Aku tiba di kedai setelah 15 menit berjalan kaki melewati paving blok dengan deretan tokoh-toko estetik di kanan dan kirinya. Kupercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang berharap bahwa lelaki berbantel hitam itu tidak mengikutiku.
Saat membuka pintu kedai, lonceng kecil di pintu kaca berdenting, aroma vanilla dan coklat panggang yang tercampur di udara menciptakan suasana hangat di dalam cafe. Asistenku Kaila yang tengah memanggang kue menyapa diri ini dengan senyumnya yang ceria. Seperti biasa apron kotak-kotak pink mempercantik penampilannya. "Selamat pagi, Bu." "Pagi, Kaila. Aku senang melihatmu dan syukurlah kau sudah sembuh." Dua hari kemarin dia tak datang ke toko, cuaca dingin dan terkena hujan membuat asisten sekaligus wanita yang kuanggap adik itu menjadi sakit. "Alhamdulillah Bu, dua hari sakit membuatku rindu dengan toko ini, jujur saja, aku bosan di rumah." Aku tertawa kecil mendengarnya, "Tidak masalah kau habiskan waktu untuk istirahat. Lita dan Delia mengambil alih dapur dariku, jadi aku dapat asisten gratis selama 2 hari." "Astaga, Ibu, hahaha," tawa wanita itu memberikan suasana yang cukup ceria di dalam kafeku, sehingga senyum itu tertular dan membuat gejolak hati ini mereda. Jejak kesedihan serta kehadiran Mas Arham masih membekas di hatiku tapi aku harus mengalihkan diri untuk melupakannya. Aku harus kembali fokus pada toko dan bisnisku, pada mimpi-mimpi untuk membesarkan anak-anak dan bertekad menjadikan mereka sarjana yang sukses. "Bu, kenapa wajahnya pucat." "Oh, benarkah?" Aku tiba-tiba menyadari sesuatu dan langsung melirik etalase kaca yang memantulkan bayanganku. "Apa ibu sakit?" "Tidak, Kaila, aku hanya lelah." "Pagi-pagi tadi saya dapat pelanggan kaya yang memborong semua kue di etalase. Ibu lihat kan etalasenya kosong?" "Wah, Masya Allah." Aku terlonjak gembira dengan kabar baik yang tak kuduga-duga. Kukira aku akan menghabiskan dua atau tiga hari untuk menghabiskan stok kue tapi alhamdulillah semuanya tanda. "Meski kota ini kota kecil ...tapi saya mengenal semua penduduknya. Sepertinya Bapak tadi tidak berasal dari tempat ini." "Siapa?" "Bapak yang memborong kue." "Oh ya?" "Ya, ia datang dengan mobil Alphard dan beberapa stafnya, mereka bilang mau beli kue untuk acara kantor, lalu mereka memborong semuanya." "Seperti apa?" Jujur hati ini risih dan mulai curiga kalau itu adalah Mas Arham, Aku penasaran untuk apa dia memborong kue dan pada siapa ia membagikannya. Bukannya dia bilang kalau hanya mampir ke kota ini, dan bermalam beberapa hari saja. Ah, aku mulai gelisah. "Beliau tampan dan berkacamata, penampilannya elegan seperti direktur di drama Korea. Dia sudah cukup dewasa dengan rambut keperakan di sekitar kepalanya, tapi lelaki itu membuat hati saya berdebar," ujar kaila sambil tersipu, Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. "Ya ampun kau ini, bisa-bisanya kamu terpesona oleh pelanggan toko, jangan-jangan itu suami orang, " ujarku sambil menggeleng geleng dan setengah menggodanya, wanita muda itu tertawa. "Ah entahlah, dia itu tampan sekali Bu. Pria pria yang ikut di belakangnya memanggil dia dengan sebutan Bos, tapi meski dia bos, lelaki itu punya tutur kata yang santun. Ah, semoga suatu hari saya menemukan lelaki sepertinya dan menikah." "Oh, kau ini, tapi Semoga mimpimu tercapai...." Aku mengibaskan tangan ke udara sambil meliriknya. Dia cekikikan saja sambil kembali mengaduk adonan kue. Sudah jelas Kayla sedang menceritakan tentang suamiku, tapi aku terkejut di bagian lelaki itu punya anak buah yang memanggilnya dengan sebutan Bos. Jadi, benarkah Mas Arham sudah sukses dan punya banyak karyawan? Usaha apa yang ia tekuni dan sudah seberapa jauh prestasinya, mengapa mendadak aku ingin tahu. Ah, tiba-tiba kegelisahan yang tak kuketahui sebab musababnya membuatku resah, ada kekhawatiran yang sulit kubahasakan dalam kata-kata, aku tidak ingin anak-anakku bertemu lelaki itu. Tapi aku tahu betul bahwa Mas arham tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan keinginannya. "Ya, Tuhan, tolong jangan bawa prahara dalam kehidupan kami." Kehadiran menimbulkan kecemasan dan kecemasan itu menciptakan kesedihan yang membuat hatiku kembali gerimis. Jujur saja, cengeng bukan bagian hidupku, tapi entah kenapa sejak kemarin sore, hampir sepanjang waktu aku berlinangan air mata. "Selamat pagi!" Pintu kaca berdenting lelaki bermantel hitam masuk dengan sepatu coklatnya yang mengkilap, jejak basah dari jalanan paving tidak melekat sedikitpun di sepatu mahalnya itu. "Nah, ibu... Itu pelanggan yang memborong kue. Selamat datang, Pak." Kayla segera mendekat dan membungkukkan badannya memberi hormat. Pegawaiku itu menunjukkan keramahan dan menempatkan Mas Arham di sebuah meja yang berhadapan langsung dengan etalase. Duh, aku dan dia akan saling bertatapan jika posisiku ada di meja kasir. "Kue di toko ini sangat enak jadi aku datang kemari untuk berterima kasih secara langsung kepada pemiliknya." "Kalau begitu kebetulan! Itu pemiliknya, Pak." Ucap kaila sambil menunjuk padaku. Aku berdiri dengan linglung dan canggung, aku menatap lelaki itu dengan tajam tapi dia masih tersenyum santai dan kembali duduk. "Boleh minta kopi." "Tentu Pak." Asistenku siap menyalakan mesin kopi tapi aku langsung menolaknya. "Tidak, cafe kami akan tutup!" "Bu, kenapa?" Kayla terkejut dengan ucapanku, bola matanya membulat melihat tindakanku yang aneh. Dia menggeleng-geleng dan mencegahku untuk menolak pelanggan. "Kami mau istirahat jadi cafenya akan saya tutup!" "Ibu... Jangan dong...." Kaila makin malu dan gelisah dengan sikapku, ia tidak tahu kalau lelaki tampan yang yang tadi dia sebut-sebut sebagai pria baik itu, adalah sosok yang paling banyak memberikan luka di hatiku.Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu. "Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi. "Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa."Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla y
Suamiku ... kemana kau menghilang meninggalkanku di tengah kejamnya dunia. Bahuku terlalu rapuh untuk mengumpulkan kepingan hati dan memeluk anak-anak kita. Tidak ingatkah kau padaku dan binar mata buah hati kita setiap kali berjumpa denganmu?** Oktober, 2024Hujan mengguyur kota dengan deras membasahi seluruh sudut jalan dan gedung-gedung sekitar toko kami. Sejak pagi mendung yang menggelayut di awan tak beranjak agar sinar matahari dapat mengeringkan kaca toko sehingga kue-kue yang kugelar di etalase bisa terlihat jelas. Angin berhembus dengan kencang menampar-nampar jendela toko yang telah berdiri selama 10 tahun terakhir, toko kue Delta, gabungan nama kedua anakku, Delia dan Lita. Kucoba memperbaiki kancing sweater dan syalku agar udara dingin tidak membuatku masuk angin, semalam aku demam jadi keadaanku tak begitu baik hari ini. Mungkin karena hujan jadi orang-orang enggan berlama-lama di luar rumah. Di dapur, putriku dan adiknya yang duduk di kelas 3 SMP sedang sibuk meman
Bersama kedatangan pria yang telah 12 tahun menghilang, gerimis perlahan berhenti meninggalkan jejak warna jingga pucat yang memudar di langit. Aku masih berdiri tak jauh dari meja kasir, membeku menatap kedatangan suamiku bersama keluarga barunya. Wanita yang digandengnya, ah, sungguh cantiknya. Penampilannya sangat elegan dengan gaun emerald selutut, rambutnya tertata rapi dengan anting berlian memperindah penampilannya. "Si-si-silakan duduk." Mendadak tenggorokan ini tercekat, lidah ini keluh untuk pura-pura ramah dan menyapa mereka, entah kenapa aku tak menemukan satu kata-kata yang akan ku gunakan untuk bersikap formal. Saat tatapanku beradu dengan Mas Arham binar mata dan senyum kebahagiaan untuk istri dan anak-anaknya tiba-tiba menghilang, tatapan matanya redup ke arahku, seakan ada makna tersirat berupa penyesalan atau mungkin keterkejutan. "Apa di sini menjual tiramisu?" tanya pasangan Mas Arham."Be-benar, Nyonya," balasku tanpa ekspresi, aku ingin tersenyum dan bersikap
MARI MERAPAT, INI CERITA YANG INDAH. Jangan lupa untuk like subscribe dan share. ❤️❤️Rinai hujan di luar toko telah berhenti, meninggalkan jejak genangan air dan aroma tanah basah yang segar. Perlahan awan kelabu menunjukkan mentari sore yang mulai redup, langit indah, dengan semburat kemerahan seperti bara api yang mulai padam. Aku udah mau sekarang masih berdiri dengan tatapan mata yang lekat satu sama lain, netra kami bertemu dalam keadaan saling meneteskan air mata. "Kau belum dengar penjelasanku, sebelum kau menghakimiku." Lelaki itu masih memegangi pipinya yang merah bekas gambar tanganku. Mendengarnya berusaha menahanku langkahku terhenti, entah ingin membela diri ataukah cari pembenaran, tapi aku tak habis pikir penjelasan apa yang akan dia utarakan agar aku berhenti menyalahkan dan menilainya jahat. Pergi selama 12 tahun tanpa kabar, lalu tiba-tiba muncul dengan wanita lain, kira-kira apa yang akan orang lain pikirkan? Haruskah aku berpikir bahwa suamiku telah diculik la
"Tolong jangan katakan ini pada adikmu. Dia pasti akan syok sekali."Aku menyentuh bahu putriku dengan lembut, berusaha membujuknya agar dia memahami bahwa yang sekarang situasi yang tidak tepat untuk menceritakan segalanya. "Kenapa Bunda diam saja, kenapa Bunda tidak marah dan mengungkapkan yang sebenarnya pada wanita itu.""Sayang, tidak baik merusak kebahagiaan orang lain hanya karena kita menderita. Kesengsaraan kita bukan tanggung jawab wanita itu.""Tapi ayah membohongi dan meninggalkan kita demi dia!" Anakku bicara dengan tatapan mata berapi. "Belum tentu, kita tidak bisa menghakimi seperti itu karena kita tidak tahu apa yang terjadi. Sudah Nak, Bunda mohon agar kamu bisa menyimpan semua ini sementara. Bisa ya." Aku membujuk sambil menggenggam tangannya, anakku hanya membuang nafasnya dengan kasar. "Terserah bunda saja, tapi aku benar-benar sakit hati," jawab Delia sambil menghempaskan celemeknya di atas meja etalase. Putriku merajuk dan segera kembali ke dapur untuk mengam
Musim hujan yang lebih cepat datang, menciptakan suasana tersendiri di setiap malamku. Tetesannya yang deras seolah tanpa henti membasahi kelopak bunga yang ada di balkon kamar. Aroma tanah dan daun-daun segar menciptakan kerinduan. Selalu kulalui malam demi malam dalam sepi di peraduan dingin ini. Aku sadar aku telah menghancurkan diriku sendiri. Kukira aku telah menambatkan cinta pada orang yang tepat. Saat dia pergi dengan janji-janjinya, di sanalah aku membangun cinta dan kepercayaan bahwa suatu saat kami akan kembali bersama dan hidup bahagia. Tak pernah terlintas dalam angan bahwa lelaki itu menipuku. Kupikir telah terjadi sesuatu padanya yang membuat dia tak bisa menghubungi, ada hal yang membuatnya tak bisa pulang, setiap malam aku gelisah dan selalu mengkhawatirkannya, ternyata dibalik kekhawatiranku dia telah berbahagia dalam lautan asmara bersama wanita lain. Jauh langkah yang membawa suamiku pergi, membuatnya berlabuh dalam pelukan wanita berkulit putih dengan tatapan t