“Beneran kamu hamil? udah dites?” tanya Denis.Amanda pun mengangguk. “Hasilnya positif.”Lelaki itu mengembus napas gusar. Wajahnya tampak kecewa.“Kamu kecewa denga semua ini, kan?” Kini giliran Amanda yang menanyakan kepastian. “Aku ngerti. Lelaki mana yang mau bertanggungjawab dengan janin lelaki lain.” Amanda meluruh dan duduk di sofa tak jauh dari tempatnya berada.“No, no. bukan begitu, Manda. Aku takut jika Fery tidak akan mau melepaskanmu setelah tau kamu hamil anaknya dia,” jawab Denis.“Aku akan merahasiakannya. Aku tidak akan pernah bilang jika aku hamil.”“Bagaimana bisa kamu menyembunyikan kehamilan? Semakin lama perutmu akan semakin membesar,” tukas Denis.“Aku akan bilang, jika ini adalah anakmu.”“Tanpa pernikahan?” sergah Denis.“Tak ada jalan lain. Tolong aku Denis,” pinta Amanda memelas. Lelaki itu lantas berlutut di depan Amanda.“Apapun itu, akan aku lakukan untukmu,” ujar Denis, dan mereka pun saling menghambur berpelukan. Amanda sungguh berterima kasih pada lel
“Ci, besok saya harus ke Jakarta untuk menghadiri siding pertama perceraianku dengan Amanda. Apa kamu mau ikut?” tanya Fery pada gadis yang sedang menyiapkan makan malam untuknya.Gadis itu malah nyengir. “Saya di sini aja, ya, Pak? Boleh, kan?” Suci menawar.“Mesti ikut, sih. Kalau nggak ikut, nanti orangtua saya pasti curiga.” Fery bicara dengan santainya sambil menyuap.Suci langsung cemberut saat mendengarnya. “Kok, nikahnya jadi beneran gini, Pak? Bukannya cuman pura-pura?”Fery langsung mengangkat wajahnya dan menatap pada istri kecilnya itu.“Ya namanya nikah itu ya beneran, dong, Ci. Cuman bedanya, ini buat nenangin hati orang tua,” jawab Fery kemudian kembali menyuap makan malamnya.“Wah, sup ayam bikinan kamu memang selalu enak, Ci. Saya mau lagi, dong,” pinta Fery yang malas membahas soal pernikahan mereka.Walaupun kesal dan dengan muka cemberutnya, tetapi Suci tetap mengambilkan lagi sup yang diminta suaminya.“Terima kasih,” ucap Fery dengan senyuman manis. “Kamu duduk,
“Ini kita langsung ke pengadilan ya, Pak?” Suci melirik pada lelaki yang fokus menyetir. Sebentar lagi mereka akan keluar dari jalan tol.“Nggak, Ci. Sidangnya besok. Hari ini kita ke rumah orangtuaku dulu,” jawab Fery.Suci langsung memberengut. “Bapak kok, bohong? Katanya sidangnya hari ini.”“Iya, saya salah lihat tanggal. Kirain hari ini, ternyata besok.” Fery beralasan.Dan Suci pun kembali cemberut. “Jadi sekarang gimana dong?”“Kita ke rumah Mama aja dulu nyimpen barang-barang, setelah itu kita jalan-jalan cari makan sekalian beli baju buat kamu,” jelas Fery.Entah harus bahagia atau justru kesal. Namun, Suci sebenarnya tidak mau ikut ke Jakarta. Tidak mau ke rumah orangtuanya Fery. Dia juga tidak mau jalan-jalan cari baju. Semua pikirannya tertuju pada Fahri. Dia tidak mau mengkhianati kepercayaan lelaki itu lebih jauh lagi.“Kok masih cemberut?” goda Fery yang merasa gemas melihat istrinya yang bibirnya maju lima senti.“Bapak ini kayak yang sengaja. Saya, kan, sebenernya ngg
“Kita makan di sini aja, ya?” tawar Fery masuk ke restoran siap saji. “Walaupun nggak sehat, sekali-sekali nggak apa-apa. Daripada denger ocehan, makin tidak sehat,” ujar Fery.Suci malah tampak senang saat Fery mengajaknya ke sana. “Wah, McD ya, Pak. Saya belum pernah nyoba. Cuman pernah lihat iklannya aja di TV.”“Oh, jadi kamu belum nyobain. Ayo, kalo gitu.”“Saya mau es krimnya ya, Pak,” bisik Suci lagi menunjuk pada gambar yang terpampang di depan resto.“Siap, Nyonya!” Fery mengangkat tangannya membuat sikap menghormat. “Ayo,” ajaknya lagi.Fery dan Suci mencari tempat kosong di antara ramainya orang-orang yang sedang makan. Beberapa pasanng mata memperhatikan mereka. Mungkin beberapa orang berpikir jika Suci adalah seorang pembantu. Akan tetapi melihat Fery yang menuntunnya, pikiran mereka pun menduda-duga. Apalagi melihat sosok Suci yang masih sangat muda, berbeda dengan Fery yang sudah dewasa. Perbedaan usia mereka hampir 17 tahun.“Duduk dulu di sini. Aku mau pesan,” kata Fe
“Kita, kan, ada janji ketemu sama Amanda. Kenapa jadi harus ke bandara?” ucap Fery terdengar ketus.“Pak Dokter ini gimana, sih? Ada pacar saya baru datang dari luar negeri, masa nggak ngerti?” Suci mengentakan kakinya karena kesal.“Kalau mau, suruh dia yang ke sini, bukan kamu yang ke sana,” sahut Fery tak mau peduli.Suci langsung cemberut.“Ingat, Ci. Kita udah punya janji sama Amanda. Gimana kalau dia lagi di jalan mau ke sini? Pasti dia kecewa kalau kita tiba-tiba bilang ketemuannya nggak jadi.” Fery mencari alasan yang masuk akal.Suci pun berpikir sejenak. Apa yang dikatakan oleh suaminya itu ada benarnya.“Ya sudah, aku suruh Kang Fahri yang ke sini,” katanya meski dengan bibir yang cemberut. Dia lalu menghubungi kekasihnya itu dan memintanya untuk datang ke sana.“Kamu tunggu di sini, saya mau nyimpen semua barang ini ke mobil,” titah Fery yang membawa barang belanjaan segunung.“Mau saya bantu, Pak?” tawar Suci.“Mas, bukan bapak!” sahut Fery dengan tegas.“Oiya, lupa, Mas
“Pak Dokter, ih, cari kesempatan dalam kesempitan.” Suci mendorong tubuh itu setelah sadar jika dirinya tengah dipeluk oleh Fery.“Kesempatan dalam kesempitan apa? kamu itu istri saya, Uci. Saya berhak atas kamu seutuhnya,” jawab Fery.“Maaf, Pak Dokter. Tolong jangan panggil Suci dengan sebutan Uci. Itu adalah panggilang kesayangan dari saya,” potong Fahri yang merasa cemburu melihat Fery memperlakukan Suci penuh sayang.Fery sontak menoleh pada lelaki yang mendadak jadi saingannya itu. “Oh ya? apakah nama panggilan itu sudah dihak paten? Sudah didaftarkan? Dan apa hakmu memanggil istri saya pakai nama kesayangan segala?” sergahnya terdengar marah.“Suci itu pacar saya sudah lama. Saya panggil dia Uci juga sudah lama. Jadi, tolong Bapak jangan ikut-ikutan manggil Uci juga. Itu panggilan sayang, khusus dari saya.”“Nggak usah panggil bapak! Saya bukan bapakmu!” sergah Fery. “Lagian kamu itu hanya pacar yang bisa putus kapan aja. Sedangkan saya adalah suaminya, yang bertanggung jawab s
“Ibu hamil anaknya Pak Fery?” tanya Suci. Gadis itu bukan kaget karena kehamilan Amanda, tetapi karena wanita itu yang memintanya bertahan dengan Fery di tengah kehamilan itu.“Iya, Ci. Fery cemburu buta dengan Denis. Dia tak terima aku meminta cerai, hingga akhirnya melakukan itu.”“Ibu, kenapa Ibu nggak bilang saja sama Pak Fery?” potong Suci dengan suara memelas.“Tidak, Suci. Saya tidak mau kembali pada Fery. Saya sudah menemukan cinta sejati.” Amanda menoleh pada gadis di sampingnya.“Pak Denis?” tebak Suci dengan wajah polosnya.Amanda pun mengangguk. “Iya. Dia satu-satunya lelaki yang bisa menerima segala kekurangan dan kelebihanku. Dia bahkan mencintaiku, jauh sebelum aku melakukan perubahan ini. Dia tak peduli dengan wajah burukku. Tidak seperti Fery yang bilang cinta setelah aku berubah.”Suci mendengarkan cerita Amanda sembari manggut-manggut.“Fery hanya merasa penasaran padaku, Ci. Itu bukan cinta. Jika cinta, dia akan menerimaku apa adanya. Karena itu, aku memilih untuk
“Ayo kita susul mereka sekarang. Kasian Fery sama Fahri. Mereka pasti nungguin kita,” ajak Amanda yang bangkit dari tempat duduknya.“Ingat, ya, Ci. Saya mohon kamu juga merahasiakan kehamilan saya ini. Jangan sampai Fery tau. Aku takut dia akan mengejarku lagi. Kamu ngerti, kan?” Amanda kembali memastikan.Suci, walaupun dengan berat hati akhirnya dia mengangguk. “Baiklah, Bu. saya akan berusaha merahasiakan ini dari Pak Fery.”“Terima kasih, Ci. Ayo,” ajak Amanda mengulurkan tangannya. Suci pun bangkit setelah menyambut uluran tangan Amanda.Kedua wanita itu saling melempar senyum saat melihat Fahri dan Fery duduk saling berhadapan dan saling diam.“Hai, maaf lama,” sapa Amanda dan mengagetkan kedua lelaki yang sepertinya diam melamun.“Eh iya, nggak apa-apa. kalian sudah selesai ngobrolnya?” Fery menatap bergantian pada dua wanita itu.“Sudah. Suci dan aku sudah ngobrol dari hati ke hati. Bukan begitu, Ci?” Amanda menepuk pelan pundak gadis itu.“Eh, i-iya, Bu,” jawabnya gugup. Ga