Aku tiba di kedai setelah 15 menit berjalan kaki melewati paving blok dengan deretan tokoh-toko estetik di kanan dan kirinya. Kupercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang berharap bahwa lelaki berbantel hitam itu tidak mengikutiku.
Saat membuka pintu kedai, lonceng kecil di pintu kaca berdenting, aroma vanilla dan coklat panggang yang tercampur di udara menciptakan suasana hangat di dalam cafe. Asistenku Kaila yang tengah memanggang kue menyapa diri ini dengan senyumnya yang ceria. Seperti biasa apron kotak-kotak pink mempercantik penampilannya. "Selamat pagi, Bu." "Pagi, Kaila. Aku senang melihatmu dan syukurlah kau sudah sembuh." Dua hari kemarin dia tak datang ke toko, cuaca dingin dan terkena hujan membuat asisten sekaligus wanita yang kuanggap adik itu menjadi sakit. "Alhamdulillah Bu, dua hari sakit membuatku rindu dengan toko ini, jujur saja, aku bosan di rumah." Aku tertawa kecil mendengarnya, "Tidak masalah kau habiskan waktu untuk istirahat. Lita dan Delia mengambil alih dapur dariku, jadi aku dapat asisten gratis selama 2 hari." "Astaga, Ibu, hahaha," tawa wanita itu memberikan suasana yang cukup ceria di dalam kafeku, sehingga senyum itu tertular dan membuat gejolak hati ini mereda. Jejak kesedihan serta kehadiran Mas Arham masih membekas di hatiku tapi aku harus mengalihkan diri untuk melupakannya. Aku harus kembali fokus pada toko dan bisnisku, pada mimpi-mimpi untuk membesarkan anak-anak dan bertekad menjadikan mereka sarjana yang sukses. "Bu, kenapa wajahnya pucat." "Oh, benarkah?" Aku tiba-tiba menyadari sesuatu dan langsung melirik etalase kaca yang memantulkan bayanganku. "Apa ibu sakit?" "Tidak, Kaila, aku hanya lelah." "Pagi-pagi tadi saya dapat pelanggan kaya yang memborong semua kue di etalase. Ibu lihat kan etalasenya kosong?" "Wah, Masya Allah." Aku terlonjak gembira dengan kabar baik yang tak kuduga-duga. Kukira aku akan menghabiskan dua atau tiga hari untuk menghabiskan stok kue tapi alhamdulillah semuanya tanda. "Meski kota ini kota kecil ...tapi saya mengenal semua penduduknya. Sepertinya Bapak tadi tidak berasal dari tempat ini." "Siapa?" "Bapak yang memborong kue." "Oh ya?" "Ya, ia datang dengan mobil Alphard dan beberapa stafnya, mereka bilang mau beli kue untuk acara kantor, lalu mereka memborong semuanya." "Seperti apa?" Jujur hati ini risih dan mulai curiga kalau itu adalah Mas Arham, Aku penasaran untuk apa dia memborong kue dan pada siapa ia membagikannya. Bukannya dia bilang kalau hanya mampir ke kota ini, dan bermalam beberapa hari saja. Ah, aku mulai gelisah. "Beliau tampan dan berkacamata, penampilannya elegan seperti direktur di drama Korea. Dia sudah cukup dewasa dengan rambut keperakan di sekitar kepalanya, tapi lelaki itu membuat hati saya berdebar," ujar kaila sambil tersipu, Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. "Ya ampun kau ini, bisa-bisanya kamu terpesona oleh pelanggan toko, jangan-jangan itu suami orang, " ujarku sambil menggeleng geleng dan setengah menggodanya, wanita muda itu tertawa. "Ah entahlah, dia itu tampan sekali Bu. Pria pria yang ikut di belakangnya memanggil dia dengan sebutan Bos, tapi meski dia bos, lelaki itu punya tutur kata yang santun. Ah, semoga suatu hari saya menemukan lelaki sepertinya dan menikah." "Oh, kau ini, tapi Semoga mimpimu tercapai...." Aku mengibaskan tangan ke udara sambil meliriknya. Dia cekikikan saja sambil kembali mengaduk adonan kue. Sudah jelas Kayla sedang menceritakan tentang suamiku, tapi aku terkejut di bagian lelaki itu punya anak buah yang memanggilnya dengan sebutan Bos. Jadi, benarkah Mas Arham sudah sukses dan punya banyak karyawan? Usaha apa yang ia tekuni dan sudah seberapa jauh prestasinya, mengapa mendadak aku ingin tahu. Ah, tiba-tiba kegelisahan yang tak kuketahui sebab musababnya membuatku resah, ada kekhawatiran yang sulit kubahasakan dalam kata-kata, aku tidak ingin anak-anakku bertemu lelaki itu. Tapi aku tahu betul bahwa Mas arham tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan keinginannya. "Ya, Tuhan, tolong jangan bawa prahara dalam kehidupan kami." Kehadiran menimbulkan kecemasan dan kecemasan itu menciptakan kesedihan yang membuat hatiku kembali gerimis. Jujur saja, cengeng bukan bagian hidupku, tapi entah kenapa sejak kemarin sore, hampir sepanjang waktu aku berlinangan air mata. "Selamat pagi!" Pintu kaca berdenting lelaki bermantel hitam masuk dengan sepatu coklatnya yang mengkilap, jejak basah dari jalanan paving tidak melekat sedikitpun di sepatu mahalnya itu. "Nah, ibu... Itu pelanggan yang memborong kue. Selamat datang, Pak." Kayla segera mendekat dan membungkukkan badannya memberi hormat. Pegawaiku itu menunjukkan keramahan dan menempatkan Mas Arham di sebuah meja yang berhadapan langsung dengan etalase. Duh, aku dan dia akan saling bertatapan jika posisiku ada di meja kasir. "Kue di toko ini sangat enak jadi aku datang kemari untuk berterima kasih secara langsung kepada pemiliknya." "Kalau begitu kebetulan! Itu pemiliknya, Pak." Ucap kaila sambil menunjuk padaku. Aku berdiri dengan linglung dan canggung, aku menatap lelaki itu dengan tajam tapi dia masih tersenyum santai dan kembali duduk. "Boleh minta kopi." "Tentu Pak." Asistenku siap menyalakan mesin kopi tapi aku langsung menolaknya. "Tidak, cafe kami akan tutup!" "Bu, kenapa?" Kayla terkejut dengan ucapanku, bola matanya membulat melihat tindakanku yang aneh. Dia menggeleng-geleng dan mencegahku untuk menolak pelanggan. "Kami mau istirahat jadi cafenya akan saya tutup!" "Ibu... Jangan dong...." Kaila makin malu dan gelisah dengan sikapku, ia tidak tahu kalau lelaki tampan yang yang tadi dia sebut-sebut sebagai pria baik itu, adalah sosok yang paling banyak memberikan luka di hatiku.Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu. "Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi. "Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa."Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla y
Di luar sana simfoni kota terus berlanjut, deru mesin kendaraan berpadu dengan suara pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, suara klakson bis kota serta nyanyian pekak dari pemusik jalanan memenuhi udara. Di tengah hiruk pikuk itu aku masih membeku di dalam toko kue Delta, toko kue yang berhasil menafkahi dan membuat kami bertahan hidup. Aku masih di sini dan beradu pandang dengan pria yang jadi alasan mengapa aku mampu setia dalam penantianku selama dua belas tahun. Dia masih duduk dengan setelan mantel hitam dan kacamata persegi panjang, sementara aku terus menghabiskan energi untuk membuatnya pergi. Seharusnya aku mengabaikannya seperti komitmenku yang akan melupakan dan menganggap dia telah meninggal. Aku ingin memandangnya seperti seonggok batu atau sebatang kayu yang sia-sia, tapi, berkat kenangan masa lalu yang indah, percikan cinta itu tumbuh subur di hatiku.Aku seperti menyemaikan duri yang sejujurnya tak ingin tumbuh, sebab akhirnya semua itu akan menyakitiku. "
Tak kuasa mendengar pengusiran dan penolakan berulang ulang, pria itu akhirnya beranjak dari toko kueku. Ia tinggalkan 10 lembar uang merah di bawah cangkir kopi bekas minumnya, lalu berpamitan dengan suara yang lirih."Iriana aku pamit, namun aku tak akan menyerah padamu."Aku hanya memejamkan mata sambil membenamkan wajah diantara kedua tanganku. Sakit mendengarnya, dan seharusnya aku tak perlu mendengar itu. Aku baru menyadari ada banyak uang saat bayangan lelaki itu menghilang dengan sempurna. Ingin kukejar dan kukembalikan uangnya tapi aku tak tahu ia di mana."Wah, Bapak itu membayar 10 kali lipat dari harga kopi." Kayla mendekat dan melihat uang yang teronggok di atas meja, gadis muda itu meraihnya dan tertawa bahagia dengan uang satu juta untuk segelas cappucino yang seharusnya berharga Rp.27.000. "Katakan padaku.. apa ia sangat tergila-gila pada ibu, sampai mengejar ibu berkali-kali?""Tidak.""Lalu kenapa?""Kaila, aku tahu aku tak bisa menyembunyikan sesuatu terlalu lama.
Tak tahu berapa lama aku tenggelam dalam pelukan damai itu, sampai kusadari sesuatu bahwa apa yang kulakukan sudah tidak benar adanya. Aku melepaskan diri dengan canggung, selalu bersurut perlahan menjauh dari lelaki itu. Rindu dan malu bercampur menciptakan rasa panas di pipiku. "Kamu tak harus melepaskanku. Kamu berhak memelukku.""Tidak, Mas. Ini salah," balasku dengan tenggorokan dan bibir yang kering. Bukan cuma ragaku tapi jiwaku turut meranggas. Dua belas tahun tanpa sentuhan suami membuatku mati rasa. Saat lelaki itu tiba-tiba datang, aku merasa aneh. Aku ingin bersamanya tapi sadar dia sudah sulit untuk kugapai.*Derasnya hujan yang tumpah dari langit seakan tak terhentikan, petir sesekali menggelegar dengan pola rambatan halus menambah dramatis teater alam.Aku masih berada di emperan toko, berharap bahwa taksi yang kupesan segera datang. Rembesan air menggenangi jalan, pengunjung yang tadinya berlalu lalang di sekitar pasar mulai berteduh dan membuat trotoar sedikit le
Perlahan hujan mereda meninggalkan aroma tanah, sedikit gerimis masih menari di udara tapi itu tak mengapa. Matahari mengintip dari celah awan membuat situasi seketika benderang. Orang-orang kembali sibuk melanjutkan kegiatan, termasuk aku yang akan beranjak pergi membawa sisa barang-barang. Tukang becak kembali mengayuh becaknya. Pedagang kaki lima menggelar lapak serta anak jalanan yang menjual tisu berhamburan ke lampu merah. "Eh, Mbak, kamu yang pemilik toko kue kemarin ya?" Sewaktu mau melangkah pergi wanita itu menahanku"Iya." Aku menjawab tanpa menatap matanya. "Ya ampun, senang bertemu denganmu. Kue yang dibawakan suamiku Untuk mamaku sangat enak sekali. Akan memintaku untuk membeli lagi."Dia bercerita dengan antusias sambil menghampiri dan memaksa tatapan kami beradu.Ah...malas sekali. "Terima kasih atas apresiasinya.""Sama sama, tapi bolehkah saya minta kontak Anda," tanya wanita yang dikuncir kuda itu. "Oh, tentu, tapi... saya baru saja kehilangan ponsel saya."
Malam merangkak dengan keheningan yang memeluk bumi. Di bawah jendela aku duduk di kursi sendirian, sambil memikirkan yang terjadi sore tadi tatapanku menerawang ke langit. Di sana, rembulan bersinar lembut memancarkan cahaya perak, menembus awan kelabu yang menggantung rendah. Ah, hatiku hampa. Masih terbayang bagaimana Mas Arham memeluk Mariana, mendaratkan kecupan mesra saat kedua mata mereka bertautan dan senyum di bibir mereka mengulas garis yang sama. Teringat olehku bagaimana tatapan mata lembut Mas Arham kepada istrinya, hatiku sungguh terluka. Bahkan ingatan tentang mereka berdua lebih mendominasi akalku dibandingkan perampokan yang kuhadapi sore tadi.Mungkin saja saja kejadian itu aku menjadi melankonis, terlalu sering menangis dan terkesan cengeng. Sebenarnya itu bukan diriku, episode tangis menangis dan kesedihan dramatis telah berlalu 12 tahun yang lalu, di tahun-tahun pertama kehilangan lelaki itu. Mestinya sekarang, kunikmati hari-hari bahagia bersama kedua putrik
"Apa?" Aku terhenyak melihat begitu banyak box yang diturunkan dari Alphard, ada begitu banyak bahan kue, terigu, gula dan coklat yang dibawakan oleh stafnya. Dia juga membawakan beberapa set pakaian untuk putriku, juga gadget dan laptop terbaru. Beberapa orang pria meletakkan semua itu di atas meja pelanggan yang kebetulan sedang kosong. Kini aku bisa melihat deretan paper bag dan barang-barang itu memenuhi tokoku. "Ini semua untuk kamu. Aku mengganti semua yang dirampas pencopet kemarin!""Tapi kenapa? Apa aku bilang Aku membutuhkan bantuanmu?!" Aku ingin marah tapi kemarahan itu tak bisa kulampiaskan begitu saja di hadapan begitu banyak stafnya dan asistenku sendiri. Mustahil aku menghardik seseorang di hadapan para karyawannya, dia bisa kehilangan kehormatannya. Mendadak udara di cafe terasa begitu berat seperti dipenuhi debu-debu kenangan pahit yang tak kunjung mengendap. Aku jatuh terduduk di sudut sementara tatapan mataku menerawang mengamati segala hal yang terjadi di sek
Sinar senja semakin memudar, berarak dengan awan yang menuju ufuk Barat. Hari menjelang petang saat kuputuskan pulang dan mengunci kembali kedaiku. Anak-anak dan Kayla sudah pulang lebih dahulu, sementara aku menghitung pemasukan serta memeriksa kembali barang-barang yang dikirimkan Mas Arham. Seberapa bagian akan kupergunakan dan beberapa lagi akan kukembalikan. Mau bagaimana lagi Aku tak punya pilihan lain, sebagian uang dan kartu atm-ku hilang, hanya ada sisa sedikit untuk persiapan Lita magang. Uang yang tadinya aku gunakan untuk modal harus kupakai untuk membeli persiapan magang dan pakaian putriku, jadi, akan kumanfaatkan bahan-bahan yang ada daripada dibuang begitu saja.Tidak, bukan aku munafik! kurasa aku harus mulai berdamai dengan kenyataan dan akan kuanggap apa yang kudapatkan hari ini adalah sebagian rezeki pemberian Tuhan. Atau sementara akan kugunakan terigu dan bahan-bahan kue bawaan Mas arham tadi. Tapi sebelum itu, aku harus membuat kesepakatan padanya bahwa ini h
Entah apa yang terjadi setelah kegelapan panjang menelanku, akibat kata-kata Iriana. Aku seperti tersedot dalam pusaran hitam di mana waktu berhenti dan dunia memudar.Seperti cahaya yang muncul dari ujung lorong, seolah bayang kecil yang tiba tiba datang dari kejauhan lalu perlahan membesar, aku seperti dikejar oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan, perlahan aku mampu mendengarkan suara samar yang kemudian berkumpul seperti gemuruh ombak memecah pantai. Pada akhirnya, aku terbangun dengan satu teriakan minta tolong dan menyadari tubuhku telah berada di tempat yang berbeda. Kuedarkan pandangan ke sekelilingku dengan mata yang dibuka perlahan, tapi begitu terpapar oleh cahaya menyilaukan, aku hanya bisa menutupnya dengan sebelah tanganku."Di mana aku?""Di rumah sakit," Jawab suara bariton dari sosok pria yang ada di sisiku, itu papa. Aku tersadar bahwa aku tengah berada di rumah sakit. "Kenapa aku bisa di sini?""Justru aku yang harus bertanya padamu, kenapa kau tidak jujur tent
Toko Delta dengan segala pesona dan popularitas kelezatan kuenya, telah mencuri perhatian dan perasaanku. Toko kecil yang ada di seberang jalan Saint Maria, pusat pertokoan lama dan cagar budaya yang masih dijaga pemerintah itu, telah membuatku tertarik dan ingin berinvestasi kepada pemiliknya. Kue kue yang mereka tawarkan, suasana kafe yang nyaman serta suguhan makanan jadul yang otentik, membuatku terpedaya.Aku pernah begitu ingin melihat sosok Iriana sukses dan menjadi wanita yang kaya. Tanpa menyadari kalau wanita itu adalah bagian dari masa lalu suamiku yang paling penting, ya! dia wanita yang sangat dicintai Mas Arham.Mobil yang meluncur seakan berjalan di tempatnya, Aku berjalan begitu lambat sementara aku ingin menyudahinya. Aku duduk bersisian dengan suamiku dalam mobil yang akan membawa kami ke toko Delta. Aku harus menghitung detakan jantungku, memikirkan kalimat apa yang akan kukatakan di sana, serta bagaimana reaksiku jika suasana mulai tidak terkendali. "Kau baik-baik
"Aku terpaksa menahan perasaanku dan menyakitinya demi tidak menyakitimu!"Alasan lagi, selalu dan selalu penuh alasan yang terdengar tak masuk akal"Oh wow, dan wanita itu juga menahan tangisan dan kejujurannya demi tidak menyakitiku. Aku bisa bayangkan betapa bergejolak hati wanita itu saat pertama kali berjumpa denganmu. Wah, Aku tidak tahu apa aku harus terharu atau merasa terhina, karena dua orang yang saling mencintai sedang mengasihani diriku. Apa aku semenyedihkan itu sampai kalian begitu prihatin atas perasaan ini?!""Aku tidak bermaksud meremehkanmu! Aku hanya ingin menjaga agar kau tetap bahagia!""Jika demikian kenapa kau harus jujur? Jaga saja rahasia masa lalumu sampai mati dan jangan beritahu aku, agar aku tidak menderita. Apa yang kau harapkan dengan jujur padaku dan memintaku untuk memaklumi pernikahan poligami. Apa kau gila?!""Ucapanmu sangat membuatku malu Mariana, Aku tidak tahu aku harus bagaimana," jawab lelaki itu sambil menggeleng lemah dan menahan kesedihan
Sinar keemasan mentari menerobos lewat celah kaca jendela, bayangan gorden menari di lantai marmer, namun kehangatannya tak mampu menembus dinginnya suasana hati. Di meja makan, kami hanya saling mendiamkan, meski aroma kopi dan makanan yang disediakan asisten terlihat menggugah tapi aku sama sekali tak menyentuh makanan itu. Suamiku duduk di kursi dan tak banyak bicara, sementara aku menatapnya sambil menahan kepalan tangan di seberang meja, pemberitahuan semalam dan jejak pertengkaran masih terasa dalam ingatanku, sebuah hal yang tidak bisa kuterima dan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tahu suatu hari secuil kenangan dari masa lalu itu akan teringat oleh suamiku, aku tahu dia menelusuri masa lalu dan yakin dia terus berusaha mencari jati dirinya, memeriksa apa yang telah terjadi di masa lampau orang-orang yang pernah terkait dengan itu. Aku tahu suatu saat ini akan terjadi, tapi aku tak menyangka dia ternyata punya keluarga yang belum ditinggalkannya. Kupikir suamiku duda
Ada suatu ketika, saat aku berhasil membuat dia mau duduk berhadapan denganku dan mendengarkan setiap penjelasanku. Mungkin sudah bosan dengan kejaranku, atau jijik melihat wajahku, Iriana terpaksa duduk dengan segala kemuakan yang terlihat jelas dari ekspresinya. Aku ceritakan padanya satu persatu mengapa aku bisa kehilangan ingatanku. Aku bilang aku tidak sengaja menyakitinya. Aku mengenal Mariana karena wanita itu telah menyelamatkanku merawatku sepenuh hati dan memberiku kehidupan baru. Aku bersimpati kepada kebaikannya dan menghargainya. Aku mendedikasikan hidup untuk menghargai istri keduaku tapi aku mencintai Iriana."Bila kau sangat mencintainya maka jangan kembali padaku.""Aku bilang aku meletakkan penghormatan tertinggi untuk Merry. Tapi kau menguasai seluruh hatiku."Wanita itu tertawa sambil mengkirimkan kepalanya. "Munafik! Di depanku kau bilang cinta tapi di pasar kemarin, kau memeluknya, dengan bangga kau mencium dan mengiyakan pernyataan cintanya. Aku benar-benar ji
Putriku berdiri di seberang antara lorong menuju koridor toilet dan dapur, dia menatapku dan ibunya secara bergantian, dan seperti yang kuduga gadis itu mengenaliku. Perlahan bola matanya berkaca-kaca, gadis itu mendatangiku dan bertanya, "Ayah? Apa Anda adalah ayahku?" Aku terdiam, aku ingin berteriak kalau benar aku adalah ayahnya dan aku merindukannya, tapi aku segan pada ibunya. "Ayah ke mana saja selama ini?" Aku tahu aku akan mendapatkan cecaran pertanyaan yang sama, berkali-kali, memusingkan dan aku tak punya jawabannya. Pertanyaan itu akan terus terulang, mengudara di telingaku dan berdenging-denging selamanya. Aku merutuki diriku sendiri dan mengapa aku bisa hilang selama itu, kenapa aku selalu menahan diri setiap kali ingin tangan langsung mencari mereka.Saat ingatanku sekelebat datang, aku mencoba menyewa seseorang untuk menyusuri masa laluku. Aku membayarnya untuk mencari tahu siapa istriku, apa nama dan di mana alamatnya.Kehilangan ingatan akibat kecelakaan membuat
Hujan di kota yang baru kujejaki ini terasa begitu syahdu, aroma tanah basah berpadu dengan wangi kopi tubruk yang ditawarkan penjual angkringan juga aroma jajanan pasar yang digelar di lapak pinggir jalan menciptakan kenangan yang seolah dibangkitkan dari masa kecilku. Bersama dengan Mariana, kedua anakku Adelia dan Casandra, kami berjalan-jalan menyusuri kota. Memeriksa di mana kami akan membuka showroom terbaru, serta survei lokasi mall yang akan dibangun istriku. Ya, keluarga kami adalah keluarga pengusaha, Mertuaku adalah pemilik Artha jaya company, distributor motor terbaik di provinsi kami. Adapun istriku dia pengusaha real estate dan pusat perbelanjaan. Dia juga punya bisnis fashion dan kuliner yang menambah pundi-pundi kekayaannya. Secara teknis hidup kami berkecukupan dan bahagia. Suatu hari dia bilang dia ingin berkunjung ke kota pesisir yang masih asli dengan peninggalan budaya dan arsitekturnya, dia ingin memberikan sentuhan modern di sana dan menggeliatkan ekonomi pend
Suasana pagi di toko kue begitu semarak dengan kehadiran pengunjung yang ramai dan roti keju coklat yang mengembang sempurna. Aku dan Kayla sibuk bahu membahu melayani tamu membawakan kopi dan pesanan sarapan mereka serta menyapa orang-orang yang datang dari Komunitas Lansia. ada beberapa wanita muda yang baru pulang dari Gym dan memesan dua set salad buah dan jus kale tanpa gula. Tringg!Tiba-tiba pintu cafe terbuka dengan keras, gebrakan lonceng di pintu kaca membuat semua orang memandang ke entry utama toko kami. Diantara tegangan semua orang Mariana tampil di sana. Istri kedua Mas Arham datang dengan wajah merah menahan amarah. Matanya berkilat tajam dan menunjukkan kemurkaan mendalam. "Beraninya kamu mencuri suamiku!" Dia menghampiriku, merebut jus kale yang ada di nampan, lalu menyiramnya ke wajahku. Byurr!!Aku terkejut, semua orang juga terkesiap dan bangun dari bangku mereka, mereka terperanjat dan kaget karena untuk pertama kalinya aku diperlakukan seperti itu oleh se
Cahaya lampu gantung menerangi ruang makan, pendar lilin menari-nari memantul pada permukaan meja kayu yang mengkilat. Diantara hidangan lezat yang tersaji di sana Aroma kari ayam dan sambal kentang bercampur dengan wangi rempah-rempah yang membangkitkan selera dan kenangan lama. Melihat anak-anakku bercanda dengan ayahnya sesaat aku terdiam. Terhanyut dalam lautan kebahagiaan serta suasana romantis yang mengingatkanku akan masa di saat aku dan Mas Arham masih muda dan penuh harapan. Di mana kami masih saling mencintai dan bermimpi membangun keluarga yang bahagia. "Sayang, kenapa diam?" Pria itu meraih jemariku lalu menggenggamnya dengan hangat. Aku meresapi pegangan tangan itu sambil menghalau perasaan canggung di hati ini.Bagaimanapun konflik yang terjadi beberapa hari yang lalu serta kedatangannya yang tiba-tiba seperti fluktuasi suasana yang berganti dengan dramatis, begitu cepat, sehingga aku sulit mencernanya. Intinya aku belum bisa menyesuaikan diriku dalam keadaan yang me