Sabrina tergesa-gesa memasuki lobby rumah sakit. Oleh satpam, dia diarahkan ke lantai dua, tempat Ruang Dahlia berada. Hatinya berkecamuk tidak karuan begitu sang ibu memberitahu bahwa Alifa dibawa ke rumah sakit karena kejang akibat panas tinggi.Perasaan bersalah membayangi Sabrina. Hanya karena panas Alifa sudah turun saat menjelang pagi, dia nekat pergi mengojek. Dia merasa telah menjadi ibu yang gagal karena kurang memperhatikan putrinya dan lebih mementingkan uang.Sabrina menuju meja resepsionis setelah keluar dari lift. Seorang petugas wanita muda menyapa dengan ramah dan menunjukkan letak kamar anaknya. Sepanjang menyusuri lorong rumah sakit, Sabrina mulai merasa pusing. Satpam dan petugas resepsionis bilang jika Ruang Dahlia adalah kamar VIP. Dia harus memutar otak untuk melunasi tagihan yang pastinya tidak sedikit.Tiba di depan kamar bernomor 203, Sabrina mengetuk pintu dan mengucap salam. Saat daun pintu terbuka, dia cukup terkejut mendapati para penunggu pasien. Bukan ha
Adam mengendarai motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Pikirannya kalut dan susah sekali mengatur fokus. Akibatnya, dia hampir hampir saja bertabrakan di perempatan jalan raya karena terlambat menyadari saat lampu merah menyala. Adam mengerem mendadak dan membanting setirnya ke kiri sehingga dia jatuh dan beberapa bagian motor mengalami kerusakan.Sebagian orang langsung sigap menolong. Ada yang mengatur lalu lintas, ada juga yang menepikan Adam beserta kendaraannya. Laki-laki itu meringis, menahan perih akibat goresan di mata kaki telapak tangan, dan luka lecet kecil di beberapa bagian lain. Untungnya, tidak ada korban lain dalam kecelakaan tersebut.Adam menenangkan diri sejenak di trotoar kemudian menelepon salah seorang karyawan bengkel. Dia meminta dua orang datang menjemput. Satu orang mengemudikan mobil yang nantinya akan dia tumpangi, satu orang lainnya membawa motor yang butuh diperbaiki. Sementara menunggu, beberapa penolong juga berdatangan membawakan air minum juga obat
Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Sabrina tersadar kalau dia masih berada di toilet kamar rumah sakit demi menghindari pertemuan dengan Bu Muklis."Iya, sebentar lagi," sahutnya parau.Sabrina menyusut air matanya yang sudah menganak sungai di pipi. Setiap kali selesai mencuci muka, air mata itu tumpah lagi. Begitu terus hingga suara ketukan pintu terdengar lagi.Mau tidak mau Sabrina harus segera keluar. Dia menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. Setelah merapikan penampilan, Sabrina kembali bergabung dengan orang-orang yang sudah berkumpul di sisi ranjang Alifa.Kayla memandangnya dengan tatapan kasihan. Namun, dia memilih menutup mulut dan mendengarkan perbincangan yang dimulai oleh ibu Sabrina."Sab, seluruh biaya pengobatan Alifa akan ditanggung oleh Bu Muklis. Ayo, ucapkan terima kasih!"Sabrina terpaksa menarik kedua sudut bibirnya agar membentuk lengkung senyum. Pernikahannya memang hanya akan menjadi ajang balas budi. Tidak ada cinta, yang ada
Sabrina memandang Kayla dengan tatapan meminta penjelasan. Dirinya datang memenuhi ajakan makan siang di sebuah resto lesehan tepi sawah, tetapi tidak menyangka jika Adam ikut serta. Gadis itu hanya bilang ingin mentraktir sebagai ungkapan syukur karena Alifa sudah pulang dari rumah sakit."Kita santai saja, ya, Mbak. Apa yang mau aku sampaikan ini kebetulan memang ada hubungannya dengan Kak Adam," kata Kayla.Wanita itu menurut meski masih meraba-raba maksud Kayla. Mereka memesan makanan terlebih dahulu sebelum masuk ke bahasan utama."Boleh saya tanya sesuatu?"Pertanyaan Sabrina itu dijawab anggukan oleh keduanya."Kalian ada hubungan apa?"Adam mempersilakan Kayla untuk menjelaskan. Dia sendiri lebih banyak menunduk atau melihat ke arah lain demi menjaga pandangan."Anggap saja, kami ini teman lama. Kebetulan kami satu almamater. Kak Adam pernah jadi asisten dosen waktu aku masih mahasiswa baru."Sabrina manggut-manggut. "Lalu, apa yang akan kita bicarakan sekarang?""Emm, jadi gi
Bu Muklis bersolek di depan cermin. Saat mengulas bedak, gerakan tangannya terhenti karena memperhatikan kerutan di sudut mata. Wajah yang dulu menjadi dambaan para pemuda kampung itu kini telah dimakan usia."Aku sudah tua dan penyakitan. Memang sudah seharusnya Papi diurus oleh wanita lain yang lebih muda," ucapnya dalam hati.Kayla memanggil Bu Muklis dari luar kamar. Gadis itu lantas membuka pintu setelah maminya menyuruh masuk."Aih, cantiknya mamiku ini." Kayla memeluk dari belakang sambil memperhatikan wajah mereka berdua di cermin.Bu Muklis tersenyum lalu bertanya apakah Kayla sudah siap untuk pergi. Gadis itu mengangguk. Dia terlihat cantik dalam balutan blus bunga-bunga dan rok berwarna senada dengan pasmina."Sebenarnya kita mau ke mana, sih, Mi?" tanya Kayla saat keduanya berjalan menuju garasi."Ngurus persiapan pesta pernikahan papimu."Kayla sempat menghentikan langkah. "Memangnya Mbak Bina udah seratus persen setuju?""Memangnya dia bisa nolak?" Bu Muklis justru balik
Adam termangu menatap kiriman foto dari Kayla. Tampak di layar ponsel, Sabrina mengenakan gaun putih dengan rok menjuntai sambil menghadap belakang. Sepertinya foto itu diambil tanpa sepengetahuan objek fotonya.Kayla menambahkan keterangan di bawah foto: "Mau gerak cepat atau pasrah aja terus keduluan?"Di satu sisi, Adam tidak mau menyerah begitu saja. Namun, di sisi lain, Sabrina juga belum menghubungi untuk menyatakan kesediaanya mengambil dana pinjaman itu.Bagaimana kalau seandainya Sabrina akhirnya memang bersedia menikah dengan Pak Muklis tanpa paksaan?Pertanyaan itu terus terngiang di benaknya dan membuatnya ragu untuk menghubungi Sabrina. Padahal, dia pun sebenarnya butuh kepastian."Sudah ada jawaban dari Sabrina, Dam?"Karena terlalu fokus dengan ponsel dan isi pikirannya, Adam sampai tidak menyadari kapan Bu Ami datang."Belum, Ma."Bu Ami berdecak. "Coba kamu pastikan lagi. Kalau kelamaan, Mama jadi khawatir. Bagaimana kalau dia malah memanfaatkan kebaikan kamu?"Laki-l
"Dam, nanti sore antar Mama arisan ke rumah Bu Yudi, ya! Sekalian mau Mama kenalin sama anaknya. Cakep, lho. Baru lulus cumlaude dari jurusan Farmasi," kata Bu Ami.Sepertinya Bu Ami cepat sekali move on dan ingin mencarikan calon istri lain untuk anaknya. Dirinya memang menyukai Sabrina, tetapi bisa apa kalau wanita itu sudah menerima lamaran orang lain? Kebahagiaan anaknya jadi prioritas utama."Adam mau antar, tapi enggak perlu pakai acara kenalin segala lah, Ma. Anak Mama ini enggak jelek-jelek amat, kok." Adam berusaha bercanda agar penolakannya tidak terkesan kasar. Bagaimanapun, dia menghargai niatan baik sang ibu."Anak Mama, mah, ganteng. Badan juga bagus. Siapa yang bilang Adam jelek? Sini berhadapan sama Mama!" Mata Bu Ami pura-pura melotot untuk menanggapi candaan anaknya.Keduanya lalu tertawa. Begitulah interaksi mereka, hangat dan tidak kaku. Karena itulah Adam merasa nyaman menceritakan apa pun kepada ibunya."Berangkat jam berapa, Ma? Siang ini Adam mesti ke kota sebe
Sebuah notifikasi pengikut baru masuk ke akun Instagram Adam. Biasanya dia tidak akan terlalu menggubris, apalagi jika mutual friends-nya hanya sedikit. Lagi pula Adam hanya sesekali menggunakan media sosial berbagi foto tersebut. Namun, kali ini Adam tercenung lama. Nama yang tertera di layar bukanlah orang asing.Sofia Kamala, begitu namanya. Di foto profilnya, dia mengenakan baju batik dan jilbab oranye, warna yang sama ketika pertama kali mereka berkenalan. Latar fotonya adalah jajaran huruf dari nama universitas tempatnya menuntut ilmu. Ada dua orang teman yang sama. Saat Adam klik, dia cukup terkejut karena akun Bu Ami dan Kayla yang tertera di sana.Adam mampir sebentar ke beranda akun Sofia sebelum nanti memutuskan akan mengikuti balik dan membiarkan saja. Di sana, Sofia banyak membagikan kegiatan mengajar dan magang kerja. Selain itu, ada juga foto-foto saat dia memenangi lomba karya tulis dan menerima beberapa penghargaan."Dam, sini! Mama mau minta tolong," seru Bu Ami cuku
[2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma
Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke
Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi
Nuansa haru yang sempat tercipta karena Sabrina hendak merantau menjadi TKW mendadak buyar. Sabrina menyusut air mata. Bu Retno sontak berdiri dan menghampiri dua lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Pak Muklis?" Sapaannya lebih terdengar seperti pertanyaan. Bu Retno sampai melebarkan mata dan mencondongkan badan saking tidak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Pak Muklis. Ya, dia adalah juragan sembako yang pernah sangat ingin menikahi Sabrina. Sabrina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan takut dan cemas yang diam-diam menelusup di hatinya. Bagaimanapun, urusannya dengan Pak Muklis tidak pernah menyenangkan. "Maaf, Bu, boleh kami masuk?" Kali ini yang bertanya adalah sopir Pak Muklis. "Oh, iya ... bo--boleh. Silakan, Pak." Wanita itu menepi agar tamunya masuk. Sabrina menuntun Alifa, hendak menghindari pertemuan itu dengan alasan ingin menjaga warung. Namun, Pak Muklis menahannya. "Mbak Sabrina boleh di sini sebentar? Saya ada perlu.
"Izinkan aku merantau ke luar negeri." Sabrina mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan anak dan orang tuanya di Indonesia. Selain rindu, dia juga pasti akan lebih sering mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka.Namun, utang nyaris seratus juta ke Adam bukanlah perkara sepele. Jika dia hanya mampu mencicil 500 ribu per bulan, dia butuh waktu selama 16 tahun untuk melunasi seluruh utang tersebut.Dalam kurun waktu 16 tahun itu, pasti akan banyak hal yang berubah. Orang tuanya akan makin berumur. Alifa pun harus bersekolah di SD, SMP, hingga SMA yang pastinya butuh biaya lebih besar. Sabrina juga bercita-cita ingin menguliahkan putri semata wayangnya.Lebih dari itu semua, siapa yang menjamin dirinya masih ada umur? Alangkah sedihnya jika membawa utang hingga liang lahat. Maka, merantau menjadi TKW menjadi pilihan yang paling mungkin Sabrina ambil."Kalau kamu pergi, Alifa gimana, Sab?" tanya Bu Retno hati-hati. Dia paham betul kegelisahan anak
"Alhamdulillah, semua pesanan sudah jadi. Bu, tolong bantu cocokkan jumlahnya, ya," pinta Sabrina kepada Bu Retno. Dia sendiri tengah sibuk menghitung sisa pembayaran yang harus dilunasi Salim. Jumlah itu setara dengan keuntungan bersih yang akan dia peroleh."Jahitannya rapi, Sab. Masing-masing juga udah disetrika, jadi meringankan pekerjaan kita. Bisa aja kamu cari konveksi yang bagus.""Iya, Bu. Yang bikin makin kagum, mereka mempekerjakan orang-orang yang cacat fisik. Aku jadi makin termotivasi buat mengikuti jejaknya."Sabrina menghentikan pekerjaannya sejenak. Matanya menerawang jauh sedangkan bibirnya tersenyum manis. Terbayang seperti apa bahagianya jika impian tersebut bisa terwujud."Ya ... Ya ... Tapi bikin konveksi juga modalnya nggak sedikit, Sab. Apalagi kamu masih ada utang sama Ustadz Adam."Bibir Sabrina langsung kembali seperti semula. Ucapan ibunya sangat realistis."Bapak sama Ibu nggak bisa bantu banyak. Tapi nanti, kalau kami sudah meninggal, kamu boleh jual ruma
"Sudah siap, Ma?" tanya Adam setelah memasukkan tiga koper dan beberapa kardus besar ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Dam." Bu Ami menghela napas. Hatinya serasa sesak dan badannya penat. Hari itu, mereka memutuskan untuk pindah rumah. Rumah tersebut akan disewakan kepada teman Om Adib.Sebenarnya rumah itu baru mereka tempati selama setahun. Namun, semenjak Adam batal menikah dengan Sofia, Bu Ami tidak lagi merasakan kenyamanan di sana. Penyebabnya tak lain adalah mulut-mulut tetangga yang selalu merasa paling tahu urusan orang lain.Sekali dua kali, Bu Ami tidak terlalu memusingkan omongan tetangga yang menggunjing batalnya pernikahan Adam. Namun, cerita tersebut berulang terus dan ditambah bumbu-bumbu lain. Ada yang bilang, Adam itu pembawa tulah atau kutukan. Entah siapa yang pertama kali tahu, tetapi kabar bahwa dia sudah tiga kali gagal menikah sudah menyebar luas. Dampaknya tidak hanya pada psikologis Bu Ami, tetapi juga TPA yang dikelola Adam. Banyak walisantri yang memindah
"Ma, capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Alifa pada suatu malam menjelang tidur.Dia melihat Sabrina kepayahan bangun dari kasur sebab pinggangnya terlalu letih. Duduk terlalu lama di depan mesin jahit memang kurang baik untuk kesehatan. Apalagi Sabrina terkadang lupa minum air putih atau meregangkan otot barang sebentar."Mau, Sayang. Terima kasih ya, anak baik. Mama sangat bersyukur memiliki anak yang solehah seperti Alifa," jawabnya seraya tersenyum.Alifa dengan senang hati memijit tangan dan kaki Sabrina. Meskipun tenaganya tidak seberapa dan dia belum paham titik-titik yang mesti dpijit, Sabrina merasakan hatinya hangat. Tangan mungil itulah yang secara tidak langsung telah menguatkannya selama ini.Meski letih, Sabrina merasa Allah sangat memudahkan usahanya ketika memulai proses produksi pesanan Salim. Selain doa yang dia panjatkan seusai salat, Sabrina juga rutin melaksanakan salat Tahajjud dan salat Dhuha.Dia tidak bisa berkeluh kesah kepada sembarang orang. Jadi, salat adal