Share

DUA BELAS TAHUN TANPA KAMU
DUA BELAS TAHUN TANPA KAMU
Penulis: Ria Abdullah

1. dua belas tahun

Suamiku ... kemana kau menghilang meninggalkanku di tengah kejamnya dunia. Bahuku terlalu rapuh untuk mengumpulkan kepingan hati dan memeluk anak-anak kita. Tidak ingatkah kau padaku dan binar mata buah hati kita setiap kali berjumpa denganmu?

**

Oktober, 2024

Hujan mengguyur kota dengan deras membasahi seluruh sudut jalan dan gedung-gedung sekitar toko kami. Sejak pagi mendung yang menggelayut di awan tak beranjak agar sinar matahari dapat mengeringkan kaca toko sehingga kue-kue yang kugelar di etalase bisa terlihat jelas.

Angin berhembus dengan kencang menampar-nampar jendela toko yang telah berdiri selama 10 tahun terakhir, toko kue Delta, gabungan nama kedua anakku, Delia dan Lita.

Kucoba memperbaiki kancing sweater dan syalku agar udara dingin tidak membuatku masuk angin, semalam aku demam jadi keadaanku tak begitu baik hari ini. Mungkin karena hujan jadi orang-orang enggan berlama-lama di luar rumah.

Di dapur, putriku dan adiknya yang duduk di kelas 3 SMP sedang sibuk memanggang brownies dan tiramisu. Aroma manis bercampur dengan wangi kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan. Beberapa pengunjung kedaiku terlihat mengobrol dengan teman dan pasangan mereka.

Sesekali kupandangi dapur dari meja kasir, kedua anakku terlihat bercanda sambil mendengarkan musik, delia yang sibuk mencetak kue sembari memeriksa open dan memastikan agar kuenya tidak gosong, sementara adiknya membuat adonan.

"Apa kalian baik-baik saja di sana?"

"Iya, Bunda."

"Jangan sampai kuenya gosong ya."

"Tenang aja Bunda, aku gak akan membiarkan itu terjadi, sebentar lagi pelanggan datang menjemput kuenya," jawab delia sambil tangannya tetap cekatan menarik loyang kue dari dalam oven.

"Makasih ya Kak udah bantu Bunda."

"Selalu Bunda."

Kemudian kuarahkan pandanganku ke seberang jalan, menatap pemandangan sore yang syahdu, hujan masih gerimis di luar sana sementara mobil dan. pejalan kaki melintas tanpa henti, mereka tak peduli tentang hujan yang masih deras, seolah aktivitas kota tetap menggeliat apapun cuacanya.

Entah kenapa pikiranku menerawang, memori itu tiba tiba mengalir cepat seperti air di delta sungai, bercabang kemana-mana, kacau, tapi menggambarkan pola tertentu. Ada pemikiran tentang masa yang sekarang, tentang toko kue, tentang sekolah anak-anak dan tabunganku untuk kuliah mereka, tapi sebagian besar pikiranku saat ini terarah pada musim hujan 12 tahun lalu. Tentang, seorang pria yang pernah kupanggil suamiku, Mas Arham.

Setiap kali mengingat lelaki yang memiliki senyum indah itu, kepiluan merasuk hatiku. Bahkan sampai saat ini, aku tak bisa melupakannya, wajahnya, aroma tubuhnya dan luka-luka yang ia tinggalkan untuk kami.

Lalu ingatan buruk selalu datang setelah kenangan baik, ingatan saat suamiku meninggalkanku dan anak anak tanpa bekal. Dia mencampakkan kami dan membuat kehidupanku jatuh dalam kesengsaraan. Kami hidup dengan keras, terseret dalam pusaran kesulitan dan hutang.

Dia pergi begitu saja seakan kami bukan bagian dari hidupnya. Menghilang bagai ditelan bumi, diculik makhluk luar angkasa atau entah apalah.

Alasan ada tugas di luar kota telah membuatku percaya untuk melepas kepergiannya. Klise sekali memang!

Dia merayuku dan memberikan kecupan di kening, lalu dengan polosnya aku mempercayai lelaki bertubuh tinggi itu. Aku membantunya berkemas, dan percaya dengan naif kalau saat itu dia tidak punya uang sedikitpun untuk kami.

Dan... sejak itu kami kehilangan kontak dengannya.

**

Oktober 2012.

Setelah hujan selama dua hari berturut-turut, tiba-tiba matahari menyapa bumi dengan cahaya lembut, menyingkirkan sisa dingin hujan semalam. Embun pagi menempel di daun keladi seperti berlian yang terlupakan lalu menetes ke atas batu dan menguap. Dunia terbangun dari tidur diiringi oleh kicau burung dan gemerisik daun yang tertiup angin.

"Assalamualaikum." Sapaannya selalu terdengar menggetarkan hati meski itu sudah terdengar ribuan kali.

Saat itu aku sedang menyapu pekarangan, suamiku pulang dari tempat kerjanya dan terlihat terburu-buru. Semalam dia shift malam dan baru pulang jam 07.00 pagi.

"Mas! Kamu sudah pulang?" Aku menyambutnya, menerima tas berisi laptop dari tangannya.

"Iya, sif malam buat pikiranku lelah, aku ingin sekali tidur." Dia mengeluh sambil mengusap matanya.

"Mau kubuatkan kopi dan sarapan dulu?"

"Enggak usah, soalnya aku mau pergi lagi." Aku mengikuti langkahnya ke dalam kamar.

"Kemana?"

"Ada tugas penting, Iriana."

"Oh, tapi biasanya ada pemberitahuan dari jauh-jauh hari Mas, kok bisa mendadak?"

"Entahlah, tapi sebagai satu-satunya orang yang diandalkan sebagai tangan kanan Bos, aku harus turun tangan. Tolong kemasi beberapa pakaian. Aku juga harus bawa berkas administrasi dan identitas pribadiku. Semuanya ya!"

"Kok gitu?" Tiba-tiba perasaanku tak nyaman tapi aku tetap menuruti permintaannya.

"Katanya untuk syarat pembukaan cabang baru, agar aku bisa diangkat sebagai kepala. Bukankah lebih bagus kalau aku jadi kepala cabang, daripada terus membusuk sebagai kepala gudang?!"

"Iya, tapi kau terlihat lelah sekali, Mas."

"Aku tidak masalah jika itu menyangkut usahaku untuk mempromosikan diri. aku harus naik jabatan agar hidup kita lebih sejahtera." Lelaki itu meraih bahuku dan membawaku dalam pelukannya, sesaat aku merasa tentram dalam aroma khas suamiku, kami berpelukan untuk beberapa detik sampai akhirnya dia memintaku kembali memasukkan pakaiannya ke dalam koper.

"Baik-baik di rumah ya, nanti akan kukirimkan uang." Dia mengecup keningku.

"Iya, Mas."

"Jaga Delia dan Lita, katakan padanya kalau aku akan belikan mainan." Saat itu kedua putriku masih berusia 6 dan 4 tahun. Aku mengangguk saja atas pesannya padaku.

"Iya, Mas, tapi cepat-cepat pulang ya. Kamu tahu kan kalau aku gelisah sendirian di rumah."

"Iya hahaha." Lelaki itu tertawa renyah sambil mencubit hidungku.

Bersegera ia meraih koper lalu menyeretnya pergi seakan-akan ada yang memburunya. Bahkan ia tidak sempat cuci muka dan ganti pakaiannya, tidak pula sempat menikmati secangkir kopi yang masih mengepulkan aroma di atas meja. Dia juga tidak bertemu putri kami yang saat itu sudah berangkat sekolah.

Lalu suamiku menghilang....

Hari demi hari berganti tanpa kabar, saat itu teknologi belum secanggih sekarang, ada ponsel biasa tapi belum bisa kupakai untuk akses internet. Aku menyalahkan diriku yang terlalu gagap teknologi, aku juga tidak punya sosial media untuk menelusuri suamiku, jadi yang kulakukan adalah menunggunya.

Menunggu pagi sampai malam, dari matahari terbit hingga kembali ke peraduannya, Aku bertahan dengan sisa uang yang ada, dengan sisa perhiasan emas yang berusaha kucukupkan sampai akhir bulan. Waktu bergulir, matahari terbenam digantikan dengan bulan yang bertengger di di langit malam, musim-musim berganti dan suamiku menghilang.

Aku sudah menelusuri dia, aku cari dia di kantornya dan mengejutkan suamiku telah resign. Tidak ada naik jabatan atau tugas di luar kota karena dia kabur begitu saja. Aku tanya ibu mertua, tak ada satupun keluarganya yang tahu. Dalam keputus-asaan aku tidak tahu aku harus ke mana.

Suamiku menghilang menyisakan cinta dan kerinduan yang mendalam. Hatiku sesak mengingat tentangnya, juga rasa bersalah bertahun-tahun yang telah menghancurkan hatiku. Aku menyalahkan diriku atas kepergian Mas Arham, aku ingin tahu apa yang terjadi sampai ia harus kabur dan apakah itu adalah salahku? Aku tidak mengerti.

Dalam kerinduan dan penantian panjang aku mulai putus asa, sempat depresi dan sangat-sangat berada di titik rendah. Untungnya ada keluarga dan sahabat yang membantuku untuk bangkit, kami terpaksa pindah dari rumah tersebut, membeli rumah yang lebih kecil lalu membangun toko kue. Toko kuenya berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Anak mulai dewasa dan bisa membantuku.

*

Tring!

Lonceng toko membuyarkan lamunan. Pikiranku yang tadinya mengembara kembali lagi ke fokusku. Aku langsung berdiri untuk menyambut pelanggan toko, aku tersenyum saat mereka membuka pintu, dan langsung ku arahkan mereka ke etalase.

"Selamat datang, mari silakan." Aku menyambut dengan senyum lebar dan mengarahkan pelanggan ke meja.

"Kau??!" Pria berkemeja biru itu menatapku tanpa berkedip.

Aku tercengang karena tiba-tiba aku seperti mengenal pria itu, pria yang datang sambil menggandeng seorang wanita berpenampilan elegan bersama kedua anak mereka, laki dan perempuan yang mungkin duduk di bangku SD. Pria itu seperti aku kenal... ya benar! aku kenal! dia suamiku!

Lalu air mataku meluncur begitu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status