Musim hujan yang lebih cepat datang, menciptakan suasana tersendiri di setiap malamku. Tetesannya yang deras seolah tanpa henti membasahi kelopak bunga yang ada di balkon kamar. Aroma tanah dan daun-daun segar menciptakan kerinduan. Selalu kulalui malam demi malam dalam sepi di peraduan dingin ini.
Aku sadar aku telah menghancurkan diriku sendiri. Kukira aku telah menambatkan cinta pada orang yang tepat. Saat dia pergi dengan janji-janjinya, di sanalah aku membangun cinta dan kepercayaan bahwa suatu saat kami akan kembali bersama dan hidup bahagia. Tak pernah terlintas dalam angan bahwa lelaki itu menipuku. Kupikir telah terjadi sesuatu padanya yang membuat dia tak bisa menghubungi, ada hal yang membuatnya tak bisa pulang, setiap malam aku gelisah dan selalu mengkhawatirkannya, ternyata dibalik kekhawatiranku dia telah berbahagia dalam lautan asmara bersama wanita lain. Jauh langkah yang membawa suamiku pergi, membuatnya berlabuh dalam pelukan wanita berkulit putih dengan tatapan tegas itu. Entah apa alasannya, tapi, pertanyaannya hanya satu. "Tidak sekalikah dia terlintas ingin menjenguk kami? Atau sekedar menjelaskan alasan yang membuatnya terpaksa memilih jalan itu! Mengapa cinta dan perasaanku dibuat terkatung-katung tanpa arah, lalu dia kembali dan memamerkan betapa indah hidupnya. Ah, hatiku semakin nelangsa. Kupeluk diriku sendiri dalam hawa dingin yang semakin menusuk meski selimut tebal menutupi badan. Rinai hujan melengkapi kepedihan hati dan air mata yang terus berurai di atas bantal. Aku teringat suamiku, teringat betapa romantisnya dia dan betapa indahnya kehidupan kami sebelum dia memutuskan pergi. Ya Tuhan, aku kembali tergugu. * Kicau burung yang bertengger di sisi jendela seperti alarm yang membuatku terjaga, sisa kesedihan semalam serta gelap gulita yang memenuhi hatiku tergantikan oleh terang benderang pagi dan semangat baru yang menuntunku untuk segera kembali ke toko dan melakukan yang terbaik. Anak-anak sudah berangkat sekolah. Jejak gelas susu bekas sarapan mereka tertinggal di atas meja. Aku lega mereka tumbuh dan mengurus dirinya dengan mandiri. Kedua putriku tak pernah menuntut atau memaksakan kehendaknya menambah rasa syukur dalam hati ini, kami memang hidup dalam kesederhanaan tapi alhamdulillah kami bertahan. * Setelah kusiram bunga-bunga dan rambat bugenvil yang membentuk pergola indah di gerbang rumah, kututup pintu utama dan menguncinya. Kuletakkan kunci itu di bawah pot bunga sehingga anak-anak bisa membuka pintu saat pulang sekolah. Kususuri jalan kecil menuju toko dengan payung di tangan, berjaga-jaga sewaktu-waktu hujan bisa turun sesukanya. Langit yang biru dengan semburat awan putih terlihat begitu cantik, membuatku semakin bersyukur pada Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan penuh makna. Aku mungkin menghadapi tahun-tahun pertama tanpa suami dengan berat, iparku yang bangkrut merampas rumah yang ditinggalkan Mas Arham, membuatku hampir jadi gelandangan. Kami terlunta-lunta, tapi aku selalu menguatkan diri setiap kali melihat tatapan mata dan senyum anakku. Berkat mereka, kakiku lebih kuat untuk berpijak di bumi ini. "Iriana, selamat pagi." Aku terperangah dengan sapaan familiar di belakangku, sontak kubalikkan badan dan kutemukan seorang lelaki bermantel Suede hitam dengan kacamata dan senyum tipis yang selalu menggetarkan hati. Aku terdiam memandangnya sembari mengutuk hatiku yang selalu bergetar setiap kali tatapan mata kami beradu, sejak tahu dia punya istri aku memutuskan untuk membencinya, tapi di lubuk hati tak mampu berdusta, bahwa jejak cinta itu masih tersisa. "Kau? Dari mana kau tahu alamat kami!" "Mudah saja bagiku, aku punya beberapa orang kepercayaan dan staf yang bisa menyusuri keberadaanmu." "Astaga, mohon jangan ganggu kami, Mas." Bibir ini ingin berkata kasar dan mencacinya tapi aku yang tak pernah membiasakan diri untuk arogan tak berani melampaui batas. Entah dia masih suamiku atau tidak aku tetap harus menjaga ucapanku padanya. "Aku harus minta maaf pada anakku dan memperbaiki keadaan ini." "Untuk apa? Bila kenyataannya di sisi lain kau punya istri?! Bisakah terlebih dahulu kau jujur pada istrimu dan menceritakan segalanya?!" Pria dengan bibir tipis itu menundukkan kepalanya dan menggeleng pelan. Kuteliti penampilannya dari atas ke bawah pakaian dan jaketnya terlihat mahal. Bahkan sepatu coklat itu nampak baru dan menyilaukan, tak perlu ditanya harganya, sudah pasti jutaan. "Terima kasih sudah membesarkan anak-anak dengan baik. Kudengar mereka tumbuh cerdas dan berprestasi." "Ya, Mas. Kami berhasil. Namun aku tak akan membagikan kebanggaanku padamu sebab kau tak turut serta merawat mereka. Maka, jangan pura-pura bahagia." "Aku datang ke sini untuk menitipkan sejumlah uang untuk kedua anakku." "Terima kasih tapi aku tidak membutuhkan sumbangan. Aku dan anak-anak masih punya uang untuk makan dan bayar sekolah mereka. Aku juga ada tabungan untuk sewa toko dan modalku, jadi tidak usah khawatir." "Kami semua merasa bersalah padamu?" Kami? Kenapa dia menyebut kata kami sebagai kata ganti dirinya. Kami dalam hal ini adalah dia dan keluarganya, meliputi orang tua dan saudaranya atau dia dan istri serta anak-anaknya yang masih kecil itu? Apa maksudnya? "Kami?" "Ya, keluargaku. Setelah apa yang terjadi kalian menghilang dan putus kontak dan mereka semua." "Bagaimana menyambung silaturahmi setelah mereka sendiri yang memutuskannya. Dina adikmu merampas rumah kami, dan bilang kalau itu adalah hak kakaknya, yang bukan sama sekali dari hasil keringatku. Saat kutanyakan kau di mana, agar aku dapat memohon pertolongan, mereka tak ada yang buka suara termasuk mertua. Aku tahu tak ada yang berdiri di pihakku, tapi aku tak menyangka bahwa keluarga suamiku akan sejahat itu. Aku juga tidak mengerti kenapa mereka begitu tega pada anak-anakku?!" Lelaki bertinggi 170 cm menggigit bibirnya sambil menahan rasa bersalah yang terlihat jelas dari netra itu. Setiap kali memandang matanya aku selalu teringat anakku yang kedua, gestur dan garis wajah itu mirip sekali dengan ayahnya. "Mas, aku menghargai keputusanmu untuk meninggalkan kami. Aku tidak akan menuntut dan mengganggu keluargamu, jadi tolong hentikan semua ini. Bawa kembali uangmu karena kami masih bisa menghasilkan uang sendiri." "Tapi Iriana..." "Jangan memandang diri ini dengan kasihan karena itu akan membuatku seperti manusia yang tidak berdaya. Aku mohon Mas, jangan berusaha untuk kembali pada kami atau mencoba memperbaiki keadaan yang sudah rusak." Aku melangkah meninggalkannya, sementara lelaki itu membeku, mutiara bening terlihat dengan jelas membayangi pelupuk matanya. Aku tahu aku telah menusukkan duri, tapi duri itu tak sedemikian sakitnya, dibandingkan dengan tombak tajam yang telah mencabikku bertahun-tahun, karena penghianatannya.Aku tiba di kedai setelah 15 menit berjalan kaki melewati paving blok dengan deretan tokoh-toko estetik di kanan dan kirinya. Kupercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang berharap bahwa lelaki berbantel hitam itu tidak mengikutiku.Saat membuka pintu kedai, lonceng kecil di pintu kaca berdenting, aroma vanilla dan coklat panggang yang tercampur di udara menciptakan suasana hangat di dalam cafe. Asistenku Kaila yang tengah memanggang kue menyapa diri ini dengan senyumnya yang ceria. Seperti biasa apron kotak-kotak pink mempercantik penampilannya. "Selamat pagi, Bu." "Pagi, Kaila. Aku senang melihatmu dan syukurlah kau sudah sembuh."Dua hari kemarin dia tak datang ke toko, cuaca dingin dan terkena hujan membuat asisten sekaligus wanita yang kuanggap adik itu menjadi sakit. "Alhamdulillah Bu, dua hari sakit membuatku rindu dengan toko ini, jujur saja, aku bosan di rumah."Aku tertawa kecil mendengarnya,"Tidak masalah kau habiskan waktu untuk istirahat. Lita dan Delia men
Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu. "Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi. "Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa."Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla y
Suamiku ... kemana kau menghilang meninggalkanku di tengah kejamnya dunia. Bahuku terlalu rapuh untuk mengumpulkan kepingan hati dan memeluk anak-anak kita. Tidak ingatkah kau padaku dan binar mata buah hati kita setiap kali berjumpa denganmu?** Oktober, 2024Hujan mengguyur kota dengan deras membasahi seluruh sudut jalan dan gedung-gedung sekitar toko kami. Sejak pagi mendung yang menggelayut di awan tak beranjak agar sinar matahari dapat mengeringkan kaca toko sehingga kue-kue yang kugelar di etalase bisa terlihat jelas. Angin berhembus dengan kencang menampar-nampar jendela toko yang telah berdiri selama 10 tahun terakhir, toko kue Delta, gabungan nama kedua anakku, Delia dan Lita. Kucoba memperbaiki kancing sweater dan syalku agar udara dingin tidak membuatku masuk angin, semalam aku demam jadi keadaanku tak begitu baik hari ini. Mungkin karena hujan jadi orang-orang enggan berlama-lama di luar rumah. Di dapur, putriku dan adiknya yang duduk di kelas 3 SMP sedang sibuk meman
Bersama kedatangan pria yang telah 12 tahun menghilang, gerimis perlahan berhenti meninggalkan jejak warna jingga pucat yang memudar di langit. Aku masih berdiri tak jauh dari meja kasir, membeku menatap kedatangan suamiku bersama keluarga barunya. Wanita yang digandengnya, ah, sungguh cantiknya. Penampilannya sangat elegan dengan gaun emerald selutut, rambutnya tertata rapi dengan anting berlian memperindah penampilannya. "Si-si-silakan duduk." Mendadak tenggorokan ini tercekat, lidah ini keluh untuk pura-pura ramah dan menyapa mereka, entah kenapa aku tak menemukan satu kata-kata yang akan ku gunakan untuk bersikap formal. Saat tatapanku beradu dengan Mas Arham binar mata dan senyum kebahagiaan untuk istri dan anak-anaknya tiba-tiba menghilang, tatapan matanya redup ke arahku, seakan ada makna tersirat berupa penyesalan atau mungkin keterkejutan. "Apa di sini menjual tiramisu?" tanya pasangan Mas Arham."Be-benar, Nyonya," balasku tanpa ekspresi, aku ingin tersenyum dan bersikap
MARI MERAPAT, INI CERITA YANG INDAH. Jangan lupa untuk like subscribe dan share. ❤️❤️Rinai hujan di luar toko telah berhenti, meninggalkan jejak genangan air dan aroma tanah basah yang segar. Perlahan awan kelabu menunjukkan mentari sore yang mulai redup, langit indah, dengan semburat kemerahan seperti bara api yang mulai padam. Aku udah mau sekarang masih berdiri dengan tatapan mata yang lekat satu sama lain, netra kami bertemu dalam keadaan saling meneteskan air mata. "Kau belum dengar penjelasanku, sebelum kau menghakimiku." Lelaki itu masih memegangi pipinya yang merah bekas gambar tanganku. Mendengarnya berusaha menahanku langkahku terhenti, entah ingin membela diri ataukah cari pembenaran, tapi aku tak habis pikir penjelasan apa yang akan dia utarakan agar aku berhenti menyalahkan dan menilainya jahat. Pergi selama 12 tahun tanpa kabar, lalu tiba-tiba muncul dengan wanita lain, kira-kira apa yang akan orang lain pikirkan? Haruskah aku berpikir bahwa suamiku telah diculik la
"Tolong jangan katakan ini pada adikmu. Dia pasti akan syok sekali."Aku menyentuh bahu putriku dengan lembut, berusaha membujuknya agar dia memahami bahwa yang sekarang situasi yang tidak tepat untuk menceritakan segalanya. "Kenapa Bunda diam saja, kenapa Bunda tidak marah dan mengungkapkan yang sebenarnya pada wanita itu.""Sayang, tidak baik merusak kebahagiaan orang lain hanya karena kita menderita. Kesengsaraan kita bukan tanggung jawab wanita itu.""Tapi ayah membohongi dan meninggalkan kita demi dia!" Anakku bicara dengan tatapan mata berapi. "Belum tentu, kita tidak bisa menghakimi seperti itu karena kita tidak tahu apa yang terjadi. Sudah Nak, Bunda mohon agar kamu bisa menyimpan semua ini sementara. Bisa ya." Aku membujuk sambil menggenggam tangannya, anakku hanya membuang nafasnya dengan kasar. "Terserah bunda saja, tapi aku benar-benar sakit hati," jawab Delia sambil menghempaskan celemeknya di atas meja etalase. Putriku merajuk dan segera kembali ke dapur untuk mengam