Amanda turun dan berusaha mengangkat tubuh Yuni yang ternyata berat. Dia tak sanggup untuk mengangkatnya sendirian ke dalam mobil. Tak ada pilihan lain saat ini selain kembali ke rumah Fery dan meminta bantuan lelaki itu untuk mengangkat Yuni.Badannya sudah basah kuyup karena guyuran hujan saat tadi mencoba mengangkat Yuni. Kadung basah, Amanda pun memutuskan berlari menuju rumah Fery yang tak jauh.“Mas, Mas Fery!” teriaknya dari luar. Suaranya bercampur dengan desau angin juga gemuruh hujan yang semakin deras.Fery yang memeluk Suci, langsung terperanjat saat mendengar suara Amanda dari luar.“Bu Manda, Pak,” ujar Suci.“Iya, ada apa dia?” Fery mengerutkan kening, lalu akhirnya berlari ke luar menuju jalan.“Ada apa, Manda? Mobil kamu mogok?” tanya Fery sedikit berteriak.“Bukan. Itu di sana, Yuni pingsan di jalan,” tunjuk Amanda ke arah di mana Yuni terbaring.“Astagfirullah.” Fery pun gegas membuka gerbang lalu berlari ke arah Amanda menunjuk. Dan ternyata memang benar Yuni terba
“Nyebut kamu, Yun. Istigfar. Masa iya kamu mau gugurin anak tak berdosa ini?” Yadi mulai berani. Jika selama ini dia selalu mengalah, tapi tidak untuk hal yang satu ini. Dia marah jika Yuni melakukan itu.“Tapi aku tidak mau tinggal di kontrakan kumuh kamu itu. Sumpek, sempit, bau. Aku mending gugurin aja anak ini, biar aku bebas nyari kerja.” Yuni bersikukuh.Yadi hendak menjawab lagi, tetapi terdengar ketukan di pintu yang memang tidak ditutup sempurna.“Eh, Pak Dokter,” ujar Yadi yang bangkit dari tempat duduknya. Dia langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman. Fery pun menyambutnya.“Yuni sudah lebih baik. Tadi aku sudah tanya hasil pada dokter yang menanganinya,” ujar Fery pada Yadi, seolah Yadi adalah suaminya Yuni.“Ah, terima kasih banyak Pak Dokter, sudah mau menolong Yuni,” ujar Yadi membungkuk hormat. Fery pun menepuk pundak Yadi pelan.“Kenapa kamu pake bilang terima kasih segala? Itu memang sudah jadi kewajiban Mas Fery untuk mengurusku. Aku ini masih bisa jadi istrinya
Yuni menangis terisak mengingat nasibnya yang begitu malang. Diceraikan dalam keadaan hamil, lalu harus pergi dari rumah dan entah harus ke mana.Tok, tok, tok.Yuni yang tengah menangis lantas menoleh kearah pintu. Matanya melebar saat melihat siapa yang datang.“Mbak Yasmin?” ucapnya lalu memasang wajah sedih, mengharap belas kasih.“Yun? Bagaimana keadaan kamu?” tanya Yasmin yang baru saja masuk dan duduk di kursi di samping ranjang. Kebetulan Yadi sudah kembali bekerja.“Udah agak mendingan, Mbak. Katanya besok juga udah bisa pulang,” jawab Yuni dengan suara dibuat serak.“Baguslah kalau begitu. Mbak kira kamu parah. katanya pelipis kamu dijahit sedikit.” Yasmin memperhatikan perban yang menutupi pelipis sang adik.“Iya, Mbak. Sakit banget ini.” Yuni kembali mencari perhatian.“Iya, sabar aja, Yun. Setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Yasmin yang mengkhawatirkan nasib adiknya.“Itulah, Mbak, aku nggak tau mesti ke mana lagi. Aku diusir sama Mas Fery. Lalu Mas Adit juga nggak ngiz
Sepeninggal Radit, Amanda dan Fery terlihat kaku. Mereka justru saling diam tak seperti tadi.“Manda,” panggil Fery pada akhirnya.“Ya?”“Kamu … mmh, apa kamu belum ada tanda tanda?”Mendengar pertanyaan itu, Amanda pun mengerutkan keningnya. “Tanda apa maksud kamu?”“Mmh, maksudku … apa kamu belum telat?”Deg.Amanda tersentak. Dia baru menyadari jika seharusnya dia dapat tamu bulanan dua minggu yang lalu. Namun, jika dia katakan itu Fery pasti akan menahannya. Lelaki itu tidak akan mau menceraikannya. Amanda yakin itu.“Mmh, belum sih. Aku masih normal-normal aja,” jawab Amanda tak berani membalas tatapan Fery.Fery mengembus napas kasar. Harapannya untuk kembali pada Amanda sudah tidak ada.“Baiklah. Aku akan lakukan semua seperti yang kamu minta. Aku tidak akan mempersulit proses perceraian kita. Dan aku harap, kamu akan bahagia dengan Denis,” ucap lelaki itu dengan tuluss meski hatinya teremas perih.Dia menyesal, kenapa cinta datang terlambat, setelah Amanda berpindah hati pada
Mereka terdiam sesaat sebelum akhirnya Suci juga Fery menyadari sesuatu.“Aargghh!” Suci menjerit sembari bangkit dari tubuh Fery. Lelaki itu pun gegas mengambil handuk yang tadi terlepas karena ditarik Suci.“Kamu kok, main tarik aja, Ci. Bikin kaget aja,” cetus Fery dengan wajah memerah karena malu.“I-iya, Pak, maaf. Tadi saya nggak sengaja. Gara-gara benda itu.” Suci menunjuk pada benda yang kini diam karena terbalik, akibat dari keinjak tadi.“Ya sudah, kamu keluar dulu, saya mau pakai baju,” usir Fery gegas berbalik, karena tak ingin hal tadi terjadi lagi.“Iya, Pak Dokter. Suci permisi,” jawab gadis itu. Dan di saat bersamaan ponsel Fery kembali berdering. Karena masih gugup, bukannya pakai baju, Fery malah mengangkat panggilan tersebut.“Halo?”“Halo, Fer, ini Mama sama Papa lagi di jalan. Apa benar rumah kamu yang bercat putih abu dengan nomor 36?” tanya suara wanita di seberang sana.“Ma-ma? Ada di jalan?” ucap Fery gagap.“Iya. Apa bener rumahmu yang ini? warna putih ada ab
“Ma, ini bisa kita bicarakan baik-baik.” Fery memelas. “Sekarang Mama sama Papa sebaiknya minum dulu, makan dulu. Setelah itu kita ngobrol dengan tenang.”Fery menuntun sang ibu menuju ke ruang makan di mana Suci sudah menyajikan makan malam untuknya tadi.“Tunggu sebentar, Bu. Suci bikinkan teh panas ya?” tawar Suci. Ani hanya menjawab dengan gumaman.“Bapak mau minum apa?” tanya Suci pada Sofyan—ayahnya Fery.“Oh, saya mau kopi hitam saja. Ada, kan?”“Oh, tentu saja ada. Pak Dokter juga suka minum kopi hitam sesekali,” jawab Suci dengan ramah. Dia lalu undur diri untuk membuat teh dan kopi.Ani menilik semua masakan yang sudah dihidangkan Suci di meja. Semuanya terlihat enak. Lalu dia memperhatikan cara gadis itu membuat kopi dan teh. Tangannya begitu luwes dan cekatan.“Wah, sepertinya pacar barumu itu pintar masak juga, Fer?” ujar Ani.“Eh, i-iya. Cobain dulu masakannya Suci, Ma. Dia pintas masak dan beres-beres,” jawab Fery.Ani kembali melebarkan matanya. “Jadi kalian sudah la
Orangtua Suci datang ke rumah Fery malam itu juga. Fery menyuruh orang untuk menjemputnya, sementara dia sendiri mempersiapkan diri untuk melakukan pernikahan yang ketiga kali.Ani menyeret Suci ke kamar yang dulu dipakai oleh orangtua Yuni, dan di sana wanita paruh baya itu mendandani calon menantunya.“Kamu tau? Feeling-ku mengatakan jika aku harus bawa kebaya bekas aku menikah dulu. Tadinya memang mau ngasihin kebaya ini sama perempuan yang sudah bisa mencuri hatinya Fery. Eh, taunya memang baju ini harus dipakai malam ini juga,” ujar Ani yang mengeluarkan kebaya putih tulang dari sebuah paper bag yang dibawanya.“Duduk di sana,” titah Ani pada Suci yang menurut dengan wajah melongo. Gadis itu pun duduk di kursi meja rias, sementara Ani mengeluarkan peralatan riasnya.“Kamu ini sebetulnya udah cantik walaupun nggak pakai make up. Tapi kalau buat acara spesial seperti ini kamu harus tampil lebih cantik.” Ani mulai mengoleskan krim-krim, bedak dan sebagainya. Tak lama datang Yasmin,
Pak Dokteerr! Berhentiii!” Suci menghadang Fery yang semakin mendekatinya. Namun, Ani dan Sofyan di kamar sebelah malah cekikikan mendengar jeritan Suci barusan. Mereka menyangka jika Suci sedang diapa-apakan oleh putra mereka.“Sstt, jangan teriak segala. Kamu tidurlah. Pakai selimut jangan lupa. Nanti masuk angin,” ujar Fery yang mengambilkan selimut untuk menutupi tubuh Suci yang begitu seksi.Gadis cantik itu takut-takut menerima selimut dari lelaki yang kini sudah sah menjadi suaminya. Setelah merasa yakin, dia pun mengambil selimut itu dan menutupi tubuhnya, lalu naik ke atas tempat tidur.“Pak Dokter jangan ngapa-ngapain. Awas kalau ngapa-ngapain aku saat tidur!” ancam Suci dengan mata melotot.“Iya, aku janji. Kamu tidur saja. Aku tidur di sofa aja,” jawab Fery yang merasa lucu melihat tingkah Suci yang ketakutan.Gadis itu mengelus kasur yang selama ini hanya bisa dia bersihkan. Tak menyangka kalau sekarang dia bisa tidur di sana. Matanya melirik pada Fery yang terbaring di