Share

3. Menjelaskan

MARI MERAPAT, INI CERITA YANG INDAH. Jangan lupa untuk like subscribe dan share. ❤️❤️

Rinai hujan di luar toko telah berhenti, meninggalkan jejak genangan air dan aroma tanah basah yang segar. Perlahan awan kelabu menunjukkan mentari sore yang mulai redup, langit indah, dengan semburat kemerahan seperti bara api yang mulai padam.

Aku udah mau sekarang masih berdiri dengan tatapan mata yang lekat satu sama lain, netra kami bertemu dalam keadaan saling meneteskan air mata.

"Kau belum dengar penjelasanku, sebelum kau menghakimiku."

Lelaki itu masih memegangi pipinya yang merah bekas gambar tanganku. Mendengarnya berusaha menahanku langkahku terhenti, entah ingin membela diri ataukah cari pembenaran, tapi aku tak habis pikir penjelasan apa yang akan dia utarakan agar aku berhenti menyalahkan dan menilainya jahat.

Pergi selama 12 tahun tanpa kabar, lalu tiba-tiba muncul dengan wanita lain, kira-kira apa yang akan orang lain pikirkan? Haruskah aku berpikir bahwa suamiku telah diculik lalu dipaksa menikahi wanita lain? Sungguh itu tidak masuk akal.

Ataukah sejak awal dia telah menghianatiku, menjalin cinta dengan anak orang kaya lalu lari dengannya. Ataukah dia memang mencintai Wanita itu dan berniat menjalani hidup berdua saja dan memulai segalanya dari nol? Atau ... dan atau... masih banyak kemungkinan lainnya yang berlomba dalam pikiranku dan membuat kepalaku pusing.

"Iriana," bisiknya lirih.

"Cukup, tidak usah jelaskan apapun. Tadinya aku sangat marah melihatmu, tapi sekarang aku sudah sadar. Kemarahan, pertanyaan dan semua yang ada di benakku sudah terlambat untuk mendapatkan jawaban. Sebaiknya kau kembali ke mejamu. Istrimu akan mencarimu," balasku sambil mencoba menguatkan hati dan menghapus air mata dengan ujung syalku.

"Bisakah kita bicara lain waktu?"

"Tidak usah, aku bahkan tidak ingin melihatmu lagi," jawabku pelan.

Saat aku hendak beranjak kembali ke etalase tiba-tiba putri bungsuku lewat, melihatku dan lelaki itu berbicara serius dan kami sama-sama terlihat menyembunyikan kesedihan, Lita mulai curiga dan keheranan.

"Bunda, ada apa?"

Jantungku makin berdegup, tiba-tiba aku panik dan tegang sendiri. Aku khawatir lita akan mengenali lelaki itu lalu terjadilah sebuah ledakan yang akan menghebohkan toko kami.

Perlahan anakku mulai mendekat sambil membawa loyang kue panas di tangannya. Aku makin gelagapan dan gelisah.

"Siapa itu?"

"Uhm, i-ini?" Aku melirik lelaki itu. Dia sendiri nampak cemas dan mengalihkan pandangannya agar anakku tidak perlu bertatapan wajah dengannya.

"Kenapa kalian terlihat bicara dengan serius, Apa kalian saling mengenal?!"

Sebelum keadaannya jadi lebih parah aku terpaksa harus berbohong pada anakku.

"I-ini teman Bunda, teman waktu masih sekolah dulu."

"Oh. Terus kenapa di sini?"

"Bunda mengantarnya ke toilet. Tadinya Bunda tidak mengenalnya, jadi dia menyapa dan ..."

"Namanya siapa?" Anakku segera menyela, mungkin karena terbiasa hidup bertiga dan saling melindungi putriku seketika memasang rasa was-was jika ada orang yang dekat denganku dan bicara dengan serius.

"Om Deni."

Mas Arham terkejut tapi dia juga mengangkut cepat dan pura-pura menyapa anakku.

"Ha-halo. Apa kabar Dik."

"Baik, Om. Sebaiknya kalian kembali ke depan dan nikmati kue yang baru kupanggang ini. Ngapain kan berdiri lama-lama di lorong toilet?"

"Oh iya." Dia itu tertawa gugup, mengusap keringat bercucuran di keningnya karena panik, dan ia segera berjalan meninggalkan kami.

*

"Kok kayak kenal ya Bun?" lita mendekati dan berbisik padaku.

"Mungkin pernah lihat di jalan, kan wajahnya juga familiar," jawabku pura pura.

"Ah, iya juga, tapi tetap aja kayak pernah kenal." Waktu itu anakku berusia 4 tahun saat ayahnya menghilang jadi secuil memory itu tak cukup untuk membuatnya ingat segalanya.

Dari balik kaca etalase dan meja kasir aku bisa melihat Suamiku sedang disuapi istrinya. Mereka saling memberi makan dengan mesra. Sekali mereka memuji anak mereka yang juga terlihat begitu mengemaskan dan cantik seperti ibunya.

"Wah anak Papa pintar. Lain kali kalau juara senam lagi, Papa akan belikan mainan yang kau inginkan."

"Sungguh Pa?" Anak itu berbinar dan nampak sangat bahagia.

"Iya, Papa janji."

Hatiku semakin teriris, kenangan beberapa tahun lalu kembali hadir saat lelaki itu pernah menjanjikan akan jalan-jalan ke ibukota kalau dia dapat bonus. Dia juga bilang akan memberikan anakku boneka beruang dan seperangkat rumah Barbie jika dia berhasil mendapatkan juara pertama di kelasnya.

Tapi ucapan manis itu tidak pernah terlaksana, karena dia menghilang, cinta dan harapan menguap bersama janji-janjinya yang palsu.

"Wah, Lita suka melihat satu keluarga yang makan bersama dan terlihat bahagia, mereka seperti keluarga Cemara," ujar Lita. Sambil memandangi keluarga Ayah kandungnya dan merangkul bahuku, sepertinya putriku memang tidak menyadari sesuatu.

"Keluarga kita juga bahagia kan?"

"Aku bilang begitu bukan berarti aku iri Bunda... Bunda adalah ibu sekaligus Ayah yang hebat untuk kami berdua. Jadi aku minta maaf karena aku tidak sengaja menyakiti hati Bunda."

"Sudah, sebaiknya kembali ke dapur dan bantu kakakmu, dia akan marah dan menjerit jika kau telat mengeluarkan kue dari oven," ujarku tertawa.

"Siap, Bunda."

Lita mencium keningku lalu kembali ke dapur dengan hati yang riang, aku sendiri masih menahan rasa pedih di dalam dadaku sembari melihat di seberang sana seorang pria sedang memamerkan kebahagiaannya setelah bertahun-tahun membuatku menantinya.

Mau disembunyikan sekuat apapun, air mata ini tetap jatuh dengan sendirinya.

"Berapa tagihannya!" Tiba-tiba Wanita bergaun hijau itu mendekatiku dan mengulas senyum tipis. Aku yang masih melamun tersentak dengan kehadirannya.

"175.000 nyonya."

"Baiklah." Dia menggangguk kemudian memberi isyarat pada suaminya.

"Sayang, aku lupa bawa dompet." Wanita itu bersikap manja, mengering dengan nakal dan menggoda Mas Arham di hadapanku. Lelaki itu hanya tersenyum lalu merogoh kantongnya dan mendekat ke arah kami. Jadi saat lelaki itu mendekat, istrinya kembali bergelayut di lengan lelaki itu, seakan-akan dunia hanya milik mereka berdua saja.

"Berapa yang harus kubayar?"

Pria itu tak berani menatap mataku yang masih basah oleh air mata. Meski aku telah menghapus lelehan benih itu tapi jejak sembab terlihat olehnyan.

"175."

"Ini."

Dia meletakkan uang Rp200.000.

"Kembaliannya untuk Mbak saja ya, tip untuk pelayanannya yang sempurna," ujar wanita itu sambil berkedip ke arahku. Sepertinya ia sedang menyedekahkan diri ini dan mengolok-olok betapa pedihnya takdirku. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya, karena baik dia pun tidak tahu kalau aku adalah istri suaminya.

"Terima kasih nyonya."

"Aku akan tunggu di mobil ya Sayang, tolong bungkuskan satu kotak tiramisu lagi untuk Mama di rumah,"perintah wanita itu pada Mas Arham.

"Iya, ok."

Wanita itu menggenggam tangan kedua anaknya lalu mengajaknya keluar dari tokoku. Sementara pria dengan jas coklat dan kacamata yang membingkai wajah tampannya itu masih berdiri di depan meja kasir.

"Saya akan bungkus kuenya!" ucapku memecah keheningan.

"Uhm, Iriana... aku ingin sekali bicara lebih banyak padamu."

"Percuma tidak usah!"

"Aku selalu memikirkan kalian selama ini!"

"Munafik!! Kalau memang masih memikirkan kau pasti akan kembali. Apa kau tahu betapa beratnya hidup dengan dua orang anak tanpa kepastian dari suami?!"

"Aku memang bersalah! Maafkan aku dan beri kesempatan."

"Lupakan saja, aku akan memaafkanmu dan menganggapmu sudah mati!" Balasku dengan tenang.

Aku membungkus kue tersebut dengan rapi, memasangkan lilin dan pita yang indah lalu memasukkannya ke dalam plastik dengan hati-hati.

"Tidak usah repot-repot untuk kembali, seperti yang kau lihat... aku berhasil bertahan hidup dan membahagiakan anak-anakku. Mereka juga sudah melupakanmu, jadi jangan datang dan menimbulkan luka di hati anak-anakku."

"Tapi mereka juga berhak tahu kalau aku masih ada di dunia ini."

"Untuk mengetahui kalau kau sudah bahagia dengan wanita lain dan punya anak? Untuk memamerkan betapa kayanya dirimu dibandingkan dengan kami yang masih mengais kehidupan dari toko kecil ini?!" Mau tidak mau aku makin geram dengan ucapan Mas Arham.

"Bukan begitu?!" Suamiku itu terus membela dirinya mn

"Ada apa ini?!" Percakapan kami yang intens membuat putriku penasaran, ternyata Delia menguping dan pelan-pelan mendekat dari dapur.

"Oh, ma-maaf." Mas Arham langsung menundukkan kepala dan membenahi kacamatanya.

"Anda siapa...." Anakku terdengar ragu sambil menunjukkan jarinya.

"Apa Anda adalah....?"

"Sudah dia hanya pelanggan biasa!! Biarkan dia pergi,"ujarku dengan hati yang sangat-sangat tidak nyaman. Aku mulai merasa gerah dan ingin mengusir lelaki itu secepatnya.

"Ayah... apa Anda adalah ayahku?!" Anakku bertanya dengan gemetar, bola mata itu mulai menunjukkan kaca-kaca dan ekspresi yang tak bisa kutuliskan dalam bentuk kata kata. Yang pasti, itu sangat menyakiti hatiku dan membuatku tak mampu menahan kepahitan ini.

"Ak-aku...." Mas Arham juga kehilangan kata-kata.

"Ayah? ke mana saja Ayah menghilang?" Putriku menangis, kerinduan yang selama ini tersimpan terlihat dengan jelas dari netra itu. Aku mengerti, hidup tanpa figur seorang ayah bukanlah hidup yang mudah, beberapa hal membuat kami tersisih dan tentu saja segalanya sulit.

"Kak, dia memang ayahmu, tapi situasinya..." Aku menggelengkan kepala sambil memberi isyarat lirikan kepada mobil Alphard, di mana istri dan anak-anak ayahnya sedang duduk dan menanti pria itu.

"Apa?!" Anakku terbelalak dan makin gemetar. "Jadi ayah kembali hanya ingin menunjukkan kebahagiaan?!"

"Bukan begitu, aku tidak sengaja...." Lelaki itu mengulurkan tangan dan ingin meraih putrinya yang masih mengenakan celemek dapur, tapi anakku segera bersurut sambil mencegah dengan tangannya.

"Tolong kenbalikan dirimu, atau adikmu akan tahu dan keluarganya akan marah juga."

"Teganya ayah!" Putriku hanya menggelengkan kepala, dia tak berkedip sedikit pun tapi air mata itu mengalir dengan deras. Tangisan putriku tersendat di tenggorokannya dan itu membuatku semakin iba.

"Maafkan ayah."

"Mas! Ayo dong Sayang ngapain di dalam situ lama-lama?!" Wanita itu terlihat merajuk dan memanggil Mas Arham dengan keras. Menyela percakapan diantara kami dan membuat Mas Arham tersadar.

"Iya, Ma. Ini aku sudah selesai!"

Pria itu nampak takut pada istrinya dan bergegas keluar dari toko kami.

Pria itu bergegas keluar dan pergi begitu saja denting lonceng kecil yang tergantung di pintu kaca, memberi isyarat bahwa kami harus merelakan kenyataan bahwa lelaki yang selama ini kami tunggu kedatangannya sudah tidak pantas lagi diharapkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status