Bu Muklis terengah-engah, susah payah menarik napas. Dadanya nyeri sedangkan detak jantungnya sudah kehilangan irama. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah terus mencoba menghirup udara dalam kondisi sudah tidak sepenuhnya sadar.Kayla berlari mengambil kotak P3K. Lisannya tak henti merapal doa agar maminya tidak kenapa-napa. Selama ini, Bu Muklis tidak punya riwayat asma atau penyakit pernapasan sehingga hal itu membuatnya panik.Air mata Sabrina menganak sungai di pipi. Dia merasa sangat bersalah lantaran Bu Muklis mengalami sesak napas setelah dirinya meminta pernikahan dibatalkan. Dia pasti syok berat. Ditambah dengan kondisi tubuhnya yang memang melemah bawaan kanker, Sabrina takut jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.Rumah yang sebelumnya sepi mendadak gaduh. Asisten rumah tangga sibuk menelepon asisten Pak Muklis untuk memberitahukan kondisi tersebut.“Tolong longgarin baju Mami, Mbak,” pinta Kayla. Gadis itu lantas memasang tabung oksigen untuk dihirup Bu Muklis.Sa
Sofia benar-benar menepati ucapannya untuk mengajar di TPA. Dia datang bersama dua orang temannya membawa cukup banyak buku dan alat tulis yang dikemas seperti bingkisan.Adam sebenarnya tidak masalah andai saja Sofia datang di hari yang lain. Masalahnya, hari itu Alifa kembali ke TPA untuk berpamitan kepada teman-temannya. Keberadaan Sofia mungkin akan menimbulkan pemikiran yang berbeda bagi Sabrina."Mas, saya minta izin bikin semacam perlombaan untuk anak-anak, ya. Nanti semuanya tetap kebagian hadiah, kok. Ini cuma buat seru-seruan aja.""Boleh, silakan. Terima kasih, ya, sudah repot-repot bawa hadiah."Adam sebisa mungkin menghindari komunikasi yang intens dengan Sofia. Ibu-ibu yang mengantar anaknya mengaji sudah mulai kasak-kusuk merangkai gosip. Bukan tidak mungkin mereka akan menghubungkan hal itu dengan keberadaan Sabrina.Adam menyingkir, memberikan waktu dan tempat kepada Sofia untuk memulai perlombaan. Sesekali diliriknya Sabrina yang menunggu sendirian di sisi kiri bangu
Semenjak menyampaikan niatnya untuk membatalkan pernikahan dengan Pak Muklis, Sabrina belum pernah menemui Bu Muklis lagi. Dia menuruti saran Kayla. Gadis itu berjanji akan membantu menjadi penengah agar kedua orang tuanya menghormati keputusan Sabrina.Bagaimanapun, pernikahan adalah ikatan yang suci nan sakral. Jika hubungan itu terjalin atas dasar paksaan terlebih ancaman, maka tidak akan ada keberkahan di dalamnya. Betapa tersiksa batin seorang manusia tatkala harus menghabiskan sisa hidup bersama orang yang membuat jiwanya senantiasa terancam.Semenjak itu pula, Bu Retno mendiamkan Sabrina. Mereka tinggal di bawah atap yang sama, tetapi tidak lagi ada tegur sapa. Rumah yang dahulu adalah tempat pulang paling menenangkan, berubah menjadi sepetak bangunan tua berselimut kesunyian.Cek pinjaman dari Adam sudah telanjur dicairkan. Sabrina menyimpan sejumlah uang ganti rugi di rekening bank, sisanya dia gunakan untuk membuka warung di rumah sesuai rencana.Alifa sudah didaftarkan di T
"Jangan-jangan Pak Muklis memang sudah mengincar kamu dari dulu, Sab?" ujar Bu Retno penasaran. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menghampiri Sabrina setelah temannya pulang."Loh ... Ibu nguping obrolan kami?""Ih, enggak." Dia masih menyangkal. "Kamar Ibu, kan, dekat sama ruang tamu. Jadi enggak sengaja dengar cerita kalian."Sabrina tak terlalu ambil pusing dengan pengakuan ibunya. Yang lebih penting sekarang, apakah semua yang disampaikan Fitri itu benar adanya atau hanya prasangka semata."Galih meninggalnya beneran karena sakit, kan? Bukan dijahili orang lain?" tanya Bu Retno lagi, kali ini sambil berbisik."Astagfirullah, Ibu! Hati-hati sama prasangka. Yang sudah terjadi dengan Mas Galih biar terjadi, itu sudah suratan takdir.""Yaa, Ibu cuma tanya. Siapa tahu, kan?"Sabrina menggeleng tegas. Seandainya cerita Fitri benar pun, bukan berarti mereka bisa seenaknya su'udzon.Pak Jaya menghampiri mereka setelah mendengar keributan kecil itu. "Ada apa ini?"Dengan berapi-api,
"Kedatangan Ibu ke sini karena ingin membahas soal harta gono-gini kamu dengan Galih.""Hah?!" Sabrina dan kedua orang tuanya kompak berseru.Sabrina yakin, tidak ada harta gono-gini yang mesti diurus sepeninggal suaminya. Jangankan simpanan harta, bisa melunasi warisan utang saja sudah Alhamdulillah."Tapi, Bu, kami tidak punya harta gono-gini. Ibu, kan, tahu sendiri selama ini kami mengontrak rumah. Tabungan kami yang tidak seberapa juga sudah habis untuk biaya berobat Mas Galih." Sabrina membela diri."Betul, Bu. Memangnya Galih pernah membeli aset yang tidak pernah Sabrina ketahui?" Bu Retno ikut menimpali.Wanita tambun yang mengenakan gamis polkadot itu menggeleng. Tangannya menunjuk ke teras rumah. Sabrina mengikuti arah yang dimaksud."Motor itu dibeli atas nama Galih. BPKB-nya ada di saya."Hati Sabrina seperti hancur berkeping-keping. Ternyata itu yang dimaksud mantan ibu mertuanya. Namun, bagaimana mungkin Sabrina melepas motor yang dia gunakan sebagai salah satu sumber pen
Adam memakan dimsum yang tersedia di meja makan dengan lahap. Bu Ami hanya memandanginya sambil tersenyum. Tahu, kan, ada orang yang setiap kali dia makan selalu menyenangkan untuk dilihat? Seperti itulah Adam."Mama enggak ikut makan? Ini enak banget, lho," katanya."Enak, ya? Makan yang banyak, gih!""Beli di mana, Ma? Adam mau nyetok. Lumayan kalau lagi laper malem-malem.""Itu tadi dianterin sama Sofia. Katanya dia bikin sendiri. Nanti kalau kalian sudah menikah, kamu bisa makan dimsum buatan dia setiap hari," goda Bu Ami.Adam tersedak. Bu Ami buru-buru mengambilkan minum. "Kamu kenapa, Dam? Kaget karena gadis hebat kayak Sofia pinter masak?""Kapan dia ke sini?" Adam menghentikan makannya."Kamu pengin ketemu? Wah, bener juga. Kenapa Mama enggak kepikiran minta dia buat antar ke bengkel aja, ya?""Bukan gitu, Ma. Gini, Adam kurang nyaman kalau Sofia aktif melakukan pendekatan. Masakan dia enak, tapi bukankah kita udah sepakat mau berteman dulu?""Memangnya kalau berteman enggak b
"Mas Adam sama Kayla kok enggak bilang-bilang kalau lagi makan siang di sini? Aku, kan, juga mau ikut," sapa Sofia riang. Dia lantas duduk di sebelah Kayla, tepat di depan Adam."Kayaknya kalian udah lama, ya?" Sofia melihat piring bekas siomay dan nasi goreng yang sudah tandas. Gelas es teh menyisakan embun basah di bagian luar, isinya juga habis tak bersisa."Ya, lumayan. Enggak apa-apa kalau kamu mau pesan makanan, kita tungguin," jawab Kayla. Dia memanggil pramusaji untuk membersihkan meja sekaligus melayani pesanan Sofia."Mas Adam ada perlu apa, ya?" Sofia mengalihkan pandangan ke Adam yang hanya diam saja sejak kehadirannya."Saya ada keperluan pribadi dengan Kayla."Sofia manggut-manggut. "Oh, ya, udah makan dimsum buatan aku? Enak nggak, Mas?""Iya, enak. Makasih," jawab Adam tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Dia sedang berbalas chat dengan calon klien.Kayla menahan tawa karena melihat sikap Adam yang begitu dingin dan cuek."Sof, kamu ada perlu apa ke kampus? K
"Jadi, maksud Tante, Kayla itu dulu pernah hampir bertunangan dengan Mas Adam?" Nada bicara Sofia terdengar sedikit meninggi.Bu Ami baru saja menceritakan hubungan Adam dan Kayla di masa lalu tanpa ada yang ditutup-tutupi."Tenang, Sof, itu dulu. Sekarang Adam sudah move on," kata Bu Ami menenangkan Sofia. Dia cukup kaget karena reaksi gadis itu sedikit berlebihan."Tapi tadi Mas Adam ketemu sama Kayla, Tan. Kan ada bukti fotonya juga.""Tante tahu betul karakter Adam. Percaya sama Tante, mungkin Adam memang punya keperluan lain yang belum bisa dibagikan ke kamu. Dia enggak suka umbar-umbar sesuatu kepada orang yang bukan siapa-siapa baginya."Mata Sofia berkaca-kaca. "Jadi, aku ini dianggap bukan siapa-siapa?"Bu Ami mulai geregetan. Gadis itu pintar, tetapi kenapa susah sekali memahami kalimatnya."Bukan siapa-siapa BAGINYA, Sof. Perjodohan itu kan rencana Tante dan mamamu. Kalau kamu setuju, itu tentu lebih memudahkan kami. Tapi kalau Adam belum, ya kamu harus berusaha juga dong s