Sabrina baru sampai rumah orang tuanya menjelang Maghrib. Hari itu, orderan yang masuk lumayan banyak sehingga dia bisa mendapat bonus tutup poin. Senyum bahagia menghiasi wajah yang terlihat lelah."Alifa di mana, Pak?" tanya Sabrina sambil bangkit dari kursi.Dia berjalan ke arah dapur lalu menuang minum dari dispenser galon yang terlihat baru. Ah, jangan-jangan itu pemberian keluarga Pak Muklis juga, pikirnya. Makin lama, dia justru makin muak dengan segala hal di rumah ibunya yang merupakan hasil belas kasihan pengusaha kaya itu."Lagi main sama anaknya Bu Marni. Kamu bersih-bersih dulu, sana. Nanti jemput Alifa pulang sekalian suapin dia makan. Tadi siang cuma makan sedikit karena nyariin kamu terus," jawab bapaknya sabar.Sabrina merasa hatinya teriris karena harus meninggalkan sang buah hati. Selama ini, dia memang tidak pernah meninggalkan Alifa di rumah untuk bekerja. Tentu saja anak itu merasa kehilangan karena belum terbiasa.Mengambil handuk dan memasuki kamar mandi, Sabri
"Sab? Ada apa? Kenapa?" Bu Retno mendekati Sabrina dan mengguncang bahunya.Wanita beranak satu itu pun seolah-olah menemukan kesadarannya kembali. Dengan muka pias, dia menoleh ke ibunya."Bu, aku titip Alifa. Barusan tetangga ngabarin kalau rumah kontrakanku kebakaran."Bu Retno refleks menjerit kemudian mengucap istighfar. Kekagetan yang sama juga dialami oleh Pak Jaya. Tanpa membuang waktu, Sabrina bergegas mengambil jaket dan kunci motor untuk segera menuju rumah tersebut.Sabrina mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi. Jika dengan kecepatan rata-rata, dia baru akan sampai sekitar satu jam kemudian. Dia hanya berharap, semoga titik kemacetan dan lampu lalu lintas kali ini berpihak padanya yang sedang dirundung kemalangan.Air matanya bercucuran dari balik helm. Meski dia sudah tidak menempati rumah itu, tetapi kenangan akan kebersamaan keluarga kecilnya terus berputar di kepala. Di sanalah dia memulai bahtera rumah tangga, hamil, hingga membesarkan Alifa bersama suaminya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Adam masih berkomunikasi dengan Gavin untuk memantau kondisi Sabrina. Kadang dia mondar-mandir di ruang tamu, kadang juga duduk dengan wajah frustrasi. Mulutnya tak putus-putus merapal doa, memohon agar Sabrina tidak kenapa-napa.“Gimana kabar Sabrina, Dam?” tanya Bu Ami. Wanita itu turut menemani Adam semenjak anaknya kembali ke rumah. Berita tentang kebakaran kontrakan Sabrina sempat masuk dalam tayangan breaking news saluran televisi lokal. “Masih ditahan di Polres, Ma.”“Ya Allah, kasihan banget. Memangnya nunggu apa lagi?”“Jadi gini, Ma. Kebakaran itu diduga terjadi karena arus pendek. Sabrina mengaku kalau lampu rumahnya sempat mati–nyala sebelum ditinggal dan dia lupa matikan saklar sebelum pergi. Status dia sekarang bisa naik jadi tersangka dan dituntut atas pasal kelalaian. Kecuali, pemilik kontrakan bersedia menyelesaikan secara damai.”“Astaghfirullah … Mama engga bisa bayangin gimana perasaan Sabrina. Dia sama siapa sekara
Adam duduk di kursi ruang tamu rumah orang tua Sabrina. Sebenarnya ototnya tegang, jantungnya dag dig dug tak karuan, tetapi dia berusaha stay cool. Sesekali dia menghembuskan napas lewat mulut untuk mengurangi grogi."Silakan diminum, Ustadz." Sabrina menaruh segelas es sirop berwarna merah menyala. Tampak segar di cuaca siang yang terik seperti sekarang.Setelah menyajikan minuman, Sabrina lantas duduk di sebelah Bu Retno dan Pak Jaya, berseberangan dengan Adam."Jadi, Nak Adam ini siapa?" tanya Pak Jaya.Sejak Adam datang, bapaknya Sabrina itu memang belum bertanya apa-apa. Dia hanya memperhatikan Adam dari ujung kepala hingga ujung kaki, bingung mengapa ada lelaki muda berparas tampan yang tiba-tiba bertamu."Bapak ... Kan Sabrina udah bilang kalau beliau ini guru ngajinya Alifa."Meski pelan, suara Sabrina masih bisa didengar Adam. Pak Jaya menepuk punggung tangan Sabrina sebagai isyarat agar anaknya itu diam. Mereka ingin mendengar penjelasan dari Adam langsung.“Seperti yang di
Tentang luka. Meski katanya sudah sembuh, bekasnya sering kali tidak bisa benar-benar hilang. Nyerinya datang tanpa diundang. Dan itulah yang sedang Adam alami sekarang.Sepulang dari rumah orang tua Sabrina, Adam hanya berdiam diri di ruang tamu. Pertemuan singkat dengan Kayla setelah bertahun-tahun cukup mengejutkan. Terlebih, ada Bapak dan Ibu Muklis juga di sana. Dua orang yang dulu pernah menolak lamarannya untuk Kayla."Loh, pulang dari rumah Sabrina kok malah lesu?" tegur Bu Ami.Adam menoleh lalu tersenyum kecil. "Tadi saya ketemu Kayla sama orang tuanya di sana, Ma."Bu Ami membelalakkan mata. Dia lantas duduk di sebelah Adam untuk mengetahui kelanjutan ceritanya."Kok, bisa?"Adam mengedikkan bahu. "Entah. Sepertinya mereka cukup dekat karena Alifa langsung lari meluk Kayla waktu dia turun dari mobil.""Apa mungkin mereka ada hubungan saudara, Dam? Tapi Mama kurang yakin, ah."Adam sependapat dengan Bu Ami. Saat masih dekat dengan Kayla, dia sedikit banyak tahu tentang silsi
Alifa mengigau dalam tidur. Dia berulang kami menyebut kata 'Ayah'. Sepertinya gadis kecil itu memang sangat merindukan sosok ayahnya yang hangat meski sehari-hari jarang sekali bertanya.Setengah jam sekali, Sabrina mengganti kompres Alifa. Dia lakukan itu terus menerus hingga tengah malam. Pukul satu dini hari, panas Alifa akhirnya mulai turun. Sabrina yang tak kuasa lagi menahan kantuk pun ketiduran dalam posisi duduk di tepian ranjang.Pada saat itulah, Alifa berguling-guling di kasur lalu terjatuh dan menimbulkan suara berdebum yang cukup kencang. Kantuk Sabrina otomatis sirna ketika mendapati putri kecilnya mengerang kesakitan. Untung saja dipannya tidak terlalu tinggi, sehingga Alifa bisa ditenangkan sesaat setelah kejadian.Sabrina baru akan memejamkan mata setelah yakin Alifa sudah tertidur. Namun, anak itu mengigau lagi. Kali ini dia merengek seperti menangis dengan gerakan tangan seperti memeluk sesuatu. Berulang kali dia katakan, "Ini buku iqro aku, jangan diambil!"Ah, an
Sabrina tergesa-gesa memasuki lobby rumah sakit. Oleh satpam, dia diarahkan ke lantai dua, tempat Ruang Dahlia berada. Hatinya berkecamuk tidak karuan begitu sang ibu memberitahu bahwa Alifa dibawa ke rumah sakit karena kejang akibat panas tinggi.Perasaan bersalah membayangi Sabrina. Hanya karena panas Alifa sudah turun saat menjelang pagi, dia nekat pergi mengojek. Dia merasa telah menjadi ibu yang gagal karena kurang memperhatikan putrinya dan lebih mementingkan uang.Sabrina menuju meja resepsionis setelah keluar dari lift. Seorang petugas wanita muda menyapa dengan ramah dan menunjukkan letak kamar anaknya. Sepanjang menyusuri lorong rumah sakit, Sabrina mulai merasa pusing. Satpam dan petugas resepsionis bilang jika Ruang Dahlia adalah kamar VIP. Dia harus memutar otak untuk melunasi tagihan yang pastinya tidak sedikit.Tiba di depan kamar bernomor 203, Sabrina mengetuk pintu dan mengucap salam. Saat daun pintu terbuka, dia cukup terkejut mendapati para penunggu pasien. Bukan ha
Adam mengendarai motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Pikirannya kalut dan susah sekali mengatur fokus. Akibatnya, dia hampir hampir saja bertabrakan di perempatan jalan raya karena terlambat menyadari saat lampu merah menyala. Adam mengerem mendadak dan membanting setirnya ke kiri sehingga dia jatuh dan beberapa bagian motor mengalami kerusakan.Sebagian orang langsung sigap menolong. Ada yang mengatur lalu lintas, ada juga yang menepikan Adam beserta kendaraannya. Laki-laki itu meringis, menahan perih akibat goresan di mata kaki telapak tangan, dan luka lecet kecil di beberapa bagian lain. Untungnya, tidak ada korban lain dalam kecelakaan tersebut.Adam menenangkan diri sejenak di trotoar kemudian menelepon salah seorang karyawan bengkel. Dia meminta dua orang datang menjemput. Satu orang mengemudikan mobil yang nantinya akan dia tumpangi, satu orang lainnya membawa motor yang butuh diperbaiki. Sementara menunggu, beberapa penolong juga berdatangan membawakan air minum juga obat
[2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma
Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke
Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi
Nuansa haru yang sempat tercipta karena Sabrina hendak merantau menjadi TKW mendadak buyar. Sabrina menyusut air mata. Bu Retno sontak berdiri dan menghampiri dua lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Pak Muklis?" Sapaannya lebih terdengar seperti pertanyaan. Bu Retno sampai melebarkan mata dan mencondongkan badan saking tidak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Pak Muklis. Ya, dia adalah juragan sembako yang pernah sangat ingin menikahi Sabrina. Sabrina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan takut dan cemas yang diam-diam menelusup di hatinya. Bagaimanapun, urusannya dengan Pak Muklis tidak pernah menyenangkan. "Maaf, Bu, boleh kami masuk?" Kali ini yang bertanya adalah sopir Pak Muklis. "Oh, iya ... bo--boleh. Silakan, Pak." Wanita itu menepi agar tamunya masuk. Sabrina menuntun Alifa, hendak menghindari pertemuan itu dengan alasan ingin menjaga warung. Namun, Pak Muklis menahannya. "Mbak Sabrina boleh di sini sebentar? Saya ada perlu.
"Izinkan aku merantau ke luar negeri." Sabrina mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan anak dan orang tuanya di Indonesia. Selain rindu, dia juga pasti akan lebih sering mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka.Namun, utang nyaris seratus juta ke Adam bukanlah perkara sepele. Jika dia hanya mampu mencicil 500 ribu per bulan, dia butuh waktu selama 16 tahun untuk melunasi seluruh utang tersebut.Dalam kurun waktu 16 tahun itu, pasti akan banyak hal yang berubah. Orang tuanya akan makin berumur. Alifa pun harus bersekolah di SD, SMP, hingga SMA yang pastinya butuh biaya lebih besar. Sabrina juga bercita-cita ingin menguliahkan putri semata wayangnya.Lebih dari itu semua, siapa yang menjamin dirinya masih ada umur? Alangkah sedihnya jika membawa utang hingga liang lahat. Maka, merantau menjadi TKW menjadi pilihan yang paling mungkin Sabrina ambil."Kalau kamu pergi, Alifa gimana, Sab?" tanya Bu Retno hati-hati. Dia paham betul kegelisahan anak
"Alhamdulillah, semua pesanan sudah jadi. Bu, tolong bantu cocokkan jumlahnya, ya," pinta Sabrina kepada Bu Retno. Dia sendiri tengah sibuk menghitung sisa pembayaran yang harus dilunasi Salim. Jumlah itu setara dengan keuntungan bersih yang akan dia peroleh."Jahitannya rapi, Sab. Masing-masing juga udah disetrika, jadi meringankan pekerjaan kita. Bisa aja kamu cari konveksi yang bagus.""Iya, Bu. Yang bikin makin kagum, mereka mempekerjakan orang-orang yang cacat fisik. Aku jadi makin termotivasi buat mengikuti jejaknya."Sabrina menghentikan pekerjaannya sejenak. Matanya menerawang jauh sedangkan bibirnya tersenyum manis. Terbayang seperti apa bahagianya jika impian tersebut bisa terwujud."Ya ... Ya ... Tapi bikin konveksi juga modalnya nggak sedikit, Sab. Apalagi kamu masih ada utang sama Ustadz Adam."Bibir Sabrina langsung kembali seperti semula. Ucapan ibunya sangat realistis."Bapak sama Ibu nggak bisa bantu banyak. Tapi nanti, kalau kami sudah meninggal, kamu boleh jual ruma
"Sudah siap, Ma?" tanya Adam setelah memasukkan tiga koper dan beberapa kardus besar ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Dam." Bu Ami menghela napas. Hatinya serasa sesak dan badannya penat. Hari itu, mereka memutuskan untuk pindah rumah. Rumah tersebut akan disewakan kepada teman Om Adib.Sebenarnya rumah itu baru mereka tempati selama setahun. Namun, semenjak Adam batal menikah dengan Sofia, Bu Ami tidak lagi merasakan kenyamanan di sana. Penyebabnya tak lain adalah mulut-mulut tetangga yang selalu merasa paling tahu urusan orang lain.Sekali dua kali, Bu Ami tidak terlalu memusingkan omongan tetangga yang menggunjing batalnya pernikahan Adam. Namun, cerita tersebut berulang terus dan ditambah bumbu-bumbu lain. Ada yang bilang, Adam itu pembawa tulah atau kutukan. Entah siapa yang pertama kali tahu, tetapi kabar bahwa dia sudah tiga kali gagal menikah sudah menyebar luas. Dampaknya tidak hanya pada psikologis Bu Ami, tetapi juga TPA yang dikelola Adam. Banyak walisantri yang memindah
"Ma, capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Alifa pada suatu malam menjelang tidur.Dia melihat Sabrina kepayahan bangun dari kasur sebab pinggangnya terlalu letih. Duduk terlalu lama di depan mesin jahit memang kurang baik untuk kesehatan. Apalagi Sabrina terkadang lupa minum air putih atau meregangkan otot barang sebentar."Mau, Sayang. Terima kasih ya, anak baik. Mama sangat bersyukur memiliki anak yang solehah seperti Alifa," jawabnya seraya tersenyum.Alifa dengan senang hati memijit tangan dan kaki Sabrina. Meskipun tenaganya tidak seberapa dan dia belum paham titik-titik yang mesti dpijit, Sabrina merasakan hatinya hangat. Tangan mungil itulah yang secara tidak langsung telah menguatkannya selama ini.Meski letih, Sabrina merasa Allah sangat memudahkan usahanya ketika memulai proses produksi pesanan Salim. Selain doa yang dia panjatkan seusai salat, Sabrina juga rutin melaksanakan salat Tahajjud dan salat Dhuha.Dia tidak bisa berkeluh kesah kepada sembarang orang. Jadi, salat adal