Musim hujan yang lebih cepat datang, menciptakan suasana tersendiri di setiap malamku. Tetesannya yang deras seolah tanpa henti membasahi kelopak bunga yang ada di balkon kamar. Aroma tanah dan daun-daun segar menciptakan kerinduan. Selalu kulalui malam demi malam dalam sepi di peraduan dingin ini.
Aku sadar aku telah menghancurkan diriku sendiri. Kukira aku telah menambatkan cinta pada orang yang tepat. Saat dia pergi dengan janji-janjinya, di sanalah aku membangun cinta dan kepercayaan bahwa suatu saat kami akan kembali bersama dan hidup bahagia. Tak pernah terlintas dalam angan bahwa lelaki itu menipuku. Kupikir telah terjadi sesuatu padanya yang membuat dia tak bisa menghubungi, ada hal yang membuatnya tak bisa pulang, setiap malam aku gelisah dan selalu mengkhawatirkannya, ternyata dibalik kekhawatiranku dia telah berbahagia dalam lautan asmara bersama wanita lain. Jauh langkah yang membawa suamiku pergi, membuatnya berlabuh dalam pelukan wanita berkulit putih dengan tatapan tegas itu. Entah apa alasannya, tapi, pertanyaannya hanya satu. "Tidak sekalikah dia terlintas ingin menjenguk kami? Atau sekedar menjelaskan alasan yang membuatnya terpaksa memilih jalan itu! Mengapa cinta dan perasaanku dibuat terkatung-katung tanpa arah, lalu dia kembali dan memamerkan betapa indah hidupnya. Ah, hatiku semakin nelangsa. Kupeluk diriku sendiri dalam hawa dingin yang semakin menusuk meski selimut tebal menutupi badan. Rinai hujan melengkapi kepedihan hati dan air mata yang terus berurai di atas bantal. Aku teringat suamiku, teringat betapa romantisnya dia dan betapa indahnya kehidupan kami sebelum dia memutuskan pergi. Ya Tuhan, aku kembali tergugu. * Kicau burung yang bertengger di sisi jendela seperti alarm yang membuatku terjaga, sisa kesedihan semalam serta gelap gulita yang memenuhi hatiku tergantikan oleh terang benderang pagi dan semangat baru yang menuntunku untuk segera kembali ke toko dan melakukan yang terbaik. Anak-anak sudah berangkat sekolah. Jejak gelas susu bekas sarapan mereka tertinggal di atas meja. Aku lega mereka tumbuh dan mengurus dirinya dengan mandiri. Kedua putriku tak pernah menuntut atau memaksakan kehendaknya menambah rasa syukur dalam hati ini, kami memang hidup dalam kesederhanaan tapi alhamdulillah kami bertahan. * Setelah kusiram bunga-bunga dan rambat bugenvil yang membentuk pergola indah di gerbang rumah, kututup pintu utama dan menguncinya. Kuletakkan kunci itu di bawah pot bunga sehingga anak-anak bisa membuka pintu saat pulang sekolah. Kususuri jalan kecil menuju toko dengan payung di tangan, berjaga-jaga sewaktu-waktu hujan bisa turun sesukanya. Langit yang biru dengan semburat awan putih terlihat begitu cantik, membuatku semakin bersyukur pada Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan penuh makna. Aku mungkin menghadapi tahun-tahun pertama tanpa suami dengan berat, iparku yang bangkrut merampas rumah yang ditinggalkan Mas Arham, membuatku hampir jadi gelandangan. Kami terlunta-lunta, tapi aku selalu menguatkan diri setiap kali melihat tatapan mata dan senyum anakku. Berkat mereka, kakiku lebih kuat untuk berpijak di bumi ini. "Iriana, selamat pagi." Aku terperangah dengan sapaan familiar di belakangku, sontak kubalikkan badan dan kutemukan seorang lelaki bermantel Suede hitam dengan kacamata dan senyum tipis yang selalu menggetarkan hati. Aku terdiam memandangnya sembari mengutuk hatiku yang selalu bergetar setiap kali tatapan mata kami beradu, sejak tahu dia punya istri aku memutuskan untuk membencinya, tapi di lubuk hati tak mampu berdusta, bahwa jejak cinta itu masih tersisa. "Kau? Dari mana kau tahu alamat kami!" "Mudah saja bagiku, aku punya beberapa orang kepercayaan dan staf yang bisa menyusuri keberadaanmu." "Astaga, mohon jangan ganggu kami, Mas." Bibir ini ingin berkata kasar dan mencacinya tapi aku yang tak pernah membiasakan diri untuk arogan tak berani melampaui batas. Entah dia masih suamiku atau tidak aku tetap harus menjaga ucapanku padanya. "Aku harus minta maaf pada anakku dan memperbaiki keadaan ini." "Untuk apa? Bila kenyataannya di sisi lain kau punya istri?! Bisakah terlebih dahulu kau jujur pada istrimu dan menceritakan segalanya?!" Pria dengan bibir tipis itu menundukkan kepalanya dan menggeleng pelan. Kuteliti penampilannya dari atas ke bawah pakaian dan jaketnya terlihat mahal. Bahkan sepatu coklat itu nampak baru dan menyilaukan, tak perlu ditanya harganya, sudah pasti jutaan. "Terima kasih sudah membesarkan anak-anak dengan baik. Kudengar mereka tumbuh cerdas dan berprestasi." "Ya, Mas. Kami berhasil. Namun aku tak akan membagikan kebanggaanku padamu sebab kau tak turut serta merawat mereka. Maka, jangan pura-pura bahagia." "Aku datang ke sini untuk menitipkan sejumlah uang untuk kedua anakku." "Terima kasih tapi aku tidak membutuhkan sumbangan. Aku dan anak-anak masih punya uang untuk makan dan bayar sekolah mereka. Aku juga ada tabungan untuk sewa toko dan modalku, jadi tidak usah khawatir." "Kami semua merasa bersalah padamu?" Kami? Kenapa dia menyebut kata kami sebagai kata ganti dirinya. Kami dalam hal ini adalah dia dan keluarganya, meliputi orang tua dan saudaranya atau dia dan istri serta anak-anaknya yang masih kecil itu? Apa maksudnya? "Kami?" "Ya, keluargaku. Setelah apa yang terjadi kalian menghilang dan putus kontak dan mereka semua." "Bagaimana menyambung silaturahmi setelah mereka sendiri yang memutuskannya. Dina adikmu merampas rumah kami, dan bilang kalau itu adalah hak kakaknya, yang bukan sama sekali dari hasil keringatku. Saat kutanyakan kau di mana, agar aku dapat memohon pertolongan, mereka tak ada yang buka suara termasuk mertua. Aku tahu tak ada yang berdiri di pihakku, tapi aku tak menyangka bahwa keluarga suamiku akan sejahat itu. Aku juga tidak mengerti kenapa mereka begitu tega pada anak-anakku?!" Lelaki bertinggi 170 cm menggigit bibirnya sambil menahan rasa bersalah yang terlihat jelas dari netra itu. Setiap kali memandang matanya aku selalu teringat anakku yang kedua, gestur dan garis wajah itu mirip sekali dengan ayahnya. "Mas, aku menghargai keputusanmu untuk meninggalkan kami. Aku tidak akan menuntut dan mengganggu keluargamu, jadi tolong hentikan semua ini. Bawa kembali uangmu karena kami masih bisa menghasilkan uang sendiri." "Tapi Iriana..." "Jangan memandang diri ini dengan kasihan karena itu akan membuatku seperti manusia yang tidak berdaya. Aku mohon Mas, jangan berusaha untuk kembali pada kami atau mencoba memperbaiki keadaan yang sudah rusak." Aku melangkah meninggalkannya, sementara lelaki itu membeku, mutiara bening terlihat dengan jelas membayangi pelupuk matanya. Aku tahu aku telah menusukkan duri, tapi duri itu tak sedemikian sakitnya, dibandingkan dengan tombak tajam yang telah mencabikku bertahun-tahun, karena penghianatannya.Aku tiba di kedai setelah 15 menit berjalan kaki melewati paving blok dengan deretan tokoh-toko estetik di kanan dan kirinya. Kupercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang berharap bahwa lelaki berbantel hitam itu tidak mengikutiku.Saat membuka pintu kedai, lonceng kecil di pintu kaca berdenting, aroma vanilla dan coklat panggang yang tercampur di udara menciptakan suasana hangat di dalam cafe. Asistenku Kaila yang tengah memanggang kue menyapa diri ini dengan senyumnya yang ceria. Seperti biasa apron kotak-kotak pink mempercantik penampilannya. "Selamat pagi, Bu." "Pagi, Kaila. Aku senang melihatmu dan syukurlah kau sudah sembuh."Dua hari kemarin dia tak datang ke toko, cuaca dingin dan terkena hujan membuat asisten sekaligus wanita yang kuanggap adik itu menjadi sakit. "Alhamdulillah Bu, dua hari sakit membuatku rindu dengan toko ini, jujur saja, aku bosan di rumah."Aku tertawa kecil mendengarnya,"Tidak masalah kau habiskan waktu untuk istirahat. Lita dan Delia men
Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu. "Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi. "Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa."Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla y
Di luar sana simfoni kota terus berlanjut, deru mesin kendaraan berpadu dengan suara pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, suara klakson bis kota serta nyanyian pekak dari pemusik jalanan memenuhi udara. Di tengah hiruk pikuk itu aku masih membeku di dalam toko kue Delta, toko kue yang berhasil menafkahi dan membuat kami bertahan hidup. Aku masih di sini dan beradu pandang dengan pria yang jadi alasan mengapa aku mampu setia dalam penantianku selama dua belas tahun. Dia masih duduk dengan setelan mantel hitam dan kacamata persegi panjang, sementara aku terus menghabiskan energi untuk membuatnya pergi. Seharusnya aku mengabaikannya seperti komitmenku yang akan melupakan dan menganggap dia telah meninggal. Aku ingin memandangnya seperti seonggok batu atau sebatang kayu yang sia-sia, tapi, berkat kenangan masa lalu yang indah, percikan cinta itu tumbuh subur di hatiku.Aku seperti menyemaikan duri yang sejujurnya tak ingin tumbuh, sebab akhirnya semua itu akan menyakitiku. "
Tak kuasa mendengar pengusiran dan penolakan berulang ulang, pria itu akhirnya beranjak dari toko kueku. Ia tinggalkan 10 lembar uang merah di bawah cangkir kopi bekas minumnya, lalu berpamitan dengan suara yang lirih."Iriana aku pamit, namun aku tak akan menyerah padamu."Aku hanya memejamkan mata sambil membenamkan wajah diantara kedua tanganku. Sakit mendengarnya, dan seharusnya aku tak perlu mendengar itu. Aku baru menyadari ada banyak uang saat bayangan lelaki itu menghilang dengan sempurna. Ingin kukejar dan kukembalikan uangnya tapi aku tak tahu ia di mana."Wah, Bapak itu membayar 10 kali lipat dari harga kopi." Kayla mendekat dan melihat uang yang teronggok di atas meja, gadis muda itu meraihnya dan tertawa bahagia dengan uang satu juta untuk segelas cappucino yang seharusnya berharga Rp.27.000. "Katakan padaku.. apa ia sangat tergila-gila pada ibu, sampai mengejar ibu berkali-kali?""Tidak.""Lalu kenapa?""Kaila, aku tahu aku tak bisa menyembunyikan sesuatu terlalu lama.
Tak tahu berapa lama aku tenggelam dalam pelukan damai itu, sampai kusadari sesuatu bahwa apa yang kulakukan sudah tidak benar adanya. Aku melepaskan diri dengan canggung, selalu bersurut perlahan menjauh dari lelaki itu. Rindu dan malu bercampur menciptakan rasa panas di pipiku. "Kamu tak harus melepaskanku. Kamu berhak memelukku.""Tidak, Mas. Ini salah," balasku dengan tenggorokan dan bibir yang kering. Bukan cuma ragaku tapi jiwaku turut meranggas. Dua belas tahun tanpa sentuhan suami membuatku mati rasa. Saat lelaki itu tiba-tiba datang, aku merasa aneh. Aku ingin bersamanya tapi sadar dia sudah sulit untuk kugapai.*Derasnya hujan yang tumpah dari langit seakan tak terhentikan, petir sesekali menggelegar dengan pola rambatan halus menambah dramatis teater alam.Aku masih berada di emperan toko, berharap bahwa taksi yang kupesan segera datang. Rembesan air menggenangi jalan, pengunjung yang tadinya berlalu lalang di sekitar pasar mulai berteduh dan membuat trotoar sedikit le
Perlahan hujan mereda meninggalkan aroma tanah, sedikit gerimis masih menari di udara tapi itu tak mengapa. Matahari mengintip dari celah awan membuat situasi seketika benderang. Orang-orang kembali sibuk melanjutkan kegiatan, termasuk aku yang akan beranjak pergi membawa sisa barang-barang. Tukang becak kembali mengayuh becaknya. Pedagang kaki lima menggelar lapak serta anak jalanan yang menjual tisu berhamburan ke lampu merah. "Eh, Mbak, kamu yang pemilik toko kue kemarin ya?" Sewaktu mau melangkah pergi wanita itu menahanku"Iya." Aku menjawab tanpa menatap matanya. "Ya ampun, senang bertemu denganmu. Kue yang dibawakan suamiku Untuk mamaku sangat enak sekali. Akan memintaku untuk membeli lagi."Dia bercerita dengan antusias sambil menghampiri dan memaksa tatapan kami beradu.Ah...malas sekali. "Terima kasih atas apresiasinya.""Sama sama, tapi bolehkah saya minta kontak Anda," tanya wanita yang dikuncir kuda itu. "Oh, tentu, tapi... saya baru saja kehilangan ponsel saya."
Malam merangkak dengan keheningan yang memeluk bumi. Di bawah jendela aku duduk di kursi sendirian, sambil memikirkan yang terjadi sore tadi tatapanku menerawang ke langit. Di sana, rembulan bersinar lembut memancarkan cahaya perak, menembus awan kelabu yang menggantung rendah. Ah, hatiku hampa. Masih terbayang bagaimana Mas Arham memeluk Mariana, mendaratkan kecupan mesra saat kedua mata mereka bertautan dan senyum di bibir mereka mengulas garis yang sama. Teringat olehku bagaimana tatapan mata lembut Mas Arham kepada istrinya, hatiku sungguh terluka. Bahkan ingatan tentang mereka berdua lebih mendominasi akalku dibandingkan perampokan yang kuhadapi sore tadi.Mungkin saja saja kejadian itu aku menjadi melankonis, terlalu sering menangis dan terkesan cengeng. Sebenarnya itu bukan diriku, episode tangis menangis dan kesedihan dramatis telah berlalu 12 tahun yang lalu, di tahun-tahun pertama kehilangan lelaki itu. Mestinya sekarang, kunikmati hari-hari bahagia bersama kedua putrik
"Apa?" Aku terhenyak melihat begitu banyak box yang diturunkan dari Alphard, ada begitu banyak bahan kue, terigu, gula dan coklat yang dibawakan oleh stafnya. Dia juga membawakan beberapa set pakaian untuk putriku, juga gadget dan laptop terbaru. Beberapa orang pria meletakkan semua itu di atas meja pelanggan yang kebetulan sedang kosong. Kini aku bisa melihat deretan paper bag dan barang-barang itu memenuhi tokoku. "Ini semua untuk kamu. Aku mengganti semua yang dirampas pencopet kemarin!""Tapi kenapa? Apa aku bilang Aku membutuhkan bantuanmu?!" Aku ingin marah tapi kemarahan itu tak bisa kulampiaskan begitu saja di hadapan begitu banyak stafnya dan asistenku sendiri. Mustahil aku menghardik seseorang di hadapan para karyawannya, dia bisa kehilangan kehormatannya. Mendadak udara di cafe terasa begitu berat seperti dipenuhi debu-debu kenangan pahit yang tak kunjung mengendap. Aku jatuh terduduk di sudut sementara tatapan mataku menerawang mengamati segala hal yang terjadi di sek
"Kurasa aku mulai takut Mas, kemarahannya benar-benar mengerikan. Aku ingin mengajaknya bicara baik-baik tapi, dia tidak mau mendengarnya." Mas Arham memberiku segelas air dan mengajakku duduk setelah kemarahan Mariana tadi. Kayla masih mengepel lantai dan membuang sisa pecahan kaca sementara pengunjung telah lengang di cafe kami. "Kau harus tenangkan dirimu," balas suamiku sambil menggenggam tangan ini. "Jika terus terjadi seperti ini maka aku akan malu, pelangganpun akan lari ke toko lain, Mas.""Aku akan bicarakan ini pada, Merry.""Aku yakin pembicaraan kalian tidak sampai pada diskusi yang pas, sehingga dia melampiaskannya padaku.""Abaikan dia! Ada aku suamimu untuk membelamu, jadi kau jangan risau lagi." "Makasih ya Mas, kau pun telah melakukan pengorbanan yang besar untuk kembali pada kami. Kau tinggalkan hidupmu yang nyaman demi kami," desahku perlahan, rasanya ingin kukembalikan dia pada kehidupannya yang kemarin, tapi nasi sudah menjadi bubur, dia sudah pulang ke kami
Pagi terasa begitu indah dengan tubuh dan aroma Iriana di dalam pelukanku. Aku bergelayut manja seperti anak kecil dipelukan ternyaman, andai tidak memikirkan tanggung jawabku di kantor, mungkin aku ingin memeluknya sepanjang hari, tidur di ranjang yang hangat ini dan memadu asmara dengannya. "Kau cantik." Sekali lagi aku menyentuh bibirnya, rambutnya yang terurai serta wajahnya yang polos tanpa make up membuatnya terlihat semakin cantik. "Jangan terlalu memuji karena aku bisa malu dan canggung.""Kenapa harus canggung pada suami sendiri," balasku sambil tertawa. Aku bangkit lalu menuju kamar mandi, mandi dan bersiap berangkat ke kantorku. *"Ayah ganteng sekali pagi ini, aku yakin ayah dan bunda bahagia sekali," ucap anakku saat aku bergabung bersama mereka di meja makan, mereka sudah cukup dewasa untuk mengerti apa saja yang dilakukan boleh sepasang suami istri yang setelah lama tak berjumpa. "Ya Alhamdulillah.""Cieeee, ada yang tidur berdua." Lita menggoda ibunya yang baru ke
Jejak kemarahan masih terasa berdenyut di hatiku, Aku kaget sekaligus kagum sendiri atas tindakanku barusan. Bersama kendaraan ini, aku meluncur sambil mengingat kembali apa yang telah kulakukan dan kata-kata apa yang telah kulontarkan kepada ayah mertua. Jujur aku puas setelah bertahun-tahun selalu mengalah dan tidak pernah melawan kehendaknya. Sebenarnya aku tidak ingin bersikap jahat, tapi tindakannya pada keluargaku tidak bisa diterima, aku kecewa dan tidak bisa membendung kemarahanku lagi. Kurang ponsel dari dalam saku, lalu menghubungi Mariana dan minta izin padanya bahwa malam ini aku tidak pulang. Aku ingin pulang ke rumah Iriana tapi aku belum ingin memberitahunya bahwa keputusanku adalah kembali pada istri dan anak-anakku di Saint Maria. "Aku ada urusan penting jadi aku akan bermalam di hotel.""Tapi kenapa.""Pikiranku sedang rumit dan aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini! Aku juga harus mengambil keputusan tentang pekerjaanku.""Semuanya baik-baik saja.""Tidak ba
Aku meluncur ke kantor seperti biasa, bekerja setengah hati dan memaksakan diri untuk tetap tersenyum di dalam rumah padahal hati ini sudah hilang setengahnya. Setelah tanda tangan persetujuan cerai, aku dilarang bertemu oleh ayah mertua dengan Iriana.Seorang stafnya diutus untuk mengikutiku agar melaporkan setiap kegiatanku. Papa minta aku untuk fokus berbisnis alih alih memperjuangkan cinta yang sudah tak mungkin lagi untuk dijangkau. Sekalipun aku di kantor, tapi pikiranku tak bisa fokus, bayangan Iriana dan anak-anak berputar di kepalaku dan mengganggu konsentrasi. Aku ingin menjumpainya tapi langkah kakiku terbatas, seakan aku dipasung oleh rantai yang ketat."Tuhan, ya Tuhan...." Aku hanya bisa mendesah seperti itu. "Pak, sudah membaca semua poin persetujuan cerai sebelum anda menandatanganinya?" Tanya asistenku yang mendekat zaat melihatku begitu resah dan tidak fokus pada pekerjaan sendiri. "Aku tidak membacanya. Aku pikir itu hanya persetujuan cerai biasa tanpa gugatan d
Sesampainya di rumah, Mariana mengajakku untuk langsung ke meja makan, sebenarnya hati ini sudah dipenuhi oleh ketakutan yang membebani tapi istriku tetap memaksa diri ini untuk makan. "Kau membutuhkan energi untuk menghadapi semua ini jadi mari kita makan.""Sungguh aku tidak selera.""Tetap saja kau harus memikirkan kesehatanmu.""Baiklah." Lagi aku dan dia menikmati hidangan dalam keheningan rumah makan tiba-tiba ponsel istriku berdering, nama tuan Rudi Hartawan terpampang dengan jelas di sana."Iya Papa, apa kabar?" tanya istriku perlahan."Aku mendengar semua yang terjadi dan Aku sudah muak dengan istri suamimu! Aku akan menyingkirkannya apapun caranya!" Aku bisa mendengar samar-samar suara dari speaker ponsel Mariana. "Pa, aku mohon pada Papa, tolong berhentilah ikut campur ini adalah masalah pribadi kami. Apa yang Papa lakukan telah menyusahkan seseorang dan membuat suasana semakin rumit.""Kalau aku menunggu tindakanmu, kau terlalu lamban, Merry""Tapi Papa merusak segalany
Entah apa yang terjadi setelah kegelapan panjang menelanku, akibat kata-kata Iriana. Aku seperti tersedot dalam pusaran hitam di mana waktu berhenti dan dunia memudar.Seperti cahaya yang muncul dari ujung lorong, seolah bayang kecil yang tiba tiba datang dari kejauhan lalu perlahan membesar, aku seperti dikejar oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan, perlahan aku mampu mendengarkan suara samar yang kemudian berkumpul seperti gemuruh ombak memecah pantai. Pada akhirnya, aku terbangun dengan satu teriakan minta tolong dan menyadari tubuhku telah berada di tempat yang berbeda. Kuedarkan pandangan ke sekelilingku dengan mata yang dibuka perlahan, tapi begitu terpapar oleh cahaya menyilaukan, aku hanya bisa menutupnya dengan sebelah tanganku."Di mana aku?""Di rumah sakit," Jawab suara bariton dari sosok pria yang ada di sisiku, itu papa. Aku tersadar bahwa aku tengah berada di rumah sakit. "Kenapa aku bisa di sini?""Justru aku yang harus bertanya padamu, kenapa kau tidak jujur tent
Toko Delta dengan segala pesona dan popularitas kelezatan kuenya, telah mencuri perhatian dan perasaanku. Toko kecil yang ada di seberang jalan Saint Maria, pusat pertokoan lama dan cagar budaya yang masih dijaga pemerintah itu, telah membuatku tertarik dan ingin berinvestasi kepada pemiliknya. Kue kue yang mereka tawarkan, suasana kafe yang nyaman serta suguhan makanan jadul yang otentik, membuatku terpedaya.Aku pernah begitu ingin melihat sosok Iriana sukses dan menjadi wanita yang kaya. Tanpa menyadari kalau wanita itu adalah bagian dari masa lalu suamiku yang paling penting, ya! dia wanita yang sangat dicintai Mas Arham.Mobil yang meluncur seakan berjalan di tempatnya, Aku berjalan begitu lambat sementara aku ingin menyudahinya. Aku duduk bersisian dengan suamiku dalam mobil yang akan membawa kami ke toko Delta. Aku harus menghitung detakan jantungku, memikirkan kalimat apa yang akan kukatakan di sana, serta bagaimana reaksiku jika suasana mulai tidak terkendali. "Kau baik-baik
"Aku terpaksa menahan perasaanku dan menyakitinya demi tidak menyakitimu!"Alasan lagi, selalu dan selalu penuh alasan yang terdengar tak masuk akal"Oh wow, dan wanita itu juga menahan tangisan dan kejujurannya demi tidak menyakitiku. Aku bisa bayangkan betapa bergejolak hati wanita itu saat pertama kali berjumpa denganmu. Wah, Aku tidak tahu apa aku harus terharu atau merasa terhina, karena dua orang yang saling mencintai sedang mengasihani diriku. Apa aku semenyedihkan itu sampai kalian begitu prihatin atas perasaan ini?!""Aku tidak bermaksud meremehkanmu! Aku hanya ingin menjaga agar kau tetap bahagia!""Jika demikian kenapa kau harus jujur? Jaga saja rahasia masa lalumu sampai mati dan jangan beritahu aku, agar aku tidak menderita. Apa yang kau harapkan dengan jujur padaku dan memintaku untuk memaklumi pernikahan poligami. Apa kau gila?!""Ucapanmu sangat membuatku malu Mariana, Aku tidak tahu aku harus bagaimana," jawab lelaki itu sambil menggeleng lemah dan menahan kesedihan
Sinar keemasan mentari menerobos lewat celah kaca jendela, bayangan gorden menari di lantai marmer, namun kehangatannya tak mampu menembus dinginnya suasana hati. Di meja makan, kami hanya saling mendiamkan, meski aroma kopi dan makanan yang disediakan asisten terlihat menggugah tapi aku sama sekali tak menyentuh makanan itu. Suamiku duduk di kursi dan tak banyak bicara, sementara aku menatapnya sambil menahan kepalan tangan di seberang meja, pemberitahuan semalam dan jejak pertengkaran masih terasa dalam ingatanku, sebuah hal yang tidak bisa kuterima dan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tahu suatu hari secuil kenangan dari masa lalu itu akan teringat oleh suamiku, aku tahu dia menelusuri masa lalu dan yakin dia terus berusaha mencari jati dirinya, memeriksa apa yang telah terjadi di masa lampau orang-orang yang pernah terkait dengan itu. Aku tahu suatu saat ini akan terjadi, tapi aku tak menyangka dia ternyata punya keluarga yang belum ditinggalkannya. Kupikir suamiku duda