Share

7

Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.

Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu.

"Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi.

"Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa.

"Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla yang tak mau kehilangan pelanggan demi omset cafe kami, berusaha membujukku dengan wajahnya yang bersungguh-sungguh.

"Kapan lagi ada pelanggan tajir, Bu." Gadis itu mendekati dan membisikiku, sebenarnya aku pun tak mau kehilangan pelanggan mengingat betapa sulitnya mengumpulkan omset di kota penuh persaingan ini. Tapi, aku tak ingin memberi ruang pada lelaki ini untuk terbiasa datang ke tempatku dan membangkitkan kesedihan lama. Aku ingin dia lenyap dari hidupku, tak datang sedetik pun, karena aku ingin melupakannya.

"Usir dia dari sini!"

"Astaga Ibu, entah apa yang merasuki Ibu," ujar kaila sambil mengusap keningnya, sepertinya karyawanku itu tidak habis pikir dan heran sekali.

"Ayolah, aku menunggu segelas cappucino dengan krim vanilla yang selalu terkenal di kedai kalian. Bisa kubeli untukku satu?"

"Baik, Pak, akan saya buatkan!" Kayla menjawab dengan mantap lalu segera menghidupkan mesin cappucino. Aku terperanjat dan mencoba mencegah asistenku itu.

"Kaila...."

"Sudah, jangan cegah karyawanmu! saya sudah terlanjur datang, jadi biarkan dia melayani saya," sela Mas Arham yang membuatku kehilangan kata-kata.

*

Setelah secangkir cappucino dengan sedikit guratan seni tangan dari serbuk coklat terhidang di hadapannya. Pria itu tersenyum dan berterima kasih, perlahan ia meraih cangkir kopi dan membawa benda itu mendekati bibirnya. Aku memperhatikannya setiap gesture itu dari balik meja kasir dengan segala perasaan dongkol yang ingin kulampiaskan segera. Dongkol tapi cinta, cinta tapi benci sekali.

"Emangnya, Ibu kenal dengan Bapak itu?"

"Sedikit."

"Kenapa Ibu nampak kesal sekali?"

"Aku aku tak bisa menceritakannya," balasku lirih.

"Hmm... sepertinya lelaki tampan itu mantan pacar ibu ya...." Karyawanku yang masih berumur 20 tahun itu menggoda diri ini dengan senyum nakal, aku agak tersentil dengan perkataannya dan seketika membulatkan mata. Melihat ekspresiku yang serius, mendadak karyawanku diam dan malu.

"Ma-maaf Bu, saya tidak tahu jika situasinya seserius itu."

"Bukan begitu Kai, aku minta maaf padamu, reaksiku terlalu berlebihan." Aku mengusap wajahku dan berusaha membenahi rambutku.

"Beliau sudah menghabiskan uang 4 juta untuk memborong semua kue tanpa menawarnya, tolong hargai pelanggan kita, terlepas apapun latar belakangnya," ujar Kaila sambil mengambil nampan dan beralih ke dapur lagi. Aku hanya menghela nafas sambil mencoba mempertahankan ketenangan hatiku.

Jujur, tak bisa kupungkiri, pada pandangan pertama aku senang dia masih hidup di dunia, setidaknya aku masih bisa melihatnya sehat walafiat dan bahagia.

Tapi, kekecewaan seketika datang saat melihat wanita yang bersamanya. Sekarang saat dia men menjumpaiku, kegelisahannya itu tetap ada, ditambah aku khawatir kalau dia akan kembali berusaha meyakinkanku dengan rayuannya atau istrinya bisa saja datang dan mencurigai kami. Aku tak ingin menciptakan suasana tak nyaman dalam hidupku, karena sejak dulu aku hanya berkomitmen untuk hidup tenang.

"Bila Anda sudah selesai minum kopi, saya harap Anda pergi," ucapku dengan formal, aku mau terlihat profesional di hadapan karyawanku.

Pria itu terkekeh perlahan sambil meletakkan cangkir kopi ke meja, tatapan kami kembali beradu lagi, menciptakan ombak-ombak kecil di dalam jiwa. Aku kembali menarik nafas dalam, sambil menghalau agar hatiku tak bergetar, aku ingin segera membuang kecanggungan tak nyaman ini dan kembali bersikap normal.

Bak wanita yang baru bertemu kekasihnya hati berdebar dan diliputi oleh gejolak kerinduan yang membuncah. Bahkan kini aku bisa merasakan telapak tanganku teraliri oleh rasa panas dan dingin. Demi Allah, saat ingat dia sudah bahagia, aku harus mengingkari semua perasaanku sebab dia bukan lagi milikku! Aku tidak pantas lagi memanggilnya dengan panggilan suami.

"Aku harus membencinya dengan kebencian yang sangat besar!" Aku membatin sendiri.

"Kenapa kau menatapku?"

"Aku ingin kau berhenti menggangguku!"

"Setidaknya kau harus dengar penjelasanku!"

"Apa kau akan bilang kau terpaksa menikahi wanita itu demi jabatan, atau ia adalah seorang pewaris sehingga kau harus meninggalkan kami demi mendapatkan impianmu menjadi orang kaya?"

"Tidak, itu semua salah."

Aku memejamkan mata sambil menarik nafas dalam dalam, rasanya kesabaranku mulai tergerus seperti kikisan ombak di tebing pasir, pertahananku roboh dan aku mulai muak.

"Lalu, dalam rangka apa semua ini? Apa kau ingin membuat hatiku tersiksa dengan membangkitkan cinta yang lama?"

"Tidak juga Iriana, kau mencintaiku dan aku tahu itu. Kau bilang kau menungguku dengan segala doa dan harapanmu, jadi sekarang aku akan kembali."

"Cih!" Aku mendecih dengan segala kata-kata itu, kenyataan tak semudah membalikan telapak tangan.

"Lalu bagaimana istrimu? Apa kau pikir dia akan menerima kenyataan dan bertepuk tangan jika aku dan kamu kembali rujuk? Jangan konyol." Aku menggelengkan kepala sambil tertawa sinis, tapi lelaki itu tak pernah berhenti meyakinkanku.

"Iriana, makanya ... beri aku kesempatan untuk menjelaskan agar kau bisa memahami keadaan yang sebenarnya." Lelaki itu masih duduk bersandar di kursinya sementara aku tetap berdiri dengan jarak satu meter dari meja itu.

"Tak ada yang bisa kupahami karena hatiku terluka. Aku hanya ingin menyembuhkannya dan melanjutkan hidupku. Jika kau sungguh menghargaiku... maka kau bisa pergi sekarang dan jangan kembali lagi."

Pria itu tertegun, binar matanya mulai meredup, serta tekanan nafasnya terasa begitu lemah, sampai ia tak lagi membalas tatapanku.

"Iriana... aku mengalami kecelakaan yang mengubah segalanya."

"Hahaha kecelakaan apa, kecelakaan menghamili wanita cantik."

"Astaghfirullah Iriana... Jangan begitu sinis."

"Aku tak punya waktu mendengar penjelasanmu!"

"Namun kau pasti punya lima menit dan aku tidak akan menyia-nyiakannya!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status