Share

6

Aku tiba di kedai setelah 15 menit berjalan kaki melewati paving blok dengan deretan tokoh-toko estetik di kanan dan kirinya. Kupercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang berharap bahwa lelaki berbantel hitam itu tidak mengikutiku.

Saat membuka pintu kedai, lonceng kecil di pintu kaca berdenting, aroma vanilla dan coklat panggang yang tercampur di udara menciptakan suasana hangat di dalam cafe. Asistenku Kaila yang tengah memanggang kue menyapa diri ini dengan senyumnya yang ceria. Seperti biasa apron kotak-kotak pink mempercantik penampilannya.

"Selamat pagi, Bu."

"Pagi, Kaila. Aku senang melihatmu dan syukurlah kau sudah sembuh."

Dua hari kemarin dia tak datang ke toko, cuaca dingin dan terkena hujan membuat asisten sekaligus wanita yang kuanggap adik itu menjadi sakit.

"Alhamdulillah Bu, dua hari sakit membuatku rindu dengan toko ini, jujur saja, aku bosan di rumah."

Aku tertawa kecil mendengarnya,

"Tidak masalah kau habiskan waktu untuk istirahat. Lita dan Delia mengambil alih dapur dariku, jadi aku dapat asisten gratis selama 2 hari."

"Astaga, Ibu, hahaha," tawa wanita itu memberikan suasana yang cukup ceria di dalam kafeku, sehingga senyum itu tertular dan membuat gejolak hati ini mereda.

Jejak kesedihan serta kehadiran Mas Arham masih membekas di hatiku tapi aku harus mengalihkan diri untuk melupakannya. Aku harus kembali fokus pada toko dan bisnisku, pada mimpi-mimpi untuk membesarkan anak-anak dan bertekad menjadikan mereka sarjana yang sukses.

"Bu, kenapa wajahnya pucat."

"Oh, benarkah?" Aku tiba-tiba menyadari sesuatu dan langsung melirik etalase kaca yang memantulkan bayanganku.

"Apa ibu sakit?"

"Tidak, Kaila, aku hanya lelah."

"Pagi-pagi tadi saya dapat pelanggan kaya yang memborong semua kue di etalase. Ibu lihat kan etalasenya kosong?"

"Wah, Masya Allah." Aku terlonjak gembira dengan kabar baik yang tak kuduga-duga. Kukira aku akan menghabiskan dua atau tiga hari untuk menghabiskan stok kue tapi alhamdulillah semuanya tanda.

"Meski kota ini kota kecil ...tapi saya mengenal semua penduduknya. Sepertinya Bapak tadi tidak berasal dari tempat ini."

"Siapa?"

"Bapak yang memborong kue."

"Oh ya?"

"Ya, ia datang dengan mobil Alphard dan beberapa stafnya, mereka bilang mau beli kue untuk acara kantor, lalu mereka memborong semuanya."

"Seperti apa?" Jujur hati ini risih dan mulai curiga kalau itu adalah Mas Arham, Aku penasaran untuk apa dia memborong kue dan pada siapa ia membagikannya. Bukannya dia bilang kalau hanya mampir ke kota ini, dan bermalam beberapa hari saja. Ah, aku mulai gelisah.

"Beliau tampan dan berkacamata, penampilannya elegan seperti direktur di drama Korea. Dia sudah cukup dewasa dengan rambut keperakan di sekitar kepalanya, tapi lelaki itu membuat hati saya berdebar," ujar kaila sambil tersipu, Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan.

"Ya ampun kau ini, bisa-bisanya kamu terpesona oleh pelanggan toko, jangan-jangan itu suami orang, " ujarku sambil menggeleng geleng dan setengah menggodanya, wanita muda itu tertawa.

"Ah entahlah, dia itu tampan sekali Bu. Pria pria yang ikut di belakangnya memanggil dia dengan sebutan Bos, tapi meski dia bos, lelaki itu punya tutur kata yang santun. Ah, semoga suatu hari saya menemukan lelaki sepertinya dan menikah."

"Oh, kau ini, tapi Semoga mimpimu tercapai...." Aku mengibaskan tangan ke udara sambil meliriknya. Dia cekikikan saja sambil kembali mengaduk adonan kue.

Sudah jelas Kayla sedang menceritakan tentang suamiku, tapi aku terkejut di bagian lelaki itu punya anak buah yang memanggilnya dengan sebutan Bos. Jadi, benarkah Mas Arham sudah sukses dan punya banyak karyawan? Usaha apa yang ia tekuni dan sudah seberapa jauh prestasinya, mengapa mendadak aku ingin tahu.

Ah, tiba-tiba kegelisahan yang tak kuketahui sebab musababnya membuatku resah, ada kekhawatiran yang sulit kubahasakan dalam kata-kata, aku tidak ingin anak-anakku bertemu lelaki itu. Tapi aku tahu betul bahwa Mas arham tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan keinginannya.

"Ya, Tuhan, tolong jangan bawa prahara dalam kehidupan kami."

Kehadiran menimbulkan kecemasan dan kecemasan itu menciptakan kesedihan yang membuat hatiku kembali gerimis. Jujur saja, cengeng bukan bagian hidupku, tapi entah kenapa sejak kemarin sore, hampir sepanjang waktu aku berlinangan air mata.

"Selamat pagi!"

Pintu kaca berdenting lelaki bermantel hitam masuk dengan sepatu coklatnya yang mengkilap, jejak basah dari jalanan paving tidak melekat sedikitpun di sepatu mahalnya itu.

"Nah, ibu... Itu pelanggan yang memborong kue. Selamat datang, Pak." Kayla segera mendekat dan membungkukkan badannya memberi hormat. Pegawaiku itu menunjukkan keramahan dan menempatkan Mas Arham di sebuah meja yang berhadapan langsung dengan etalase.

Duh, aku dan dia akan saling bertatapan jika posisiku ada di meja kasir.

"Kue di toko ini sangat enak jadi aku datang kemari untuk berterima kasih secara langsung kepada pemiliknya."

"Kalau begitu kebetulan! Itu pemiliknya, Pak." Ucap kaila sambil menunjuk padaku.

Aku berdiri dengan linglung dan canggung, aku menatap lelaki itu dengan tajam tapi dia masih tersenyum santai dan kembali duduk.

"Boleh minta kopi."

"Tentu Pak." Asistenku siap menyalakan mesin kopi tapi aku langsung menolaknya.

"Tidak, cafe kami akan tutup!"

"Bu, kenapa?" Kayla terkejut dengan ucapanku, bola matanya membulat melihat tindakanku yang aneh. Dia menggeleng-geleng dan mencegahku untuk menolak pelanggan.

"Kami mau istirahat jadi cafenya akan saya tutup!"

"Ibu... Jangan dong...." Kaila makin malu dan gelisah dengan sikapku, ia tidak tahu kalau lelaki tampan yang yang tadi dia sebut-sebut sebagai pria baik itu, adalah sosok yang paling banyak memberikan luka di hatiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status