Apakah Dika mengatakan kebenaran?
🏵️🏵️🏵️Setelah makan malam, aku dan Mas Ezza bersantai di ruang TV untuk menyaksikan acara kesukaan kami. Tiba-tiba terdengar suara getaran dari ponselku menandakan adanya pesan masuk. Aku segera meraih benda tersebut dari meja lalu membuka layar.Aku sangat terkejut melihat nama pengirim pesan, siapa lagi kalau bukan Dika. Saat awal berkenalan dengannya, dia meminta nomor ponselku. Sebagai seorang teman, aku bersedia memberikannya. Sebelumnya, dia jarang menghubungiku karena mengaku lebih puas bertatap muka.[Kamu udah ingat aku?] Isi pesan dari Dika.Aku bingung dengan pertanyaannya. Apa maksud Dika sebenarnya? Kenapa tadi saat di kampus, dia mengatakan sudah lama mengenalku? Dia juga mengaku pernah menolongku. Seandainya aku tahu siapa nama laki-laki yang telah memberikan pertolongan kala itu, mungkin sekarang hati ini lebih tenang.[Maksud kamu apa?] Aku membalas pesannya. Sementara Mas Ezza melirik ke arahku.[Kamu lupa dengan laki-laki yang telah melepaskanmu dari perbuatan be
🏵️🏵️🏵️“Doakan secepatnya, Mah, Pah.” Mas Ezza memberikan jawaban atas pertanyaan mamanya.“Dua hari yang lalu Papa mimpi gendong anak kecil. Dia tampan dan mirip kamu, Za. Papa merasa kalau itu nyata, tapi setelah terbangun ternyata hanya mimpi.” Aku benar-benar terharu mendengar cerita papa mertua.“Minta doanya, ya, Pah … semoga mimpi itu jadi kenyataan.” Aku berusaha meyakinkan papa Mas Ezza.“Iya, Nak. Papa selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua.”“Papa tenang aja, Ezza dan Bunga juga lagi berusaha, kok.” Ucapan Mas Ezza membuat pipiku terasa panas. Aku malu.“Papa percaya sama kamu, Za. Kamu pasti hebat seperti Papa.” Aku tidak mengerti apa arti hebat dari ucapan papa mertua. Beliau dan Mas Ezza pun tertawa, sedangkan aku dan mama mertua terdiam sambil berpandangan.“Oh, yah … kami ke kamar dulu, ya. Bunga belum pernah masuk kamar Ezza semenjak berstatus jadi istri. Dulu dia nggak mau diajak masuk, tapi sekarang harus mau.” Mas Ezza kembali membuat pipi ini kian mem
🏵️🏵️🏵️Waktu terus berlalu, tidak terasa sudah tiga bulan lamanya, Dara tidak memghubungi Mas Ezza karena nomor kontaknya telah diblokir. Aku kembali merasakan cinta yang makin bersemi untuk Mas Ezza. Dia juga tetap bersikap seperti sediakala, menunjukkan rasa peduli dan cinta yang begitu besar terhadapku.Satu masalah selesai, tetapi masih ada yang membuatku bingung. Dika makin berani menunjukkan apa yang dia rasakan kepadaku. Dia tidak peduli dengan statusku yang jelas-jelas sudah dia ketahui. Dirinya bahkan selalu mengungkit tentang pertolongan yang pernah dia lakukan di masa lalu.Aku tidak tahu pasti apakah Dika adalah sosok yang dulu memberikan bantuan bahkan menyelamatkan diriku dari kehancuran itu. Dia seolah-olah ingin memberikan teka-teki dan tidak ingin menjelaskan secara terbuka. Hari ini, Dika kembali membuatku kesal. Dia menghentikan langkahku saat ingin memasuki toilet. Alasanku ke ruangan tersebut bukan karena ingin membuang air, tetapi karena rasa mual yang tiba-ti
🏵️🏵️🏵️Aku tidak sanggup menyaksikan wanita lain berada dalam dekapan Mas Ezza. Kenapa dia tidak berusaha mengelak, tetapi justru tetap diam? Aku akhirnya langsung menghampiri mereka dengan perasaan kesal dan kecewa. Segera kutarik tangan wanita tidak tahu diri itu.“Sadar diri, dong. Ngapain peluk suami orang? Kurang dapat pelukan dari suami sendiri?” Mas Ezza tampak terkejut melihat keberadaanku.“Sayang, ini bukan seperti yang kamu pikirkan.” Mas Ezza meraih tanganku.“Ya, Mas, aku percaya sama kamu.” Aku berusaha menghargai suamiku di depan wanita itu.“Kita pulang sekarang, ya, Sayang.” Aku dan Mas Ezza segera memasuki mobil lalu meninggalkan Dara di tempat tersebut.Mobil segera meluncur dan aku tetap terdiam. Jika melihat pemandangan tadi, hati ini masih sangat sakit. Mas Ezza seolah-olah menikmati dekapan sahabatnya. Aku tidak pernah menyangka kalau dia mampu berbuat seperti itu. Selama ini, aku selalu percaya kalau dia sangat menghargai istrinya.“Terima kasih, Sayang, kare
🏵️🏵️🏵️Sebelum dokter datang, mama mertua mengusap-usap punggung dan leher belakangku. Bahagia rasanya memiliki mama mertua seperti beliau, seperti mama kandung sendiri. Sentuham lembut tangannya mampu membuatku terbuai dan merasakan kantuk.Dokter akhirnya tiba dan asisten rumah tangga langsung mengantarnya ke ruang keluarga. Aku diminta berbaring di kasur depan TV. Rasanya sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang terjadi terhadapku. Kenapa akhir-akhir ini badan terasa lemah?“Kapan terakhir datang bulan?” tanya dokter itu setelah memeriksa keadaanku.Aku baru sadar ternyata sudah tiga bulan lamanya tidak kedatangan tamu istimewa. Kenapa hal sepenting itu sampai terlupakan? Apa mungkin karena akhir-akhir ini, aku disibukkan dengan tugas-tugas kampus atau terlalu menikmati masa-masa indah bersama Mas Ezza?“Kalau nggak salah, tiga bulan, Dok.” “Setelah saya periksa, ternyata ada kabar bahagia. Selamat, ya, Mbak lagi hamil sekarang. Usia kandungannya memasuki sembilan minggu.” Ak
🏵️🏵️🏵️Setelah selesai makan malam dan menjalankan salat Isya, aku merebahkan tubuh ke tempat tidur. Mas Ezza masih berada di ruang TV bersama papanya, sedangkan mama mertua dari tadi sudah masuk kamar. Aku mengusap perut dan menyadari ada sang buah hati di dalam. Nikmat yang kurasakan saat ini sangat indah karena sebentar lagi akan menyandang status sebagai ibu. Seandainya Mas Ezza mengetahui kehamilan ini, seperti apa reaksinya? Apa dia akan bahagia? Ingin rasanya mengatakan kabar ini kepadanya, tetapi hatiku masih sedikit kesal.“Belum tidur, Sayang?” Mas Ezza tiba-tiba masuk kamar. Aku segera menjauhkan tanganku dari perut. “Belum, Mas.” Dia mengunci pintu kamar lalu menghampiriku.“Maafin aku, ya, Sayang. Aku nggak mau melihat kamu sedih.” Dia merebahkan tubuhnya, kemudian memelukku dari belakang. Posisiku saat ini sedang memunggunginya.“Jangan sakitin aku jika kamu tidak ingin aku sedih.”“Aku janji tidak akan pernah membuat kamu sedih lagi.” Dia memelukku makin erat, tanga
🏵️🏵️🏵️Aku tidak ada niat sedikit pun untuk menjauhkan Mas Ezza dari anaknya. Namun, hati ini masih belum terima dengan kejadian kemarin siang. Aku butuh waktu agar dapat menepiskan bayangan atas apa yang dilakukan oleh teman lamanya.Mas Ezza mencium perutku, hati ini merasa bersalah karena tidak memberitahukan tentang kehamilanku kepadanya. Saat melihatnya bersedih seperti ini, aku tidak kuasa. Ingin rasanya menenangkannya. Namun, entah kenapa aku tidak melakukannya.“Semarah itukah kamu padaku, Sayang? Kamu tega menyembunyikan kehamilanmu dariku. Apa kamu tidak ingin kita merasakan kebahagiaan bersama-sama? Apa tujuan kamu melakukan ini?” Aku tetap bingung dengan pertanyaan Mas Ezza.“Aku minta maaf.”“Kamu pikir aku nggak aneh melihat kamu mual-mual? Aku juga perhatiin kamu saat minum jus. Kamu terlihat sangat menikmatinya. Aku curiga sampai akhirnya menghubungi Dokter Aliyah untuk bertanya tentang mual-mual yang kamu rasakan.”“Ternyata kamu tahu dari Dokter Aliyah?” Aku tidak
🏵️🏵️🏵️“Aku ngidam agar kamu tetap setia menjadi suamiku dan ayah dari anak ini.” Aku memegang perutku.“Tanpa kamu minta, aku pasti melakukan hal itu.” “Jangan pernah sakiti hatiku, Mas. Aku nggak kuat. Jika kamu kembali melakukan hal itu, aku lebih baik pulang ke rumah orang tuaku. Aku akan membesarkan anak ini dengan penuh cinta dan kasih sayang. Kamu bebas melakukan apa yang kamu mau.”Mas Ezza langsung menempelkan jari telunjuk kanannya ke bibirku. “Jangan pernah ngomong seperti itu, Sayang. Aku tidak akan mungkin menyakitimu.”“Aku akan mencoba untuk kembali percaya padamu.”Mas Ezza memelukku. Dia selalu mampu membuat diri ini luluh dengan kemesraan yang dia tunjukkan. Aku akui, dia tidak membuatku merasa menderita walaupun pernikahan kami berawal dari sebuah kesepakatan dan perjodohan. Dia mampu membuatku merasakan kasih sayangnya.Tiba-tiba terdengar suara getaran pesan masuk dari ponselku. Mas Ezza meraih benda tersebut lalu menyerahkannya kepadaku. Aku membuka pesan ters