"Tolong jangan katakan ini pada adikmu. Dia pasti akan syok sekali."
Aku menyentuh bahu putriku dengan lembut, berusaha membujuknya agar dia memahami bahwa yang sekarang situasi yang tidak tepat untuk menceritakan segalanya. "Kenapa Bunda diam saja, kenapa Bunda tidak marah dan mengungkapkan yang sebenarnya pada wanita itu." "Sayang, tidak baik merusak kebahagiaan orang lain hanya karena kita menderita. Kesengsaraan kita bukan tanggung jawab wanita itu." "Tapi ayah membohongi dan meninggalkan kita demi dia!" Anakku bicara dengan tatapan mata berapi. "Belum tentu, kita tidak bisa menghakimi seperti itu karena kita tidak tahu apa yang terjadi. Sudah Nak, Bunda mohon agar kamu bisa menyimpan semua ini sementara. Bisa ya." Aku membujuk sambil menggenggam tangannya, anakku hanya membuang nafasnya dengan kasar. "Terserah bunda saja, tapi aku benar-benar sakit hati," jawab Delia sambil menghempaskan celemeknya di atas meja etalase. Putriku merajuk dan segera kembali ke dapur untuk mengambil tas dan kunci motornya. "Ayo pulang," serunya pada Lita. "Ya Kak, aku matikan oven dulu dan bersihkan piring ini." "Biar Bunda saja yang selesaikan, kita harus kembali ke rumah dan belajar. Ayo!" "Kakak kenapa sih?"Lita heran dengan perubahan kakaknya yang terlihat begitu tegas dan serius, tapi anak bungsuku itu tidak banyak bicara, ia selesaikan meletakkan kue ke dalam toples, lalu mematikan oven dan bergegas pergi. "Bunda, kami pulang dulu. Bunda tak apa 'kan menyelesaikan sisanya dan menutup toko." "Iya, Its ok. Kalian memang harus menyelesaikan tugas-tugas sekolah kalian dan itu harus diprioritaskan." "Terima kasih Bunda." Untuk di kedua kalinya di sore penuh kesyahduan ini, aku menerima ciuman penuh kasih sayang darinya. Senja menyapa dengan matahari yang mulai kembali ke peraduannya, hujan berhenti dengan sempurna tapi genangan air masih ada di sepanjang jalan pertokoan yang tak jauh dari rumah kami. Putriku hanya cukup jalan satu blok melewati deretan toko bunga dan kedai kedai kopi, berbelok ke kiri lalu masuk lorong dan sampailah di rumah kecil kami. * Udara dingin masih menusuk seakan pakaian tebal yang kukenakan tidak berguna sama sekali, angin yang berhembus dari jendela yang ada di depan wastafel membuat tanganku menggigil. Kulanjutkan pekerjaanku dengan membersihkan etalase, lalu mengepel ruangan. Kulkas pendingin dan lemari kue kering sudah kukunci agar debu dan hewan-hewan kecil tak masuk ke sana, termasuk semut. Setelah semuanya usai aku bersiap untuk menutup toko dan kembali ke rumah, tubuh yang penat, badan yang demam karena meriang, serta pikiran kacau akibat pertemuan tak terduga dengan Mas Arham semakin memberatkan beban yang ada. Kukenakan kerudung lalu meraih payung yang ada di sudut ruangan. Aku keluar dari toko dan berusaha menggapai rolling door yang cukup tinggi dibandingkan dengan badanku yang mungil. Aku ingin segera menguncinya dan pulang ke rumah, kembali ke tempat tidurku dan merentangkan tulang punggungku yang sakit, usia dan stress menggerus kesehatanku. Berkali-kali aku menggapainya tapi terus saja gagal, membuatku kesal sendiri. "Ya Tuhan, apa lagi ini, aku lelah sekali!" "Aku saja yang turunkan untukmu!" Tiba-tiba sepasang tangan kekar meraih rolling door itu dan membantuku menurunkannya, aroma parfum yang keluar dari jas berwarna coklat dan kehadiran lelaki berkacamata itu membuatku tercengang. Ada apa dia kembali lagi ke toko, apa dia belum puas meninggalkan jejak luka di hatiku ataukah dia sengaja melakukan ini untuk menambah penderitaan yang sudah ada. "Kenapa kau kembali? Apa kau ingin mengacaukan hidupku dan menimbulkan fitnah diantara orang-orang yang ada di sini?!" "Iriana... aku kembali karena hatiku gelisah. Bayang-bayang matamu yang penuh kesedihan menimbulkan sembilu dan perasaan pilu di hatiku. Izinkan aku untuk bicara padamu!" "Tidak, Mas, demi Allah. Aku tak kuasa lagi, tolong pergilah." Aku membalikkan badan dan melanjutkan menggembok pintu rolling. "Aku tidak lama di kota ini... kebetulan kami mampir hendak bermalam." "Aku tidak meminta informasi itu dan aku tidak mau tahu! Jangan ceritakan apapun aku tak mau dengar!" Aku bisa merasakan netraku mulai sakit oleh sensasi panas yang kutahan, aku tidak ingin air mata itu berlinang lagi di hadapannya. Aku tidak ingin menunjukkan kerapuhan dan kelemahanku, serta tak ingin menunjukkan bahwa setelah kepergiannya, hidupku amat nelangsa. "Iriana... Aku tahu dosaku tak termaafkan, kekhilafan membutakan mata hatiku dan membuatku melupakan keluarga. Sejujurnya bertahun-tahun aku hidup dan rasa bersalah dan merindukan kalian." "Cukup Mas! Untuk apa mengungkapkan rindu pada wanita yang sudah kau tinggalkan. Bila hidupmu lebih bahagia maka bersyukurlah dengan apa yang kau miliki, tidak usah kembali ke belakang, kami tertinggal dari derajat dan kehormatanmu yang menanjak!" Tak terbendung lagi, mutiara bening yang sejak tadi menggenangi pelupuk mata bobol begitu saja meleleh membasahi pipiku. Lelaki itu memejamkan mata menahan ucapanku yang menyakitkan, dia berusaha menggelengkan kepalanya dan meraih bahuku tapi aku bersurut dan menegaskan jarakku darinya. "Jangan dekati aku, tidak ada kata berpisah di antara kita yang mungkin akan membuatmu leluasa, tapi aku tak sudi!" "Aku merasa sangat bersalah Ariana, terlebih saat melihat mata putriku. Aku sungguh Ayah yang buruk." "Baguslah jika kau menyadarinya. Sekarang biarkan aku pulang, aku lelah sekali." "Tolong, jangan pergi dulu, hatiku gelisah tanpa pengampunan darimu." "Jangan bicara begitu... Berhentilah minta maaf karena tak sekali-kali Aku akan memaafkanmu. Aku akan menganggapmu mati dan melupakanmu. Aku akan mengubur semua cinta dan penantian lalu membakar harapanku yang sia sia. Aku mungkin sulit menerima ini, tapi itu tidak lebih baik darimu, karena kau akan hidup selamanya dalam penyesalan!" Aku mulai beranjak dari depan tokoku, lamat lamat lantunan ayat suci dari masjid agung terdengar sengau di telinga, hati ini makin tak karuan rasanya. "Iriana..." Lelaki itu menggapaikan tangannya tapi itu sudah tak sampai lagi. Aku mengabaikannya dan pergi membawa hatiku yang terluka. * Kulangkahkan kedua kakiku yang terbalut dengan sandal karet yang empuk, menyusuri deretan area pertokoan kecil dan kedai kopi di sepanjang jalannya. Tubuh dan pikiranku kacau tak terkira. Suamiku yang tiba-tiba datang bersama keluarga barunya, pembicaraan dengannya yang menyakitkan, serta tatapan matanya yang membangkitkan kenangan lama membuatku hampir gila. Aku tiba di rumah saat putriku baru saja menyelesaikan ibadah maghribnya, telekung berwarna putih tulang menutup rambut dan membungkus kecantikan kedua putriku yang diturunkan dari ayahnya. Ya, mata indah berwarna coklat muda milik Lita mirip sekali dengan mas Arham, bulu mata itu lentik dengan pola yang cantik. Kepribadian dan tata bahasanya sangat mirip dengan Mas Arham. Adapun Delia, Dia anak yang cerdas dan energik, seolah tak pernah kehabisan tenaga, kegiatan di sekolah sangat padat, anakku sangat berdedikasi pada usaha dan toko kue kami. Dia selalu punya ide baru dan pandai mendekorasi kue-kue cantik. Masya Allah, dalam perjuanganku yang pahit, Allah menguatkanku dengan dua orang putri yang luar biasa. "Bunda mau makan?" Lita langsung mendekat dan meraih tasku. "Tidak, Bunda mau mandi dan langsung salat saja." "Apa Bunda baik-baik saja?!" Delia yang masih duduk dengan Alquran di tangan membuatku tersentak. Aku paham betul maksud pembicaraan anakku, takut tanggapi dengan kata-kata aku hanya mengangguk perlahan lalu melangkah pelan menuju kamarku. "Bunda...." "Iya, Nak. Jangan mulai lagi ya, sudah tidak ingin membahas apapun," ujarku pada Delia yang menyusul ke kamar. "Ayah keterlaluan, dia bahagia di atas penderitaan kita dan aku tidak akan membiarkannya!" "Memangnya kita bisa apa, kita hanya semut di hadapan beruang, Anakku. Bila kita mengganggu keluarga ayahmu mungkin istrinya tak akan senang, dia akan menggugat dan menyakiti kita semua." "Apakah wanita itu tidak bisa merasakan penderitaan wanita lain!" "Peduli apa dia tentang Kita, dia orang kaya yang hidupnya sempurna. Orang kaya tak mau kebahagiaannya diganggu. Ia akan menyingkirkan kita dengan cara apapun," jawabku membuat putriku mendesah lemah. Tring! Dering ponsel menyentak pikiran dan menjeda percakapanku dengan putri sulungku. Dengan tangan gemetar, karena kegelisahan akibat pertemuan dengan Mas Arham, aku menggeser tombol hijau. "Halo." "Iriana! Aku masih ada di depan tokomu dan merenungi semua kesalahanku!" "Astaga kau dapat dari mana nomor ponselku! Kenapa kau meneror kehidupan dan membuatku tak nyaman!" "Ada ada nomor ponsel di banner tokomu jadi kugunakan itu untuk menghubungimu!" "Hentikan, Mas! Bagaimana kalau anak-anak yang mengangkatnya." "Maka itu akan lebih bagus lagi karena aku akan mengatakan yang sebenarnya!" Astaga, Tuhan, air mataku mulai berderai dengan deras, demi Allah aku tidak berharap ia kembali jika caranya seperti ini. Lelaki itu akan mengacaukan kehidupan kami.Musim hujan yang lebih cepat datang, menciptakan suasana tersendiri di setiap malamku. Tetesannya yang deras seolah tanpa henti membasahi kelopak bunga yang ada di balkon kamar. Aroma tanah dan daun-daun segar menciptakan kerinduan. Selalu kulalui malam demi malam dalam sepi di peraduan dingin ini. Aku sadar aku telah menghancurkan diriku sendiri. Kukira aku telah menambatkan cinta pada orang yang tepat. Saat dia pergi dengan janji-janjinya, di sanalah aku membangun cinta dan kepercayaan bahwa suatu saat kami akan kembali bersama dan hidup bahagia. Tak pernah terlintas dalam angan bahwa lelaki itu menipuku. Kupikir telah terjadi sesuatu padanya yang membuat dia tak bisa menghubungi, ada hal yang membuatnya tak bisa pulang, setiap malam aku gelisah dan selalu mengkhawatirkannya, ternyata dibalik kekhawatiranku dia telah berbahagia dalam lautan asmara bersama wanita lain. Jauh langkah yang membawa suamiku pergi, membuatnya berlabuh dalam pelukan wanita berkulit putih dengan tatapan t
Aku tiba di kedai setelah 15 menit berjalan kaki melewati paving blok dengan deretan tokoh-toko estetik di kanan dan kirinya. Kupercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang berharap bahwa lelaki berbantel hitam itu tidak mengikutiku.Saat membuka pintu kedai, lonceng kecil di pintu kaca berdenting, aroma vanilla dan coklat panggang yang tercampur di udara menciptakan suasana hangat di dalam cafe. Asistenku Kaila yang tengah memanggang kue menyapa diri ini dengan senyumnya yang ceria. Seperti biasa apron kotak-kotak pink mempercantik penampilannya. "Selamat pagi, Bu." "Pagi, Kaila. Aku senang melihatmu dan syukurlah kau sudah sembuh."Dua hari kemarin dia tak datang ke toko, cuaca dingin dan terkena hujan membuat asisten sekaligus wanita yang kuanggap adik itu menjadi sakit. "Alhamdulillah Bu, dua hari sakit membuatku rindu dengan toko ini, jujur saja, aku bosan di rumah."Aku tertawa kecil mendengarnya,"Tidak masalah kau habiskan waktu untuk istirahat. Lita dan Delia men
Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu. "Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi. "Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa."Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla y
Di luar sana simfoni kota terus berlanjut, deru mesin kendaraan berpadu dengan suara pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, suara klakson bis kota serta nyanyian pekak dari pemusik jalanan memenuhi udara. Di tengah hiruk pikuk itu aku masih membeku di dalam toko kue Delta, toko kue yang berhasil menafkahi dan membuat kami bertahan hidup. Aku masih di sini dan beradu pandang dengan pria yang jadi alasan mengapa aku mampu setia dalam penantianku selama dua belas tahun. Dia masih duduk dengan setelan mantel hitam dan kacamata persegi panjang, sementara aku terus menghabiskan energi untuk membuatnya pergi. Seharusnya aku mengabaikannya seperti komitmenku yang akan melupakan dan menganggap dia telah meninggal. Aku ingin memandangnya seperti seonggok batu atau sebatang kayu yang sia-sia, tapi, berkat kenangan masa lalu yang indah, percikan cinta itu tumbuh subur di hatiku.Aku seperti menyemaikan duri yang sejujurnya tak ingin tumbuh, sebab akhirnya semua itu akan menyakitiku. "
Tak kuasa mendengar pengusiran dan penolakan berulang ulang, pria itu akhirnya beranjak dari toko kueku. Ia tinggalkan 10 lembar uang merah di bawah cangkir kopi bekas minumnya, lalu berpamitan dengan suara yang lirih."Iriana aku pamit, namun aku tak akan menyerah padamu."Aku hanya memejamkan mata sambil membenamkan wajah diantara kedua tanganku. Sakit mendengarnya, dan seharusnya aku tak perlu mendengar itu. Aku baru menyadari ada banyak uang saat bayangan lelaki itu menghilang dengan sempurna. Ingin kukejar dan kukembalikan uangnya tapi aku tak tahu ia di mana."Wah, Bapak itu membayar 10 kali lipat dari harga kopi." Kayla mendekat dan melihat uang yang teronggok di atas meja, gadis muda itu meraihnya dan tertawa bahagia dengan uang satu juta untuk segelas cappucino yang seharusnya berharga Rp.27.000. "Katakan padaku.. apa ia sangat tergila-gila pada ibu, sampai mengejar ibu berkali-kali?""Tidak.""Lalu kenapa?""Kaila, aku tahu aku tak bisa menyembunyikan sesuatu terlalu lama.
Tak tahu berapa lama aku tenggelam dalam pelukan damai itu, sampai kusadari sesuatu bahwa apa yang kulakukan sudah tidak benar adanya. Aku melepaskan diri dengan canggung, selalu bersurut perlahan menjauh dari lelaki itu. Rindu dan malu bercampur menciptakan rasa panas di pipiku. "Kamu tak harus melepaskanku. Kamu berhak memelukku.""Tidak, Mas. Ini salah," balasku dengan tenggorokan dan bibir yang kering. Bukan cuma ragaku tapi jiwaku turut meranggas. Dua belas tahun tanpa sentuhan suami membuatku mati rasa. Saat lelaki itu tiba-tiba datang, aku merasa aneh. Aku ingin bersamanya tapi sadar dia sudah sulit untuk kugapai.*Derasnya hujan yang tumpah dari langit seakan tak terhentikan, petir sesekali menggelegar dengan pola rambatan halus menambah dramatis teater alam.Aku masih berada di emperan toko, berharap bahwa taksi yang kupesan segera datang. Rembesan air menggenangi jalan, pengunjung yang tadinya berlalu lalang di sekitar pasar mulai berteduh dan membuat trotoar sedikit le
Perlahan hujan mereda meninggalkan aroma tanah, sedikit gerimis masih menari di udara tapi itu tak mengapa. Matahari mengintip dari celah awan membuat situasi seketika benderang. Orang-orang kembali sibuk melanjutkan kegiatan, termasuk aku yang akan beranjak pergi membawa sisa barang-barang. Tukang becak kembali mengayuh becaknya. Pedagang kaki lima menggelar lapak serta anak jalanan yang menjual tisu berhamburan ke lampu merah. "Eh, Mbak, kamu yang pemilik toko kue kemarin ya?" Sewaktu mau melangkah pergi wanita itu menahanku"Iya." Aku menjawab tanpa menatap matanya. "Ya ampun, senang bertemu denganmu. Kue yang dibawakan suamiku Untuk mamaku sangat enak sekali. Akan memintaku untuk membeli lagi."Dia bercerita dengan antusias sambil menghampiri dan memaksa tatapan kami beradu.Ah...malas sekali. "Terima kasih atas apresiasinya.""Sama sama, tapi bolehkah saya minta kontak Anda," tanya wanita yang dikuncir kuda itu. "Oh, tentu, tapi... saya baru saja kehilangan ponsel saya."
Malam merangkak dengan keheningan yang memeluk bumi. Di bawah jendela aku duduk di kursi sendirian, sambil memikirkan yang terjadi sore tadi tatapanku menerawang ke langit. Di sana, rembulan bersinar lembut memancarkan cahaya perak, menembus awan kelabu yang menggantung rendah. Ah, hatiku hampa. Masih terbayang bagaimana Mas Arham memeluk Mariana, mendaratkan kecupan mesra saat kedua mata mereka bertautan dan senyum di bibir mereka mengulas garis yang sama. Teringat olehku bagaimana tatapan mata lembut Mas Arham kepada istrinya, hatiku sungguh terluka. Bahkan ingatan tentang mereka berdua lebih mendominasi akalku dibandingkan perampokan yang kuhadapi sore tadi.Mungkin saja saja kejadian itu aku menjadi melankonis, terlalu sering menangis dan terkesan cengeng. Sebenarnya itu bukan diriku, episode tangis menangis dan kesedihan dramatis telah berlalu 12 tahun yang lalu, di tahun-tahun pertama kehilangan lelaki itu. Mestinya sekarang, kunikmati hari-hari bahagia bersama kedua putrik
Entah apa yang terjadi setelah kegelapan panjang menelanku, akibat kata-kata Iriana. Aku seperti tersedot dalam pusaran hitam di mana waktu berhenti dan dunia memudar.Seperti cahaya yang muncul dari ujung lorong, seolah bayang kecil yang tiba tiba datang dari kejauhan lalu perlahan membesar, aku seperti dikejar oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan, perlahan aku mampu mendengarkan suara samar yang kemudian berkumpul seperti gemuruh ombak memecah pantai. Pada akhirnya, aku terbangun dengan satu teriakan minta tolong dan menyadari tubuhku telah berada di tempat yang berbeda. Kuedarkan pandangan ke sekelilingku dengan mata yang dibuka perlahan, tapi begitu terpapar oleh cahaya menyilaukan, aku hanya bisa menutupnya dengan sebelah tanganku."Di mana aku?""Di rumah sakit," Jawab suara bariton dari sosok pria yang ada di sisiku, itu papa. Aku tersadar bahwa aku tengah berada di rumah sakit. "Kenapa aku bisa di sini?""Justru aku yang harus bertanya padamu, kenapa kau tidak jujur tent
Toko Delta dengan segala pesona dan popularitas kelezatan kuenya, telah mencuri perhatian dan perasaanku. Toko kecil yang ada di seberang jalan Saint Maria, pusat pertokoan lama dan cagar budaya yang masih dijaga pemerintah itu, telah membuatku tertarik dan ingin berinvestasi kepada pemiliknya. Kue kue yang mereka tawarkan, suasana kafe yang nyaman serta suguhan makanan jadul yang otentik, membuatku terpedaya.Aku pernah begitu ingin melihat sosok Iriana sukses dan menjadi wanita yang kaya. Tanpa menyadari kalau wanita itu adalah bagian dari masa lalu suamiku yang paling penting, ya! dia wanita yang sangat dicintai Mas Arham.Mobil yang meluncur seakan berjalan di tempatnya, Aku berjalan begitu lambat sementara aku ingin menyudahinya. Aku duduk bersisian dengan suamiku dalam mobil yang akan membawa kami ke toko Delta. Aku harus menghitung detakan jantungku, memikirkan kalimat apa yang akan kukatakan di sana, serta bagaimana reaksiku jika suasana mulai tidak terkendali. "Kau baik-baik
"Aku terpaksa menahan perasaanku dan menyakitinya demi tidak menyakitimu!"Alasan lagi, selalu dan selalu penuh alasan yang terdengar tak masuk akal"Oh wow, dan wanita itu juga menahan tangisan dan kejujurannya demi tidak menyakitiku. Aku bisa bayangkan betapa bergejolak hati wanita itu saat pertama kali berjumpa denganmu. Wah, Aku tidak tahu apa aku harus terharu atau merasa terhina, karena dua orang yang saling mencintai sedang mengasihani diriku. Apa aku semenyedihkan itu sampai kalian begitu prihatin atas perasaan ini?!""Aku tidak bermaksud meremehkanmu! Aku hanya ingin menjaga agar kau tetap bahagia!""Jika demikian kenapa kau harus jujur? Jaga saja rahasia masa lalumu sampai mati dan jangan beritahu aku, agar aku tidak menderita. Apa yang kau harapkan dengan jujur padaku dan memintaku untuk memaklumi pernikahan poligami. Apa kau gila?!""Ucapanmu sangat membuatku malu Mariana, Aku tidak tahu aku harus bagaimana," jawab lelaki itu sambil menggeleng lemah dan menahan kesedihan
Sinar keemasan mentari menerobos lewat celah kaca jendela, bayangan gorden menari di lantai marmer, namun kehangatannya tak mampu menembus dinginnya suasana hati. Di meja makan, kami hanya saling mendiamkan, meski aroma kopi dan makanan yang disediakan asisten terlihat menggugah tapi aku sama sekali tak menyentuh makanan itu. Suamiku duduk di kursi dan tak banyak bicara, sementara aku menatapnya sambil menahan kepalan tangan di seberang meja, pemberitahuan semalam dan jejak pertengkaran masih terasa dalam ingatanku, sebuah hal yang tidak bisa kuterima dan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tahu suatu hari secuil kenangan dari masa lalu itu akan teringat oleh suamiku, aku tahu dia menelusuri masa lalu dan yakin dia terus berusaha mencari jati dirinya, memeriksa apa yang telah terjadi di masa lampau orang-orang yang pernah terkait dengan itu. Aku tahu suatu saat ini akan terjadi, tapi aku tak menyangka dia ternyata punya keluarga yang belum ditinggalkannya. Kupikir suamiku duda
Ada suatu ketika, saat aku berhasil membuat dia mau duduk berhadapan denganku dan mendengarkan setiap penjelasanku. Mungkin sudah bosan dengan kejaranku, atau jijik melihat wajahku, Iriana terpaksa duduk dengan segala kemuakan yang terlihat jelas dari ekspresinya. Aku ceritakan padanya satu persatu mengapa aku bisa kehilangan ingatanku. Aku bilang aku tidak sengaja menyakitinya. Aku mengenal Mariana karena wanita itu telah menyelamatkanku merawatku sepenuh hati dan memberiku kehidupan baru. Aku bersimpati kepada kebaikannya dan menghargainya. Aku mendedikasikan hidup untuk menghargai istri keduaku tapi aku mencintai Iriana."Bila kau sangat mencintainya maka jangan kembali padaku.""Aku bilang aku meletakkan penghormatan tertinggi untuk Merry. Tapi kau menguasai seluruh hatiku."Wanita itu tertawa sambil mengkirimkan kepalanya. "Munafik! Di depanku kau bilang cinta tapi di pasar kemarin, kau memeluknya, dengan bangga kau mencium dan mengiyakan pernyataan cintanya. Aku benar-benar ji
Putriku berdiri di seberang antara lorong menuju koridor toilet dan dapur, dia menatapku dan ibunya secara bergantian, dan seperti yang kuduga gadis itu mengenaliku. Perlahan bola matanya berkaca-kaca, gadis itu mendatangiku dan bertanya, "Ayah? Apa Anda adalah ayahku?" Aku terdiam, aku ingin berteriak kalau benar aku adalah ayahnya dan aku merindukannya, tapi aku segan pada ibunya. "Ayah ke mana saja selama ini?" Aku tahu aku akan mendapatkan cecaran pertanyaan yang sama, berkali-kali, memusingkan dan aku tak punya jawabannya. Pertanyaan itu akan terus terulang, mengudara di telingaku dan berdenging-denging selamanya. Aku merutuki diriku sendiri dan mengapa aku bisa hilang selama itu, kenapa aku selalu menahan diri setiap kali ingin tangan langsung mencari mereka.Saat ingatanku sekelebat datang, aku mencoba menyewa seseorang untuk menyusuri masa laluku. Aku membayarnya untuk mencari tahu siapa istriku, apa nama dan di mana alamatnya.Kehilangan ingatan akibat kecelakaan membuat
Hujan di kota yang baru kujejaki ini terasa begitu syahdu, aroma tanah basah berpadu dengan wangi kopi tubruk yang ditawarkan penjual angkringan juga aroma jajanan pasar yang digelar di lapak pinggir jalan menciptakan kenangan yang seolah dibangkitkan dari masa kecilku. Bersama dengan Mariana, kedua anakku Adelia dan Casandra, kami berjalan-jalan menyusuri kota. Memeriksa di mana kami akan membuka showroom terbaru, serta survei lokasi mall yang akan dibangun istriku. Ya, keluarga kami adalah keluarga pengusaha, Mertuaku adalah pemilik Artha jaya company, distributor motor terbaik di provinsi kami. Adapun istriku dia pengusaha real estate dan pusat perbelanjaan. Dia juga punya bisnis fashion dan kuliner yang menambah pundi-pundi kekayaannya. Secara teknis hidup kami berkecukupan dan bahagia. Suatu hari dia bilang dia ingin berkunjung ke kota pesisir yang masih asli dengan peninggalan budaya dan arsitekturnya, dia ingin memberikan sentuhan modern di sana dan menggeliatkan ekonomi pend
Suasana pagi di toko kue begitu semarak dengan kehadiran pengunjung yang ramai dan roti keju coklat yang mengembang sempurna. Aku dan Kayla sibuk bahu membahu melayani tamu membawakan kopi dan pesanan sarapan mereka serta menyapa orang-orang yang datang dari Komunitas Lansia. ada beberapa wanita muda yang baru pulang dari Gym dan memesan dua set salad buah dan jus kale tanpa gula. Tringg!Tiba-tiba pintu cafe terbuka dengan keras, gebrakan lonceng di pintu kaca membuat semua orang memandang ke entry utama toko kami. Diantara tegangan semua orang Mariana tampil di sana. Istri kedua Mas Arham datang dengan wajah merah menahan amarah. Matanya berkilat tajam dan menunjukkan kemurkaan mendalam. "Beraninya kamu mencuri suamiku!" Dia menghampiriku, merebut jus kale yang ada di nampan, lalu menyiramnya ke wajahku. Byurr!!Aku terkejut, semua orang juga terkesiap dan bangun dari bangku mereka, mereka terperanjat dan kaget karena untuk pertama kalinya aku diperlakukan seperti itu oleh se
Cahaya lampu gantung menerangi ruang makan, pendar lilin menari-nari memantul pada permukaan meja kayu yang mengkilat. Diantara hidangan lezat yang tersaji di sana Aroma kari ayam dan sambal kentang bercampur dengan wangi rempah-rempah yang membangkitkan selera dan kenangan lama. Melihat anak-anakku bercanda dengan ayahnya sesaat aku terdiam. Terhanyut dalam lautan kebahagiaan serta suasana romantis yang mengingatkanku akan masa di saat aku dan Mas Arham masih muda dan penuh harapan. Di mana kami masih saling mencintai dan bermimpi membangun keluarga yang bahagia. "Sayang, kenapa diam?" Pria itu meraih jemariku lalu menggenggamnya dengan hangat. Aku meresapi pegangan tangan itu sambil menghalau perasaan canggung di hati ini.Bagaimanapun konflik yang terjadi beberapa hari yang lalu serta kedatangannya yang tiba-tiba seperti fluktuasi suasana yang berganti dengan dramatis, begitu cepat, sehingga aku sulit mencernanya. Intinya aku belum bisa menyesuaikan diriku dalam keadaan yang me