"Tolong jangan katakan ini pada adikmu. Dia pasti akan syok sekali."
Aku menyentuh bahu putriku dengan lembut, berusaha membujuknya agar dia memahami bahwa yang sekarang situasi yang tidak tepat untuk menceritakan segalanya. "Kenapa Bunda diam saja, kenapa Bunda tidak marah dan mengungkapkan yang sebenarnya pada wanita itu." "Sayang, tidak baik merusak kebahagiaan orang lain hanya karena kita menderita. Kesengsaraan kita bukan tanggung jawab wanita itu." "Tapi ayah membohongi dan meninggalkan kita demi dia!" Anakku bicara dengan tatapan mata berapi. "Belum tentu, kita tidak bisa menghakimi seperti itu karena kita tidak tahu apa yang terjadi. Sudah Nak, Bunda mohon agar kamu bisa menyimpan semua ini sementara. Bisa ya." Aku membujuk sambil menggenggam tangannya, anakku hanya membuang nafasnya dengan kasar. "Terserah bunda saja, tapi aku benar-benar sakit hati," jawab Delia sambil menghempaskan celemeknya di atas meja etalase. Putriku merajuk dan segera kembali ke dapur untuk mengambil tas dan kunci motornya. "Ayo pulang," serunya pada Lita. "Ya Kak, aku matikan oven dulu dan bersihkan piring ini." "Biar Bunda saja yang selesaikan, kita harus kembali ke rumah dan belajar. Ayo!" "Kakak kenapa sih?"Lita heran dengan perubahan kakaknya yang terlihat begitu tegas dan serius, tapi anak bungsuku itu tidak banyak bicara, ia selesaikan meletakkan kue ke dalam toples, lalu mematikan oven dan bergegas pergi. "Bunda, kami pulang dulu. Bunda tak apa 'kan menyelesaikan sisanya dan menutup toko." "Iya, Its ok. Kalian memang harus menyelesaikan tugas-tugas sekolah kalian dan itu harus diprioritaskan." "Terima kasih Bunda." Untuk di kedua kalinya di sore penuh kesyahduan ini, aku menerima ciuman penuh kasih sayang darinya. Senja menyapa dengan matahari yang mulai kembali ke peraduannya, hujan berhenti dengan sempurna tapi genangan air masih ada di sepanjang jalan pertokoan yang tak jauh dari rumah kami. Putriku hanya cukup jalan satu blok melewati deretan toko bunga dan kedai kedai kopi, berbelok ke kiri lalu masuk lorong dan sampailah di rumah kecil kami. * Udara dingin masih menusuk seakan pakaian tebal yang kukenakan tidak berguna sama sekali, angin yang berhembus dari jendela yang ada di depan wastafel membuat tanganku menggigil. Kulanjutkan pekerjaanku dengan membersihkan etalase, lalu mengepel ruangan. Kulkas pendingin dan lemari kue kering sudah kukunci agar debu dan hewan-hewan kecil tak masuk ke sana, termasuk semut. Setelah semuanya usai aku bersiap untuk menutup toko dan kembali ke rumah, tubuh yang penat, badan yang demam karena meriang, serta pikiran kacau akibat pertemuan tak terduga dengan Mas Arham semakin memberatkan beban yang ada. Kukenakan kerudung lalu meraih payung yang ada di sudut ruangan. Aku keluar dari toko dan berusaha menggapai rolling door yang cukup tinggi dibandingkan dengan badanku yang mungil. Aku ingin segera menguncinya dan pulang ke rumah, kembali ke tempat tidurku dan merentangkan tulang punggungku yang sakit, usia dan stress menggerus kesehatanku. Berkali-kali aku menggapainya tapi terus saja gagal, membuatku kesal sendiri. "Ya Tuhan, apa lagi ini, aku lelah sekali!" "Aku saja yang turunkan untukmu!" Tiba-tiba sepasang tangan kekar meraih rolling door itu dan membantuku menurunkannya, aroma parfum yang keluar dari jas berwarna coklat dan kehadiran lelaki berkacamata itu membuatku tercengang. Ada apa dia kembali lagi ke toko, apa dia belum puas meninggalkan jejak luka di hatiku ataukah dia sengaja melakukan ini untuk menambah penderitaan yang sudah ada. "Kenapa kau kembali? Apa kau ingin mengacaukan hidupku dan menimbulkan fitnah diantara orang-orang yang ada di sini?!" "Iriana... aku kembali karena hatiku gelisah. Bayang-bayang matamu yang penuh kesedihan menimbulkan sembilu dan perasaan pilu di hatiku. Izinkan aku untuk bicara padamu!" "Tidak, Mas, demi Allah. Aku tak kuasa lagi, tolong pergilah." Aku membalikkan badan dan melanjutkan menggembok pintu rolling. "Aku tidak lama di kota ini... kebetulan kami mampir hendak bermalam." "Aku tidak meminta informasi itu dan aku tidak mau tahu! Jangan ceritakan apapun aku tak mau dengar!" Aku bisa merasakan netraku mulai sakit oleh sensasi panas yang kutahan, aku tidak ingin air mata itu berlinang lagi di hadapannya. Aku tidak ingin menunjukkan kerapuhan dan kelemahanku, serta tak ingin menunjukkan bahwa setelah kepergiannya, hidupku amat nelangsa. "Iriana... Aku tahu dosaku tak termaafkan, kekhilafan membutakan mata hatiku dan membuatku melupakan keluarga. Sejujurnya bertahun-tahun aku hidup dan rasa bersalah dan merindukan kalian." "Cukup Mas! Untuk apa mengungkapkan rindu pada wanita yang sudah kau tinggalkan. Bila hidupmu lebih bahagia maka bersyukurlah dengan apa yang kau miliki, tidak usah kembali ke belakang, kami tertinggal dari derajat dan kehormatanmu yang menanjak!" Tak terbendung lagi, mutiara bening yang sejak tadi menggenangi pelupuk mata bobol begitu saja meleleh membasahi pipiku. Lelaki itu memejamkan mata menahan ucapanku yang menyakitkan, dia berusaha menggelengkan kepalanya dan meraih bahuku tapi aku bersurut dan menegaskan jarakku darinya. "Jangan dekati aku, tidak ada kata berpisah di antara kita yang mungkin akan membuatmu leluasa, tapi aku tak sudi!" "Aku merasa sangat bersalah Ariana, terlebih saat melihat mata putriku. Aku sungguh Ayah yang buruk." "Baguslah jika kau menyadarinya. Sekarang biarkan aku pulang, aku lelah sekali." "Tolong, jangan pergi dulu, hatiku gelisah tanpa pengampunan darimu." "Jangan bicara begitu... Berhentilah minta maaf karena tak sekali-kali Aku akan memaafkanmu. Aku akan menganggapmu mati dan melupakanmu. Aku akan mengubur semua cinta dan penantian lalu membakar harapanku yang sia sia. Aku mungkin sulit menerima ini, tapi itu tidak lebih baik darimu, karena kau akan hidup selamanya dalam penyesalan!" Aku mulai beranjak dari depan tokoku, lamat lamat lantunan ayat suci dari masjid agung terdengar sengau di telinga, hati ini makin tak karuan rasanya. "Iriana..." Lelaki itu menggapaikan tangannya tapi itu sudah tak sampai lagi. Aku mengabaikannya dan pergi membawa hatiku yang terluka. * Kulangkahkan kedua kakiku yang terbalut dengan sandal karet yang empuk, menyusuri deretan area pertokoan kecil dan kedai kopi di sepanjang jalannya. Tubuh dan pikiranku kacau tak terkira. Suamiku yang tiba-tiba datang bersama keluarga barunya, pembicaraan dengannya yang menyakitkan, serta tatapan matanya yang membangkitkan kenangan lama membuatku hampir gila. Aku tiba di rumah saat putriku baru saja menyelesaikan ibadah maghribnya, telekung berwarna putih tulang menutup rambut dan membungkus kecantikan kedua putriku yang diturunkan dari ayahnya. Ya, mata indah berwarna coklat muda milik Lita mirip sekali dengan mas Arham, bulu mata itu lentik dengan pola yang cantik. Kepribadian dan tata bahasanya sangat mirip dengan Mas Arham. Adapun Delia, Dia anak yang cerdas dan energik, seolah tak pernah kehabisan tenaga, kegiatan di sekolah sangat padat, anakku sangat berdedikasi pada usaha dan toko kue kami. Dia selalu punya ide baru dan pandai mendekorasi kue-kue cantik. Masya Allah, dalam perjuanganku yang pahit, Allah menguatkanku dengan dua orang putri yang luar biasa. "Bunda mau makan?" Lita langsung mendekat dan meraih tasku. "Tidak, Bunda mau mandi dan langsung salat saja." "Apa Bunda baik-baik saja?!" Delia yang masih duduk dengan Alquran di tangan membuatku tersentak. Aku paham betul maksud pembicaraan anakku, takut tanggapi dengan kata-kata aku hanya mengangguk perlahan lalu melangkah pelan menuju kamarku. "Bunda...." "Iya, Nak. Jangan mulai lagi ya, sudah tidak ingin membahas apapun," ujarku pada Delia yang menyusul ke kamar. "Ayah keterlaluan, dia bahagia di atas penderitaan kita dan aku tidak akan membiarkannya!" "Memangnya kita bisa apa, kita hanya semut di hadapan beruang, Anakku. Bila kita mengganggu keluarga ayahmu mungkin istrinya tak akan senang, dia akan menggugat dan menyakiti kita semua." "Apakah wanita itu tidak bisa merasakan penderitaan wanita lain!" "Peduli apa dia tentang Kita, dia orang kaya yang hidupnya sempurna. Orang kaya tak mau kebahagiaannya diganggu. Ia akan menyingkirkan kita dengan cara apapun," jawabku membuat putriku mendesah lemah. Tring! Dering ponsel menyentak pikiran dan menjeda percakapanku dengan putri sulungku. Dengan tangan gemetar, karena kegelisahan akibat pertemuan dengan Mas Arham, aku menggeser tombol hijau. "Halo." "Iriana! Aku masih ada di depan tokomu dan merenungi semua kesalahanku!" "Astaga kau dapat dari mana nomor ponselku! Kenapa kau meneror kehidupan dan membuatku tak nyaman!" "Ada ada nomor ponsel di banner tokomu jadi kugunakan itu untuk menghubungimu!" "Hentikan, Mas! Bagaimana kalau anak-anak yang mengangkatnya." "Maka itu akan lebih bagus lagi karena aku akan mengatakan yang sebenarnya!" Astaga, Tuhan, air mataku mulai berderai dengan deras, demi Allah aku tidak berharap ia kembali jika caranya seperti ini. Lelaki itu akan mengacaukan kehidupan kami.Musim hujan yang lebih cepat datang, menciptakan suasana tersendiri di setiap malamku. Tetesannya yang deras seolah tanpa henti membasahi kelopak bunga yang ada di balkon kamar. Aroma tanah dan daun-daun segar menciptakan kerinduan. Selalu kulalui malam demi malam dalam sepi di peraduan dingin ini. Aku sadar aku telah menghancurkan diriku sendiri. Kukira aku telah menambatkan cinta pada orang yang tepat. Saat dia pergi dengan janji-janjinya, di sanalah aku membangun cinta dan kepercayaan bahwa suatu saat kami akan kembali bersama dan hidup bahagia. Tak pernah terlintas dalam angan bahwa lelaki itu menipuku. Kupikir telah terjadi sesuatu padanya yang membuat dia tak bisa menghubungi, ada hal yang membuatnya tak bisa pulang, setiap malam aku gelisah dan selalu mengkhawatirkannya, ternyata dibalik kekhawatiranku dia telah berbahagia dalam lautan asmara bersama wanita lain. Jauh langkah yang membawa suamiku pergi, membuatnya berlabuh dalam pelukan wanita berkulit putih dengan tatapan t
Aku tiba di kedai setelah 15 menit berjalan kaki melewati paving blok dengan deretan tokoh-toko estetik di kanan dan kirinya. Kupercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang berharap bahwa lelaki berbantel hitam itu tidak mengikutiku.Saat membuka pintu kedai, lonceng kecil di pintu kaca berdenting, aroma vanilla dan coklat panggang yang tercampur di udara menciptakan suasana hangat di dalam cafe. Asistenku Kaila yang tengah memanggang kue menyapa diri ini dengan senyumnya yang ceria. Seperti biasa apron kotak-kotak pink mempercantik penampilannya. "Selamat pagi, Bu." "Pagi, Kaila. Aku senang melihatmu dan syukurlah kau sudah sembuh."Dua hari kemarin dia tak datang ke toko, cuaca dingin dan terkena hujan membuat asisten sekaligus wanita yang kuanggap adik itu menjadi sakit. "Alhamdulillah Bu, dua hari sakit membuatku rindu dengan toko ini, jujur saja, aku bosan di rumah."Aku tertawa kecil mendengarnya,"Tidak masalah kau habiskan waktu untuk istirahat. Lita dan Delia men
Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu. "Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi. "Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa."Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla y
Di luar sana simfoni kota terus berlanjut, deru mesin kendaraan berpadu dengan suara pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, suara klakson bis kota serta nyanyian pekak dari pemusik jalanan memenuhi udara. Di tengah hiruk pikuk itu aku masih membeku di dalam toko kue Delta, toko kue yang berhasil menafkahi dan membuat kami bertahan hidup. Aku masih di sini dan beradu pandang dengan pria yang jadi alasan mengapa aku mampu setia dalam penantianku selama dua belas tahun. Dia masih duduk dengan setelan mantel hitam dan kacamata persegi panjang, sementara aku terus menghabiskan energi untuk membuatnya pergi. Seharusnya aku mengabaikannya seperti komitmenku yang akan melupakan dan menganggap dia telah meninggal. Aku ingin memandangnya seperti seonggok batu atau sebatang kayu yang sia-sia, tapi, berkat kenangan masa lalu yang indah, percikan cinta itu tumbuh subur di hatiku.Aku seperti menyemaikan duri yang sejujurnya tak ingin tumbuh, sebab akhirnya semua itu akan menyakitiku. "
Tak kuasa mendengar pengusiran dan penolakan berulang ulang, pria itu akhirnya beranjak dari toko kueku. Ia tinggalkan 10 lembar uang merah di bawah cangkir kopi bekas minumnya, lalu berpamitan dengan suara yang lirih."Iriana aku pamit, namun aku tak akan menyerah padamu."Aku hanya memejamkan mata sambil membenamkan wajah diantara kedua tanganku. Sakit mendengarnya, dan seharusnya aku tak perlu mendengar itu. Aku baru menyadari ada banyak uang saat bayangan lelaki itu menghilang dengan sempurna. Ingin kukejar dan kukembalikan uangnya tapi aku tak tahu ia di mana."Wah, Bapak itu membayar 10 kali lipat dari harga kopi." Kayla mendekat dan melihat uang yang teronggok di atas meja, gadis muda itu meraihnya dan tertawa bahagia dengan uang satu juta untuk segelas cappucino yang seharusnya berharga Rp.27.000. "Katakan padaku.. apa ia sangat tergila-gila pada ibu, sampai mengejar ibu berkali-kali?""Tidak.""Lalu kenapa?""Kaila, aku tahu aku tak bisa menyembunyikan sesuatu terlalu lama.
Tak tahu berapa lama aku tenggelam dalam pelukan damai itu, sampai kusadari sesuatu bahwa apa yang kulakukan sudah tidak benar adanya. Aku melepaskan diri dengan canggung, selalu bersurut perlahan menjauh dari lelaki itu. Rindu dan malu bercampur menciptakan rasa panas di pipiku. "Kamu tak harus melepaskanku. Kamu berhak memelukku.""Tidak, Mas. Ini salah," balasku dengan tenggorokan dan bibir yang kering. Bukan cuma ragaku tapi jiwaku turut meranggas. Dua belas tahun tanpa sentuhan suami membuatku mati rasa. Saat lelaki itu tiba-tiba datang, aku merasa aneh. Aku ingin bersamanya tapi sadar dia sudah sulit untuk kugapai.*Derasnya hujan yang tumpah dari langit seakan tak terhentikan, petir sesekali menggelegar dengan pola rambatan halus menambah dramatis teater alam.Aku masih berada di emperan toko, berharap bahwa taksi yang kupesan segera datang. Rembesan air menggenangi jalan, pengunjung yang tadinya berlalu lalang di sekitar pasar mulai berteduh dan membuat trotoar sedikit le
Perlahan hujan mereda meninggalkan aroma tanah, sedikit gerimis masih menari di udara tapi itu tak mengapa. Matahari mengintip dari celah awan membuat situasi seketika benderang. Orang-orang kembali sibuk melanjutkan kegiatan, termasuk aku yang akan beranjak pergi membawa sisa barang-barang. Tukang becak kembali mengayuh becaknya. Pedagang kaki lima menggelar lapak serta anak jalanan yang menjual tisu berhamburan ke lampu merah. "Eh, Mbak, kamu yang pemilik toko kue kemarin ya?" Sewaktu mau melangkah pergi wanita itu menahanku"Iya." Aku menjawab tanpa menatap matanya. "Ya ampun, senang bertemu denganmu. Kue yang dibawakan suamiku Untuk mamaku sangat enak sekali. Akan memintaku untuk membeli lagi."Dia bercerita dengan antusias sambil menghampiri dan memaksa tatapan kami beradu.Ah...malas sekali. "Terima kasih atas apresiasinya.""Sama sama, tapi bolehkah saya minta kontak Anda," tanya wanita yang dikuncir kuda itu. "Oh, tentu, tapi... saya baru saja kehilangan ponsel saya."
Malam merangkak dengan keheningan yang memeluk bumi. Di bawah jendela aku duduk di kursi sendirian, sambil memikirkan yang terjadi sore tadi tatapanku menerawang ke langit. Di sana, rembulan bersinar lembut memancarkan cahaya perak, menembus awan kelabu yang menggantung rendah. Ah, hatiku hampa. Masih terbayang bagaimana Mas Arham memeluk Mariana, mendaratkan kecupan mesra saat kedua mata mereka bertautan dan senyum di bibir mereka mengulas garis yang sama. Teringat olehku bagaimana tatapan mata lembut Mas Arham kepada istrinya, hatiku sungguh terluka. Bahkan ingatan tentang mereka berdua lebih mendominasi akalku dibandingkan perampokan yang kuhadapi sore tadi.Mungkin saja saja kejadian itu aku menjadi melankonis, terlalu sering menangis dan terkesan cengeng. Sebenarnya itu bukan diriku, episode tangis menangis dan kesedihan dramatis telah berlalu 12 tahun yang lalu, di tahun-tahun pertama kehilangan lelaki itu. Mestinya sekarang, kunikmati hari-hari bahagia bersama kedua putrik
Melihat mereka saling menerima kembali, ada keharuan yang membasahi sudut mata ini, aku ikhlas dan bahagia untuk mereka. Bahagia melihat mereka bahagia. "Alhamdulillah, kalian sudah saling menerima kembali, Kalau begitu akan kubiarkan keadaan bicara dan aku berpamitan.""Mau ke mana Mbak?" Tanya Mariana."Aku harus kembali ke toko," jawabku sambil mengangguk tulus padanya. "Tapi, mbak ga bisa pulang sendirian, kami harus mengantar mba," ujar Mariana."Tidak usah." Aku menggeleng sambil mengisyaratkan kedua tanganku agar mereka tetap bersama di tempat itu."Tapi Mbak mau pulang dengan siapa?""Denganku!" Suara berat di belakangku menyadarkan bahwa yang datang adalah Mas Arkan. Pria tampan dengan jas marun dan sapu tangan biru yang terselip indah di dada kirinya membuat pria itu terlihat tampan dan keren.Ya, langkahnya, gestur kedatangannya, dan cara dia membuka kacamata hitamnya itu membuat semua orang terpana. "Pak Arkan," ujar Mas arham menyapa lelaki itu dengan senyum hangat da
Aku ceritakan pada anak-anak bahwa semalam aku bicara pada ayah mereka, di meja makan saat kami sarapan pagi, kedua putriku terdengar menyimak semua cerita yang kuutarakan. "Apa Ayah bisa menerima dengan baik semua perkataan Bunda?""Iya, sepertinya pikirannya sedang jernih, jadi aku bisa masuk ke alam bawah sadar dan memberinya afirmasi bahwa dia harus kembali pada keluarganya." "Apa Bunda berhasil?""Bunda rasa Ayahmu mulai terpengaruh dan mau tergerak untuk menemui istrinya.""Sebenarnya ini bukan tugas kita untuk bersikap sejauh itu, tapi kita melakukannya karena kepedulian. Apa kalian setuju?" tanyaku pada anak-anak. "Ya, kami setuju Bunda."*Anak-anak telah berangkat ke kampus dan sekolahnya saat masa Arham tiba-tiba mengirimkan pesan padaku dan memintaku untuk menemaninya menemui Mariana. (Aku tahu ini canggung tapi hanya kau yang bisa kuandalkan untuk menengahi kami.)Aku terdiam sambil membaca pesan tersebut, agak ragu perasaanku karena aku tidak ingin mengambil langkah
Senja menyapa kota ini dengan langit jingga yang memudar meninggalkan jejak warna jingga di cakrawala. Aku terduduk di teras rumahku sambil menatap gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dari kejauhan. Di antara semua gedung itu ada gedung Mariana dan tempat yang dulu dikelola Mas Arham dengan begitu bangganya. Karirnya bagus sebagai direktur, hubungan dengan keluarga istrinya juga baik karena secara teknis ia suami yang sempurna. Beberapa bulan lalu ia sangat bangga berada di sana, menghabiskan sebagian besar waktu untuk mencurahkan pikiran dan ide-ide dalam bisnis, tapi kini semuanya tertinggal dalam kesunyian.Pikiranku tenggelam membayangkan apa yang terjadi antara Mariana dan Mas Arham, dia yang selalu terobsesi untuk kembali padaku dan kecemburuan Mariana telah memicu pertengkaran hebat dan perpisahan di antara mereka. Mungkin Mas arham merasa seperti terdampar di Pulau terpencil, sendirian tak memiliki siapapun. Tak ada kawan atau keluarga yang bisa diajak untuk mencura
Angin berhembus dengan sejuk di antara siang menjelang sore. Berbincang dengan Mas Arkan sampai 3 jam lamanya sama sekali tidak terasa seakan baru lima menit berlalu. Karena aku harus menutup toko, maka aku mau minta beliau untuk mengantarku kembali ke cafe delta. Kami meluncur dengan mobil BMW milik Mas Arkan. Menyusuri jalanan kota yang terasa mulai sesak di sore hari, juga terik matahari yang langsung jatuh ke kaca depan mobil. Begitu berhenti di lampu merah yang di sebelah kirinya ada toko ritel aku terkejut dengan seseorang yang sedang duduk di bangku depan toko tersebut. Aku berusaha menajamkan pandangan mata padahal lelaki yang menggunakan celana jeans sobek di bagian lutut, baju kaos hitam dan topi., cambangnya nampak lebat, mungkin lebih bagus disebut jenggot. Dia duduk dengan sebotol kopi kemasan. Dia Mas Arham.Tatapannya kosong, duduk sambil menatap lalu lalang orang di jalanan, Dia terlihat sedih dan sesekali meneguk kopi dari botol tersebut. Melihatku ada di dalam semu
Jadi apa yang kudapatkan dalam dua belas tahun penantianku? Mungkin aku tidak cukup beruntung dengan cinta, tapi aku mendapatkan modal dan toko baru. Aku telah mengamankan masa depan anak anak dan memastikan mereka kuliah di tempat terbaik yang mereka inginkan. Dan ya, untung saja aku berkonflik dengan Mas Arham, andai kami tidak bertengkar di showroom mungkin aku tak akan bertemu dengan Mas Arkan yang istimewa, lelaki yang telah memberiku alasan baru untuk tersenyum dan lebih kuat menjalani segalanya. Karena perannya juga, aku berani mengambil keputusan untuk membuka cabang dan berspekulasi dengan keberuntunganku. Nyatanya, aku hanya butuh dorongan karena keraguan terbesarku selama ini hanya takut merugi.Cabang baru berkembang dengan pesat, Kaila mengelolanya dengan baik, sedang aku dan anak anak fokus pada toko delta di saint Maria. Popularitas toko dan testimoni kelezatan melejit membuat pesanan menumpuk dan pelanggan yang tak pernah sepi. Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan
Jadi apa yang kudapatkan dalam dua belas tahun penantianku? Mungkin aku tidak cukup beruntung dengan cinta, tapi aku mendapatkan modal dan toko baru. Aku telah mengamankan masa depan anak anak dan memastikan mereka kuliah di tempat terbaik yang mereka inginkan. Dan ya, untung saja aku berkonflik dengan Mas Arham, andai kami tidak bertengkar di showroom mungkin aku tak akan bertemu dengan Mas Arkan yang istimewa, lelaki yang telah memberiku alasan baru untuk tersenyum dan lebih kuat menjalani segalanya. Karena perannya juga, aku berani mengambil keputusan untuk membuka cabang dan berspekulasi dengan keberuntunganku. Nyatanya, aku hanya butuh dorongan karena keraguan terbesarku selama ini hanya takut merugi.Cabang baru berkembang dengan pesat, Kaila mengelolanya dengan baik, sedang aku dan anak anak fokus pada toko delta di saint Maria. Popularitas toko dan testimoni kelezatan melejit membuat pesanan menumpuk dan pelanggan yang tak pernah sepi. Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan
Mustahil dia adalah inspirasiku, inspirasi sesungguhnya adalah dendam dan luka di hatiku. Aku tidak mau kemurungan menghancurkan hidupku jadi kepedihan yang ada akan kuubah sebagai cambuk yang akan membuatku melejit jauh ke atas dan membuatnya menyesal menyakitiku. Aku tidak membalas pesannya, sekalipun dia mengirimkan spam chat sampai puluhan jumlahnya. Dia bilang dia mencintaiku, dia mohon agar aku memaafkannya. Juga dia bilang bahwa hubunganku dan Mas Arkan tidak ada pengaruhnya untuk dia, dia mau bersaing dengan sehat pada lelaki itu. Konyol sekali. Idiot!"Aku yakin kau belum tidur karena centangnya sudah biru." "Aku terbangun karena denting ponselku. Kau telah mengganggu tidurku," balasku."Dengar sayangku, aku akan memaafkan perbuatan Tuan Arkan dan bagaimana sikap kau dan anak-anak. Aku mau berlapang dada dan bersabar. semoga itu membuatmu paham bahwa aku benar-benar masih menyayangi kalian.""Omong kosong itu... Sudah ratusan kali aku mendengarnya dan aku tidak tertarik me
Mas Arham bergeming begitu kening yang mendapatkan tinjuan yang sangat keras. Dia terkapar di paving lokasi parkir depan toko Delta. Orang-orang memandang kejadian diantara kami dengan decak terkejut dan komentar mereka mulai riuh.Anak-anak dan Kayla yang tadinya sibuk melayani pelanggan akhirnya juga ikut keluar dan menyaksikan semua itu."Anak-anak maafkan kami, maaf karena kalian harus melihat ini semua," ucap Mas Arkan pada Delia."Nggak apa-apa Om beliau memang harus diberikan pengertian," jawab Delia sambil memeluk nampan di tangannya.Mas Arkan terkulai dan berusaha bangkit tapi kurasa kepalanya sakit, kondangannya berkunang-kunang dan pukulan telak itu mungkin nyaris mengambil kesadaran dan membuatnya hampir pingsan."Apa yang terjadi sebenarnya?" ucap seorang wanita yang sudah lama kenal denganku dia nyonya Telia, pemilik toko pakan kucing di seberang jalan."Tidak ada, Bu. Lelaki yang sudah bercerai denganku kini terus datang dan memberikan terornya.""Astaga, kuharap sekar
Matahari menjulang di langit dengan terik yang terasa nyata di kulit. Aku berjalan perlahan menuruni puluhan anak tangga dari gedung pengadilan agama. Akta perceraian yang kugenggam di tangan menjadi bukti dan titik balik bahwa sekarang aku telah menyandang status sendirian. Aku janda dan aku harus melawan stigma.Mulai sekarang aku akan berjuang sendirian tanpa keyakinan dan penegak jiwa bahwa aku memiliki suami. Orang yang kucintai dan kutunggu selalu bertahun-tahun ternyata bukan jodohku, bukan sama sekali.Sekarang langkah kaki terasa ringan meski hati sedikit sedih. Kutegarkan perasaanku sambil berdoa dan bertekad pada diri sendiri bahwa aku akan kuat menjalani hidupku. P*"Apa semuanya lancar Bu?""Akta cerai mana!""Di tasku.""Ibu tidak ketemu Pak Arham kan?""Dia bisa ambil akta cerainya sendiri.""Oh, syukurlah semuanya sudah selesai.""Ya, dan hakim juga memutuskan perintah untuk menjaga jarak. Mas Arham tidak akan mendekati Kita selamanya.""Syukurlah Bu, tinggal jalani s