“Ma, ini bisa kita bicarakan baik-baik.” Fery memelas. “Sekarang Mama sama Papa sebaiknya minum dulu, makan dulu. Setelah itu kita ngobrol dengan tenang.”Fery menuntun sang ibu menuju ke ruang makan di mana Suci sudah menyajikan makan malam untuknya tadi.“Tunggu sebentar, Bu. Suci bikinkan teh panas ya?” tawar Suci. Ani hanya menjawab dengan gumaman.“Bapak mau minum apa?” tanya Suci pada Sofyan—ayahnya Fery.“Oh, saya mau kopi hitam saja. Ada, kan?”“Oh, tentu saja ada. Pak Dokter juga suka minum kopi hitam sesekali,” jawab Suci dengan ramah. Dia lalu undur diri untuk membuat teh dan kopi.Ani menilik semua masakan yang sudah dihidangkan Suci di meja. Semuanya terlihat enak. Lalu dia memperhatikan cara gadis itu membuat kopi dan teh. Tangannya begitu luwes dan cekatan.“Wah, sepertinya pacar barumu itu pintar masak juga, Fer?” ujar Ani.“Eh, i-iya. Cobain dulu masakannya Suci, Ma. Dia pintas masak dan beres-beres,” jawab Fery.Ani kembali melebarkan matanya. “Jadi kalian sudah la
Orangtua Suci datang ke rumah Fery malam itu juga. Fery menyuruh orang untuk menjemputnya, sementara dia sendiri mempersiapkan diri untuk melakukan pernikahan yang ketiga kali.Ani menyeret Suci ke kamar yang dulu dipakai oleh orangtua Yuni, dan di sana wanita paruh baya itu mendandani calon menantunya.“Kamu tau? Feeling-ku mengatakan jika aku harus bawa kebaya bekas aku menikah dulu. Tadinya memang mau ngasihin kebaya ini sama perempuan yang sudah bisa mencuri hatinya Fery. Eh, taunya memang baju ini harus dipakai malam ini juga,” ujar Ani yang mengeluarkan kebaya putih tulang dari sebuah paper bag yang dibawanya.“Duduk di sana,” titah Ani pada Suci yang menurut dengan wajah melongo. Gadis itu pun duduk di kursi meja rias, sementara Ani mengeluarkan peralatan riasnya.“Kamu ini sebetulnya udah cantik walaupun nggak pakai make up. Tapi kalau buat acara spesial seperti ini kamu harus tampil lebih cantik.” Ani mulai mengoleskan krim-krim, bedak dan sebagainya. Tak lama datang Yasmin,
Pak Dokteerr! Berhentiii!” Suci menghadang Fery yang semakin mendekatinya. Namun, Ani dan Sofyan di kamar sebelah malah cekikikan mendengar jeritan Suci barusan. Mereka menyangka jika Suci sedang diapa-apakan oleh putra mereka.“Sstt, jangan teriak segala. Kamu tidurlah. Pakai selimut jangan lupa. Nanti masuk angin,” ujar Fery yang mengambilkan selimut untuk menutupi tubuh Suci yang begitu seksi.Gadis cantik itu takut-takut menerima selimut dari lelaki yang kini sudah sah menjadi suaminya. Setelah merasa yakin, dia pun mengambil selimut itu dan menutupi tubuhnya, lalu naik ke atas tempat tidur.“Pak Dokter jangan ngapa-ngapain. Awas kalau ngapa-ngapain aku saat tidur!” ancam Suci dengan mata melotot.“Iya, aku janji. Kamu tidur saja. Aku tidur di sofa aja,” jawab Fery yang merasa lucu melihat tingkah Suci yang ketakutan.Gadis itu mengelus kasur yang selama ini hanya bisa dia bersihkan. Tak menyangka kalau sekarang dia bisa tidur di sana. Matanya melirik pada Fery yang terbaring di
“Pembantu? Pembantu apa maksud Mama?” tanya Fery berpura-pura tak mengerti. Dia juga melirik pada Suci dengan delikan maut.“Itu, barusan Suci bilang kalau dia kenal kamu sejak dia bekerja di sini. itu artinya dia bekerja jadi pembantu di sini?” cecar Ani.“Oh, itu.” Fery tertawa pelan. “Maksud Suci, dia bekerja sama aku itu, dia staff aku, Ma. Dia pernah jadi asisten aku di sini waktu dulu rumah sakit belum jadi. Aku, kan buka praktek di rumah ini,” ujar fery terdengar begitu meyakinkan. Dia juga mengembus napas lega karena bisa menemukan alasan yang tepat untuk sang ibu.“Ooh … begitu, toh. Mama kira dia ini pembantu kamu.” Ani ikut mengembus napas lega kemudian duduk lagi untuk menikmati sarapannya. Segelas susu hangat sudah tersaji di meja. Beberapa roti bakar dengan selai juga sudah siap.Tak lama Sofyan pun keluar dari kamar dengan penampilan yang tak kalah segar dari istrinya. Dia lantas ikut gabung ke meja makan.“Ayo sini sarapan dulu, Fer. Papa ingin kita makan bersama sebel
“Beneran kamu hamil? udah dites?” tanya Denis.Amanda pun mengangguk. “Hasilnya positif.”Lelaki itu mengembus napas gusar. Wajahnya tampak kecewa.“Kamu kecewa denga semua ini, kan?” Kini giliran Amanda yang menanyakan kepastian. “Aku ngerti. Lelaki mana yang mau bertanggungjawab dengan janin lelaki lain.” Amanda meluruh dan duduk di sofa tak jauh dari tempatnya berada.“No, no. bukan begitu, Manda. Aku takut jika Fery tidak akan mau melepaskanmu setelah tau kamu hamil anaknya dia,” jawab Denis.“Aku akan merahasiakannya. Aku tidak akan pernah bilang jika aku hamil.”“Bagaimana bisa kamu menyembunyikan kehamilan? Semakin lama perutmu akan semakin membesar,” tukas Denis.“Aku akan bilang, jika ini adalah anakmu.”“Tanpa pernikahan?” sergah Denis.“Tak ada jalan lain. Tolong aku Denis,” pinta Amanda memelas. Lelaki itu lantas berlutut di depan Amanda.“Apapun itu, akan aku lakukan untukmu,” ujar Denis, dan mereka pun saling menghambur berpelukan. Amanda sungguh berterima kasih pada lel
“Ci, besok saya harus ke Jakarta untuk menghadiri siding pertama perceraianku dengan Amanda. Apa kamu mau ikut?” tanya Fery pada gadis yang sedang menyiapkan makan malam untuknya.Gadis itu malah nyengir. “Saya di sini aja, ya, Pak? Boleh, kan?” Suci menawar.“Mesti ikut, sih. Kalau nggak ikut, nanti orangtua saya pasti curiga.” Fery bicara dengan santainya sambil menyuap.Suci langsung cemberut saat mendengarnya. “Kok, nikahnya jadi beneran gini, Pak? Bukannya cuman pura-pura?”Fery langsung mengangkat wajahnya dan menatap pada istri kecilnya itu.“Ya namanya nikah itu ya beneran, dong, Ci. Cuman bedanya, ini buat nenangin hati orang tua,” jawab Fery kemudian kembali menyuap makan malamnya.“Wah, sup ayam bikinan kamu memang selalu enak, Ci. Saya mau lagi, dong,” pinta Fery yang malas membahas soal pernikahan mereka.Walaupun kesal dan dengan muka cemberutnya, tetapi Suci tetap mengambilkan lagi sup yang diminta suaminya.“Terima kasih,” ucap Fery dengan senyuman manis. “Kamu duduk,
“Ini kita langsung ke pengadilan ya, Pak?” Suci melirik pada lelaki yang fokus menyetir. Sebentar lagi mereka akan keluar dari jalan tol.“Nggak, Ci. Sidangnya besok. Hari ini kita ke rumah orangtuaku dulu,” jawab Fery.Suci langsung memberengut. “Bapak kok, bohong? Katanya sidangnya hari ini.”“Iya, saya salah lihat tanggal. Kirain hari ini, ternyata besok.” Fery beralasan.Dan Suci pun kembali cemberut. “Jadi sekarang gimana dong?”“Kita ke rumah Mama aja dulu nyimpen barang-barang, setelah itu kita jalan-jalan cari makan sekalian beli baju buat kamu,” jelas Fery.Entah harus bahagia atau justru kesal. Namun, Suci sebenarnya tidak mau ikut ke Jakarta. Tidak mau ke rumah orangtuanya Fery. Dia juga tidak mau jalan-jalan cari baju. Semua pikirannya tertuju pada Fahri. Dia tidak mau mengkhianati kepercayaan lelaki itu lebih jauh lagi.“Kok masih cemberut?” goda Fery yang merasa gemas melihat istrinya yang bibirnya maju lima senti.“Bapak ini kayak yang sengaja. Saya, kan, sebenernya ngg
“Kita makan di sini aja, ya?” tawar Fery masuk ke restoran siap saji. “Walaupun nggak sehat, sekali-sekali nggak apa-apa. Daripada denger ocehan, makin tidak sehat,” ujar Fery.Suci malah tampak senang saat Fery mengajaknya ke sana. “Wah, McD ya, Pak. Saya belum pernah nyoba. Cuman pernah lihat iklannya aja di TV.”“Oh, jadi kamu belum nyobain. Ayo, kalo gitu.”“Saya mau es krimnya ya, Pak,” bisik Suci lagi menunjuk pada gambar yang terpampang di depan resto.“Siap, Nyonya!” Fery mengangkat tangannya membuat sikap menghormat. “Ayo,” ajaknya lagi.Fery dan Suci mencari tempat kosong di antara ramainya orang-orang yang sedang makan. Beberapa pasanng mata memperhatikan mereka. Mungkin beberapa orang berpikir jika Suci adalah seorang pembantu. Akan tetapi melihat Fery yang menuntunnya, pikiran mereka pun menduda-duga. Apalagi melihat sosok Suci yang masih sangat muda, berbeda dengan Fery yang sudah dewasa. Perbedaan usia mereka hampir 17 tahun.“Duduk dulu di sini. Aku mau pesan,” kata Fe