MARI MERAPAT, INI CERITA YANG INDAH. Jangan lupa untuk like subscribe dan share. ❤️❤️
Rinai hujan di luar toko telah berhenti, meninggalkan jejak genangan air dan aroma tanah basah yang segar. Perlahan awan kelabu menunjukkan mentari sore yang mulai redup, langit indah, dengan semburat kemerahan seperti bara api yang mulai padam. Aku udah mau sekarang masih berdiri dengan tatapan mata yang lekat satu sama lain, netra kami bertemu dalam keadaan saling meneteskan air mata. "Kau belum dengar penjelasanku, sebelum kau menghakimiku." Lelaki itu masih memegangi pipinya yang merah bekas gambar tanganku. Mendengarnya berusaha menahanku langkahku terhenti, entah ingin membela diri ataukah cari pembenaran, tapi aku tak habis pikir penjelasan apa yang akan dia utarakan agar aku berhenti menyalahkan dan menilainya jahat. Pergi selama 12 tahun tanpa kabar, lalu tiba-tiba muncul dengan wanita lain, kira-kira apa yang akan orang lain pikirkan? Haruskah aku berpikir bahwa suamiku telah diculik lalu dipaksa menikahi wanita lain? Sungguh itu tidak masuk akal. Ataukah sejak awal dia telah menghianatiku, menjalin cinta dengan anak orang kaya lalu lari dengannya. Ataukah dia memang mencintai Wanita itu dan berniat menjalani hidup berdua saja dan memulai segalanya dari nol? Atau ... dan atau... masih banyak kemungkinan lainnya yang berlomba dalam pikiranku dan membuat kepalaku pusing. "Iriana," bisiknya lirih. "Cukup, tidak usah jelaskan apapun. Tadinya aku sangat marah melihatmu, tapi sekarang aku sudah sadar. Kemarahan, pertanyaan dan semua yang ada di benakku sudah terlambat untuk mendapatkan jawaban. Sebaiknya kau kembali ke mejamu. Istrimu akan mencarimu," balasku sambil mencoba menguatkan hati dan menghapus air mata dengan ujung syalku. "Bisakah kita bicara lain waktu?" "Tidak usah, aku bahkan tidak ingin melihatmu lagi," jawabku pelan. Saat aku hendak beranjak kembali ke etalase tiba-tiba putri bungsuku lewat, melihatku dan lelaki itu berbicara serius dan kami sama-sama terlihat menyembunyikan kesedihan, Lita mulai curiga dan keheranan. "Bunda, ada apa?" Jantungku makin berdegup, tiba-tiba aku panik dan tegang sendiri. Aku khawatir lita akan mengenali lelaki itu lalu terjadilah sebuah ledakan yang akan menghebohkan toko kami. Perlahan anakku mulai mendekat sambil membawa loyang kue panas di tangannya. Aku makin gelagapan dan gelisah. "Siapa itu?" "Uhm, i-ini?" Aku melirik lelaki itu. Dia sendiri nampak cemas dan mengalihkan pandangannya agar anakku tidak perlu bertatapan wajah dengannya. "Kenapa kalian terlihat bicara dengan serius, Apa kalian saling mengenal?!" Sebelum keadaannya jadi lebih parah aku terpaksa harus berbohong pada anakku. "I-ini teman Bunda, teman waktu masih sekolah dulu." "Oh. Terus kenapa di sini?" "Bunda mengantarnya ke toilet. Tadinya Bunda tidak mengenalnya, jadi dia menyapa dan ..." "Namanya siapa?" Anakku segera menyela, mungkin karena terbiasa hidup bertiga dan saling melindungi putriku seketika memasang rasa was-was jika ada orang yang dekat denganku dan bicara dengan serius. "Om Deni." Mas Arham terkejut tapi dia juga mengangkut cepat dan pura-pura menyapa anakku. "Ha-halo. Apa kabar Dik." "Baik, Om. Sebaiknya kalian kembali ke depan dan nikmati kue yang baru kupanggang ini. Ngapain kan berdiri lama-lama di lorong toilet?" "Oh iya." Dia itu tertawa gugup, mengusap keringat bercucuran di keningnya karena panik, dan ia segera berjalan meninggalkan kami. * "Kok kayak kenal ya Bun?" lita mendekati dan berbisik padaku. "Mungkin pernah lihat di jalan, kan wajahnya juga familiar," jawabku pura pura. "Ah, iya juga, tapi tetap aja kayak pernah kenal." Waktu itu anakku berusia 4 tahun saat ayahnya menghilang jadi secuil memory itu tak cukup untuk membuatnya ingat segalanya. Dari balik kaca etalase dan meja kasir aku bisa melihat Suamiku sedang disuapi istrinya. Mereka saling memberi makan dengan mesra. Sekali mereka memuji anak mereka yang juga terlihat begitu mengemaskan dan cantik seperti ibunya. "Wah anak Papa pintar. Lain kali kalau juara senam lagi, Papa akan belikan mainan yang kau inginkan." "Sungguh Pa?" Anak itu berbinar dan nampak sangat bahagia. "Iya, Papa janji." Hatiku semakin teriris, kenangan beberapa tahun lalu kembali hadir saat lelaki itu pernah menjanjikan akan jalan-jalan ke ibukota kalau dia dapat bonus. Dia juga bilang akan memberikan anakku boneka beruang dan seperangkat rumah Barbie jika dia berhasil mendapatkan juara pertama di kelasnya. Tapi ucapan manis itu tidak pernah terlaksana, karena dia menghilang, cinta dan harapan menguap bersama janji-janjinya yang palsu. "Wah, Lita suka melihat satu keluarga yang makan bersama dan terlihat bahagia, mereka seperti keluarga Cemara," ujar Lita. Sambil memandangi keluarga Ayah kandungnya dan merangkul bahuku, sepertinya putriku memang tidak menyadari sesuatu. "Keluarga kita juga bahagia kan?" "Aku bilang begitu bukan berarti aku iri Bunda... Bunda adalah ibu sekaligus Ayah yang hebat untuk kami berdua. Jadi aku minta maaf karena aku tidak sengaja menyakiti hati Bunda." "Sudah, sebaiknya kembali ke dapur dan bantu kakakmu, dia akan marah dan menjerit jika kau telat mengeluarkan kue dari oven," ujarku tertawa. "Siap, Bunda." Lita mencium keningku lalu kembali ke dapur dengan hati yang riang, aku sendiri masih menahan rasa pedih di dalam dadaku sembari melihat di seberang sana seorang pria sedang memamerkan kebahagiaannya setelah bertahun-tahun membuatku menantinya. Mau disembunyikan sekuat apapun, air mata ini tetap jatuh dengan sendirinya. "Berapa tagihannya!" Tiba-tiba Wanita bergaun hijau itu mendekatiku dan mengulas senyum tipis. Aku yang masih melamun tersentak dengan kehadirannya. "175.000 nyonya." "Baiklah." Dia menggangguk kemudian memberi isyarat pada suaminya. "Sayang, aku lupa bawa dompet." Wanita itu bersikap manja, mengering dengan nakal dan menggoda Mas Arham di hadapanku. Lelaki itu hanya tersenyum lalu merogoh kantongnya dan mendekat ke arah kami. Jadi saat lelaki itu mendekat, istrinya kembali bergelayut di lengan lelaki itu, seakan-akan dunia hanya milik mereka berdua saja. "Berapa yang harus kubayar?" Pria itu tak berani menatap mataku yang masih basah oleh air mata. Meski aku telah menghapus lelehan benih itu tapi jejak sembab terlihat olehnyan. "175." "Ini." Dia meletakkan uang Rp200.000. "Kembaliannya untuk Mbak saja ya, tip untuk pelayanannya yang sempurna," ujar wanita itu sambil berkedip ke arahku. Sepertinya ia sedang menyedekahkan diri ini dan mengolok-olok betapa pedihnya takdirku. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya, karena baik dia pun tidak tahu kalau aku adalah istri suaminya. "Terima kasih nyonya." "Aku akan tunggu di mobil ya Sayang, tolong bungkuskan satu kotak tiramisu lagi untuk Mama di rumah,"perintah wanita itu pada Mas Arham. "Iya, ok." Wanita itu menggenggam tangan kedua anaknya lalu mengajaknya keluar dari tokoku. Sementara pria dengan jas coklat dan kacamata yang membingkai wajah tampannya itu masih berdiri di depan meja kasir. "Saya akan bungkus kuenya!" ucapku memecah keheningan. "Uhm, Iriana... aku ingin sekali bicara lebih banyak padamu." "Percuma tidak usah!" "Aku selalu memikirkan kalian selama ini!" "Munafik!! Kalau memang masih memikirkan kau pasti akan kembali. Apa kau tahu betapa beratnya hidup dengan dua orang anak tanpa kepastian dari suami?!" "Aku memang bersalah! Maafkan aku dan beri kesempatan." "Lupakan saja, aku akan memaafkanmu dan menganggapmu sudah mati!" Balasku dengan tenang. Aku membungkus kue tersebut dengan rapi, memasangkan lilin dan pita yang indah lalu memasukkannya ke dalam plastik dengan hati-hati. "Tidak usah repot-repot untuk kembali, seperti yang kau lihat... aku berhasil bertahan hidup dan membahagiakan anak-anakku. Mereka juga sudah melupakanmu, jadi jangan datang dan menimbulkan luka di hati anak-anakku." "Tapi mereka juga berhak tahu kalau aku masih ada di dunia ini." "Untuk mengetahui kalau kau sudah bahagia dengan wanita lain dan punya anak? Untuk memamerkan betapa kayanya dirimu dibandingkan dengan kami yang masih mengais kehidupan dari toko kecil ini?!" Mau tidak mau aku makin geram dengan ucapan Mas Arham. "Bukan begitu?!" Suamiku itu terus membela dirinya mn "Ada apa ini?!" Percakapan kami yang intens membuat putriku penasaran, ternyata Delia menguping dan pelan-pelan mendekat dari dapur. "Oh, ma-maaf." Mas Arham langsung menundukkan kepala dan membenahi kacamatanya. "Anda siapa...." Anakku terdengar ragu sambil menunjukkan jarinya. "Apa Anda adalah....?" "Sudah dia hanya pelanggan biasa!! Biarkan dia pergi,"ujarku dengan hati yang sangat-sangat tidak nyaman. Aku mulai merasa gerah dan ingin mengusir lelaki itu secepatnya. "Ayah... apa Anda adalah ayahku?!" Anakku bertanya dengan gemetar, bola mata itu mulai menunjukkan kaca-kaca dan ekspresi yang tak bisa kutuliskan dalam bentuk kata kata. Yang pasti, itu sangat menyakiti hatiku dan membuatku tak mampu menahan kepahitan ini. "Ak-aku...." Mas Arham juga kehilangan kata-kata. "Ayah? ke mana saja Ayah menghilang?" Putriku menangis, kerinduan yang selama ini tersimpan terlihat dengan jelas dari netra itu. Aku mengerti, hidup tanpa figur seorang ayah bukanlah hidup yang mudah, beberapa hal membuat kami tersisih dan tentu saja segalanya sulit. "Kak, dia memang ayahmu, tapi situasinya..." Aku menggelengkan kepala sambil memberi isyarat lirikan kepada mobil Alphard, di mana istri dan anak-anak ayahnya sedang duduk dan menanti pria itu. "Apa?!" Anakku terbelalak dan makin gemetar. "Jadi ayah kembali hanya ingin menunjukkan kebahagiaan?!" "Bukan begitu, aku tidak sengaja...." Lelaki itu mengulurkan tangan dan ingin meraih putrinya yang masih mengenakan celemek dapur, tapi anakku segera bersurut sambil mencegah dengan tangannya. "Tolong kenbalikan dirimu, atau adikmu akan tahu dan keluarganya akan marah juga." "Teganya ayah!" Putriku hanya menggelengkan kepala, dia tak berkedip sedikit pun tapi air mata itu mengalir dengan deras. Tangisan putriku tersendat di tenggorokannya dan itu membuatku semakin iba. "Maafkan ayah." "Mas! Ayo dong Sayang ngapain di dalam situ lama-lama?!" Wanita itu terlihat merajuk dan memanggil Mas Arham dengan keras. Menyela percakapan diantara kami dan membuat Mas Arham tersadar. "Iya, Ma. Ini aku sudah selesai!" Pria itu nampak takut pada istrinya dan bergegas keluar dari toko kami. Pria itu bergegas keluar dan pergi begitu saja denting lonceng kecil yang tergantung di pintu kaca, memberi isyarat bahwa kami harus merelakan kenyataan bahwa lelaki yang selama ini kami tunggu kedatangannya sudah tidak pantas lagi diharapkan."Tolong jangan katakan ini pada adikmu. Dia pasti akan syok sekali."Aku menyentuh bahu putriku dengan lembut, berusaha membujuknya agar dia memahami bahwa yang sekarang situasi yang tidak tepat untuk menceritakan segalanya. "Kenapa Bunda diam saja, kenapa Bunda tidak marah dan mengungkapkan yang sebenarnya pada wanita itu.""Sayang, tidak baik merusak kebahagiaan orang lain hanya karena kita menderita. Kesengsaraan kita bukan tanggung jawab wanita itu.""Tapi ayah membohongi dan meninggalkan kita demi dia!" Anakku bicara dengan tatapan mata berapi. "Belum tentu, kita tidak bisa menghakimi seperti itu karena kita tidak tahu apa yang terjadi. Sudah Nak, Bunda mohon agar kamu bisa menyimpan semua ini sementara. Bisa ya." Aku membujuk sambil menggenggam tangannya, anakku hanya membuang nafasnya dengan kasar. "Terserah bunda saja, tapi aku benar-benar sakit hati," jawab Delia sambil menghempaskan celemeknya di atas meja etalase. Putriku merajuk dan segera kembali ke dapur untuk mengam
Musim hujan yang lebih cepat datang, menciptakan suasana tersendiri di setiap malamku. Tetesannya yang deras seolah tanpa henti membasahi kelopak bunga yang ada di balkon kamar. Aroma tanah dan daun-daun segar menciptakan kerinduan. Selalu kulalui malam demi malam dalam sepi di peraduan dingin ini. Aku sadar aku telah menghancurkan diriku sendiri. Kukira aku telah menambatkan cinta pada orang yang tepat. Saat dia pergi dengan janji-janjinya, di sanalah aku membangun cinta dan kepercayaan bahwa suatu saat kami akan kembali bersama dan hidup bahagia. Tak pernah terlintas dalam angan bahwa lelaki itu menipuku. Kupikir telah terjadi sesuatu padanya yang membuat dia tak bisa menghubungi, ada hal yang membuatnya tak bisa pulang, setiap malam aku gelisah dan selalu mengkhawatirkannya, ternyata dibalik kekhawatiranku dia telah berbahagia dalam lautan asmara bersama wanita lain. Jauh langkah yang membawa suamiku pergi, membuatnya berlabuh dalam pelukan wanita berkulit putih dengan tatapan t
Aku tiba di kedai setelah 15 menit berjalan kaki melewati paving blok dengan deretan tokoh-toko estetik di kanan dan kirinya. Kupercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang berharap bahwa lelaki berbantel hitam itu tidak mengikutiku.Saat membuka pintu kedai, lonceng kecil di pintu kaca berdenting, aroma vanilla dan coklat panggang yang tercampur di udara menciptakan suasana hangat di dalam cafe. Asistenku Kaila yang tengah memanggang kue menyapa diri ini dengan senyumnya yang ceria. Seperti biasa apron kotak-kotak pink mempercantik penampilannya. "Selamat pagi, Bu." "Pagi, Kaila. Aku senang melihatmu dan syukurlah kau sudah sembuh."Dua hari kemarin dia tak datang ke toko, cuaca dingin dan terkena hujan membuat asisten sekaligus wanita yang kuanggap adik itu menjadi sakit. "Alhamdulillah Bu, dua hari sakit membuatku rindu dengan toko ini, jujur saja, aku bosan di rumah."Aku tertawa kecil mendengarnya,"Tidak masalah kau habiskan waktu untuk istirahat. Lita dan Delia men
Mentari pagi merangkak perlahan dari balik gedung pencakar langit dan deretan toko-toko di sekitarku, cahayanya redupnya menerobos celah bangunan dan menembus asap tipis yang mengepul dari cerobong pusat industri menciptakan panorama kota yang dramatis.Masih jam 08.00 pagi, tapi suasana hati yang sejak tadi kupaksakan untuk tetap tenang kini bergejolak seperti segelas air yang diletakkan di atas kobaran api. Di luar sana suara klakson mobil dan deru mesin motor menciptakan simfoni khas kota yang tak pernah berhenti. Berpadu dengan semua itu, pikiranku mulai kalut tak menentu. "Kami tidak menjual apapun untuk Anda," tegasku sekali lagi. "Bila kau tak izinkan aku untuk minum kopi di kedaimu... maka biarkan aku membawanya pergi," jawab Mas Arham dengan seulas senyum tipis yang menggetarkan hati, selalu begitu, dia berhasil melelehkanku dengan tatapan mata yang menusuk ke relung hati. Senyumnya meluluhkan segenap jiwa."Iya, Bu, izinkan aja Bapaknya beli kopi yang takeaway!" Kayla y
Di luar sana simfoni kota terus berlanjut, deru mesin kendaraan berpadu dengan suara pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, suara klakson bis kota serta nyanyian pekak dari pemusik jalanan memenuhi udara. Di tengah hiruk pikuk itu aku masih membeku di dalam toko kue Delta, toko kue yang berhasil menafkahi dan membuat kami bertahan hidup. Aku masih di sini dan beradu pandang dengan pria yang jadi alasan mengapa aku mampu setia dalam penantianku selama dua belas tahun. Dia masih duduk dengan setelan mantel hitam dan kacamata persegi panjang, sementara aku terus menghabiskan energi untuk membuatnya pergi. Seharusnya aku mengabaikannya seperti komitmenku yang akan melupakan dan menganggap dia telah meninggal. Aku ingin memandangnya seperti seonggok batu atau sebatang kayu yang sia-sia, tapi, berkat kenangan masa lalu yang indah, percikan cinta itu tumbuh subur di hatiku.Aku seperti menyemaikan duri yang sejujurnya tak ingin tumbuh, sebab akhirnya semua itu akan menyakitiku. "
Tak kuasa mendengar pengusiran dan penolakan berulang ulang, pria itu akhirnya beranjak dari toko kueku. Ia tinggalkan 10 lembar uang merah di bawah cangkir kopi bekas minumnya, lalu berpamitan dengan suara yang lirih."Iriana aku pamit, namun aku tak akan menyerah padamu."Aku hanya memejamkan mata sambil membenamkan wajah diantara kedua tanganku. Sakit mendengarnya, dan seharusnya aku tak perlu mendengar itu. Aku baru menyadari ada banyak uang saat bayangan lelaki itu menghilang dengan sempurna. Ingin kukejar dan kukembalikan uangnya tapi aku tak tahu ia di mana."Wah, Bapak itu membayar 10 kali lipat dari harga kopi." Kayla mendekat dan melihat uang yang teronggok di atas meja, gadis muda itu meraihnya dan tertawa bahagia dengan uang satu juta untuk segelas cappucino yang seharusnya berharga Rp.27.000. "Katakan padaku.. apa ia sangat tergila-gila pada ibu, sampai mengejar ibu berkali-kali?""Tidak.""Lalu kenapa?""Kaila, aku tahu aku tak bisa menyembunyikan sesuatu terlalu lama.
Tak tahu berapa lama aku tenggelam dalam pelukan damai itu, sampai kusadari sesuatu bahwa apa yang kulakukan sudah tidak benar adanya. Aku melepaskan diri dengan canggung, selalu bersurut perlahan menjauh dari lelaki itu. Rindu dan malu bercampur menciptakan rasa panas di pipiku. "Kamu tak harus melepaskanku. Kamu berhak memelukku.""Tidak, Mas. Ini salah," balasku dengan tenggorokan dan bibir yang kering. Bukan cuma ragaku tapi jiwaku turut meranggas. Dua belas tahun tanpa sentuhan suami membuatku mati rasa. Saat lelaki itu tiba-tiba datang, aku merasa aneh. Aku ingin bersamanya tapi sadar dia sudah sulit untuk kugapai.*Derasnya hujan yang tumpah dari langit seakan tak terhentikan, petir sesekali menggelegar dengan pola rambatan halus menambah dramatis teater alam.Aku masih berada di emperan toko, berharap bahwa taksi yang kupesan segera datang. Rembesan air menggenangi jalan, pengunjung yang tadinya berlalu lalang di sekitar pasar mulai berteduh dan membuat trotoar sedikit le
Perlahan hujan mereda meninggalkan aroma tanah, sedikit gerimis masih menari di udara tapi itu tak mengapa. Matahari mengintip dari celah awan membuat situasi seketika benderang. Orang-orang kembali sibuk melanjutkan kegiatan, termasuk aku yang akan beranjak pergi membawa sisa barang-barang. Tukang becak kembali mengayuh becaknya. Pedagang kaki lima menggelar lapak serta anak jalanan yang menjual tisu berhamburan ke lampu merah. "Eh, Mbak, kamu yang pemilik toko kue kemarin ya?" Sewaktu mau melangkah pergi wanita itu menahanku"Iya." Aku menjawab tanpa menatap matanya. "Ya ampun, senang bertemu denganmu. Kue yang dibawakan suamiku Untuk mamaku sangat enak sekali. Akan memintaku untuk membeli lagi."Dia bercerita dengan antusias sambil menghampiri dan memaksa tatapan kami beradu.Ah...malas sekali. "Terima kasih atas apresiasinya.""Sama sama, tapi bolehkah saya minta kontak Anda," tanya wanita yang dikuncir kuda itu. "Oh, tentu, tapi... saya baru saja kehilangan ponsel saya."
Entah apa yang terjadi setelah kegelapan panjang menelanku, akibat kata-kata Iriana. Aku seperti tersedot dalam pusaran hitam di mana waktu berhenti dan dunia memudar.Seperti cahaya yang muncul dari ujung lorong, seolah bayang kecil yang tiba tiba datang dari kejauhan lalu perlahan membesar, aku seperti dikejar oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan, perlahan aku mampu mendengarkan suara samar yang kemudian berkumpul seperti gemuruh ombak memecah pantai. Pada akhirnya, aku terbangun dengan satu teriakan minta tolong dan menyadari tubuhku telah berada di tempat yang berbeda. Kuedarkan pandangan ke sekelilingku dengan mata yang dibuka perlahan, tapi begitu terpapar oleh cahaya menyilaukan, aku hanya bisa menutupnya dengan sebelah tanganku."Di mana aku?""Di rumah sakit," Jawab suara bariton dari sosok pria yang ada di sisiku, itu papa. Aku tersadar bahwa aku tengah berada di rumah sakit. "Kenapa aku bisa di sini?""Justru aku yang harus bertanya padamu, kenapa kau tidak jujur tent
Toko Delta dengan segala pesona dan popularitas kelezatan kuenya, telah mencuri perhatian dan perasaanku. Toko kecil yang ada di seberang jalan Saint Maria, pusat pertokoan lama dan cagar budaya yang masih dijaga pemerintah itu, telah membuatku tertarik dan ingin berinvestasi kepada pemiliknya. Kue kue yang mereka tawarkan, suasana kafe yang nyaman serta suguhan makanan jadul yang otentik, membuatku terpedaya.Aku pernah begitu ingin melihat sosok Iriana sukses dan menjadi wanita yang kaya. Tanpa menyadari kalau wanita itu adalah bagian dari masa lalu suamiku yang paling penting, ya! dia wanita yang sangat dicintai Mas Arham.Mobil yang meluncur seakan berjalan di tempatnya, Aku berjalan begitu lambat sementara aku ingin menyudahinya. Aku duduk bersisian dengan suamiku dalam mobil yang akan membawa kami ke toko Delta. Aku harus menghitung detakan jantungku, memikirkan kalimat apa yang akan kukatakan di sana, serta bagaimana reaksiku jika suasana mulai tidak terkendali. "Kau baik-baik
"Aku terpaksa menahan perasaanku dan menyakitinya demi tidak menyakitimu!"Alasan lagi, selalu dan selalu penuh alasan yang terdengar tak masuk akal"Oh wow, dan wanita itu juga menahan tangisan dan kejujurannya demi tidak menyakitiku. Aku bisa bayangkan betapa bergejolak hati wanita itu saat pertama kali berjumpa denganmu. Wah, Aku tidak tahu apa aku harus terharu atau merasa terhina, karena dua orang yang saling mencintai sedang mengasihani diriku. Apa aku semenyedihkan itu sampai kalian begitu prihatin atas perasaan ini?!""Aku tidak bermaksud meremehkanmu! Aku hanya ingin menjaga agar kau tetap bahagia!""Jika demikian kenapa kau harus jujur? Jaga saja rahasia masa lalumu sampai mati dan jangan beritahu aku, agar aku tidak menderita. Apa yang kau harapkan dengan jujur padaku dan memintaku untuk memaklumi pernikahan poligami. Apa kau gila?!""Ucapanmu sangat membuatku malu Mariana, Aku tidak tahu aku harus bagaimana," jawab lelaki itu sambil menggeleng lemah dan menahan kesedihan
Sinar keemasan mentari menerobos lewat celah kaca jendela, bayangan gorden menari di lantai marmer, namun kehangatannya tak mampu menembus dinginnya suasana hati. Di meja makan, kami hanya saling mendiamkan, meski aroma kopi dan makanan yang disediakan asisten terlihat menggugah tapi aku sama sekali tak menyentuh makanan itu. Suamiku duduk di kursi dan tak banyak bicara, sementara aku menatapnya sambil menahan kepalan tangan di seberang meja, pemberitahuan semalam dan jejak pertengkaran masih terasa dalam ingatanku, sebuah hal yang tidak bisa kuterima dan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tahu suatu hari secuil kenangan dari masa lalu itu akan teringat oleh suamiku, aku tahu dia menelusuri masa lalu dan yakin dia terus berusaha mencari jati dirinya, memeriksa apa yang telah terjadi di masa lampau orang-orang yang pernah terkait dengan itu. Aku tahu suatu saat ini akan terjadi, tapi aku tak menyangka dia ternyata punya keluarga yang belum ditinggalkannya. Kupikir suamiku duda
Ada suatu ketika, saat aku berhasil membuat dia mau duduk berhadapan denganku dan mendengarkan setiap penjelasanku. Mungkin sudah bosan dengan kejaranku, atau jijik melihat wajahku, Iriana terpaksa duduk dengan segala kemuakan yang terlihat jelas dari ekspresinya. Aku ceritakan padanya satu persatu mengapa aku bisa kehilangan ingatanku. Aku bilang aku tidak sengaja menyakitinya. Aku mengenal Mariana karena wanita itu telah menyelamatkanku merawatku sepenuh hati dan memberiku kehidupan baru. Aku bersimpati kepada kebaikannya dan menghargainya. Aku mendedikasikan hidup untuk menghargai istri keduaku tapi aku mencintai Iriana."Bila kau sangat mencintainya maka jangan kembali padaku.""Aku bilang aku meletakkan penghormatan tertinggi untuk Merry. Tapi kau menguasai seluruh hatiku."Wanita itu tertawa sambil mengkirimkan kepalanya. "Munafik! Di depanku kau bilang cinta tapi di pasar kemarin, kau memeluknya, dengan bangga kau mencium dan mengiyakan pernyataan cintanya. Aku benar-benar ji
Putriku berdiri di seberang antara lorong menuju koridor toilet dan dapur, dia menatapku dan ibunya secara bergantian, dan seperti yang kuduga gadis itu mengenaliku. Perlahan bola matanya berkaca-kaca, gadis itu mendatangiku dan bertanya, "Ayah? Apa Anda adalah ayahku?" Aku terdiam, aku ingin berteriak kalau benar aku adalah ayahnya dan aku merindukannya, tapi aku segan pada ibunya. "Ayah ke mana saja selama ini?" Aku tahu aku akan mendapatkan cecaran pertanyaan yang sama, berkali-kali, memusingkan dan aku tak punya jawabannya. Pertanyaan itu akan terus terulang, mengudara di telingaku dan berdenging-denging selamanya. Aku merutuki diriku sendiri dan mengapa aku bisa hilang selama itu, kenapa aku selalu menahan diri setiap kali ingin tangan langsung mencari mereka.Saat ingatanku sekelebat datang, aku mencoba menyewa seseorang untuk menyusuri masa laluku. Aku membayarnya untuk mencari tahu siapa istriku, apa nama dan di mana alamatnya.Kehilangan ingatan akibat kecelakaan membuat
Hujan di kota yang baru kujejaki ini terasa begitu syahdu, aroma tanah basah berpadu dengan wangi kopi tubruk yang ditawarkan penjual angkringan juga aroma jajanan pasar yang digelar di lapak pinggir jalan menciptakan kenangan yang seolah dibangkitkan dari masa kecilku. Bersama dengan Mariana, kedua anakku Adelia dan Casandra, kami berjalan-jalan menyusuri kota. Memeriksa di mana kami akan membuka showroom terbaru, serta survei lokasi mall yang akan dibangun istriku. Ya, keluarga kami adalah keluarga pengusaha, Mertuaku adalah pemilik Artha jaya company, distributor motor terbaik di provinsi kami. Adapun istriku dia pengusaha real estate dan pusat perbelanjaan. Dia juga punya bisnis fashion dan kuliner yang menambah pundi-pundi kekayaannya. Secara teknis hidup kami berkecukupan dan bahagia. Suatu hari dia bilang dia ingin berkunjung ke kota pesisir yang masih asli dengan peninggalan budaya dan arsitekturnya, dia ingin memberikan sentuhan modern di sana dan menggeliatkan ekonomi pend
Suasana pagi di toko kue begitu semarak dengan kehadiran pengunjung yang ramai dan roti keju coklat yang mengembang sempurna. Aku dan Kayla sibuk bahu membahu melayani tamu membawakan kopi dan pesanan sarapan mereka serta menyapa orang-orang yang datang dari Komunitas Lansia. ada beberapa wanita muda yang baru pulang dari Gym dan memesan dua set salad buah dan jus kale tanpa gula. Tringg!Tiba-tiba pintu cafe terbuka dengan keras, gebrakan lonceng di pintu kaca membuat semua orang memandang ke entry utama toko kami. Diantara tegangan semua orang Mariana tampil di sana. Istri kedua Mas Arham datang dengan wajah merah menahan amarah. Matanya berkilat tajam dan menunjukkan kemurkaan mendalam. "Beraninya kamu mencuri suamiku!" Dia menghampiriku, merebut jus kale yang ada di nampan, lalu menyiramnya ke wajahku. Byurr!!Aku terkejut, semua orang juga terkesiap dan bangun dari bangku mereka, mereka terperanjat dan kaget karena untuk pertama kalinya aku diperlakukan seperti itu oleh se
Cahaya lampu gantung menerangi ruang makan, pendar lilin menari-nari memantul pada permukaan meja kayu yang mengkilat. Diantara hidangan lezat yang tersaji di sana Aroma kari ayam dan sambal kentang bercampur dengan wangi rempah-rempah yang membangkitkan selera dan kenangan lama. Melihat anak-anakku bercanda dengan ayahnya sesaat aku terdiam. Terhanyut dalam lautan kebahagiaan serta suasana romantis yang mengingatkanku akan masa di saat aku dan Mas Arham masih muda dan penuh harapan. Di mana kami masih saling mencintai dan bermimpi membangun keluarga yang bahagia. "Sayang, kenapa diam?" Pria itu meraih jemariku lalu menggenggamnya dengan hangat. Aku meresapi pegangan tangan itu sambil menghalau perasaan canggung di hati ini.Bagaimanapun konflik yang terjadi beberapa hari yang lalu serta kedatangannya yang tiba-tiba seperti fluktuasi suasana yang berganti dengan dramatis, begitu cepat, sehingga aku sulit mencernanya. Intinya aku belum bisa menyesuaikan diriku dalam keadaan yang me