"Tolong jangan katakan ini pada adikmu. Dia pasti akan syok sekali."
Aku menyentuh bahu putriku dengan lembut, berusaha membujuknya agar dia memahami bahwa yang sekarang situasi yang tidak tepat untuk menceritakan segalanya. "Kenapa Bunda diam saja, kenapa Bunda tidak marah dan mengungkapkan yang sebenarnya pada wanita itu." "Sayang, tidak baik merusak kebahagiaan orang lain hanya karena kita menderita. Kesengsaraan kita bukan tanggung jawab wanita itu." "Tapi ayah membohongi dan meninggalkan kita demi dia!" Anakku bicara dengan tatapan mata berapi. "Belum tentu, kita tidak bisa menghakimi seperti itu karena kita tidak tahu apa yang terjadi. Sudah Nak, Bunda mohon agar kamu bisa menyimpan semua ini sementara. Bisa ya." Aku membujuk sambil menggenggam tangannya, anakku hanya membuang nafasnya dengan kasar. "Terserah bunda saja, tapi aku benar-benar sakit hati," jawab Delia sambil menghempaskan celemeknya di atas meja etalase. Putriku merajuk dan segera kembali ke dapur untuk mengambil tas dan kunci motornya. "Ayo pulang," serunya pada Lita. "Ya Kak, aku matikan oven dulu dan bersihkan piring ini." "Biar Bunda saja yang selesaikan, kita harus kembali ke rumah dan belajar. Ayo!" "Kakak kenapa sih?"Lita heran dengan perubahan kakaknya yang terlihat begitu tegas dan serius, tapi anak bungsuku itu tidak banyak bicara, ia selesaikan meletakkan kue ke dalam toples, lalu mematikan oven dan bergegas pergi. "Bunda, kami pulang dulu. Bunda tak apa 'kan menyelesaikan sisanya dan menutup toko." "Iya, Its ok. Kalian memang harus menyelesaikan tugas-tugas sekolah kalian dan itu harus diprioritaskan." "Terima kasih Bunda." Untuk di kedua kalinya di sore penuh kesyahduan ini, aku menerima ciuman penuh kasih sayang darinya. Senja menyapa dengan matahari yang mulai kembali ke peraduannya, hujan berhenti dengan sempurna tapi genangan air masih ada di sepanjang jalan pertokoan yang tak jauh dari rumah kami. Putriku hanya cukup jalan satu blok melewati deretan toko bunga dan kedai kedai kopi, berbelok ke kiri lalu masuk lorong dan sampailah di rumah kecil kami. * Udara dingin masih menusuk seakan pakaian tebal yang kukenakan tidak berguna sama sekali, angin yang berhembus dari jendela yang ada di depan wastafel membuat tanganku menggigil. Kulanjutkan pekerjaanku dengan membersihkan etalase, lalu mengepel ruangan. Kulkas pendingin dan lemari kue kering sudah kukunci agar debu dan hewan-hewan kecil tak masuk ke sana, termasuk semut. Setelah semuanya usai aku bersiap untuk menutup toko dan kembali ke rumah, tubuh yang penat, badan yang demam karena meriang, serta pikiran kacau akibat pertemuan tak terduga dengan Mas Arham semakin memberatkan beban yang ada. Kukenakan kerudung lalu meraih payung yang ada di sudut ruangan. Aku keluar dari toko dan berusaha menggapai rolling door yang cukup tinggi dibandingkan dengan badanku yang mungil. Aku ingin segera menguncinya dan pulang ke rumah, kembali ke tempat tidurku dan merentangkan tulang punggungku yang sakit, usia dan stress menggerus kesehatanku. Berkali-kali aku menggapainya tapi terus saja gagal, membuatku kesal sendiri. "Ya Tuhan, apa lagi ini, aku lelah sekali!" "Aku saja yang turunkan untukmu!" Tiba-tiba sepasang tangan kekar meraih rolling door itu dan membantuku menurunkannya, aroma parfum yang keluar dari jas berwarna coklat dan kehadiran lelaki berkacamata itu membuatku tercengang. Ada apa dia kembali lagi ke toko, apa dia belum puas meninggalkan jejak luka di hatiku ataukah dia sengaja melakukan ini untuk menambah penderitaan yang sudah ada. "Kenapa kau kembali? Apa kau ingin mengacaukan hidupku dan menimbulkan fitnah diantara orang-orang yang ada di sini?!" "Iriana... aku kembali karena hatiku gelisah. Bayang-bayang matamu yang penuh kesedihan menimbulkan sembilu dan perasaan pilu di hatiku. Izinkan aku untuk bicara padamu!" "Tidak, Mas, demi Allah. Aku tak kuasa lagi, tolong pergilah." Aku membalikkan badan dan melanjutkan menggembok pintu rolling. "Aku tidak lama di kota ini... kebetulan kami mampir hendak bermalam." "Aku tidak meminta informasi itu dan aku tidak mau tahu! Jangan ceritakan apapun aku tak mau dengar!" Aku bisa merasakan netraku mulai sakit oleh sensasi panas yang kutahan, aku tidak ingin air mata itu berlinang lagi di hadapannya. Aku tidak ingin menunjukkan kerapuhan dan kelemahanku, serta tak ingin menunjukkan bahwa setelah kepergiannya, hidupku amat nelangsa. "Iriana... Aku tahu dosaku tak termaafkan, kekhilafan membutakan mata hatiku dan membuatku melupakan keluarga. Sejujurnya bertahun-tahun aku hidup dan rasa bersalah dan merindukan kalian." "Cukup Mas! Untuk apa mengungkapkan rindu pada wanita yang sudah kau tinggalkan. Bila hidupmu lebih bahagia maka bersyukurlah dengan apa yang kau miliki, tidak usah kembali ke belakang, kami tertinggal dari derajat dan kehormatanmu yang menanjak!" Tak terbendung lagi, mutiara bening yang sejak tadi menggenangi pelupuk mata bobol begitu saja meleleh membasahi pipiku. Lelaki itu memejamkan mata menahan ucapanku yang menyakitkan, dia berusaha menggelengkan kepalanya dan meraih bahuku tapi aku bersurut dan menegaskan jarakku darinya. "Jangan dekati aku, tidak ada kata berpisah di antara kita yang mungkin akan membuatmu leluasa, tapi aku tak sudi!" "Aku merasa sangat bersalah Ariana, terlebih saat melihat mata putriku. Aku sungguh Ayah yang buruk." "Baguslah jika kau menyadarinya. Sekarang biarkan aku pulang, aku lelah sekali." "Tolong, jangan pergi dulu, hatiku gelisah tanpa pengampunan darimu." "Jangan bicara begitu... Berhentilah minta maaf karena tak sekali-kali Aku akan memaafkanmu. Aku akan menganggapmu mati dan melupakanmu. Aku akan mengubur semua cinta dan penantian lalu membakar harapanku yang sia sia. Aku mungkin sulit menerima ini, tapi itu tidak lebih baik darimu, karena kau akan hidup selamanya dalam penyesalan!" Aku mulai beranjak dari depan tokoku, lamat lamat lantunan ayat suci dari masjid agung terdengar sengau di telinga, hati ini makin tak karuan rasanya. "Iriana..." Lelaki itu menggapaikan tangannya tapi itu sudah tak sampai lagi. Aku mengabaikannya dan pergi membawa hatiku yang terluka. * Kulangkahkan kedua kakiku yang terbalut dengan sandal karet yang empuk, menyusuri deretan area pertokoan kecil dan kedai kopi di sepanjang jalannya. Tubuh dan pikiranku kacau tak terkira. Suamiku yang tiba-tiba datang bersama keluarga barunya, pembicaraan dengannya yang menyakitkan, serta tatapan matanya yang membangkitkan kenangan lama membuatku hampir gila. Aku tiba di rumah saat putriku baru saja menyelesaikan ibadah maghribnya, telekung berwarna putih tulang menutup rambut dan membungkus kecantikan kedua putriku yang diturunkan dari ayahnya. Ya, mata indah berwarna coklat muda milik Lita mirip sekali dengan mas Arham, bulu mata itu lentik dengan pola yang cantik. Kepribadian dan tata bahasanya sangat mirip dengan Mas Arham. Adapun Delia, Dia anak yang cerdas dan energik, seolah tak pernah kehabisan tenaga, kegiatan di sekolah sangat padat, anakku sangat berdedikasi pada usaha dan toko kue kami. Dia selalu punya ide baru dan pandai mendekorasi kue-kue cantik. Masya Allah, dalam perjuanganku yang pahit, Allah menguatkanku dengan dua orang putri yang luar biasa. "Bunda mau makan?" Lita langsung mendekat dan meraih tasku. "Tidak, Bunda mau mandi dan langsung salat saja." "Apa Bunda baik-baik saja?!" Delia yang masih duduk dengan Alquran di tangan membuatku tersentak. Aku paham betul maksud pembicaraan anakku, takut tanggapi dengan kata-kata aku hanya mengangguk perlahan lalu melangkah pelan menuju kamarku. "Bunda...." "Iya, Nak. Jangan mulai lagi ya, sudah tidak ingin membahas apapun," ujarku pada Delia yang menyusul ke kamar. "Ayah keterlaluan, dia bahagia di atas penderitaan kita dan aku tidak akan membiarkannya!" "Memangnya kita bisa apa, kita hanya semut di hadapan beruang, Anakku. Bila kita mengganggu keluarga ayahmu mungkin istrinya tak akan senang, dia akan menggugat dan menyakiti kita semua." "Apakah wanita itu tidak bisa merasakan penderitaan wanita lain!" "Peduli apa dia tentang Kita, dia orang kaya yang hidupnya sempurna. Orang kaya tak mau kebahagiaannya diganggu. Ia akan menyingkirkan kita dengan cara apapun," jawabku membuat putriku mendesah lemah. Tring! Dering ponsel menyentak pikiran dan menjeda percakapanku dengan putri sulungku. Dengan tangan gemetar, karena kegelisahan akibat pertemuan dengan Mas Arham, aku menggeser tombol hijau. "Halo." "Iriana! Aku masih ada di depan tokomu dan merenungi semua kesalahanku!" "Astaga kau dapat dari mana nomor ponselku! Kenapa kau meneror kehidupan dan membuatku tak nyaman!" "Ada ada nomor ponsel di banner tokomu jadi kugunakan itu untuk menghubungimu!" "Hentikan, Mas! Bagaimana kalau anak-anak yang mengangkatnya." "Maka itu akan lebih bagus lagi karena aku akan mengatakan yang sebenarnya!" Astaga, Tuhan, air mataku mulai berderai dengan deras, demi Allah aku tidak berharap ia kembali jika caranya seperti ini. Lelaki itu akan mengacaukan kehidupan kami.Musim hujan yang lebih cepat datang, menciptakan suasana tersendiri di setiap malamku. Tetesannya yang deras seolah tanpa henti membasahi kelopak bunga yang ada di balkon kamar. Aroma tanah dan daun-daun segar menciptakan kerinduan. Selalu kulalui malam demi malam dalam sepi di peraduan dingin ini. Aku sadar aku telah menghancurkan diriku sendiri. Kukira aku telah menambatkan cinta pada orang yang tepat. Saat dia pergi dengan janji-janjinya, di sanalah aku membangun cinta dan kepercayaan bahwa suatu saat kami akan kembali bersama dan hidup bahagia. Tak pernah terlintas dalam angan bahwa lelaki itu menipuku. Kupikir telah terjadi sesuatu padanya yang membuat dia tak bisa menghubungi, ada hal yang membuatnya tak bisa pulang, setiap malam aku gelisah dan selalu mengkhawatirkannya, ternyata dibalik kekhawatiranku dia telah berbahagia dalam lautan asmara bersama wanita lain. Jauh langkah yang membawa suamiku pergi, membuatnya berlabuh dalam pelukan wanita berkulit putih dengan tatapan t
Aku tiba di kedai setelah 15 menit berjalan kaki melewati paving blok dengan deretan tokoh-toko estetik di kanan dan kirinya. Kupercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang berharap bahwa lelaki berbantel hitam itu tidak mengikutiku.Saat membuka pintu kedai, lonceng kecil di pintu kaca berdenting, aroma vanilla dan coklat panggang yang tercampur di udara menciptakan suasana hangat di dalam cafe. Asistenku Kaila yang tengah memanggang kue menyapa diri ini dengan senyumnya yang ceria. Seperti biasa apron kotak-kotak pink mempercantik penampilannya. "Selamat pagi, Bu." "Pagi, Kaila. Aku senang melihatmu dan syukurlah kau sudah sembuh."Dua hari kemarin dia tak datang ke toko, cuaca dingin dan terkena hujan membuat asisten sekaligus wanita yang kuanggap adik itu menjadi sakit. "Alhamdulillah Bu, dua hari sakit membuatku rindu dengan toko ini, jujur saja, aku bosan di rumah."Aku tertawa kecil mendengarnya,"Tidak masalah kau habiskan waktu untuk istirahat. Lita dan Delia men
Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu. "Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi. "Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa."Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla y
Suamiku ... kemana kau menghilang meninggalkanku di tengah kejamnya dunia. Bahuku terlalu rapuh untuk mengumpulkan kepingan hati dan memeluk anak-anak kita. Tidak ingatkah kau padaku dan binar mata buah hati kita setiap kali berjumpa denganmu?** Oktober, 2024Hujan mengguyur kota dengan deras membasahi seluruh sudut jalan dan gedung-gedung sekitar toko kami. Sejak pagi mendung yang menggelayut di awan tak beranjak agar sinar matahari dapat mengeringkan kaca toko sehingga kue-kue yang kugelar di etalase bisa terlihat jelas. Angin berhembus dengan kencang menampar-nampar jendela toko yang telah berdiri selama 10 tahun terakhir, toko kue Delta, gabungan nama kedua anakku, Delia dan Lita. Kucoba memperbaiki kancing sweater dan syalku agar udara dingin tidak membuatku masuk angin, semalam aku demam jadi keadaanku tak begitu baik hari ini. Mungkin karena hujan jadi orang-orang enggan berlama-lama di luar rumah. Di dapur, putriku dan adiknya yang duduk di kelas 3 SMP sedang sibuk meman
Bersama kedatangan pria yang telah 12 tahun menghilang, gerimis perlahan berhenti meninggalkan jejak warna jingga pucat yang memudar di langit. Aku masih berdiri tak jauh dari meja kasir, membeku menatap kedatangan suamiku bersama keluarga barunya. Wanita yang digandengnya, ah, sungguh cantiknya. Penampilannya sangat elegan dengan gaun emerald selutut, rambutnya tertata rapi dengan anting berlian memperindah penampilannya. "Si-si-silakan duduk." Mendadak tenggorokan ini tercekat, lidah ini keluh untuk pura-pura ramah dan menyapa mereka, entah kenapa aku tak menemukan satu kata-kata yang akan ku gunakan untuk bersikap formal. Saat tatapanku beradu dengan Mas Arham binar mata dan senyum kebahagiaan untuk istri dan anak-anaknya tiba-tiba menghilang, tatapan matanya redup ke arahku, seakan ada makna tersirat berupa penyesalan atau mungkin keterkejutan. "Apa di sini menjual tiramisu?" tanya pasangan Mas Arham."Be-benar, Nyonya," balasku tanpa ekspresi, aku ingin tersenyum dan bersikap
MARI MERAPAT, INI CERITA YANG INDAH. Jangan lupa untuk like subscribe dan share. ❤️❤️Rinai hujan di luar toko telah berhenti, meninggalkan jejak genangan air dan aroma tanah basah yang segar. Perlahan awan kelabu menunjukkan mentari sore yang mulai redup, langit indah, dengan semburat kemerahan seperti bara api yang mulai padam. Aku udah mau sekarang masih berdiri dengan tatapan mata yang lekat satu sama lain, netra kami bertemu dalam keadaan saling meneteskan air mata. "Kau belum dengar penjelasanku, sebelum kau menghakimiku." Lelaki itu masih memegangi pipinya yang merah bekas gambar tanganku. Mendengarnya berusaha menahanku langkahku terhenti, entah ingin membela diri ataukah cari pembenaran, tapi aku tak habis pikir penjelasan apa yang akan dia utarakan agar aku berhenti menyalahkan dan menilainya jahat. Pergi selama 12 tahun tanpa kabar, lalu tiba-tiba muncul dengan wanita lain, kira-kira apa yang akan orang lain pikirkan? Haruskah aku berpikir bahwa suamiku telah diculik la