan pendek dengan warna senada.
Apa jika nanti jadi istri Om Pandu, aku juga akan menggunakan baju yang senada begitu?
Hais, siapa juga yang mau jadi istrinya? Sejak kemarin aku memutar otak mencari seribu alasan untuk menolak lamarannya.
Maaf Om, maaf Prisa, tetapi aku belum mau menikah dalam waktu dekat. Apalagi nikahnya dengan duda meresahkan. Aku punya pacar, Dimas.
Hati kecilku masih meyakini jika aku dan Dimas masih baik-baik saja. Hanya miss komunikasi.
Sebenarnya Om Pandu dan Dimas itu banyak persamaan. Sama-sama ganteng, sama-sama menarik sebagai seorang lelaki. Hanya satu perbedaan yang sangat mencolok. Umur. Dimas masih muda, baru dua puluh lima tahun, sedangkan Om Pandu? Dia sudah tua. Sudah empat puluh tahun.
Walaupun tak dapat dipungkiri dia yang sudah kepala empat masih terlihat muda, bugar, dan keren. Tak akan ada yang mengira jika dia sudah setua itu. Jadi, pantas jika banyak wanita terpesona dan bermimpi memiliki lelaki matang itu.
Termasuk aku? Oh, tidak! Aku tidak mau menikah dengan duda. Aku masih muda, tidak mau terkungkung dalam dekapan duda meresahkan sepertinya. Walaupun ada cita-cita menikah di usia muda, tetapi bukan dengan duda juga.
"Jadi, bagaimana jawabanmu, Neng?" Pertanyaan Ayah membuyarkan lamunan panjangku. Aku gelagapan sendiri, apalagi semua mata tertuju pada diri ini.
Sepertinya sedari tadi mereka sudah terlibat obrolan yang serius. Akan tetapi, karena aku yang tidak fokus, jadi bingung sendiri.
"Neng," panggil ayah lagi melihatku masih bengong.
"I-iya, bagaimana, Yah?" tanyaku balik seperti orang linglung.
Ayah geleng-geleng. Ibu terlihat kesal. Sementara Om Pandu dan Prisa? Ah, mereka malah senyum-senyum tidak jelas. Menyebalkan.
"Kamu ini bagaimana, Neng. Dari tadi diajak ngobrol, kok, malah terus lihatin Pak Pandu. Sepertinya kamu sudah kebelet, ya, mau dihalalin?" celetuk Ayah masih geleng-geleng.
Ayah bilang apa? Aku mendelik. Mereka semua tertawa, seolah-olah tengah menonton pertunjukan lawak.
"Pak Pandu sudah minta izin kami untuk meminangmu. Ibu dan Ayah sih, setuju-setuju saja karena tidak ada alasan mendasar untuk menolaknya. Tapi tidak bisa memutuskan sendiri. Keputusan tetap kami serahkan sama kamu, Neng. Karena kamu yang akan menjalani. Bagaimana?" papar Ayah dengan lembut tetapi tegas seperti biasa.
Aku menatap mereka semua satu per satu. Kemudian menarik napas panjang sebelum berbicara.
"Maaf sebelumnya, Ayah, Ibu, Om Pandu, Prisa. Maaf, Alvi tidak bisa menerima lamaran ini ...." Akhirnya kalimat itu terlontar juga dari mulutku setelah beberapa saat memikirkan jawaban yang pas.
Hening. Tak ada yang bicara. Semua mata menatapku kecewa, terlebih Prisa.
"Maaf," ucapku lagi lemah sambil menunduk.
"Tapi, kenapa, Neng? Berikan kami alasan." Ayah menatap sendu.
"Karena Alvi belum mau menikah, Yah!"
"Lho, bukannya kamu selalu bilang mau nikah muda? Iya kan, Bu?" tanya Ayah lagi sambil melirik Ibu. Yang dilirik hanya menjawab dengan anggukan.
"Iya, tapi bukan sama duda," jawabku ketus. Namun, gegas kubekap mulut ini, takut menyinggung perasaan Om Pandu.
"Memangnya kenapa kalau duda?" Ayah mengernyit. "Bukankah tidak ada aturan pemerintah yang melarang duda menikahi perawan? Dalam agama juga tidak ada larangan. Jadi, masalahnya di mana?”
"Masalahnya, Alvi tidak cinta sama Om Pandu, Yah!" jawabku lagi dengan mencondongkan kepala.
Ayah mengembuskan napas kasar.
"Tidak cinta, kok, dari tadi dipandangi terus. Tidak berkedip malah," cibir ibu terdengar kesal.
Aku melotot. Namun, kemudian menunduk. Wajah terasa panas dan pasti memerah. Apa iya aku memandangi terus Om Pandu? Ah, tidak mungkin. Aku menggeleng.
"Kumat lagi penyakit anehnya," gerutu Ibu saat melihatku geleng-geleng sendiri.
"Sudah, Yah. Kita langsung tentukan saja tanggal pernikahannya, biar anak kita tidak aneh-aneh lagi kalau sudah menikah." Ucapan ibu membuatku membulatkan mata. Aku menggoyang-goyangkan tangan ke arah ibu, sebagai tanda keberatan.
"Lho, apa-apaan Ibu ini? Alvi, kan, belum bilang bersedia," sergahku cepat.
"Terus, mau kapan bilang bersedianya?" Ibu melotot.
"Alvi, kan, masih kuliah, Bu!" Aku memasang wajah memelas.
"Dari tadi kita membahas itu, Neng. Dan Pak Pandu tidak keberatan kamu melanjutkan kuliah seandainya pun kamu menjadi istrinya. Kamu, sih, dari tadi mandangin dia terus, jadi terhipnotis, kan?" Ibu mencebik lagi.
Ya ampun Ibu. Tega-teganya wanita yang sangat kuhormati itu menjatuhkan harga diri anaknya sendiri di depan orang ganteng. Ups!
"Ayah, Ibu ... tolong jangan memaksa. Alvi, kan, masih kecil." Aku memelas.
"Apanya yang masih kecil, Neng? Bapak malah sudah tidak kuat menggendongmu!”
"Iya, apanya yang kecil. Orang kemarin kamu pinjam bra Ibu, karena punya kamu kotor semua. Gara-gara malas nyuci. Itu tandanya kamu sudah segede ibu!"
Hah?
Ibu ... Aaarghhh ...!
Aku berteriak dalam hati. Malu. Rasanya ingin pura-pura pingsan. Namun, percuma, tidak akan ada yang mempercayaiku.
Seandainya bisa, aku mau jadi semut saja biar bisa menggali lubang di tanah dan tidak keluar-keluar lagi selamanya.
"Alvi, kan, punya pacar, Yah. Terus bagaimana sama Dimas? Ayah juga mengenal Dimas, kan?” Aku masih beralasan.
Semua mata kini menatapku tajam. Terlebih Prisa. Namun, aku tidak peduli. Itu kenyataannya, aku punya pacar dan belum ada kata putus di antara kami.
"Ayah hanya menerima lelaki yang datang langsung dan memintamu dengan serius pada Ayah, Alvina," ucap ayah akhirnya setelah beliau menarik napas dalam beberapa kali. "Ayah tidak akan memberikan anak gadis yang kami sayangi pada laki-laki yang tidak punya pendirian," pungkasnya.
"Maksud ayah, Dimas tidak punya pendirian? Itu karena dia masih muda, Yah. Beda sama Om Pandu yang sudah tua!"
Aku refleks menutup mulut dengan sepuluh jari saat semua mata melotot ke arahku. Mereka menatap tajam, membuat diri ini sangat terintimidasi.
Aku menunduk. Kesal. Semua gara-gara Om Pandu. Dia bukan saja meresahkan, bahkan sudah membuat Ayah dan Ibu berpihak seratus persen kepadanya, mereka jadi semarah itu padaku.
"Maksudku … sudah matang," ralatku lemah sambil menunduk.
Hening beberapa saat, hingga ….
“Tidak apa sekarang kamu bilang Om tua. Nanti setelah menikah Om akan tunjukkan siapa Om yang sebenarnya, Alvina. Biar Tua, Om bisa bikin kamu melahirkan kembar lima sekaligus.”
Hah? Apa Om Pandu turunan kucing?
6Sekarang, hanya kami berdua di sini, di ruang tamu ini. Aku dan Om Pandu. Entah kenapa Ayah, Ibu, dan Prisa pergi ke ruang makan tanpa mengajak kami.Sebenarnya, tadi aku berniat menyusul mereka, tetapi dengan galak Ibu menghardikku, menyuruh tetap tinggal menemani Om Pandu di sini. Ibu galak sekali seolah-olah aku ini anak tiri.Dari sini terdengar mereka makan sambil bercengkerama dengan hangat. Seolah-olah sengaja memanasiku. Aku sebal sama Ayah dan Ibu. Mereka jahat sekali. Tega. Anak mereka itu aku atau Prisa?Aku melipat tangan di dada dengan kesal. Aku tahu dari tadi Om Pandu memperhatikan, tetapi mencoba tidak peduli. Jarak duduk kami lumayan jauh. Aku tetap memasang tampang judes.Dari ekor mata aku bisa melihat Om Pandu berdiri, lalu berjalan mendekat, sepertinya ia mau menghampiriku. Cepat aku menahannya dengan mengangkat tangan."Stop, Om! Berhenti di situ. Jangan dekat-dekat!" hardikku galak.Om Pandu berhenti."Kenapa?" tanyanya dengan mengangkat sebelah alis."Aku ale
7Aku melotot memandangi layar ponsel pagi ini. Terlihat chat di aplikasi hijau masuk dari nomor Dimas. Akhirnya, setelah beberapa hari menunggu, ia menghubungiku juga. Niat hati ingin langsung menghubunginya. Namun, urung saat kubaca isi pesannya.[Al, mulai sekarang kita putus. Tidak perlu mencariku lagi!][Jangan tanya kenapa dan jangan salahkan aku! Kalau mau menyalahkan, salahkan laki-laki tua yang bersama Prisa kemarin.][Dia menghajarku, Al. Dia menyuruhku menjauhimu.][Kita putus, mulai sekarang tidak ada hubungan apa-apa di antara kita.]Dimas? Mengirim pesan ini? Setelah beberapa hari aku menunggunya untuk sekadar mengaktifkan nomor? Lalu, begitu aktif dia langsung bilang putus? Aku menatap nanar layar ponsel. Apakah hubungan yang terjalin setahun ini tidak ada artinya sama sekali baginya? Sehingga ia memutuskan hubungan sepihak tanpa bicara dulu denganku? Apakah aku tidak berharga di matanya? Hingga ia dengan mudahnya bilang putus, bahkan hanya lewat pesan WA?Apa salahku?
8Pagi ini Om Pandu menjemputku untuk fitting baju pengantin. Ya, walaupun masih setengah hati, tetapi aku berusaha ikhlas menerimanya sebagai calon suami. Padahal jauh di lubuk hati terdalam berharap Dimas datang memintaku kepada ayah dan ibu, hingga pertunanganku dengan Om Duda itu batal.Tidak salah kan, aku berharap? Mengingat aku dan Dimas sudah menjalin hubungan satu tahun lebih. Aneh saja tiba-tiba harus menikah dengan orang lain. Orang yang baru kukenal. Duda pula. Ayahnya sahabatku lagi. Seolah aku sudah tidak laku terhadap perjaka.Tidak pernah terbayang harus menjadi ibu tiri dari sahabatku sendiri. Ah, semua sudah terlanjur. Ayah dan ibu sudah menerima lamaran Om Pandu. Dan aku tidak punya alasan kuat untuk menolak. Semua alasan mereka patahkan.Seperti kata ayah, pernikahan seperti membayar utang, harus disegerakan kalau semua sudah siap. Tidak ada alasan untuk ditunda, mengingat usia Om Pandu sudah matang, dan ekonominya sudah mapan. Walaupun hatiku belum mantap. Niatkan
8Aku duduk di lantai, punggung bersandar di tepian ranjang. Kepala kubenamkan di antara kedua lutut yang kupeluk erat.Air mata terus berderai tanpa bisa ditahan. Sungguh tak percaya kalau Dimas selama ini tega mengkhianatiku. Terbayang bagaimana mesranya mereka tadi di mall. Andai aku tidak melihat dengan mata kepala sendiri, mungkin tidak akan percaya jika Dimas selama ini punya pacar lain selain diri ini.Pantas saja akhir-akhir ini semua terasa berbeda. Ia malah menudingku berselingkuh duluan dengan Om Pandu. Mana ada? Aku bahkan masih berharap ia datang membatalkan pertunanganku dengan Om Pandu. Aku yakin jika ia datang dengan serius, orang tuaku akan menerimanya.Nyatanya, jangankan datang memintaku dengan serius pada ayah, aku malah mendapati kenyataan jika aku bukan satu-satunya wanitanya.Aku semakin memejam hingga air mata terus bercucuran. Walaupun sudah bertunangan dengan Om Pandu, tetapi mendapati jika dia yang ada di hati ini ternyata sudah mendua entah sejak kapan, tet
Karena kemarin tidak jadi fitting dan belanja perhiasan untuk mas kawin, disebabkan moodku yang anjlok, akhirnya hari ini kami berangkat. Aku mengekori Prisa menuju mobil Om Pandu, setelah pamit dengan ayah dan ibu. Saat Prisa sudah masuk ke pintu belakang dan aku mengikutinya, dia mendorong tubuhku keluar."Ngapain ke sini?" hardiknya galak. "Aku mau duduk sendiri!""Terus, aku di mana?" tanyaku sedih."Masih nanya di mana. Ya, di depan sana. Biar calon suamimu nggak ada yang ngambil!" hardiknya lagi sambil menarik pintu mobil dari dalam dan menutupnya keras.Kok galakan dia, sih? Yang ibu tiri di sini aku. Aku mengentakkan kaki kemudian beralih membuka pintu depan dan duduk di samping Om Pandu yang sudah duduk manis."Mobil tidak akan jalan, sebelum semua penumpangnya tersenyum," sindir Om Pandu dengan tatapan lurus ke depan.Aku dan Prisa saling lirik lewat spion. Namun, tak lama aku membuang muka ke luar jendela. Sebentar kemudian aku kaget, tiba-tiba Prisa memelukku dari belakang
11Om Pandu mencengkeram pergelangan tanganku. Lalu menariknya dengan kasar menjauhi pemuda itu. Aku meringis dan berusaha melepaskan cengkeraman tangannya."Sakit, Om. Lepas!" pekikku sambal memukuli tangannya. Apa dia sudah gila? Kenapa semarah ini? Apa salahku?Setelah dirasa cukup jauh, dia berhenti dan melepaskan tanganku."Apa-apaan, sih, Om? Sakit tahu!" omelku memegangi pergelangan yang tampak merah."Al, kamu harus hati-hati. Jangan mudah percaya dengan orang asing. Lelaki seperti itu modus, awalnya minta nomor HP padahal ada maunya. Pura-pura tak sengaja nabrak, terus minta nomor. Terus berlanjut saling chating. Om sudah tahu modus lelaki seperti itu," omelnya penuh emosi. Wajahnya masih merah padam dengan urat-urat pelipis yang terlihat berkedut.Aku hanya melongo mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Sumpah, aku baru melihatnya semarah ini. Ternyata sangat menyeramkan. Kemarin-kemarin aku bertingkah konyol dan menyebalkan pun, dia tidak pernah terlihat kesal
12Mobil itu terus mengikuti, mendahuluiku, dan akhirnya berhenti satu meter di depan. Tubuhku sudah bergetar hebat saking takutnya, menanti apa yang akan terjadi. Bayangan terburuk yang akan menimpa sudah berputar-putar di kepala. Hingga pintu depan samping kiri terbuka.Aku mempersiapkan diri dengan memasang kuda-kuda karena jika orang yang berniat jahat yang turun, aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan melawan sekuat tenaga, sampai titik darah penghabisan. Namun …."Al, ayok naik!" Sebuah suara yang familier membuyarkan ketakutanku.Suara itu ...."Ayok cepat naik sebelum hujan bertambah besar," lanjut suara itu lembut tapi tegas.Aku sangat mengenali suara itu. Suara dari orang yang membuat hariku sial. Suara biang kerok semua ini. Siapa lagi? Tentu saja Om Pandu.Ketakutan yang sudah membuncah tadi tiba-tiba berubah menjadi kekesalan yang teramat. Apalagi saat kepala Om Pandu muncul di sela pintu yang terbuka."Ayok cepat naik, kita pulang. Sebentar lagi hujan," ajaknya l
13Belum percaya rasanya kalau sekarang aku, Alvina Damayanti, di umur yang kedua puluh satu tahun, sudah berubah status. Aku, gadis yang masih suka tidur di ketiak ibu, sekarang sudah menjadi seorang istri.Ya, rasanya waktu begitu cepat berlalu. Jangka waktu seminggu yang diberikan Om Pandu bergulir begitu cepat. Padahal aku, Ayah, dan Ibu, tidak melakukan apa pun selama seminggu itu. Kami hanya duduk santai di rumah. Semua tetek-bengek persiapan pernikahan dari yang terbesar sampai yang remeh temeh sudah diatur Om Pandu.Kami tinggal duduk manis di pelaminan. So sweet banget, kan, Om Pandu? Itu menurut kalian. Menurutku? Entahlah. Sampai sekarang aku masih setengah hati. Belum percaya saja kalau sekarang aku sudah jadi Nyonya Pandu.Padahal tadi pagi, sudah jelas-jelas lelaki itu dengan lantang menghalalkanku di depan orang tua, penghulu, saksi, kerabat, dan semua orang. Kami sudah halal. Iya, halal. Ish, memang kenapa kalau sudah halal? Duduk berdeketan saja aku masih takut. Awas
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok