“Nyebut kamu, Yun. Istigfar. Masa iya kamu mau gugurin anak tak berdosa ini?” Yadi mulai berani. Jika selama ini dia selalu mengalah, tapi tidak untuk hal yang satu ini. Dia marah jika Yuni melakukan itu.“Tapi aku tidak mau tinggal di kontrakan kumuh kamu itu. Sumpek, sempit, bau. Aku mending gugurin aja anak ini, biar aku bebas nyari kerja.” Yuni bersikukuh.Yadi hendak menjawab lagi, tetapi terdengar ketukan di pintu yang memang tidak ditutup sempurna.“Eh, Pak Dokter,” ujar Yadi yang bangkit dari tempat duduknya. Dia langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman. Fery pun menyambutnya.“Yuni sudah lebih baik. Tadi aku sudah tanya hasil pada dokter yang menanganinya,” ujar Fery pada Yadi, seolah Yadi adalah suaminya Yuni.“Ah, terima kasih banyak Pak Dokter, sudah mau menolong Yuni,” ujar Yadi membungkuk hormat. Fery pun menepuk pundak Yadi pelan.“Kenapa kamu pake bilang terima kasih segala? Itu memang sudah jadi kewajiban Mas Fery untuk mengurusku. Aku ini masih bisa jadi istrinya
Yuni menangis terisak mengingat nasibnya yang begitu malang. Diceraikan dalam keadaan hamil, lalu harus pergi dari rumah dan entah harus ke mana.Tok, tok, tok.Yuni yang tengah menangis lantas menoleh kearah pintu. Matanya melebar saat melihat siapa yang datang.“Mbak Yasmin?” ucapnya lalu memasang wajah sedih, mengharap belas kasih.“Yun? Bagaimana keadaan kamu?” tanya Yasmin yang baru saja masuk dan duduk di kursi di samping ranjang. Kebetulan Yadi sudah kembali bekerja.“Udah agak mendingan, Mbak. Katanya besok juga udah bisa pulang,” jawab Yuni dengan suara dibuat serak.“Baguslah kalau begitu. Mbak kira kamu parah. katanya pelipis kamu dijahit sedikit.” Yasmin memperhatikan perban yang menutupi pelipis sang adik.“Iya, Mbak. Sakit banget ini.” Yuni kembali mencari perhatian.“Iya, sabar aja, Yun. Setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Yasmin yang mengkhawatirkan nasib adiknya.“Itulah, Mbak, aku nggak tau mesti ke mana lagi. Aku diusir sama Mas Fery. Lalu Mas Adit juga nggak ngiz
Sepeninggal Radit, Amanda dan Fery terlihat kaku. Mereka justru saling diam tak seperti tadi.“Manda,” panggil Fery pada akhirnya.“Ya?”“Kamu … mmh, apa kamu belum ada tanda tanda?”Mendengar pertanyaan itu, Amanda pun mengerutkan keningnya. “Tanda apa maksud kamu?”“Mmh, maksudku … apa kamu belum telat?”Deg.Amanda tersentak. Dia baru menyadari jika seharusnya dia dapat tamu bulanan dua minggu yang lalu. Namun, jika dia katakan itu Fery pasti akan menahannya. Lelaki itu tidak akan mau menceraikannya. Amanda yakin itu.“Mmh, belum sih. Aku masih normal-normal aja,” jawab Amanda tak berani membalas tatapan Fery.Fery mengembus napas kasar. Harapannya untuk kembali pada Amanda sudah tidak ada.“Baiklah. Aku akan lakukan semua seperti yang kamu minta. Aku tidak akan mempersulit proses perceraian kita. Dan aku harap, kamu akan bahagia dengan Denis,” ucap lelaki itu dengan tuluss meski hatinya teremas perih.Dia menyesal, kenapa cinta datang terlambat, setelah Amanda berpindah hati pada
Mereka terdiam sesaat sebelum akhirnya Suci juga Fery menyadari sesuatu.“Aargghh!” Suci menjerit sembari bangkit dari tubuh Fery. Lelaki itu pun gegas mengambil handuk yang tadi terlepas karena ditarik Suci.“Kamu kok, main tarik aja, Ci. Bikin kaget aja,” cetus Fery dengan wajah memerah karena malu.“I-iya, Pak, maaf. Tadi saya nggak sengaja. Gara-gara benda itu.” Suci menunjuk pada benda yang kini diam karena terbalik, akibat dari keinjak tadi.“Ya sudah, kamu keluar dulu, saya mau pakai baju,” usir Fery gegas berbalik, karena tak ingin hal tadi terjadi lagi.“Iya, Pak Dokter. Suci permisi,” jawab gadis itu. Dan di saat bersamaan ponsel Fery kembali berdering. Karena masih gugup, bukannya pakai baju, Fery malah mengangkat panggilan tersebut.“Halo?”“Halo, Fer, ini Mama sama Papa lagi di jalan. Apa benar rumah kamu yang bercat putih abu dengan nomor 36?” tanya suara wanita di seberang sana.“Ma-ma? Ada di jalan?” ucap Fery gagap.“Iya. Apa bener rumahmu yang ini? warna putih ada ab
“Ma, ini bisa kita bicarakan baik-baik.” Fery memelas. “Sekarang Mama sama Papa sebaiknya minum dulu, makan dulu. Setelah itu kita ngobrol dengan tenang.”Fery menuntun sang ibu menuju ke ruang makan di mana Suci sudah menyajikan makan malam untuknya tadi.“Tunggu sebentar, Bu. Suci bikinkan teh panas ya?” tawar Suci. Ani hanya menjawab dengan gumaman.“Bapak mau minum apa?” tanya Suci pada Sofyan—ayahnya Fery.“Oh, saya mau kopi hitam saja. Ada, kan?”“Oh, tentu saja ada. Pak Dokter juga suka minum kopi hitam sesekali,” jawab Suci dengan ramah. Dia lalu undur diri untuk membuat teh dan kopi.Ani menilik semua masakan yang sudah dihidangkan Suci di meja. Semuanya terlihat enak. Lalu dia memperhatikan cara gadis itu membuat kopi dan teh. Tangannya begitu luwes dan cekatan.“Wah, sepertinya pacar barumu itu pintar masak juga, Fer?” ujar Ani.“Eh, i-iya. Cobain dulu masakannya Suci, Ma. Dia pintas masak dan beres-beres,” jawab Fery.Ani kembali melebarkan matanya. “Jadi kalian sudah la
Orangtua Suci datang ke rumah Fery malam itu juga. Fery menyuruh orang untuk menjemputnya, sementara dia sendiri mempersiapkan diri untuk melakukan pernikahan yang ketiga kali.Ani menyeret Suci ke kamar yang dulu dipakai oleh orangtua Yuni, dan di sana wanita paruh baya itu mendandani calon menantunya.“Kamu tau? Feeling-ku mengatakan jika aku harus bawa kebaya bekas aku menikah dulu. Tadinya memang mau ngasihin kebaya ini sama perempuan yang sudah bisa mencuri hatinya Fery. Eh, taunya memang baju ini harus dipakai malam ini juga,” ujar Ani yang mengeluarkan kebaya putih tulang dari sebuah paper bag yang dibawanya.“Duduk di sana,” titah Ani pada Suci yang menurut dengan wajah melongo. Gadis itu pun duduk di kursi meja rias, sementara Ani mengeluarkan peralatan riasnya.“Kamu ini sebetulnya udah cantik walaupun nggak pakai make up. Tapi kalau buat acara spesial seperti ini kamu harus tampil lebih cantik.” Ani mulai mengoleskan krim-krim, bedak dan sebagainya. Tak lama datang Yasmin,
Pak Dokteerr! Berhentiii!” Suci menghadang Fery yang semakin mendekatinya. Namun, Ani dan Sofyan di kamar sebelah malah cekikikan mendengar jeritan Suci barusan. Mereka menyangka jika Suci sedang diapa-apakan oleh putra mereka.“Sstt, jangan teriak segala. Kamu tidurlah. Pakai selimut jangan lupa. Nanti masuk angin,” ujar Fery yang mengambilkan selimut untuk menutupi tubuh Suci yang begitu seksi.Gadis cantik itu takut-takut menerima selimut dari lelaki yang kini sudah sah menjadi suaminya. Setelah merasa yakin, dia pun mengambil selimut itu dan menutupi tubuhnya, lalu naik ke atas tempat tidur.“Pak Dokter jangan ngapa-ngapain. Awas kalau ngapa-ngapain aku saat tidur!” ancam Suci dengan mata melotot.“Iya, aku janji. Kamu tidur saja. Aku tidur di sofa aja,” jawab Fery yang merasa lucu melihat tingkah Suci yang ketakutan.Gadis itu mengelus kasur yang selama ini hanya bisa dia bersihkan. Tak menyangka kalau sekarang dia bisa tidur di sana. Matanya melirik pada Fery yang terbaring di
“Pembantu? Pembantu apa maksud Mama?” tanya Fery berpura-pura tak mengerti. Dia juga melirik pada Suci dengan delikan maut.“Itu, barusan Suci bilang kalau dia kenal kamu sejak dia bekerja di sini. itu artinya dia bekerja jadi pembantu di sini?” cecar Ani.“Oh, itu.” Fery tertawa pelan. “Maksud Suci, dia bekerja sama aku itu, dia staff aku, Ma. Dia pernah jadi asisten aku di sini waktu dulu rumah sakit belum jadi. Aku, kan buka praktek di rumah ini,” ujar fery terdengar begitu meyakinkan. Dia juga mengembus napas lega karena bisa menemukan alasan yang tepat untuk sang ibu.“Ooh … begitu, toh. Mama kira dia ini pembantu kamu.” Ani ikut mengembus napas lega kemudian duduk lagi untuk menikmati sarapannya. Segelas susu hangat sudah tersaji di meja. Beberapa roti bakar dengan selai juga sudah siap.Tak lama Sofyan pun keluar dari kamar dengan penampilan yang tak kalah segar dari istrinya. Dia lantas ikut gabung ke meja makan.“Ayo sini sarapan dulu, Fer. Papa ingin kita makan bersama sebel
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas