"Mandi dan istirahat dulu ya, Al. Tante mau keluar sebentar sekalian antar nenek arisan. Pokoknya nanti sore kita jalan-jalan," ujar Dina sembari mengusap puncak kepala Aldo. Jagoan kecil itu pun mengiyakan."Ibu juga mau arisan sebentar ya, Mei. Kamu sama Aldo istirahat di kamar saja. Nggak lama kok, sebelum Dzuhur sudah pulang." Meira mengangguk lalu menyalami Lasmi sebagai tanda hormatnya. Aldo pun mengikuti. Dina melakukan hal yang sama. Dia menyalami Meira dan mencium punggung tangannya. Setelah mengucap salam, Lasmi meminta Meira untuk mengunci pintu utama saja bila takut ada tamu tak diundang. Sementara pintu belakang biasanya memang tak dikunci kalau siang hari. Tak membantah, Meira segera mengunci pintu lalu kembali ke kamar yang sudah disiapkan Lasmi dan Dina untuknya. Aldo buru-buru mengambil baju dari Una yang belum dicuci itu dari ransel dan membawanya ke kamar mandi. "Aldo mandi ya, Bun. Setelah itu mau istirahat biar nanti nggak kecapekan kalau diajak jalan-jalan Tan
[Tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Sampai kapanpun aku tetap bilang, tak punya hubungan khusus dengan sahabatmu itu. Aku tak peduli kamu percaya atau tidak. Sepanjang apapun penjabaranku, toh kamu tak akan percaya dan terus curiga. Lantas apa gunanya membela? Ohya, kamu juga tak perlu minta maaf. Namun, jangan salahkan aku jika kelak menyesali keputusanmu saat ini. Aku sudah berusaha mengikhlaskan tuduhan selingkuhmu itu, meski terlalu sulit karena terlalu menyesakkan dada, tapi sudahlah. Detik ini, aku hanya ingin meniti masa depanku sendiri bersama Aldo. Jangan ganggu, maka aku juga tak akan mengganggumu. Selamat berbahagia dengan perempuan itu. Semoga dia tak merasakan kesakitan yang sama seperti yang kurasakan selama ini. Tak perlu mencariku jika kamu hanya ingin mencecar dan terus menyudutkanku tentang fitnah perselingkuhan itu!] Meira kembali mematikan handphonenya, membuka sim card lalu menyimpannya di dompet. Keputusannya sudah bulat untuk ganti nomor baru lagi. Sementara w
"Maksudmu apa, Na?!" ulang Baim semakin tak mengerti."Masih nggak tahu juga?" Una tersenyum miring meremehkan. Baim bergeming. Dia tak membalas sepatah katapun pertanyaan Una. Baim benar-benar tak paham ke arah mana pembicaraan sahabat istrinya itu. "Jangan bertele-tele, katakan saja apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai kamu memfitnah keluargaku hanya untuk membela sahabatmu, Na. Itu nggak adil!" "Kamu yang nggak adil! Tanpa tabayyun pada istrimu, kamu tega menalak dan mengusir ya begitu saja hanya karena pengakuan palsu keluargamu dan foto-foto ini! Memangnya kamu nggak mikir, Mas. Bagaimana kalau ternyata foto-foto ini dan pengakuan keluargamu sekadar fitnah? Aku yakin kamu akan menyesal seumur hidup karena sudah mempermainkan talakmu! Bukan begitu cara seorang suami untuk membuat jera istrinya. Bukan begitu cara lelaki yang bertanggungjawab mendidik istrinya. Seharusnya tanyakan dulu kebenarannya, cari bukti dan saksi yang benar. Jika memang Meira yang salah, kamu boleh me
"Pulang sana, Mas! Aku mau ke salon. Urus masalahmu sendiri dan jangan libatkan aku lagi!" usir Una begitu kesal. Baim bergeming, dia justru duduk kembali ke sofa ruang tamu rumah Una. "Isshhhh, mimpi apa aku semalam sampai ketemu kena teror laki-laki tak peka sepertimu pagi-pagi buta begini," gumam Una lagi. Bukan menggumam, tapi sengaja sedikit diperkeras agar Baim mendengar ocehannya. Namun, lagi-lagi Baim seolah tak peduli. Dia masih bergeming di tempat sembari menggoyang-goyangkan kedua kakinya karena tak sabar. Baim masih menunggu balasan dari Meira di nomor barunya. "Pantas saja dia nggak bisa dihubungi bahkan belasan pesanku nggak dibalas. Ternyata dia ganti nomor," lirih Baim tanpa menoleh. Una hanya mencebik. "Kalau aku jadi Meira, juga bakal melakukan hal yang sama. Buat apa dibalas kalau ujung-ujungnya cuma dituduh selingkuh. Apes banget jadi istrimu, Mas." Baim menoleh dengan mata membulat lebar. Namun, Una tak takut karena dia merasa benar. Lagipula, dia juga yakin j
"Mbak, sudah lebih enak kan? Nggak terlalu capek?" tanya Dina saat Meira keluar dari kamarnya. Kedua perempuan itu saling lempar senyum lalu Meira mengangguk pelan. Dia melihat jam di dinding yang menunjuk angka sebelas siang. Cukup lama tidurnya, dua jam lebih. Aldo pun masih terlelap di ranjang. Dia tampak begitu lelah karena perjalanan pertamanya yang cukup panjang. Meira sengaja membiarkan anak lelakinya puas istirahat. "Makan siang, Mbak. Ibu bawakan pecel nih sama rempeyek." Dina membuka tudung saji dari anyaman rotan itu saat Meira sudah duduk di kursi makan bersamanya. Dina masih membuat es coklat di teko kecil lalu mengambil gorengan di piring. "Masih kenyang, Din. Masa baru bangun langsung suruh makan lagi." Meira tersenyum tipis. "Eh nggak apa-apa kali, Mbak. Mbak Meira nggak diet kan? Sudah langsing begini masa diet." Dina nyengir lagi lalu meneguk segelas es coklatnya. "Nggaklah, Din. Malah pengen nambah berat badan sekilo dua kilo biar ideal." "Itu juga sudah idea
"Kamu!" Meira menunjuk lelaki di hadapannya. Dia cukup kaget melihat laki-laki itu berada di teras rumah Dina detik ini."Mbak Meira?" ucapnya tak kalah kaget. "Kalian saling kenal?" Dina menatap Doni dan Meira bergantian. "Kenal tadi pagi. Kebetulan Mbak Meira ini istirahat di Masjid Annur. Makanya aku kenal. Kebetulan aku salah satu takmir masjid itu." Doni menjelaskan kebingungan Dina. Meira pun mengangguk pelan. "Oh, iya, tadi aku jemput Mbak Mei di sana. Memangnya tempat tinggal kamu di sekitar masjid itu, Mas? Bukannya waktu itu kamu bilang tak jauh dari sini ya?" tanya Meira lagi. "Iya, itu juga nggak terlalu jauh dari sini kan, Din." Doni meringis kecil sembari garuk-garuk kepala. "Jauh kali itu, dua puluh menitan." "Belum satu jam. Masih dekatlah." Doni tak mau kalah. Melihat dua orang saling berdebat di depannya, Meira berdehem pelan. Dina dan Doni pun saling tatap lalu sama-sama mengalihkan pandangannya pada Meira. "Eh, maaf, Mbak. Sampai lupa ada Mbak Mei di sini. T
"Gimana, Vin? Sudah bisa dilacak keberadaannya?" Baim mulai cemas saat Vino belum menemukan keberadaan Meira di layar laptopnya. "Sebentar. Ini baru memasukkan nomor handphonenya. Sekarang nomornya mati, Im. Cuma setelah aku cek sebelumnya dia ada di Jogja, tak jauh dari candi Prambanan. Kalau sekarang belum bisa dilacak, nomornya mati." Vino begitu meyakinkan sembari terus mengamati laptopnya. "Dekat Candi Prambanan, Jogja?" tanya Baim seolah tak percaya. "Betul, kenapa memangnya?" Baim terdiam. Dia benar-benar tak menyangka jika Meira pergi sejauh itu. "Ada masalah apa kamu sama istrimu, Im?" Vino mulai penasaran. "Entahlah. Sepertinya aku salah langkah." Merebahkan punggungnya ke sofa, Baim memejamkan kedua matanya pelan. Pikirannya kacau dan tak tahu harus percaya pada siapa. Pengakuan keluarganya, keterangan Una atau penjelasan singkat dari pesan-pesan yang dikirimkan Meira. Baim pusing. Mereka semua orang-orang yang Baim percaya, tapi dia yakin ada yang berdusta tentang ma
"Kamu mau cari kerja di mana, Mei?" tanya Lasmi saat melihat Meira sibuk mencari lowongan kerja di surat kabar harian yang baru dibelinya. "Nggak tahu, Bu. Buat saya yang penting halal." Meira tersenyum tipis saat menatap Lasmi yang ikut duduk di sampingnya. "Misalnya ada kerjaan merawat bayi atau beberes rumah, apa kamu mau?" Meira kembali menoleh. "Memangnya ada lowongan kerja begitu, Bu? Kalau ada, mau banget. Saya nggak pilih-pilih soal kerjaan. Intinya yang penting halal, Bu. Mengingat usia saya tak muda lagi," ujar Meira sembari melipat surat kabarnya kembali. "Masih kelihatan muda. Dina bilang masih 28 tahun? Cuma beda dua tahun saja sama Dina. Kamu merasa tua karena sudah punya anak sebesar Aldo kan? Aslinya masih muda dan cantik. Kalau nggak kenal kamu, mungkin dipikir belum punya anak. Masih langsing begitu kok." Lasmi kembali memuji. Meira memang masih terlihat cantik dan seksi. Dia memiliki banyak waktu untuk merawat tubuhnya dengan baik karena Aldo sudah cukup besar