4
"Alvina!” teriak Prisa dengan suara nyaring saat kelas baru saja berakhir.
Aku pura-pura tidak mendengarnya. Kuayun langkah dengan tergesa. Memang sengaja sejak pagi menghindarinya. Aku bahkan tidak mengaktifkan ponsel sejak ia dan ayahnya ke rumah. Aku kesal ia yang terus saja menjodoh-jodohkanku dengan ayahnya.
Aku ini masih muda. Baru dua puluh satu tahun. Masa iya harus nikah sama duda. Ayahnya dia pula. Apa kata dunia? Memangnya di dunia ini tidak ada lagi bujangan hingga aku harus nikah sama duda ayah sahabatku sendiri?
Idih, amit-amit, deh. Kalau Om Pandu sudah kebelet kawin, kan, bisanyari yang janda lagi.
“Al ….” Ternyata walaupun sudah berusaha keras menghindarinya, ia dapat mengejarku. Aku lupa ia jago marathon. Apalagi kalau sedang kepepet dikejar satpam kampus karena parkir motor sembarangan.
"Temenin makan, yuk," ajaknya ringan seolah tidak menyadari aku sengaja menghindarinya.
"Aku mau pulang, tidak enak badan." Aku menepis tangannya. Juga terpaksa berbohong.
“Ayolah, sebentar saja. Aku lapar, belum makan dari pagi.” Ia memohon dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Jika sudah begini aku lemah. Tidak bisa menolaknya. Kuembus napas panjang sebelum berkata.
"Kalau di tempat kemarin, aku enggak mau!" Akhirnya kuberikan opsi.
Kening Prisa berkerut dalam. “Tempat kemarin? Resto papaku maksudnya?”
“Yaiyalah, di mana lagi?”
Aku memutar bola mata sebelum melangkah pergi. Namun, lagi-lagi Prisa menahan dengan mencekal tanganku.
"Kenapa, sih, begitu amat sama papaku?” Prisa menatap dalam.
“Papa kamu itu duda, Pris!” Aku menyesali diri setelah berkata barusan, kenapa pula kalimat itu yang keluar.
“Terus kenapa kalau duda?” Prisa melipat tangan di dada. Terlihat ia mengulum senyum.
“Au ah.” Aku kembali ingin meninggalkannya. Dan lagi-lagi ia menahanku hingga kami berjalan bersisian.
“Papaku biar duda, ganteng dan idola, loh.”
Aku memutar bola mata malas. Dia mulai promosi.
"Siapa yang nanya?" tanyaku ketus sambil terus berjalan.
"Jangan begitu. Jangan terlalu ketus. Nanti nyesel kalau papaku ada yang ngambil.” Prisa semakin menyebalkan.
"Bodo amat!" jawabku cuek.
"Al, papaku biar duda tapi keren, lho. Lihat saja bodinya. Enggak kalah sama atlet, kan? Aku bilangin, ya, dari bocah ingusan sampai nenek-nenek peot, ngefans sama papa. Malah ada tante-tante depan rumah hampir tiap hari ngirim makanan. Jadi sebenarnya, kamu beruntung banget kalau sampai jadi istrinya papa," cerocos Prisa dengan semangat empat lima.
Aku menghentikan langkah, lalu menatapnya.
"Oh, ya? Sorry aku enggak nanya. Lagian kenapa juga nggak kawin aja sama itu tante-tante? Gampang, kan?"
"Ya, itu dia. Papa enggak suka sama itu tante. Dia sukanya sama anak gadis yang seumuran anaknya." Prisa tersenyum jahil.
Aku mendelik, tetapi hanya dibalas tawa kerasnya hingga mataku menangkap sesuatu. Aku mengangguk mengerti.
"Pantes saja papamu banyak yang ngefans, hobinya TP, te-bar pe-so-na," ujarku sinis sambil menunjuk dengan dagu ke satu arah.
Prisa mengalihkan pandangan mengikuti arah daguku. Wajahnya langsung merengut melihat pemandangan di depan sana.
Om Pandu yang bersandar di pintu mobilnya dengan senyum khas yang terus mengembang, dikerubuti para mahasiswi yang terkenal centil di kampus. Prisa mengentak-entakkan kakinya dengan kesal. Lalu menyeruduk kerumunan gadis-gadis di depan sana.
Aku memutar bola mata malas. Kemudian berlalu dengan cepat sebelum Prisa atau Om Pandu melihatku. Mataku berbinar mendapati seseorang yang duduk di atas motor sambil anteng menekuri ponselnya.
"Dimas," pekikku senang. Aku berlari menghampirinya dengan hati berbunga.
"Dim, kamu di sini? Kenapa enggak bilang mau jemput? Kebetulan banget, sih!” seruku setelah berada di dekatnya.
Pemuda yang tengah fokus pada ponselnya itu mendongak. Gurat kaget terlihat jelas di wajahnya.
"Ka-mu, Al? Baru pulang?" tanyanya terbata. Wajahnya yang tampan terlihat agak pucat. Tidak ada gurat kerinduan atau bahagia di sana mengingat kami baru bertemu lagi setelah beberapa hari tanpa kominukasi.
"Iya, Dim. Tadi ada kelas tambahan. Kok, kamu tahu aku belum pulang? Yuk, pulang sekarang!” ajakku dengan mengguncang tangannya. Namun, Dimas bergeming, membuatku heran. Ia seperti kebingungan.
Ada apa? Bukannya Dimas datang ke sini untuk menjemputku? Bukankah aku ini kekasih yang sudah dipacarinya selama setahun terakhir?
Aneh.
Dalam keadaan seperti itu, ponsel yang masih dalam genggamannya berdering. Mata Dimas terlihat berbinar. Ia seperti ingin mengangkat panggilan. Namun, kugagalkan dengan menarik tangannya karena di belakang sana seseorang terdengar memanggil.
"Alvina ...." Itu suara Prisa.
Tanpa menoleh dan membuang waktu, aku langsung menggeret tangan pemuda yang hari ini agak aneh. Namun, aku tidak peduli, yang penting bisa menghindari Prisa.
"Ayo, Dimas, buruan!" Aku tidak mau Prisa memaksaku ikut dengannya. Pun tak mau lagi datang ke resto Om Pandu apalagi bertemu duda aneh itu.
"Ayo, buruan sebelum Prisa datang," ajakku lagi sambil terus menarik tangan Dimas. Akhirnya, pemuda itu berdiri dan mengikuti langkahku. Walaupun raut wajahnya terlihat sangat terpaksa.
"Alvina ... tunggu! Mau ke mana kamu?” Teriakkan Prisa masih terdengar, dan aku tidak peduli.
Aku semakin menarik tangan Dimas dan mempercepat langkah. Yang awalnya hanya berjalan, kemudian berlari karena suara Prisa terus memanggil. Kami berlari dengan tanganku menarik tangan Dimas. Semakin lama semakin cepat hingga suara Prisa tak terdengar lagi. Mungkin dia lelah mengejar kami.
Sekitar dua ratus meter kami berlari di bawah terik mentari. Hingga setelah merasa aman, kami berhenti. Dimas menepis tanganku yang masih menggenggam pergelangan tangannya.
"Sebenarnya, kenapa kita lari, Al?" tanya Dimas dengan napas tersengal. Keringat membasahi wajahnya, pun denganku. Raut kesal campur heran berbaur di wajah tampannya.
Aku masih mengatur napas sebelum menjawab pertanyaannya.
"Aku tidak mau ikut Prisa. Kamu tahu, kan, dia suka maksa?"
"Terus, kenapa kita lari? Aku kan, bawa motor," ujarnya lagi. Wajahnya semakin merengut.
Aku mengerutkan kening. "Oh, iya, sekarang motor kamu di mana?"
"Ya, di sana! Di tempat kamu tadi narik-narik aku," jawab Dimas ketus.
Aku memukul kening sendiri. Ya Tuhan, kenapa aku sebodoh ini?
"Ya, sudah, kamu ambil motor sana. Aku tunggu di sini, maaf ya," pintaku memohon dengan wajah memelas. Kutangkupkan kedua tangan di dada.
Dimas terdengar menghembus napas kasar.
"Ya, sudah, aku ambil motor dulu," ucapnya akhirnya walaupun dengan wajah kesal.
Dimas berjalan kembali ke arah semula. Kutatap punggung tegapnya hingga ia menghilang di persimpangan. Entahlah, ada perasaan asing di dalam sini melihat kepergiannya.
Aku bergegas menuju warung kaki lima yang menjual minuman dingin. Kerongkongan bagai tercekik setelah berlari marathon di bawah terik mentari. Disiram minuman dingin sepertinya akan sangat menyegarkan.
Setelah membeli sebotol minuman dingin, aku memutuskan menunggu Dimas dengan duduk di pagar tembok tepi jalan. Sebotol minuman hampir habis, dan jam di tangan sudah bergeser lima belas menit sejak Dimas pergi, tetapi hingga kini belum terlihat tanda-tanda dia akan kembali. Padahal waktu bolak-balik ke sini paling hanya memakan waktu lima menit, apalagi memakai motor.
Aku menekuri ujung sepatu yang memainkan kerikil di bawahnya, saat sepatu lain berhenti tepat di depan sepatuku. Itu sepatu ....
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara itu terdengar sinis.
Aku mendongak. Terlihat wajah Prisa yang kesal menahan marah. Tangannya bertolak di pinggang.
Aku membuang muka. “Bukan urusan kamu.”
"Ayo, pulang!" ajaknya tegas seraya menarik tanganku. Namun, aku menepisnya cepat.
"Ayo pulang, Al. Ngapain kamu di sini kayak orang bego?" ajak Prisa lagi dengan suara meninggi.
Aku menatapnya nyalang. Tidak terima dengan ucapan dan perlakuannya.
"Ya, sudah, sana kalau mau pulang. Kenapa juga ngurusin aku?” timpalku sengit.
Prisa memejamkan matanya sesaat. Sepertinya tengah meredam sesuatu di hatinya. Terbukti wajahnya semakin merah. Ia menggeleng setelahnya.
"Dengar, Al! Kamu mau nungguin Dimas sampai besok atau tahun depan juga dia enggak bakal balik ke sini. Jangan berlaku bodoh dengan membuang waktumu hanya untuk laki-laki seperti dia!" sentaknya sambil menunjuk mukaku. Suaranya penuh penekanan walaupun tidak berteriak. Mungkin sadar jika ini di tempat umum. Prisa memang sering meluap-luap jika marah. Dan kini, entah apa yang membuatya marah. Apa karena aku tidak mau ikut dengannya?
"Kamu ngomong apa, Pris? Udah, enggak usah ngurusin aku. Kalau mau pulang, pulang saja. Kenapa mesti repot?” Aku tidak mau kalah. Kujawab dengan mengangkat dagu. “Satu lagi, Pris. Jangan berkata buruk tentang Dimas hanya karena kamu mau aku sama papa kamu!" lanjutku ketus.
Bola mata Prisa melebar sempurna. Tatapan nyalang menyapu wajah ini. Kulit wajahnya bertambah merah padam. Tangannya terangkat menunjuk wajahku. Bibirnya yang bergetar siap menghaburkan sesuatu.
Namun, ternyata aku salah. Setelah beberapa lama terlibat saling tatap nyalang denganku, ia hanya mendesis kesal dengan tangan mengepal dan meninju angin. Setelahnya terlihat menelan ludah. Terlihat dari gerakan di lehernya.
“Kamu … kamu akan menyesal, Alvina Damayanti!” Setelah mengatakan itu, Prisa pergi membawa langkah-langkah kasarnya.
5Di sini kami sekarang. Berlima duduk di ruang tamu dengan suasana canggung. Apakah ini yang dimaksud lamaran oleh Om Pandu? Entahlah. Yang pasti ia datang hanya berdua Prisa dengan pakaian sedikit formal dan membawa banyak parsel. Tanpa meminta persetujuanku, mereka tetap mengadakan acara lamaran ini.Aku terpaksa setuju karena ternyata benar kata Prisa, Dimas tidak kembali bahkan hingga hari menjelang sore. Nomornya yang sudah tidak aktif sejak lama, semakin tidak bisa dihubungi, padahal aku lihat dengan mata sendiri ia mengutak-atik ponselnya kemarin. Bahkan kudengar ada panggilan masuk. Itu artinya dia memakai nomor lain. Atau nomorku yang diblokir?Tidak habis pikir dengan Dimas. Apa salahku hingga ia memperlakukanku seperti ini? Aku merasa kami tidak ada masalah apa pun.Kemarin untunglah walaupun dengan marah, Prisa menungguku hingga aku yakin jika Dimas tidak akan kembali. Ternyata Prisa tidak benar-benar pergi. Ia dan Om Pandu menungguku di dalam mobil tak jauh dari tempatku
6Sekarang, hanya kami berdua di sini, di ruang tamu ini. Aku dan Om Pandu. Entah kenapa Ayah, Ibu, dan Prisa pergi ke ruang makan tanpa mengajak kami.Sebenarnya, tadi aku berniat menyusul mereka, tetapi dengan galak Ibu menghardikku, menyuruh tetap tinggal menemani Om Pandu di sini. Ibu galak sekali seolah-olah aku ini anak tiri.Dari sini terdengar mereka makan sambil bercengkerama dengan hangat. Seolah-olah sengaja memanasiku. Aku sebal sama Ayah dan Ibu. Mereka jahat sekali. Tega. Anak mereka itu aku atau Prisa?Aku melipat tangan di dada dengan kesal. Aku tahu dari tadi Om Pandu memperhatikan, tetapi mencoba tidak peduli. Jarak duduk kami lumayan jauh. Aku tetap memasang tampang judes.Dari ekor mata aku bisa melihat Om Pandu berdiri, lalu berjalan mendekat, sepertinya ia mau menghampiriku. Cepat aku menahannya dengan mengangkat tangan."Stop, Om! Berhenti di situ. Jangan dekat-dekat!" hardikku galak.Om Pandu berhenti."Kenapa?" tanyanya dengan mengangkat sebelah alis."Aku ale
7Aku melotot memandangi layar ponsel pagi ini. Terlihat chat di aplikasi hijau masuk dari nomor Dimas. Akhirnya, setelah beberapa hari menunggu, ia menghubungiku juga. Niat hati ingin langsung menghubunginya. Namun, urung saat kubaca isi pesannya.[Al, mulai sekarang kita putus. Tidak perlu mencariku lagi!][Jangan tanya kenapa dan jangan salahkan aku! Kalau mau menyalahkan, salahkan laki-laki tua yang bersama Prisa kemarin.][Dia menghajarku, Al. Dia menyuruhku menjauhimu.][Kita putus, mulai sekarang tidak ada hubungan apa-apa di antara kita.]Dimas? Mengirim pesan ini? Setelah beberapa hari aku menunggunya untuk sekadar mengaktifkan nomor? Lalu, begitu aktif dia langsung bilang putus? Aku menatap nanar layar ponsel. Apakah hubungan yang terjalin setahun ini tidak ada artinya sama sekali baginya? Sehingga ia memutuskan hubungan sepihak tanpa bicara dulu denganku? Apakah aku tidak berharga di matanya? Hingga ia dengan mudahnya bilang putus, bahkan hanya lewat pesan WA?Apa salahku?
8Pagi ini Om Pandu menjemputku untuk fitting baju pengantin. Ya, walaupun masih setengah hati, tetapi aku berusaha ikhlas menerimanya sebagai calon suami. Padahal jauh di lubuk hati terdalam berharap Dimas datang memintaku kepada ayah dan ibu, hingga pertunanganku dengan Om Duda itu batal.Tidak salah kan, aku berharap? Mengingat aku dan Dimas sudah menjalin hubungan satu tahun lebih. Aneh saja tiba-tiba harus menikah dengan orang lain. Orang yang baru kukenal. Duda pula. Ayahnya sahabatku lagi. Seolah aku sudah tidak laku terhadap perjaka.Tidak pernah terbayang harus menjadi ibu tiri dari sahabatku sendiri. Ah, semua sudah terlanjur. Ayah dan ibu sudah menerima lamaran Om Pandu. Dan aku tidak punya alasan kuat untuk menolak. Semua alasan mereka patahkan.Seperti kata ayah, pernikahan seperti membayar utang, harus disegerakan kalau semua sudah siap. Tidak ada alasan untuk ditunda, mengingat usia Om Pandu sudah matang, dan ekonominya sudah mapan. Walaupun hatiku belum mantap. Niatkan
8Aku duduk di lantai, punggung bersandar di tepian ranjang. Kepala kubenamkan di antara kedua lutut yang kupeluk erat.Air mata terus berderai tanpa bisa ditahan. Sungguh tak percaya kalau Dimas selama ini tega mengkhianatiku. Terbayang bagaimana mesranya mereka tadi di mall. Andai aku tidak melihat dengan mata kepala sendiri, mungkin tidak akan percaya jika Dimas selama ini punya pacar lain selain diri ini.Pantas saja akhir-akhir ini semua terasa berbeda. Ia malah menudingku berselingkuh duluan dengan Om Pandu. Mana ada? Aku bahkan masih berharap ia datang membatalkan pertunanganku dengan Om Pandu. Aku yakin jika ia datang dengan serius, orang tuaku akan menerimanya.Nyatanya, jangankan datang memintaku dengan serius pada ayah, aku malah mendapati kenyataan jika aku bukan satu-satunya wanitanya.Aku semakin memejam hingga air mata terus bercucuran. Walaupun sudah bertunangan dengan Om Pandu, tetapi mendapati jika dia yang ada di hati ini ternyata sudah mendua entah sejak kapan, tet
Karena kemarin tidak jadi fitting dan belanja perhiasan untuk mas kawin, disebabkan moodku yang anjlok, akhirnya hari ini kami berangkat. Aku mengekori Prisa menuju mobil Om Pandu, setelah pamit dengan ayah dan ibu. Saat Prisa sudah masuk ke pintu belakang dan aku mengikutinya, dia mendorong tubuhku keluar."Ngapain ke sini?" hardiknya galak. "Aku mau duduk sendiri!""Terus, aku di mana?" tanyaku sedih."Masih nanya di mana. Ya, di depan sana. Biar calon suamimu nggak ada yang ngambil!" hardiknya lagi sambil menarik pintu mobil dari dalam dan menutupnya keras.Kok galakan dia, sih? Yang ibu tiri di sini aku. Aku mengentakkan kaki kemudian beralih membuka pintu depan dan duduk di samping Om Pandu yang sudah duduk manis."Mobil tidak akan jalan, sebelum semua penumpangnya tersenyum," sindir Om Pandu dengan tatapan lurus ke depan.Aku dan Prisa saling lirik lewat spion. Namun, tak lama aku membuang muka ke luar jendela. Sebentar kemudian aku kaget, tiba-tiba Prisa memelukku dari belakang
11Om Pandu mencengkeram pergelangan tanganku. Lalu menariknya dengan kasar menjauhi pemuda itu. Aku meringis dan berusaha melepaskan cengkeraman tangannya."Sakit, Om. Lepas!" pekikku sambal memukuli tangannya. Apa dia sudah gila? Kenapa semarah ini? Apa salahku?Setelah dirasa cukup jauh, dia berhenti dan melepaskan tanganku."Apa-apaan, sih, Om? Sakit tahu!" omelku memegangi pergelangan yang tampak merah."Al, kamu harus hati-hati. Jangan mudah percaya dengan orang asing. Lelaki seperti itu modus, awalnya minta nomor HP padahal ada maunya. Pura-pura tak sengaja nabrak, terus minta nomor. Terus berlanjut saling chating. Om sudah tahu modus lelaki seperti itu," omelnya penuh emosi. Wajahnya masih merah padam dengan urat-urat pelipis yang terlihat berkedut.Aku hanya melongo mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Sumpah, aku baru melihatnya semarah ini. Ternyata sangat menyeramkan. Kemarin-kemarin aku bertingkah konyol dan menyebalkan pun, dia tidak pernah terlihat kesal
12Mobil itu terus mengikuti, mendahuluiku, dan akhirnya berhenti satu meter di depan. Tubuhku sudah bergetar hebat saking takutnya, menanti apa yang akan terjadi. Bayangan terburuk yang akan menimpa sudah berputar-putar di kepala. Hingga pintu depan samping kiri terbuka.Aku mempersiapkan diri dengan memasang kuda-kuda karena jika orang yang berniat jahat yang turun, aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan melawan sekuat tenaga, sampai titik darah penghabisan. Namun …."Al, ayok naik!" Sebuah suara yang familier membuyarkan ketakutanku.Suara itu ...."Ayok cepat naik sebelum hujan bertambah besar," lanjut suara itu lembut tapi tegas.Aku sangat mengenali suara itu. Suara dari orang yang membuat hariku sial. Suara biang kerok semua ini. Siapa lagi? Tentu saja Om Pandu.Ketakutan yang sudah membuncah tadi tiba-tiba berubah menjadi kekesalan yang teramat. Apalagi saat kepala Om Pandu muncul di sela pintu yang terbuka."Ayok cepat naik, kita pulang. Sebentar lagi hujan," ajaknya l
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok