Share

5. sakit hati

Musim hujan yang lebih cepat datang, menciptakan suasana tersendiri di setiap malamku. Tetesannya yang deras seolah tanpa henti membasahi kelopak bunga yang ada di balkon kamar. Aroma tanah dan daun-daun segar menciptakan kerinduan. Selalu kulalui malam demi malam dalam sepi di peraduan dingin ini.

Aku sadar aku telah menghancurkan diriku sendiri. Kukira aku telah menambatkan cinta pada orang yang tepat. Saat dia pergi dengan janji-janjinya, di sanalah aku membangun cinta dan kepercayaan bahwa suatu saat kami akan kembali bersama dan hidup bahagia.

Tak pernah terlintas dalam angan bahwa lelaki itu menipuku. Kupikir telah terjadi sesuatu padanya yang membuat dia tak bisa menghubungi, ada hal yang membuatnya tak bisa pulang, setiap malam aku gelisah dan selalu mengkhawatirkannya, ternyata dibalik kekhawatiranku dia telah berbahagia dalam lautan asmara bersama wanita lain. Jauh langkah yang membawa suamiku pergi, membuatnya berlabuh dalam pelukan wanita berkulit putih dengan tatapan tegas itu.

Entah apa alasannya, tapi, pertanyaannya hanya satu.

"Tidak sekalikah dia terlintas ingin menjenguk kami? Atau sekedar menjelaskan alasan yang membuatnya terpaksa memilih jalan itu! Mengapa cinta dan perasaanku dibuat terkatung-katung tanpa arah, lalu dia kembali dan memamerkan betapa indah hidupnya. Ah, hatiku semakin nelangsa.

Kupeluk diriku sendiri dalam hawa dingin yang semakin menusuk meski selimut tebal menutupi badan. Rinai hujan melengkapi kepedihan hati dan air mata yang terus berurai di atas bantal. Aku teringat suamiku, teringat betapa romantisnya dia dan betapa indahnya kehidupan kami sebelum dia memutuskan pergi.

Ya Tuhan, aku kembali tergugu.

*

Kicau burung yang bertengger di sisi jendela seperti alarm yang membuatku terjaga, sisa kesedihan semalam serta gelap gulita yang memenuhi hatiku tergantikan oleh terang benderang pagi dan semangat baru yang menuntunku untuk segera kembali ke toko dan melakukan yang terbaik.

Anak-anak sudah berangkat sekolah. Jejak gelas susu bekas sarapan mereka tertinggal di atas meja. Aku lega mereka tumbuh dan mengurus dirinya dengan mandiri.

Kedua putriku tak pernah menuntut atau memaksakan kehendaknya menambah rasa syukur dalam hati ini, kami memang hidup dalam kesederhanaan tapi alhamdulillah kami bertahan.

*

Setelah kusiram bunga-bunga dan rambat bugenvil yang membentuk pergola indah di gerbang rumah, kututup pintu utama dan menguncinya. Kuletakkan kunci itu di bawah pot bunga sehingga anak-anak bisa membuka pintu saat pulang sekolah.

Kususuri jalan kecil menuju toko dengan payung di tangan, berjaga-jaga sewaktu-waktu hujan bisa turun sesukanya. Langit yang biru dengan semburat awan putih terlihat begitu cantik, membuatku semakin bersyukur pada Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan penuh makna.

Aku mungkin menghadapi tahun-tahun pertama tanpa suami dengan berat, iparku yang bangkrut merampas rumah yang ditinggalkan Mas Arham, membuatku hampir jadi gelandangan. Kami terlunta-lunta, tapi aku selalu menguatkan diri setiap kali melihat tatapan mata dan senyum anakku.

Berkat mereka, kakiku lebih kuat untuk berpijak di bumi ini.

"Iriana, selamat pagi." Aku terperangah dengan sapaan familiar di belakangku, sontak kubalikkan badan dan kutemukan seorang lelaki bermantel Suede hitam dengan kacamata dan senyum tipis yang selalu menggetarkan hati.

Aku terdiam memandangnya sembari mengutuk hatiku yang selalu bergetar setiap kali tatapan mata kami beradu, sejak tahu dia punya istri aku memutuskan untuk membencinya, tapi di lubuk hati tak mampu berdusta, bahwa jejak cinta itu masih tersisa.

"Kau? Dari mana kau tahu alamat kami!"

"Mudah saja bagiku, aku punya beberapa orang kepercayaan dan staf yang bisa menyusuri keberadaanmu."

"Astaga, mohon jangan ganggu kami, Mas."

Bibir ini ingin berkata kasar dan mencacinya tapi aku yang tak pernah membiasakan diri untuk arogan tak berani melampaui batas.

Entah dia masih suamiku atau tidak aku tetap harus menjaga ucapanku padanya.

"Aku harus minta maaf pada anakku dan memperbaiki keadaan ini."

"Untuk apa? Bila kenyataannya di sisi lain kau punya istri?! Bisakah terlebih dahulu kau jujur pada istrimu dan menceritakan segalanya?!"

Pria dengan bibir tipis itu menundukkan kepalanya dan menggeleng pelan. Kuteliti penampilannya dari atas ke bawah pakaian dan jaketnya terlihat mahal. Bahkan sepatu coklat itu nampak baru dan menyilaukan, tak perlu ditanya harganya, sudah pasti jutaan.

"Terima kasih sudah membesarkan anak-anak dengan baik. Kudengar mereka tumbuh cerdas dan berprestasi."

"Ya, Mas. Kami berhasil. Namun aku tak akan membagikan kebanggaanku padamu sebab kau tak turut serta merawat mereka. Maka, jangan pura-pura bahagia."

"Aku datang ke sini untuk menitipkan sejumlah uang untuk kedua anakku."

"Terima kasih tapi aku tidak membutuhkan sumbangan. Aku dan anak-anak masih punya uang untuk makan dan bayar sekolah mereka. Aku juga ada tabungan untuk sewa toko dan modalku, jadi tidak usah khawatir."

"Kami semua merasa bersalah padamu?"

Kami? Kenapa dia menyebut kata kami sebagai kata ganti dirinya. Kami dalam hal ini adalah dia dan keluarganya, meliputi orang tua dan saudaranya atau dia dan istri serta anak-anaknya yang masih kecil itu? Apa maksudnya?

"Kami?"

"Ya, keluargaku. Setelah apa yang terjadi kalian menghilang dan putus kontak dan mereka semua."

"Bagaimana menyambung silaturahmi setelah mereka sendiri yang memutuskannya. Dina adikmu merampas rumah kami, dan bilang kalau itu adalah hak kakaknya, yang bukan sama sekali dari hasil keringatku. Saat kutanyakan kau di mana, agar aku dapat memohon pertolongan, mereka tak ada yang buka suara termasuk mertua. Aku tahu tak ada yang berdiri di pihakku, tapi aku tak menyangka bahwa keluarga suamiku akan sejahat itu. Aku juga tidak mengerti kenapa mereka begitu tega pada anak-anakku?!"

Lelaki bertinggi 170 cm menggigit bibirnya sambil menahan rasa bersalah yang terlihat jelas dari netra itu. Setiap kali memandang matanya aku selalu teringat anakku yang kedua, gestur dan garis wajah itu mirip sekali dengan ayahnya.

"Mas, aku menghargai keputusanmu untuk meninggalkan kami. Aku tidak akan menuntut dan mengganggu keluargamu, jadi tolong hentikan semua ini. Bawa kembali uangmu karena kami masih bisa menghasilkan uang sendiri."

"Tapi Iriana..."

"Jangan memandang diri ini dengan kasihan karena itu akan membuatku seperti manusia yang tidak berdaya. Aku mohon Mas, jangan berusaha untuk kembali pada kami atau mencoba memperbaiki keadaan yang sudah rusak."

Aku melangkah meninggalkannya, sementara lelaki itu membeku, mutiara bening terlihat dengan jelas membayangi pelupuk matanya. Aku tahu aku telah menusukkan duri, tapi duri itu tak sedemikian sakitnya, dibandingkan dengan tombak tajam yang telah mencabikku bertahun-tahun, karena penghianatannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status