Aku tiba di kedai setelah 15 menit berjalan kaki melewati paving blok dengan deretan tokoh-toko estetik di kanan dan kirinya. Kupercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang berharap bahwa lelaki berbantel hitam itu tidak mengikutiku.
Saat membuka pintu kedai, lonceng kecil di pintu kaca berdenting, aroma vanilla dan coklat panggang yang tercampur di udara menciptakan suasana hangat di dalam cafe. Asistenku Kaila yang tengah memanggang kue menyapa diri ini dengan senyumnya yang ceria. Seperti biasa apron kotak-kotak pink mempercantik penampilannya. "Selamat pagi, Bu." "Pagi, Kaila. Aku senang melihatmu dan syukurlah kau sudah sembuh." Dua hari kemarin dia tak datang ke toko, cuaca dingin dan terkena hujan membuat asisten sekaligus wanita yang kuanggap adik itu menjadi sakit. "Alhamdulillah Bu, dua hari sakit membuatku rindu dengan toko ini, jujur saja, aku bosan di rumah." Aku tertawa kecil mendengarnya, "Tidak masalah kau habiskan waktu untuk istirahat. Lita dan Delia mengambil alih dapur dariku, jadi aku dapat asisten gratis selama 2 hari." "Astaga, Ibu, hahaha," tawa wanita itu memberikan suasana yang cukup ceria di dalam kafeku, sehingga senyum itu tertular dan membuat gejolak hati ini mereda. Jejak kesedihan serta kehadiran Mas Arham masih membekas di hatiku tapi aku harus mengalihkan diri untuk melupakannya. Aku harus kembali fokus pada toko dan bisnisku, pada mimpi-mimpi untuk membesarkan anak-anak dan bertekad menjadikan mereka sarjana yang sukses. "Bu, kenapa wajahnya pucat." "Oh, benarkah?" Aku tiba-tiba menyadari sesuatu dan langsung melirik etalase kaca yang memantulkan bayanganku. "Apa ibu sakit?" "Tidak, Kaila, aku hanya lelah." "Pagi-pagi tadi saya dapat pelanggan kaya yang memborong semua kue di etalase. Ibu lihat kan etalasenya kosong?" "Wah, Masya Allah." Aku terlonjak gembira dengan kabar baik yang tak kuduga-duga. Kukira aku akan menghabiskan dua atau tiga hari untuk menghabiskan stok kue tapi alhamdulillah semuanya tanda. "Meski kota ini kota kecil ...tapi saya mengenal semua penduduknya. Sepertinya Bapak tadi tidak berasal dari tempat ini." "Siapa?" "Bapak yang memborong kue." "Oh ya?" "Ya, ia datang dengan mobil Alphard dan beberapa stafnya, mereka bilang mau beli kue untuk acara kantor, lalu mereka memborong semuanya." "Seperti apa?" Jujur hati ini risih dan mulai curiga kalau itu adalah Mas Arham, Aku penasaran untuk apa dia memborong kue dan pada siapa ia membagikannya. Bukannya dia bilang kalau hanya mampir ke kota ini, dan bermalam beberapa hari saja. Ah, aku mulai gelisah. "Beliau tampan dan berkacamata, penampilannya elegan seperti direktur di drama Korea. Dia sudah cukup dewasa dengan rambut keperakan di sekitar kepalanya, tapi lelaki itu membuat hati saya berdebar," ujar kaila sambil tersipu, Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. "Ya ampun kau ini, bisa-bisanya kamu terpesona oleh pelanggan toko, jangan-jangan itu suami orang, " ujarku sambil menggeleng geleng dan setengah menggodanya, wanita muda itu tertawa. "Ah entahlah, dia itu tampan sekali Bu. Pria pria yang ikut di belakangnya memanggil dia dengan sebutan Bos, tapi meski dia bos, lelaki itu punya tutur kata yang santun. Ah, semoga suatu hari saya menemukan lelaki sepertinya dan menikah." "Oh, kau ini, tapi Semoga mimpimu tercapai...." Aku mengibaskan tangan ke udara sambil meliriknya. Dia cekikikan saja sambil kembali mengaduk adonan kue. Sudah jelas Kayla sedang menceritakan tentang suamiku, tapi aku terkejut di bagian lelaki itu punya anak buah yang memanggilnya dengan sebutan Bos. Jadi, benarkah Mas Arham sudah sukses dan punya banyak karyawan? Usaha apa yang ia tekuni dan sudah seberapa jauh prestasinya, mengapa mendadak aku ingin tahu. Ah, tiba-tiba kegelisahan yang tak kuketahui sebab musababnya membuatku resah, ada kekhawatiran yang sulit kubahasakan dalam kata-kata, aku tidak ingin anak-anakku bertemu lelaki itu. Tapi aku tahu betul bahwa Mas arham tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan keinginannya. "Ya, Tuhan, tolong jangan bawa prahara dalam kehidupan kami." Kehadiran menimbulkan kecemasan dan kecemasan itu menciptakan kesedihan yang membuat hatiku kembali gerimis. Jujur saja, cengeng bukan bagian hidupku, tapi entah kenapa sejak kemarin sore, hampir sepanjang waktu aku berlinangan air mata. "Selamat pagi!" Pintu kaca berdenting lelaki bermantel hitam masuk dengan sepatu coklatnya yang mengkilap, jejak basah dari jalanan paving tidak melekat sedikitpun di sepatu mahalnya itu. "Nah, ibu... Itu pelanggan yang memborong kue. Selamat datang, Pak." Kayla segera mendekat dan membungkukkan badannya memberi hormat. Pegawaiku itu menunjukkan keramahan dan menempatkan Mas Arham di sebuah meja yang berhadapan langsung dengan etalase. Duh, aku dan dia akan saling bertatapan jika posisiku ada di meja kasir. "Kue di toko ini sangat enak jadi aku datang kemari untuk berterima kasih secara langsung kepada pemiliknya." "Kalau begitu kebetulan! Itu pemiliknya, Pak." Ucap kaila sambil menunjuk padaku. Aku berdiri dengan linglung dan canggung, aku menatap lelaki itu dengan tajam tapi dia masih tersenyum santai dan kembali duduk. "Boleh minta kopi." "Tentu Pak." Asistenku siap menyalakan mesin kopi tapi aku langsung menolaknya. "Tidak, cafe kami akan tutup!" "Bu, kenapa?" Kayla terkejut dengan ucapanku, bola matanya membulat melihat tindakanku yang aneh. Dia menggeleng-geleng dan mencegahku untuk menolak pelanggan. "Kami mau istirahat jadi cafenya akan saya tutup!" "Ibu... Jangan dong...." Kaila makin malu dan gelisah dengan sikapku, ia tidak tahu kalau lelaki tampan yang yang tadi dia sebut-sebut sebagai pria baik itu, adalah sosok yang paling banyak memberikan luka di hatiku.Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu. "Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi. "Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa."Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla y
Di luar sana simfoni kota terus berlanjut, deru mesin kendaraan berpadu dengan suara pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, suara klakson bis kota serta nyanyian pekak dari pemusik jalanan memenuhi udara. Di tengah hiruk pikuk itu aku masih membeku di dalam toko kue Delta, toko kue yang berhasil menafkahi dan membuat kami bertahan hidup. Aku masih di sini dan beradu pandang dengan pria yang jadi alasan mengapa aku mampu setia dalam penantianku selama dua belas tahun. Dia masih duduk dengan setelan mantel hitam dan kacamata persegi panjang, sementara aku terus menghabiskan energi untuk membuatnya pergi. Seharusnya aku mengabaikannya seperti komitmenku yang akan melupakan dan menganggap dia telah meninggal. Aku ingin memandangnya seperti seonggok batu atau sebatang kayu yang sia-sia, tapi, berkat kenangan masa lalu yang indah, percikan cinta itu tumbuh subur di hatiku.Aku seperti menyemaikan duri yang sejujurnya tak ingin tumbuh, sebab akhirnya semua itu akan menyakitiku. "
Tak kuasa mendengar pengusiran dan penolakan berulang ulang, pria itu akhirnya beranjak dari toko kueku. Ia tinggalkan 10 lembar uang merah di bawah cangkir kopi bekas minumnya, lalu berpamitan dengan suara yang lirih."Iriana aku pamit, namun aku tak akan menyerah padamu."Aku hanya memejamkan mata sambil membenamkan wajah diantara kedua tanganku. Sakit mendengarnya, dan seharusnya aku tak perlu mendengar itu. Aku baru menyadari ada banyak uang saat bayangan lelaki itu menghilang dengan sempurna. Ingin kukejar dan kukembalikan uangnya tapi aku tak tahu ia di mana."Wah, Bapak itu membayar 10 kali lipat dari harga kopi." Kayla mendekat dan melihat uang yang teronggok di atas meja, gadis muda itu meraihnya dan tertawa bahagia dengan uang satu juta untuk segelas cappucino yang seharusnya berharga Rp.27.000. "Katakan padaku.. apa ia sangat tergila-gila pada ibu, sampai mengejar ibu berkali-kali?""Tidak.""Lalu kenapa?""Kaila, aku tahu aku tak bisa menyembunyikan sesuatu terlalu lama.
Tak tahu berapa lama aku tenggelam dalam pelukan damai itu, sampai kusadari sesuatu bahwa apa yang kulakukan sudah tidak benar adanya. Aku melepaskan diri dengan canggung, selalu bersurut perlahan menjauh dari lelaki itu. Rindu dan malu bercampur menciptakan rasa panas di pipiku. "Kamu tak harus melepaskanku. Kamu berhak memelukku.""Tidak, Mas. Ini salah," balasku dengan tenggorokan dan bibir yang kering. Bukan cuma ragaku tapi jiwaku turut meranggas. Dua belas tahun tanpa sentuhan suami membuatku mati rasa. Saat lelaki itu tiba-tiba datang, aku merasa aneh. Aku ingin bersamanya tapi sadar dia sudah sulit untuk kugapai.*Derasnya hujan yang tumpah dari langit seakan tak terhentikan, petir sesekali menggelegar dengan pola rambatan halus menambah dramatis teater alam.Aku masih berada di emperan toko, berharap bahwa taksi yang kupesan segera datang. Rembesan air menggenangi jalan, pengunjung yang tadinya berlalu lalang di sekitar pasar mulai berteduh dan membuat trotoar sedikit le
Perlahan hujan mereda meninggalkan aroma tanah, sedikit gerimis masih menari di udara tapi itu tak mengapa. Matahari mengintip dari celah awan membuat situasi seketika benderang. Orang-orang kembali sibuk melanjutkan kegiatan, termasuk aku yang akan beranjak pergi membawa sisa barang-barang. Tukang becak kembali mengayuh becaknya. Pedagang kaki lima menggelar lapak serta anak jalanan yang menjual tisu berhamburan ke lampu merah. "Eh, Mbak, kamu yang pemilik toko kue kemarin ya?" Sewaktu mau melangkah pergi wanita itu menahanku"Iya." Aku menjawab tanpa menatap matanya. "Ya ampun, senang bertemu denganmu. Kue yang dibawakan suamiku Untuk mamaku sangat enak sekali. Akan memintaku untuk membeli lagi."Dia bercerita dengan antusias sambil menghampiri dan memaksa tatapan kami beradu.Ah...malas sekali. "Terima kasih atas apresiasinya.""Sama sama, tapi bolehkah saya minta kontak Anda," tanya wanita yang dikuncir kuda itu. "Oh, tentu, tapi... saya baru saja kehilangan ponsel saya."
Malam merangkak dengan keheningan yang memeluk bumi. Di bawah jendela aku duduk di kursi sendirian, sambil memikirkan yang terjadi sore tadi tatapanku menerawang ke langit. Di sana, rembulan bersinar lembut memancarkan cahaya perak, menembus awan kelabu yang menggantung rendah. Ah, hatiku hampa. Masih terbayang bagaimana Mas Arham memeluk Mariana, mendaratkan kecupan mesra saat kedua mata mereka bertautan dan senyum di bibir mereka mengulas garis yang sama. Teringat olehku bagaimana tatapan mata lembut Mas Arham kepada istrinya, hatiku sungguh terluka. Bahkan ingatan tentang mereka berdua lebih mendominasi akalku dibandingkan perampokan yang kuhadapi sore tadi.Mungkin saja saja kejadian itu aku menjadi melankonis, terlalu sering menangis dan terkesan cengeng. Sebenarnya itu bukan diriku, episode tangis menangis dan kesedihan dramatis telah berlalu 12 tahun yang lalu, di tahun-tahun pertama kehilangan lelaki itu. Mestinya sekarang, kunikmati hari-hari bahagia bersama kedua putrik
"Apa?" Aku terhenyak melihat begitu banyak box yang diturunkan dari Alphard, ada begitu banyak bahan kue, terigu, gula dan coklat yang dibawakan oleh stafnya. Dia juga membawakan beberapa set pakaian untuk putriku, juga gadget dan laptop terbaru. Beberapa orang pria meletakkan semua itu di atas meja pelanggan yang kebetulan sedang kosong. Kini aku bisa melihat deretan paper bag dan barang-barang itu memenuhi tokoku. "Ini semua untuk kamu. Aku mengganti semua yang dirampas pencopet kemarin!""Tapi kenapa? Apa aku bilang Aku membutuhkan bantuanmu?!" Aku ingin marah tapi kemarahan itu tak bisa kulampiaskan begitu saja di hadapan begitu banyak stafnya dan asistenku sendiri. Mustahil aku menghardik seseorang di hadapan para karyawannya, dia bisa kehilangan kehormatannya. Mendadak udara di cafe terasa begitu berat seperti dipenuhi debu-debu kenangan pahit yang tak kunjung mengendap. Aku jatuh terduduk di sudut sementara tatapan mataku menerawang mengamati segala hal yang terjadi di sek
Sinar senja semakin memudar, berarak dengan awan yang menuju ufuk Barat. Hari menjelang petang saat kuputuskan pulang dan mengunci kembali kedaiku. Anak-anak dan Kayla sudah pulang lebih dahulu, sementara aku menghitung pemasukan serta memeriksa kembali barang-barang yang dikirimkan Mas Arham. Seberapa bagian akan kupergunakan dan beberapa lagi akan kukembalikan. Mau bagaimana lagi Aku tak punya pilihan lain, sebagian uang dan kartu atm-ku hilang, hanya ada sisa sedikit untuk persiapan Lita magang. Uang yang tadinya aku gunakan untuk modal harus kupakai untuk membeli persiapan magang dan pakaian putriku, jadi, akan kumanfaatkan bahan-bahan yang ada daripada dibuang begitu saja.Tidak, bukan aku munafik! kurasa aku harus mulai berdamai dengan kenyataan dan akan kuanggap apa yang kudapatkan hari ini adalah sebagian rezeki pemberian Tuhan. Atau sementara akan kugunakan terigu dan bahan-bahan kue bawaan Mas arham tadi. Tapi sebelum itu, aku harus membuat kesepakatan padanya bahwa ini h
Melihat mereka saling menerima kembali, ada keharuan yang membasahi sudut mata ini, aku ikhlas dan bahagia untuk mereka. Bahagia melihat mereka bahagia. "Alhamdulillah, kalian sudah saling menerima kembali, Kalau begitu akan kubiarkan keadaan bicara dan aku berpamitan.""Mau ke mana Mbak?" Tanya Mariana."Aku harus kembali ke toko," jawabku sambil mengangguk tulus padanya. "Tapi, mbak ga bisa pulang sendirian, kami harus mengantar mba," ujar Mariana."Tidak usah." Aku menggeleng sambil mengisyaratkan kedua tanganku agar mereka tetap bersama di tempat itu."Tapi Mbak mau pulang dengan siapa?""Denganku!" Suara berat di belakangku menyadarkan bahwa yang datang adalah Mas Arkan. Pria tampan dengan jas marun dan sapu tangan biru yang terselip indah di dada kirinya membuat pria itu terlihat tampan dan keren.Ya, langkahnya, gestur kedatangannya, dan cara dia membuka kacamata hitamnya itu membuat semua orang terpana. "Pak Arkan," ujar Mas arham menyapa lelaki itu dengan senyum hangat da
Aku ceritakan pada anak-anak bahwa semalam aku bicara pada ayah mereka, di meja makan saat kami sarapan pagi, kedua putriku terdengar menyimak semua cerita yang kuutarakan. "Apa Ayah bisa menerima dengan baik semua perkataan Bunda?""Iya, sepertinya pikirannya sedang jernih, jadi aku bisa masuk ke alam bawah sadar dan memberinya afirmasi bahwa dia harus kembali pada keluarganya." "Apa Bunda berhasil?""Bunda rasa Ayahmu mulai terpengaruh dan mau tergerak untuk menemui istrinya.""Sebenarnya ini bukan tugas kita untuk bersikap sejauh itu, tapi kita melakukannya karena kepedulian. Apa kalian setuju?" tanyaku pada anak-anak. "Ya, kami setuju Bunda."*Anak-anak telah berangkat ke kampus dan sekolahnya saat masa Arham tiba-tiba mengirimkan pesan padaku dan memintaku untuk menemaninya menemui Mariana. (Aku tahu ini canggung tapi hanya kau yang bisa kuandalkan untuk menengahi kami.)Aku terdiam sambil membaca pesan tersebut, agak ragu perasaanku karena aku tidak ingin mengambil langkah
Senja menyapa kota ini dengan langit jingga yang memudar meninggalkan jejak warna jingga di cakrawala. Aku terduduk di teras rumahku sambil menatap gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dari kejauhan. Di antara semua gedung itu ada gedung Mariana dan tempat yang dulu dikelola Mas Arham dengan begitu bangganya. Karirnya bagus sebagai direktur, hubungan dengan keluarga istrinya juga baik karena secara teknis ia suami yang sempurna. Beberapa bulan lalu ia sangat bangga berada di sana, menghabiskan sebagian besar waktu untuk mencurahkan pikiran dan ide-ide dalam bisnis, tapi kini semuanya tertinggal dalam kesunyian.Pikiranku tenggelam membayangkan apa yang terjadi antara Mariana dan Mas Arham, dia yang selalu terobsesi untuk kembali padaku dan kecemburuan Mariana telah memicu pertengkaran hebat dan perpisahan di antara mereka. Mungkin Mas arham merasa seperti terdampar di Pulau terpencil, sendirian tak memiliki siapapun. Tak ada kawan atau keluarga yang bisa diajak untuk mencura
Angin berhembus dengan sejuk di antara siang menjelang sore. Berbincang dengan Mas Arkan sampai 3 jam lamanya sama sekali tidak terasa seakan baru lima menit berlalu. Karena aku harus menutup toko, maka aku mau minta beliau untuk mengantarku kembali ke cafe delta. Kami meluncur dengan mobil BMW milik Mas Arkan. Menyusuri jalanan kota yang terasa mulai sesak di sore hari, juga terik matahari yang langsung jatuh ke kaca depan mobil. Begitu berhenti di lampu merah yang di sebelah kirinya ada toko ritel aku terkejut dengan seseorang yang sedang duduk di bangku depan toko tersebut. Aku berusaha menajamkan pandangan mata padahal lelaki yang menggunakan celana jeans sobek di bagian lutut, baju kaos hitam dan topi., cambangnya nampak lebat, mungkin lebih bagus disebut jenggot. Dia duduk dengan sebotol kopi kemasan. Dia Mas Arham.Tatapannya kosong, duduk sambil menatap lalu lalang orang di jalanan, Dia terlihat sedih dan sesekali meneguk kopi dari botol tersebut. Melihatku ada di dalam semu
Jadi apa yang kudapatkan dalam dua belas tahun penantianku? Mungkin aku tidak cukup beruntung dengan cinta, tapi aku mendapatkan modal dan toko baru. Aku telah mengamankan masa depan anak anak dan memastikan mereka kuliah di tempat terbaik yang mereka inginkan. Dan ya, untung saja aku berkonflik dengan Mas Arham, andai kami tidak bertengkar di showroom mungkin aku tak akan bertemu dengan Mas Arkan yang istimewa, lelaki yang telah memberiku alasan baru untuk tersenyum dan lebih kuat menjalani segalanya. Karena perannya juga, aku berani mengambil keputusan untuk membuka cabang dan berspekulasi dengan keberuntunganku. Nyatanya, aku hanya butuh dorongan karena keraguan terbesarku selama ini hanya takut merugi.Cabang baru berkembang dengan pesat, Kaila mengelolanya dengan baik, sedang aku dan anak anak fokus pada toko delta di saint Maria. Popularitas toko dan testimoni kelezatan melejit membuat pesanan menumpuk dan pelanggan yang tak pernah sepi. Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan
Jadi apa yang kudapatkan dalam dua belas tahun penantianku? Mungkin aku tidak cukup beruntung dengan cinta, tapi aku mendapatkan modal dan toko baru. Aku telah mengamankan masa depan anak anak dan memastikan mereka kuliah di tempat terbaik yang mereka inginkan. Dan ya, untung saja aku berkonflik dengan Mas Arham, andai kami tidak bertengkar di showroom mungkin aku tak akan bertemu dengan Mas Arkan yang istimewa, lelaki yang telah memberiku alasan baru untuk tersenyum dan lebih kuat menjalani segalanya. Karena perannya juga, aku berani mengambil keputusan untuk membuka cabang dan berspekulasi dengan keberuntunganku. Nyatanya, aku hanya butuh dorongan karena keraguan terbesarku selama ini hanya takut merugi.Cabang baru berkembang dengan pesat, Kaila mengelolanya dengan baik, sedang aku dan anak anak fokus pada toko delta di saint Maria. Popularitas toko dan testimoni kelezatan melejit membuat pesanan menumpuk dan pelanggan yang tak pernah sepi. Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan
Mustahil dia adalah inspirasiku, inspirasi sesungguhnya adalah dendam dan luka di hatiku. Aku tidak mau kemurungan menghancurkan hidupku jadi kepedihan yang ada akan kuubah sebagai cambuk yang akan membuatku melejit jauh ke atas dan membuatnya menyesal menyakitiku. Aku tidak membalas pesannya, sekalipun dia mengirimkan spam chat sampai puluhan jumlahnya. Dia bilang dia mencintaiku, dia mohon agar aku memaafkannya. Juga dia bilang bahwa hubunganku dan Mas Arkan tidak ada pengaruhnya untuk dia, dia mau bersaing dengan sehat pada lelaki itu. Konyol sekali. Idiot!"Aku yakin kau belum tidur karena centangnya sudah biru." "Aku terbangun karena denting ponselku. Kau telah mengganggu tidurku," balasku."Dengar sayangku, aku akan memaafkan perbuatan Tuan Arkan dan bagaimana sikap kau dan anak-anak. Aku mau berlapang dada dan bersabar. semoga itu membuatmu paham bahwa aku benar-benar masih menyayangi kalian.""Omong kosong itu... Sudah ratusan kali aku mendengarnya dan aku tidak tertarik me
Mas Arham bergeming begitu kening yang mendapatkan tinjuan yang sangat keras. Dia terkapar di paving lokasi parkir depan toko Delta. Orang-orang memandang kejadian diantara kami dengan decak terkejut dan komentar mereka mulai riuh.Anak-anak dan Kayla yang tadinya sibuk melayani pelanggan akhirnya juga ikut keluar dan menyaksikan semua itu."Anak-anak maafkan kami, maaf karena kalian harus melihat ini semua," ucap Mas Arkan pada Delia."Nggak apa-apa Om beliau memang harus diberikan pengertian," jawab Delia sambil memeluk nampan di tangannya.Mas Arkan terkulai dan berusaha bangkit tapi kurasa kepalanya sakit, kondangannya berkunang-kunang dan pukulan telak itu mungkin nyaris mengambil kesadaran dan membuatnya hampir pingsan."Apa yang terjadi sebenarnya?" ucap seorang wanita yang sudah lama kenal denganku dia nyonya Telia, pemilik toko pakan kucing di seberang jalan."Tidak ada, Bu. Lelaki yang sudah bercerai denganku kini terus datang dan memberikan terornya.""Astaga, kuharap sekar
Matahari menjulang di langit dengan terik yang terasa nyata di kulit. Aku berjalan perlahan menuruni puluhan anak tangga dari gedung pengadilan agama. Akta perceraian yang kugenggam di tangan menjadi bukti dan titik balik bahwa sekarang aku telah menyandang status sendirian. Aku janda dan aku harus melawan stigma.Mulai sekarang aku akan berjuang sendirian tanpa keyakinan dan penegak jiwa bahwa aku memiliki suami. Orang yang kucintai dan kutunggu selalu bertahun-tahun ternyata bukan jodohku, bukan sama sekali.Sekarang langkah kaki terasa ringan meski hati sedikit sedih. Kutegarkan perasaanku sambil berdoa dan bertekad pada diri sendiri bahwa aku akan kuat menjalani hidupku. P*"Apa semuanya lancar Bu?""Akta cerai mana!""Di tasku.""Ibu tidak ketemu Pak Arham kan?""Dia bisa ambil akta cerainya sendiri.""Oh, syukurlah semuanya sudah selesai.""Ya, dan hakim juga memutuskan perintah untuk menjaga jarak. Mas Arham tidak akan mendekati Kita selamanya.""Syukurlah Bu, tinggal jalani s