"Sab? Ada apa? Kenapa?" Bu Retno mendekati Sabrina dan mengguncang bahunya.Wanita beranak satu itu pun seolah-olah menemukan kesadarannya kembali. Dengan muka pias, dia menoleh ke ibunya."Bu, aku titip Alifa. Barusan tetangga ngabarin kalau rumah kontrakanku kebakaran."Bu Retno refleks menjerit kemudian mengucap istighfar. Kekagetan yang sama juga dialami oleh Pak Jaya. Tanpa membuang waktu, Sabrina bergegas mengambil jaket dan kunci motor untuk segera menuju rumah tersebut.Sabrina mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi. Jika dengan kecepatan rata-rata, dia baru akan sampai sekitar satu jam kemudian. Dia hanya berharap, semoga titik kemacetan dan lampu lalu lintas kali ini berpihak padanya yang sedang dirundung kemalangan.Air matanya bercucuran dari balik helm. Meski dia sudah tidak menempati rumah itu, tetapi kenangan akan kebersamaan keluarga kecilnya terus berputar di kepala. Di sanalah dia memulai bahtera rumah tangga, hamil, hingga membesarkan Alifa bersama suaminya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Adam masih berkomunikasi dengan Gavin untuk memantau kondisi Sabrina. Kadang dia mondar-mandir di ruang tamu, kadang juga duduk dengan wajah frustrasi. Mulutnya tak putus-putus merapal doa, memohon agar Sabrina tidak kenapa-napa.“Gimana kabar Sabrina, Dam?” tanya Bu Ami. Wanita itu turut menemani Adam semenjak anaknya kembali ke rumah. Berita tentang kebakaran kontrakan Sabrina sempat masuk dalam tayangan breaking news saluran televisi lokal. “Masih ditahan di Polres, Ma.”“Ya Allah, kasihan banget. Memangnya nunggu apa lagi?”“Jadi gini, Ma. Kebakaran itu diduga terjadi karena arus pendek. Sabrina mengaku kalau lampu rumahnya sempat mati–nyala sebelum ditinggal dan dia lupa matikan saklar sebelum pergi. Status dia sekarang bisa naik jadi tersangka dan dituntut atas pasal kelalaian. Kecuali, pemilik kontrakan bersedia menyelesaikan secara damai.”“Astaghfirullah … Mama engga bisa bayangin gimana perasaan Sabrina. Dia sama siapa sekara
Adam duduk di kursi ruang tamu rumah orang tua Sabrina. Sebenarnya ototnya tegang, jantungnya dag dig dug tak karuan, tetapi dia berusaha stay cool. Sesekali dia menghembuskan napas lewat mulut untuk mengurangi grogi."Silakan diminum, Ustadz." Sabrina menaruh segelas es sirop berwarna merah menyala. Tampak segar di cuaca siang yang terik seperti sekarang.Setelah menyajikan minuman, Sabrina lantas duduk di sebelah Bu Retno dan Pak Jaya, berseberangan dengan Adam."Jadi, Nak Adam ini siapa?" tanya Pak Jaya.Sejak Adam datang, bapaknya Sabrina itu memang belum bertanya apa-apa. Dia hanya memperhatikan Adam dari ujung kepala hingga ujung kaki, bingung mengapa ada lelaki muda berparas tampan yang tiba-tiba bertamu."Bapak ... Kan Sabrina udah bilang kalau beliau ini guru ngajinya Alifa."Meski pelan, suara Sabrina masih bisa didengar Adam. Pak Jaya menepuk punggung tangan Sabrina sebagai isyarat agar anaknya itu diam. Mereka ingin mendengar penjelasan dari Adam langsung.“Seperti yang di
Tentang luka. Meski katanya sudah sembuh, bekasnya sering kali tidak bisa benar-benar hilang. Nyerinya datang tanpa diundang. Dan itulah yang sedang Adam alami sekarang.Sepulang dari rumah orang tua Sabrina, Adam hanya berdiam diri di ruang tamu. Pertemuan singkat dengan Kayla setelah bertahun-tahun cukup mengejutkan. Terlebih, ada Bapak dan Ibu Muklis juga di sana. Dua orang yang dulu pernah menolak lamarannya untuk Kayla."Loh, pulang dari rumah Sabrina kok malah lesu?" tegur Bu Ami.Adam menoleh lalu tersenyum kecil. "Tadi saya ketemu Kayla sama orang tuanya di sana, Ma."Bu Ami membelalakkan mata. Dia lantas duduk di sebelah Adam untuk mengetahui kelanjutan ceritanya."Kok, bisa?"Adam mengedikkan bahu. "Entah. Sepertinya mereka cukup dekat karena Alifa langsung lari meluk Kayla waktu dia turun dari mobil.""Apa mungkin mereka ada hubungan saudara, Dam? Tapi Mama kurang yakin, ah."Adam sependapat dengan Bu Ami. Saat masih dekat dengan Kayla, dia sedikit banyak tahu tentang silsi
Alifa mengigau dalam tidur. Dia berulang kami menyebut kata 'Ayah'. Sepertinya gadis kecil itu memang sangat merindukan sosok ayahnya yang hangat meski sehari-hari jarang sekali bertanya.Setengah jam sekali, Sabrina mengganti kompres Alifa. Dia lakukan itu terus menerus hingga tengah malam. Pukul satu dini hari, panas Alifa akhirnya mulai turun. Sabrina yang tak kuasa lagi menahan kantuk pun ketiduran dalam posisi duduk di tepian ranjang.Pada saat itulah, Alifa berguling-guling di kasur lalu terjatuh dan menimbulkan suara berdebum yang cukup kencang. Kantuk Sabrina otomatis sirna ketika mendapati putri kecilnya mengerang kesakitan. Untung saja dipannya tidak terlalu tinggi, sehingga Alifa bisa ditenangkan sesaat setelah kejadian.Sabrina baru akan memejamkan mata setelah yakin Alifa sudah tertidur. Namun, anak itu mengigau lagi. Kali ini dia merengek seperti menangis dengan gerakan tangan seperti memeluk sesuatu. Berulang kali dia katakan, "Ini buku iqro aku, jangan diambil!"Ah, an
Sabrina tergesa-gesa memasuki lobby rumah sakit. Oleh satpam, dia diarahkan ke lantai dua, tempat Ruang Dahlia berada. Hatinya berkecamuk tidak karuan begitu sang ibu memberitahu bahwa Alifa dibawa ke rumah sakit karena kejang akibat panas tinggi.Perasaan bersalah membayangi Sabrina. Hanya karena panas Alifa sudah turun saat menjelang pagi, dia nekat pergi mengojek. Dia merasa telah menjadi ibu yang gagal karena kurang memperhatikan putrinya dan lebih mementingkan uang.Sabrina menuju meja resepsionis setelah keluar dari lift. Seorang petugas wanita muda menyapa dengan ramah dan menunjukkan letak kamar anaknya. Sepanjang menyusuri lorong rumah sakit, Sabrina mulai merasa pusing. Satpam dan petugas resepsionis bilang jika Ruang Dahlia adalah kamar VIP. Dia harus memutar otak untuk melunasi tagihan yang pastinya tidak sedikit.Tiba di depan kamar bernomor 203, Sabrina mengetuk pintu dan mengucap salam. Saat daun pintu terbuka, dia cukup terkejut mendapati para penunggu pasien. Bukan ha
Adam mengendarai motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Pikirannya kalut dan susah sekali mengatur fokus. Akibatnya, dia hampir hampir saja bertabrakan di perempatan jalan raya karena terlambat menyadari saat lampu merah menyala. Adam mengerem mendadak dan membanting setirnya ke kiri sehingga dia jatuh dan beberapa bagian motor mengalami kerusakan.Sebagian orang langsung sigap menolong. Ada yang mengatur lalu lintas, ada juga yang menepikan Adam beserta kendaraannya. Laki-laki itu meringis, menahan perih akibat goresan di mata kaki telapak tangan, dan luka lecet kecil di beberapa bagian lain. Untungnya, tidak ada korban lain dalam kecelakaan tersebut.Adam menenangkan diri sejenak di trotoar kemudian menelepon salah seorang karyawan bengkel. Dia meminta dua orang datang menjemput. Satu orang mengemudikan mobil yang nantinya akan dia tumpangi, satu orang lainnya membawa motor yang butuh diperbaiki. Sementara menunggu, beberapa penolong juga berdatangan membawakan air minum juga obat
Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Sabrina tersadar kalau dia masih berada di toilet kamar rumah sakit demi menghindari pertemuan dengan Bu Muklis."Iya, sebentar lagi," sahutnya parau.Sabrina menyusut air matanya yang sudah menganak sungai di pipi. Setiap kali selesai mencuci muka, air mata itu tumpah lagi. Begitu terus hingga suara ketukan pintu terdengar lagi.Mau tidak mau Sabrina harus segera keluar. Dia menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. Setelah merapikan penampilan, Sabrina kembali bergabung dengan orang-orang yang sudah berkumpul di sisi ranjang Alifa.Kayla memandangnya dengan tatapan kasihan. Namun, dia memilih menutup mulut dan mendengarkan perbincangan yang dimulai oleh ibu Sabrina."Sab, seluruh biaya pengobatan Alifa akan ditanggung oleh Bu Muklis. Ayo, ucapkan terima kasih!"Sabrina terpaksa menarik kedua sudut bibirnya agar membentuk lengkung senyum. Pernikahannya memang hanya akan menjadi ajang balas budi. Tidak ada cinta, yang ada