Adam termangu menatap kiriman foto dari Kayla. Tampak di layar ponsel, Sabrina mengenakan gaun putih dengan rok menjuntai sambil menghadap belakang. Sepertinya foto itu diambil tanpa sepengetahuan objek fotonya.Kayla menambahkan keterangan di bawah foto: "Mau gerak cepat atau pasrah aja terus keduluan?"Di satu sisi, Adam tidak mau menyerah begitu saja. Namun, di sisi lain, Sabrina juga belum menghubungi untuk menyatakan kesediaanya mengambil dana pinjaman itu.Bagaimana kalau seandainya Sabrina akhirnya memang bersedia menikah dengan Pak Muklis tanpa paksaan?Pertanyaan itu terus terngiang di benaknya dan membuatnya ragu untuk menghubungi Sabrina. Padahal, dia pun sebenarnya butuh kepastian."Sudah ada jawaban dari Sabrina, Dam?"Karena terlalu fokus dengan ponsel dan isi pikirannya, Adam sampai tidak menyadari kapan Bu Ami datang."Belum, Ma."Bu Ami berdecak. "Coba kamu pastikan lagi. Kalau kelamaan, Mama jadi khawatir. Bagaimana kalau dia malah memanfaatkan kebaikan kamu?"Laki-l
"Dam, nanti sore antar Mama arisan ke rumah Bu Yudi, ya! Sekalian mau Mama kenalin sama anaknya. Cakep, lho. Baru lulus cumlaude dari jurusan Farmasi," kata Bu Ami.Sepertinya Bu Ami cepat sekali move on dan ingin mencarikan calon istri lain untuk anaknya. Dirinya memang menyukai Sabrina, tetapi bisa apa kalau wanita itu sudah menerima lamaran orang lain? Kebahagiaan anaknya jadi prioritas utama."Adam mau antar, tapi enggak perlu pakai acara kenalin segala lah, Ma. Anak Mama ini enggak jelek-jelek amat, kok." Adam berusaha bercanda agar penolakannya tidak terkesan kasar. Bagaimanapun, dia menghargai niatan baik sang ibu."Anak Mama, mah, ganteng. Badan juga bagus. Siapa yang bilang Adam jelek? Sini berhadapan sama Mama!" Mata Bu Ami pura-pura melotot untuk menanggapi candaan anaknya.Keduanya lalu tertawa. Begitulah interaksi mereka, hangat dan tidak kaku. Karena itulah Adam merasa nyaman menceritakan apa pun kepada ibunya."Berangkat jam berapa, Ma? Siang ini Adam mesti ke kota sebe
Sebuah notifikasi pengikut baru masuk ke akun Instagram Adam. Biasanya dia tidak akan terlalu menggubris, apalagi jika mutual friends-nya hanya sedikit. Lagi pula Adam hanya sesekali menggunakan media sosial berbagi foto tersebut. Namun, kali ini Adam tercenung lama. Nama yang tertera di layar bukanlah orang asing.Sofia Kamala, begitu namanya. Di foto profilnya, dia mengenakan baju batik dan jilbab oranye, warna yang sama ketika pertama kali mereka berkenalan. Latar fotonya adalah jajaran huruf dari nama universitas tempatnya menuntut ilmu. Ada dua orang teman yang sama. Saat Adam klik, dia cukup terkejut karena akun Bu Ami dan Kayla yang tertera di sana.Adam mampir sebentar ke beranda akun Sofia sebelum nanti memutuskan akan mengikuti balik dan membiarkan saja. Di sana, Sofia banyak membagikan kegiatan mengajar dan magang kerja. Selain itu, ada juga foto-foto saat dia memenangi lomba karya tulis dan menerima beberapa penghargaan."Dam, sini! Mama mau minta tolong," seru Bu Ami cuku
Sabrina menerima uang pembayaran dari penumpang lalu memasukkannya ke dalam saku jaket. Dia melihat penunjuk waktu di ponsel, memastikan jam sudah menunjukkan angka sembilan atau lebih. Rupanya sudah tepat. Dengan mengendarai motor berkecepatan sedang, dia memperkirakan akan tiba di bengkel Adam setidaknya pukul setengah sepuluh.Sepanjang perjalan, Sabrina lebih banyak bermonolog. Lebih tepatnya, berlatih mengucapkan kata-kata saat menyerahkan amplop berisi jawabannya kepada Adam. Berkali-kali dia mencoba, berkali-kali itu juga dia menggelengkan kepala. Terlalu puitis lah, terlalu alay lah, terlalu bertele-tele lah. Sampai akhirnya dia kesal sendiri karena tidak ada terdengar yang cocok.Sabrina akhirnya mengambil pilihan yang berani. Dia sudah menjelaskan duduk persoalan kepada Pak Jaya dan Bu Retno, pun dengan rencana selanjutnya. Keputusan itu sudah berdasarkan pertimbangan baik dan buruk selama beberapa hari.Adam tiba di bengkel pukul setengah sepuluh tepat. Dia baru menyapa tig
Bu Muklis terengah-engah, susah payah menarik napas. Dadanya nyeri sedangkan detak jantungnya sudah kehilangan irama. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah terus mencoba menghirup udara dalam kondisi sudah tidak sepenuhnya sadar.Kayla berlari mengambil kotak P3K. Lisannya tak henti merapal doa agar maminya tidak kenapa-napa. Selama ini, Bu Muklis tidak punya riwayat asma atau penyakit pernapasan sehingga hal itu membuatnya panik.Air mata Sabrina menganak sungai di pipi. Dia merasa sangat bersalah lantaran Bu Muklis mengalami sesak napas setelah dirinya meminta pernikahan dibatalkan. Dia pasti syok berat. Ditambah dengan kondisi tubuhnya yang memang melemah bawaan kanker, Sabrina takut jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.Rumah yang sebelumnya sepi mendadak gaduh. Asisten rumah tangga sibuk menelepon asisten Pak Muklis untuk memberitahukan kondisi tersebut.“Tolong longgarin baju Mami, Mbak,” pinta Kayla. Gadis itu lantas memasang tabung oksigen untuk dihirup Bu Muklis.Sa
Sofia benar-benar menepati ucapannya untuk mengajar di TPA. Dia datang bersama dua orang temannya membawa cukup banyak buku dan alat tulis yang dikemas seperti bingkisan.Adam sebenarnya tidak masalah andai saja Sofia datang di hari yang lain. Masalahnya, hari itu Alifa kembali ke TPA untuk berpamitan kepada teman-temannya. Keberadaan Sofia mungkin akan menimbulkan pemikiran yang berbeda bagi Sabrina."Mas, saya minta izin bikin semacam perlombaan untuk anak-anak, ya. Nanti semuanya tetap kebagian hadiah, kok. Ini cuma buat seru-seruan aja.""Boleh, silakan. Terima kasih, ya, sudah repot-repot bawa hadiah."Adam sebisa mungkin menghindari komunikasi yang intens dengan Sofia. Ibu-ibu yang mengantar anaknya mengaji sudah mulai kasak-kusuk merangkai gosip. Bukan tidak mungkin mereka akan menghubungkan hal itu dengan keberadaan Sabrina.Adam menyingkir, memberikan waktu dan tempat kepada Sofia untuk memulai perlombaan. Sesekali diliriknya Sabrina yang menunggu sendirian di sisi kiri bangu
Semenjak menyampaikan niatnya untuk membatalkan pernikahan dengan Pak Muklis, Sabrina belum pernah menemui Bu Muklis lagi. Dia menuruti saran Kayla. Gadis itu berjanji akan membantu menjadi penengah agar kedua orang tuanya menghormati keputusan Sabrina.Bagaimanapun, pernikahan adalah ikatan yang suci nan sakral. Jika hubungan itu terjalin atas dasar paksaan terlebih ancaman, maka tidak akan ada keberkahan di dalamnya. Betapa tersiksa batin seorang manusia tatkala harus menghabiskan sisa hidup bersama orang yang membuat jiwanya senantiasa terancam.Semenjak itu pula, Bu Retno mendiamkan Sabrina. Mereka tinggal di bawah atap yang sama, tetapi tidak lagi ada tegur sapa. Rumah yang dahulu adalah tempat pulang paling menenangkan, berubah menjadi sepetak bangunan tua berselimut kesunyian.Cek pinjaman dari Adam sudah telanjur dicairkan. Sabrina menyimpan sejumlah uang ganti rugi di rekening bank, sisanya dia gunakan untuk membuka warung di rumah sesuai rencana.Alifa sudah didaftarkan di T
"Jangan-jangan Pak Muklis memang sudah mengincar kamu dari dulu, Sab?" ujar Bu Retno penasaran. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menghampiri Sabrina setelah temannya pulang."Loh ... Ibu nguping obrolan kami?""Ih, enggak." Dia masih menyangkal. "Kamar Ibu, kan, dekat sama ruang tamu. Jadi enggak sengaja dengar cerita kalian."Sabrina tak terlalu ambil pusing dengan pengakuan ibunya. Yang lebih penting sekarang, apakah semua yang disampaikan Fitri itu benar adanya atau hanya prasangka semata."Galih meninggalnya beneran karena sakit, kan? Bukan dijahili orang lain?" tanya Bu Retno lagi, kali ini sambil berbisik."Astagfirullah, Ibu! Hati-hati sama prasangka. Yang sudah terjadi dengan Mas Galih biar terjadi, itu sudah suratan takdir.""Yaa, Ibu cuma tanya. Siapa tahu, kan?"Sabrina menggeleng tegas. Seandainya cerita Fitri benar pun, bukan berarti mereka bisa seenaknya su'udzon.Pak Jaya menghampiri mereka setelah mendengar keributan kecil itu. "Ada apa ini?"Dengan berapi-api,