Share

2. kaget bertemu

Bersama kedatangan pria yang telah 12 tahun menghilang, gerimis perlahan berhenti meninggalkan jejak warna jingga pucat yang memudar di langit.

Aku masih berdiri tak jauh dari meja kasir, membeku menatap kedatangan suamiku bersama keluarga barunya. Wanita yang digandengnya, ah, sungguh cantiknya. Penampilannya sangat elegan dengan gaun emerald selutut, rambutnya tertata rapi dengan anting berlian memperindah penampilannya.

"Si-si-silakan duduk." Mendadak tenggorokan ini tercekat, lidah ini keluh untuk pura-pura ramah dan menyapa mereka, entah kenapa aku tak menemukan satu kata-kata yang akan ku gunakan untuk bersikap formal.

Saat tatapanku beradu dengan Mas Arham binar mata dan senyum kebahagiaan untuk istri dan anak-anaknya tiba-tiba menghilang, tatapan matanya redup ke arahku, seakan ada makna tersirat berupa penyesalan atau mungkin keterkejutan.

"Apa di sini menjual tiramisu?" tanya pasangan Mas Arham.

"Be-benar, Nyonya," balasku tanpa ekspresi, aku ingin tersenyum dan bersikap akrab tapi pria yang berdiri di hadapanku membuat lututku gemetar.

Di lima detik pertama melihatnya, aku ingin menghambur ke arahnya dan memeluknya. Aku ingin memeluknya dengan segala perasaan membuncah di hatiku bahwa selama ini dia masih hidup. Aku ingin mencecarnya dengan ribuan pertanyaan yang sudah berlomba di kepalaku, aku ingin tahu kenapa dia menghilang. Aku ingin jujur bahwa selama 12 tahun aku setia menantinya, selalu mendoakan keselamatan dan berharap bahwa suatu hari kami berjumpa

Tapi tidak dengan cara seperti ini.

Tidak dalam keadaan dia menggandeng wanita lain dengan dua orang anak perempuan yang memanggilnya dengan sebutan Papa.

Mendadak aku sadar bahwa suamiku sudah punya keluarga baru, punya istri baru yang lebih cantik dan kehidupannya amat mewah. Di luar sana, mobil Alphard yang digunakan Mas Arham untuk datang ke tempat ini terparkir dan tak perlu dibayangkan berapa harganya.

"Tiramisunya sedang dipanggang, bila berkenan, Nyonya bisa menunggunya selama 15 menit, anak-anak saya akan menyiapkannya."

"Anak?" Dia bertanya lirih seakan hanya dia yang bisa mendengarnya, padahal desis itu sampai ke telingaku.

Mendadak lelaki berjas coklat dengan kacamata membingkai wajah tegas itu melirik ke arahku, tatapan matanya membulat seakan ia menyadari sesuatu, seperti terkejut tapi berusaha ia sembunyikan dari tatapan istrinya.

"Sebaiknya kita cari cafe lain saja Ma, yang kuenya sudah ready," ucap pria itu mencoba membawa istri dan anaknya untuk pergi. Tapi mereka bertiga sudah terlanjur duduk di meja yang sudah kusediakan.

"Nggak mau Sayang, di sini paling terkenal," balas wanita itu setengah merengek manja dengan senyum yang merekah lebar, sudah kutebak kehidupan mereka sangat bahagia, sehingga binar mata itu tak bisa menyembunyikannya.

Mungkin dia lupa, setelah menyeret kopernya dari rumah kami ia segera menghapus ingatannya. Ingatan tentang dua pasang mata yang terlahir ke dunia ini sebagai buah cintanya denganku. Tentang dua orang putri yang selama ini selalu menantikan ayahnya, selalu bertanya dan memintaku menceritakan seperti apa ciri-ciri serta kesukaan ayahnya.

Dalam 12 tahun, tak pernah sekalipun kutuliskan hal-hal yang buruk dalam pikiran anak-anak tentang ayahnya, selalu kuceritakan betapa baiknya lelaki itu. Betapa indah hari-hari sebelum kepergiannya dan betapa sayangnya ia kepada anak-anak kami.

"Mas, kok bengong? duduk dong, Sayang?" Ucapan wanita itu terdengar seperti tetesan air di meja kristal, lembut dan merdu sekali. Juga sangat mesra sukses membuatku iri.

"Iya, aku akan duduk." Pria itu beranjak dari hadapanku, menyeret langkahnya dengan tatapan mata yang terus melirikku. Aku sendiri hanya bisa meremas tanganku saat wanita itu menggandeng tangan Mas Arham, mengajaknya duduk lalu memberikannya belaian mesra di bagian bahu.

"Aku pilihin kue dan minuman hangat ya, Sayang."

"Iya, Ma, pilihin aja."

Wah, ia memanggil wanita itu dengan sebutan mama, sangat mesra dan terdengar khas orang kaya.

"Muffin coklat kan?"

"Iya, Sayang."

Aku tidak tahu bahwa jawaban sayang itu memang khusus untuk istrinya, atau terdengar seperti olok-olokkan untukku. Layaknya sebuah tamparan yang menyadarkan wanita setia selama 12 tahun, aku tiba-tiba terpukul bahwa bahwa kesetiaanku adalah usaha sia-sia.

Hatiku hancur berkeping-keping seiring dengan ucapan sayang serta senyum tulus yang diarahkan suamiku kepada istri barunya.

Ya.

Mungkin tak pantas menyebutnya suami, tapi secara teknis, aku tak pernah menerima kata talak atau surat resmi dari pengadilan bahwa aku dan dia sah berpisah. Selama 12 tahun aku menantinya, aku mengabaikan luka serta pedihnya kerinduanku. Aku berjuang sendirian seakan memanjat tebing cadas bersama dua putriku, aku terlunta-lunta dalam kejamnya dunia ini, sementara kebodohanku terus memuja cinta dan percaya bahwa suamiku akan kembali.

Benar dia kembali! tapi bukan sebagai milikku. Di hari aku berjumpa dengannya, aku menyadari bahwa aku harus berhenti mencintainya dan itu fakta yang sangat menyakitkan serupa tombak yang dihujamkan ke jantung.

"Mba, tolong bawakan cake coklat dan tiramisu, serta dua buah muffin berukuran besar untuk suamiku."

Pernyataan "suamiku" yang terlontar dari bibir wanita itu, membuatku semakin sadar bahwa cinta dalam hidupku telah benar-benar musnah.

"Baik, Nyonya," jawabku dengan suara bergetar, bola mataku mulai memanas dan berkaca-kaca, aku ingin sekali berjuang bahwa aku tidak boleh menangis di hadapan mereka. Kuambil kue-kue dari etalase lalu menyiapkan sambil menahan lelehan panas yang menggenang di pelupuknya mata.

"Anda baik-baik saja kan?" Mungkin karena aku terus saja terlihat murung wanita itu sampai datang mendekat dan meyakinkan dirinya bahwa aku bisa melayaninya.

"Ya Nyonya, maaf saya sedikit tidak sehat hari ini." Bagaimana tak kupanggil nyonya, penampilannya dari atas ke bawah terlihat sangat mewah bahkan tas dengan logo H yang dikenakannya itu, sudah menggambarkan status sosialnya.

Selagi kuambil kue-kue dari etalase, tiba-tiba Mas Arham berdiri dari mejanya dan minta izin pada istrinya bahwa dia harus ke toilet.

"Ma, kira-kira toiletnya di mana."

"Nggak tahu Sayang, tanyakan saja sama owner cafenya."

Kembali tatapan mata kami beradu dan pria itu nampak gugup, ia menelan ludah sehingga jakun di lehernya bergerak naik turun, ekspresinya tegang serta penuh dengan kekhawatiran.

"Bu, boleh antar saya ke toilet."

"Uhm, toiletnya ada di sebelah kiri, Tuan silakan ikuti saja lorongnya."

"Bisa antar saya?" Isyaratnya seakan-akan ingin meminta waktu untuk bicara padaku, aku tak sudi tapi aku juga tidak punya pilihan.

"Sebentar."

Aku mengantarkan nampan kue kepada istrinya, perasaan di dalam dadaku sudah membuncah, aku ingin sekali memberinya pelajaran. Kulayani tiga orang anggota keluarga Mas Arham layaknya orang yang bekerja profesional, aku berusaha tetap tersenyum dan bicara dengan ramah.

"Selamat menikmati nyonya."

"Terima kasih Mbak."

Aku kembali ke meja kasir sementara lelaki itu masih berdiri di sana dan terlihat bingung, mungkin pura-pura bingung dan polos. Dia tersenyum tipis ke arahku, memintaku mengarahkannya ke kamar mandi.

"Antarkan saya!"

"Hmm!" Aku mendengkus dengan geram.

Kuantarkan dia melewati lorong yang berseberangan dengan dapur, lalu kutunjukkan sebuah pintu berwarna coklat yang ada di ujung koridor. Saat itu hanya ada aku dan dia, dan suasananya lengang.

"Itu toiletnya." Aku hendak kembali ke meja kasir tapi pria itu menahanku.

"Sebentar!" Pria itu langsung mencengkram tanganku dan menahan langkahku, aku terkejut bukan main jantungku berdegup begitu kencang, bahkan bertalu-talu membuat seluruh tubuhku gemetar. Aku ingin berteriak dan marah, aku ingin mengamuk dan menjampak rambutnya, tapi aku harus mengendalikan diriku, anakku juga tidak boleh tahu kalau ayah mereka sedang datang, serta aku tak mau menciptakan kehebohan di toko kecil kami.

"Lepaskan aku! beraninya kau menyentuhku setelah apa yang kau lakukan!" Tatapanku begitu tajam sampai-sampai lelaki itu merasa terintimidasi, dia mulai mengendurkan pegangan tangannya dari pergelanganku.

"Aku minta maaf, mungkin ada banyak pertanyaan yang harus dijawab, aku akan menjelaskannya padamu. Sebenarnya ..."

"Aku tidak butuh penjelasan, Mas. Apa yang terlihat sudah menjelaskan segalanya." Tiba-tiba pertahananku luruh, aku meneteskan air mata yang seharusnya tidak perlu jatuh demi lelaki itu.

"Ariana, aku sungguh tidak tahu harus bilang apa." Dia nampak gugup dan terus menyentuh hidung dan kepalanya. Dia pasti sangat ketakutan kalau istrinya akan menyusul dan memergoki kami.

"Kau tahu aku adalah orang paling bodoh di dunia ini. Selama 12 tahun aku setia padamu, aku menunggumu dan selalu berdoa agar Tuhan menjagamu. Aku berharap Tuhan mengembalikanmu padaku dengan pengharapan yang tak putus." Air mataku mengalir dengan deras, dari pelupuk mata Mas Arham juga mulai meneteskan air mata mendengar perkataanku.

"Setiap waktu menunggumu, dan kau memang datang, tapi dengan cara seperti ini. Aku tidak tahu kau tinggal di mana dan menghilang ke mana selama ini, tapi beraninya kau menginjakkan kakimu di toko kami!"

"Aku tidak tahu kalau ini adalah cafemu!"

"Tentu saja kau tidak tahu, karena kau sudah melupakan kami!"

Nafasku sesak seketika air mataku mengalir deras meski aku berusaha untuk tidak menangis. Aku bahkan harus mencengkram tanganku sendiri untuk menahan diri.

"Aku akan membawa istri dan anak-anakku pergi sekarang juga!"

"Kenapa kau harus datang, kenapa kau kembali hanya untuk menusuk duka di hatiku. Bila kau memang pergi ...kenapa tidak benar-benar pergi jauh sampai kami tidak perlu melihatmu lagi!"

"Aku juga merindukanmu, Iriana!"

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi lelaki itu, dia terbelalak mendapatkan pukulan dariku, sementara bersamaan dengan itu aku yang sudah muak beranjak pergi dari hadapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status