“Pak Dokter, ih, cari kesempatan dalam kesempitan.” Suci mendorong tubuh itu setelah sadar jika dirinya tengah dipeluk oleh Fery.“Kesempatan dalam kesempitan apa? kamu itu istri saya, Uci. Saya berhak atas kamu seutuhnya,” jawab Fery.“Maaf, Pak Dokter. Tolong jangan panggil Suci dengan sebutan Uci. Itu adalah panggilang kesayangan dari saya,” potong Fahri yang merasa cemburu melihat Fery memperlakukan Suci penuh sayang.Fery sontak menoleh pada lelaki yang mendadak jadi saingannya itu. “Oh ya? apakah nama panggilan itu sudah dihak paten? Sudah didaftarkan? Dan apa hakmu memanggil istri saya pakai nama kesayangan segala?” sergahnya terdengar marah.“Suci itu pacar saya sudah lama. Saya panggil dia Uci juga sudah lama. Jadi, tolong Bapak jangan ikut-ikutan manggil Uci juga. Itu panggilan sayang, khusus dari saya.”“Nggak usah panggil bapak! Saya bukan bapakmu!” sergah Fery. “Lagian kamu itu hanya pacar yang bisa putus kapan aja. Sedangkan saya adalah suaminya, yang bertanggung jawab s
“Ibu hamil anaknya Pak Fery?” tanya Suci. Gadis itu bukan kaget karena kehamilan Amanda, tetapi karena wanita itu yang memintanya bertahan dengan Fery di tengah kehamilan itu.“Iya, Ci. Fery cemburu buta dengan Denis. Dia tak terima aku meminta cerai, hingga akhirnya melakukan itu.”“Ibu, kenapa Ibu nggak bilang saja sama Pak Fery?” potong Suci dengan suara memelas.“Tidak, Suci. Saya tidak mau kembali pada Fery. Saya sudah menemukan cinta sejati.” Amanda menoleh pada gadis di sampingnya.“Pak Denis?” tebak Suci dengan wajah polosnya.Amanda pun mengangguk. “Iya. Dia satu-satunya lelaki yang bisa menerima segala kekurangan dan kelebihanku. Dia bahkan mencintaiku, jauh sebelum aku melakukan perubahan ini. Dia tak peduli dengan wajah burukku. Tidak seperti Fery yang bilang cinta setelah aku berubah.”Suci mendengarkan cerita Amanda sembari manggut-manggut.“Fery hanya merasa penasaran padaku, Ci. Itu bukan cinta. Jika cinta, dia akan menerimaku apa adanya. Karena itu, aku memilih untuk
“Ayo kita susul mereka sekarang. Kasian Fery sama Fahri. Mereka pasti nungguin kita,” ajak Amanda yang bangkit dari tempat duduknya.“Ingat, ya, Ci. Saya mohon kamu juga merahasiakan kehamilan saya ini. Jangan sampai Fery tau. Aku takut dia akan mengejarku lagi. Kamu ngerti, kan?” Amanda kembali memastikan.Suci, walaupun dengan berat hati akhirnya dia mengangguk. “Baiklah, Bu. saya akan berusaha merahasiakan ini dari Pak Fery.”“Terima kasih, Ci. Ayo,” ajak Amanda mengulurkan tangannya. Suci pun bangkit setelah menyambut uluran tangan Amanda.Kedua wanita itu saling melempar senyum saat melihat Fahri dan Fery duduk saling berhadapan dan saling diam.“Hai, maaf lama,” sapa Amanda dan mengagetkan kedua lelaki yang sepertinya diam melamun.“Eh iya, nggak apa-apa. kalian sudah selesai ngobrolnya?” Fery menatap bergantian pada dua wanita itu.“Sudah. Suci dan aku sudah ngobrol dari hati ke hati. Bukan begitu, Ci?” Amanda menepuk pelan pundak gadis itu.“Eh, i-iya, Bu,” jawabnya gugup. Ga
“Itu yang saya takutkan akan terjadi, Pak Dokter. Kita itu tidak sekufu. Bapak terlalu sempurna buat saya yang hanya gadis kampung dan tidak berpendidikan.” Suci menunduk dalam di hadapan lelaki yang menatapnya tajam.“Kamu bilang begitu karena ibu-ibu tadi menanyaimu tentang pendidikan kamu?” tanya Fery dengan suara yang pelan.Suci terdiam. Dia tak mau menjawab. Biar lelaki itu sendiri saja yang berpikir sendiri.“Ci, denger!” Fery menuntun Suci agar duduk di sofa di sebelah dirinya. Setelah mereka duduk dengan nyaman, Fery memulai kembali kalimatnya. “Aku sudah pernah menikah dengan yang berpendidikan seperti Amanda. Aku juga sudah pernah menikah dengan orang sengklek macam Yuni. Bukan hanya berpendidikan biasa saja, tapi dia juga tak beretika, walaupun saya akui kalau dia memang memiliki fisik yang cantik.”Suci sontak mendongak saat mendengar sang suami memuji mantan istrinya. Entah kenapa, rasanya agak aneh.“Lalu kamu, kamu tak sekolah tinggi. Tapi kamu memiliki hati yang baik.
Tok, tok, tok.Obrolan Fery dan Suci sontak terhenti dengan ketukan di pintu.“Siapa?” tanya Suci. Fery pun menggeleng pelan dengan posisi masih sama, menyimpan dagunya di pundak sang istri kecil.“Ya?” ujar Fery menjawab si pengetuk.“Ini Mama, boleh masuk?” tanya Ani.“Masuk saja, Ma. Kita nggak lagi apa-apa, kok,” jawab Fery dengan kekehan.Pintu pun terbuka dan menampilkan wajah Ani dengan senyuman jahil. “Nggak ganggu?” tanyanya menatap pada dua insan yang berdempetan itu. Lebih tepatnya lagi, Fery yang mepet Suci yang sedang makan.“Nggak, Bu. Saya lagi makan.” Suci menjawab sambil mengangkat sendok di tangannya.“Itulah kenapa Mama ke sini. Buat lihat kondisi kamu. kata Fery kamu sakit. Sakit apanya, Sayang?” tanya Ani yang semakin mendekat, lalu duduk di ujung kasur.“Mmh, itu ….” Suci melirik pada Fery dengan wajah yang kikuk.“Itu, Ma. Kaya nggak ngerti aja.” Fery mengedipkan matanya. “Biasa, kalau pertama, kan, emang suka gitu.”“Oowwh.” Ani menahan tawa sambil menutupi bib
“Rahasia apa, sih?” ulang Fery karena Amanda dan Suci malah saling tatap dan diam.“Mmhh … itu … rahasia, dong,” jawab Amanda berusaha menenangkan diri agar Fery tak curiga. “Rahasia antar sesama cewek. Iya, kan, Ci?” Wanita itu mengedipkan sebelah matanya.Suci yang melongo lantas mengangguk cepat. “I-iya, ra-ha-si-a,” jawabnya sambil memeragakan sedang mengunci mulutnya.“Lohh, kalian main rahasia-rahasiaan segala.” Fery menyenggol Suci.“Bukan hal penting, kok,” sahut Amanda. “Hanya sesuatu yang … ah sudahlah, itu urusan perempuan.”“Ya, baiklah. Sampai jumpa lagi lain waktu. Jaga diri baik-baik. Aku akan kembali ke Suniagara hari ini,” balas Fery pada Amanda juga Denis.**Fery sesekali menatap pada Suci yang tertidur di jok samping. Kepalanya terkulai dengan napas yang teratur. Wajah gadis itu tampak begitu cantik dan polos. Fery menyungging senyum, rasa tak percaya jika pada akhirnya dia akan melabuhkan hati pada gadis polos itu.Hari menjelang sore, langit pun mulai gelap tert
“Kamu nyusul ke sini, Ci?” jawab Fery yang berusaha mencari topik obrolan lain.“Iya, Pak. Abisnya Bapak lama. Saya udah laper.” Suci tertawa kecil.“Ya sudah, ayo sini,” ajak Fery melambaikan tangannya. “Lho, kok ada Kang Fahri di sini?” tanya Suci yang merasa heran.“Eh, i-iya … aku … abis dari rumah sodara, terus mampir dulu ke sini,” jawab Fahri terlihat kikuk. Tangannya menggaruk tengkuknya.“Ooh, kebetulan sekali,” sahut gadis itu dengan senyuman manis. Namun, berbeda dengan Fery yang memasang wajah masam.“Ayo, Kang ikut makan sama kita,” ajak Suci dengan ramah.“Eh, nggak, Ci, terima kasih. Aku harus segera pulang. Lain kali aja ya. Aku permisi, assalamualaikum.” Fahri mundur lantas pergi dari sana menembus guyuran hujan.Suci menatapnya dengan heran.“Sudah, ayo, kita makan dulu. Tangan kamu dingin gini. Mending nggak usah pop mie, kita makan soto aja ya?” tawar Fery dan Suci pun mengangguk setuju.Suci dan Fery duduk berhadapan di meja kecil dengan semangkuk soto yang mas
Fery dan Suci sampai di Suniagara sudah lewat waktu Magrib. Untungnya mereka tadi mandi dulu di rest area sekalian makan lagi.Suci mengempaskan diri di kasur karena dirinya merasa sangat lelah.“Sholat dulu, Ci. Abis itu kita tidur,” ajak Fery sambil melangkah ke kamar mandi untuk wudhu. Suci pun ikut menyusul agar bisa secepatnya sholat dan tidur. Mata rasanya sudah tinggal lima watt.Selesai salat, Suci kembali merebahkan dirinya ke kasur. Benar-benar hari yang sangat melelahkan. Setelah ikut menghadiri sidang perceraian sang suami, lalu melalui perjalanan jauh, dan diselingi bercinta di rest area.“Capek?” Fery berbisik dari belakang Suci. Dia menyampirkan rambut Suci yang tergerai ke dada. “Aku pijitn, ya.”“Aah, Bapak mah ujungnya suka minta yang lain.” Suci cemberut.“Eeh, siapa bilang? Sini, aku cuman kasian sama kamu. Duu, duu, duu capek ya, istriku ini.” Fery mulai memijit pundak Suci secara perlahan.Suci pun kembali memejamkan matanya merasakan nikmatnya pijatan tangan Fer