Tak butuh waktu terlalu lama dari masjid besar di tepi jalan raya tadi, Meira dan Aldo sudah sampai di rumah Dina. Rumah khas pedesaan berbentuk Limas dengan beragam tanaman di halaman. Meira tersenyum tipis menatap rumah yang sebagain besar berbahan kayu itu. "Ini rumah kami, Mbak. Sederhana dan penuh kenangan, makanya ibu nggak mau mengubahnya menjadi rumah kekinian." Dina nyengir saat memarkirkan motornya di samping taman. "Malah enak, Din. Damai, nyaman dan tenang khas pedesaan." Lagi-lagi Dina tersenyum tipis lalu mengajak Meira dan Aldo masuk. Ibu tiba-tiba muncul di ambang pintu. Dengan ramahnya wanita lebih dari setengah abad itu memeluk Meira dan Aldo lalu mempersilakan mereka masuk ke ruang keluarga. "Buatkan teh hangat, Din. Ada susu kotak di kulkas, Aldo pasti mau ya?" Lasmi tersenyum tipis pada Aldo yang masih bergelayut manja di lengan bundanya. Tak membalas pertanyaan Lasmi, jagoan kecil itu mendongak ke arah bundanya lebih dulu. Setelah yakin jika sang bunda mengiz
Hening. Meira berusaha meredam debar dan getar di tangannya. Dia tak ingin Aldo tahu jika saat ini ayahnya menelepon. Meira benar-benar tak ingin menengok ke belakang lagi. Dia memutuskan untuk tak menghubungi Una sementara waktu. Jika perlu, Meira akan membeli nomor baru lagi agar suaminya tak bisa menemukannya. "Meira, kenapa?" Meira sedikit terjingkat saat Lasmi memegang pundaknya. "Eh, ibu. Ini telepon dari Una. Cuma tanya sudah sampai di sini apa belum." Meira tersenyum tipis berusaha menekan kegugupannya. "Oh begitu. Ya sudah ayo sarapan dulu. Kamu pasti sudah lapar kan?" Senyum wanita itu membuat hati Meira begitu tenang. Dia merasa mendapatkan pengganti bunda dalam hidupnya, tapi saat teringat Baim, mendadak ketakutannya muncul kembali. Meira takut jika Una diancam mantan suaminya itu lalu memberikan alamat Dina padanya. Meira tak ingin melibatkan Dina dan ibunya terlampau jauh. Mereka tak ingin terus merepotkan, karena itu pula sepertinya dia lebih memilih untuk mengontra
"Mandi dan istirahat dulu ya, Al. Tante mau keluar sebentar sekalian antar nenek arisan. Pokoknya nanti sore kita jalan-jalan," ujar Dina sembari mengusap puncak kepala Aldo. Jagoan kecil itu pun mengiyakan."Ibu juga mau arisan sebentar ya, Mei. Kamu sama Aldo istirahat di kamar saja. Nggak lama kok, sebelum Dzuhur sudah pulang." Meira mengangguk lalu menyalami Lasmi sebagai tanda hormatnya. Aldo pun mengikuti. Dina melakukan hal yang sama. Dia menyalami Meira dan mencium punggung tangannya. Setelah mengucap salam, Lasmi meminta Meira untuk mengunci pintu utama saja bila takut ada tamu tak diundang. Sementara pintu belakang biasanya memang tak dikunci kalau siang hari. Tak membantah, Meira segera mengunci pintu lalu kembali ke kamar yang sudah disiapkan Lasmi dan Dina untuknya. Aldo buru-buru mengambil baju dari Una yang belum dicuci itu dari ransel dan membawanya ke kamar mandi. "Aldo mandi ya, Bun. Setelah itu mau istirahat biar nanti nggak kecapekan kalau diajak jalan-jalan Tan
[Tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Sampai kapanpun aku tetap bilang, tak punya hubungan khusus dengan sahabatmu itu. Aku tak peduli kamu percaya atau tidak. Sepanjang apapun penjabaranku, toh kamu tak akan percaya dan terus curiga. Lantas apa gunanya membela? Ohya, kamu juga tak perlu minta maaf. Namun, jangan salahkan aku jika kelak menyesali keputusanmu saat ini. Aku sudah berusaha mengikhlaskan tuduhan selingkuhmu itu, meski terlalu sulit karena terlalu menyesakkan dada, tapi sudahlah. Detik ini, aku hanya ingin meniti masa depanku sendiri bersama Aldo. Jangan ganggu, maka aku juga tak akan mengganggumu. Selamat berbahagia dengan perempuan itu. Semoga dia tak merasakan kesakitan yang sama seperti yang kurasakan selama ini. Tak perlu mencariku jika kamu hanya ingin mencecar dan terus menyudutkanku tentang fitnah perselingkuhan itu!] Meira kembali mematikan handphonenya, membuka sim card lalu menyimpannya di dompet. Keputusannya sudah bulat untuk ganti nomor baru lagi. Sementara w
"Maksudmu apa, Na?!" ulang Baim semakin tak mengerti."Masih nggak tahu juga?" Una tersenyum miring meremehkan. Baim bergeming. Dia tak membalas sepatah katapun pertanyaan Una. Baim benar-benar tak paham ke arah mana pembicaraan sahabat istrinya itu. "Jangan bertele-tele, katakan saja apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai kamu memfitnah keluargaku hanya untuk membela sahabatmu, Na. Itu nggak adil!" "Kamu yang nggak adil! Tanpa tabayyun pada istrimu, kamu tega menalak dan mengusir ya begitu saja hanya karena pengakuan palsu keluargamu dan foto-foto ini! Memangnya kamu nggak mikir, Mas. Bagaimana kalau ternyata foto-foto ini dan pengakuan keluargamu sekadar fitnah? Aku yakin kamu akan menyesal seumur hidup karena sudah mempermainkan talakmu! Bukan begitu cara seorang suami untuk membuat jera istrinya. Bukan begitu cara lelaki yang bertanggungjawab mendidik istrinya. Seharusnya tanyakan dulu kebenarannya, cari bukti dan saksi yang benar. Jika memang Meira yang salah, kamu boleh me
"Pulang sana, Mas! Aku mau ke salon. Urus masalahmu sendiri dan jangan libatkan aku lagi!" usir Una begitu kesal. Baim bergeming, dia justru duduk kembali ke sofa ruang tamu rumah Una. "Isshhhh, mimpi apa aku semalam sampai ketemu kena teror laki-laki tak peka sepertimu pagi-pagi buta begini," gumam Una lagi. Bukan menggumam, tapi sengaja sedikit diperkeras agar Baim mendengar ocehannya. Namun, lagi-lagi Baim seolah tak peduli. Dia masih bergeming di tempat sembari menggoyang-goyangkan kedua kakinya karena tak sabar. Baim masih menunggu balasan dari Meira di nomor barunya. "Pantas saja dia nggak bisa dihubungi bahkan belasan pesanku nggak dibalas. Ternyata dia ganti nomor," lirih Baim tanpa menoleh. Una hanya mencebik. "Kalau aku jadi Meira, juga bakal melakukan hal yang sama. Buat apa dibalas kalau ujung-ujungnya cuma dituduh selingkuh. Apes banget jadi istrimu, Mas." Baim menoleh dengan mata membulat lebar. Namun, Una tak takut karena dia merasa benar. Lagipula, dia juga yakin j
"Mbak, sudah lebih enak kan? Nggak terlalu capek?" tanya Dina saat Meira keluar dari kamarnya. Kedua perempuan itu saling lempar senyum lalu Meira mengangguk pelan. Dia melihat jam di dinding yang menunjuk angka sebelas siang. Cukup lama tidurnya, dua jam lebih. Aldo pun masih terlelap di ranjang. Dia tampak begitu lelah karena perjalanan pertamanya yang cukup panjang. Meira sengaja membiarkan anak lelakinya puas istirahat. "Makan siang, Mbak. Ibu bawakan pecel nih sama rempeyek." Dina membuka tudung saji dari anyaman rotan itu saat Meira sudah duduk di kursi makan bersamanya. Dina masih membuat es coklat di teko kecil lalu mengambil gorengan di piring. "Masih kenyang, Din. Masa baru bangun langsung suruh makan lagi." Meira tersenyum tipis. "Eh nggak apa-apa kali, Mbak. Mbak Meira nggak diet kan? Sudah langsing begini masa diet." Dina nyengir lagi lalu meneguk segelas es coklatnya. "Nggaklah, Din. Malah pengen nambah berat badan sekilo dua kilo biar ideal." "Itu juga sudah idea
"Kamu!" Meira menunjuk lelaki di hadapannya. Dia cukup kaget melihat laki-laki itu berada di teras rumah Dina detik ini."Mbak Meira?" ucapnya tak kalah kaget. "Kalian saling kenal?" Dina menatap Doni dan Meira bergantian. "Kenal tadi pagi. Kebetulan Mbak Meira ini istirahat di Masjid Annur. Makanya aku kenal. Kebetulan aku salah satu takmir masjid itu." Doni menjelaskan kebingungan Dina. Meira pun mengangguk pelan. "Oh, iya, tadi aku jemput Mbak Mei di sana. Memangnya tempat tinggal kamu di sekitar masjid itu, Mas? Bukannya waktu itu kamu bilang tak jauh dari sini ya?" tanya Meira lagi. "Iya, itu juga nggak terlalu jauh dari sini kan, Din." Doni meringis kecil sembari garuk-garuk kepala. "Jauh kali itu, dua puluh menitan." "Belum satu jam. Masih dekatlah." Doni tak mau kalah. Melihat dua orang saling berdebat di depannya, Meira berdehem pelan. Dina dan Doni pun saling tatap lalu sama-sama mengalihkan pandangannya pada Meira. "Eh, maaf, Mbak. Sampai lupa ada Mbak Mei di sini. T