"Mas Adam sama Kayla kok enggak bilang-bilang kalau lagi makan siang di sini? Aku, kan, juga mau ikut," sapa Sofia riang. Dia lantas duduk di sebelah Kayla, tepat di depan Adam."Kayaknya kalian udah lama, ya?" Sofia melihat piring bekas siomay dan nasi goreng yang sudah tandas. Gelas es teh menyisakan embun basah di bagian luar, isinya juga habis tak bersisa."Ya, lumayan. Enggak apa-apa kalau kamu mau pesan makanan, kita tungguin," jawab Kayla. Dia memanggil pramusaji untuk membersihkan meja sekaligus melayani pesanan Sofia."Mas Adam ada perlu apa, ya?" Sofia mengalihkan pandangan ke Adam yang hanya diam saja sejak kehadirannya."Saya ada keperluan pribadi dengan Kayla."Sofia manggut-manggut. "Oh, ya, udah makan dimsum buatan aku? Enak nggak, Mas?""Iya, enak. Makasih," jawab Adam tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Dia sedang berbalas chat dengan calon klien.Kayla menahan tawa karena melihat sikap Adam yang begitu dingin dan cuek."Sof, kamu ada perlu apa ke kampus? K
"Jadi, maksud Tante, Kayla itu dulu pernah hampir bertunangan dengan Mas Adam?" Nada bicara Sofia terdengar sedikit meninggi.Bu Ami baru saja menceritakan hubungan Adam dan Kayla di masa lalu tanpa ada yang ditutup-tutupi."Tenang, Sof, itu dulu. Sekarang Adam sudah move on," kata Bu Ami menenangkan Sofia. Dia cukup kaget karena reaksi gadis itu sedikit berlebihan."Tapi tadi Mas Adam ketemu sama Kayla, Tan. Kan ada bukti fotonya juga.""Tante tahu betul karakter Adam. Percaya sama Tante, mungkin Adam memang punya keperluan lain yang belum bisa dibagikan ke kamu. Dia enggak suka umbar-umbar sesuatu kepada orang yang bukan siapa-siapa baginya."Mata Sofia berkaca-kaca. "Jadi, aku ini dianggap bukan siapa-siapa?"Bu Ami mulai geregetan. Gadis itu pintar, tetapi kenapa susah sekali memahami kalimatnya."Bukan siapa-siapa BAGINYA, Sof. Perjodohan itu kan rencana Tante dan mamamu. Kalau kamu setuju, itu tentu lebih memudahkan kami. Tapi kalau Adam belum, ya kamu harus berusaha juga dong s
Menjelang Asar, sebuah mobil menepi dan berhenti tepat di depan pagar rumah Adam. Sofia turun dan membungkukkan badan begitu menyadari sang tuan rumah sedang berada di teras."Assalamu'alaikum, Tante, Mas Adam."Adam membukakan pintu gerbang untuknya lalu segera masuk rumah untuk bersiap-siap. Dia akan pergi ke masjid, salat berjamaah lanjut mengajar mengaji."Lagi santai, ya, Tan?""Iya, Sof. Mumpung saya dan Adam sama-sama di rumah. Gimana kabar mama kamu?" jawab Bu Ami setelah mempersilakan Sofia duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Adam."Sehat, Tante. Saya ke sini enggak apa-apa, kan? Mau ikut Mas Adam ngajar ngaji."Bu Ami terharu dengan kegigihan Sofia. Kadang dia kasihan jika gadis sebaik itu harus menghadapi sikap Adam yang cuek."Saya seneng malah kalau kamu sering main ke sini pas Tante lagi di rumah. Tante jadi punya temen ngobrol. Kalau soal ngajar, coba bilang aja sama Adam."Dari dalam rumah, samar-samar Adam masih bisa mendengar ucapan Sofia. Dia hanya bisa berdoa,
Sabrina meletakkan barang-barang belanjaannya di kursi ruang tamu lalu duduk dengan napas ngos-ngosan. Keringat membasahi dahi dan membuat badannya terasa gerah. Memangku tiga kantong belanja sambil berdesak-desakan di dalam angkot jelas bukan perkara mudah. Penumpang lain sampai memelototinya karena dianggap makan tempat.Sejak motornya dikembalikan ke mantan ibu mertua, Sabrina terpaksa menggunakan angkutan umum untuk bepergian. Sebenarnya dia sudah memesan jasa ojek online, tetapi para driver selalu membatalkan setelah tiba di lokasi karena barang bawaannya terlalu banyak. Dia sempat disarankan untuk memesan mobil, tetapi merasa sayang karena ongkosnya lumayan mahal."Mama capek, ya? Sini aku pijitin," kata Alifa. Dia mendekat lalu memijit pundak sang mama dengan tangan mungilnya. Meski tenaganya tidak seberapa, perlakuan manis Alifa itu membuat capek Sabrina otomatis hilang."Belanja apa saja, Sab?" Bu Retno ikut duduk di ruang tamu sambil menyalakan televisi."Alat bahan jahit sa
Keluarga Pak Muklis ada di Singapura selama dua minggu. Sabrina memakai kesempatan itu dengan sebaik-baiknya untuk mengumpulkan uang. Sebulan lagi sudah masuk tahun ajaran baru. Selain butuh uang untuk membayar cicilan kepada Bu Ami, Sabrina juga perlu menabung untuk membayar SPP Alifa.Sabrina mengelola warung dan membuka PO jilbab anak. Modelnya tidak lain adalah Alifa. Dia membuat tiga desain lalu mengedit fotonya dengan pilihan warna jilbab yang bisa dia buat. Sabrina memasarkannya melalui story WhatApp dan Facebook.Sehari dua hari, tidak ada yang memesan jilbabnya. Paling hanya ada satu dua tetangga yang menjahitkan pakaian robek atau menambal bolongan. Namun, Sabrina tak patah arang. Di waktu-waktu senggang, dia menonton tutorial merajut di Youtube.Merintis usaha itu relatif mudah. Yang sulit adalah tetap konsisten meski belum ada yang memesan jualannya. Sabrina tak menampik jika semangatnya juga sempat turun. Jangankan memesan, yang sekadar tanya-tanya pun tidak ada.Kesabara
Orderan jilbab dari Annisa langsung dikebut Sabrina setiap kali ada waktu luang. Hanya dalam waktu tiga hari, sepertiga dari jumlah pesanan sudah jadi. Sabrina menjual dengan harga Rp 25.000 per potongnya. Dikali total pesanan 60 pcs, Sabrina bisa mengantongi omzet 1,5 juta rupiah. Lumayan, untung bersihnya hampir 40%. Setidaknya, cicilan untuk Bu Ami bulan ini sudah aman.Saat sedang asyik mengerjakan model jilbab kedua, mesin jahit Sabrina tiba-tiba mogok. Roda pemutar sampingnya tersendat sehingga pekerjaannya terhenti."Pak, minta tolong benerin mesin jahit, dong," pinta Sabrina ke Pak Jaya yang sedang mencangkul di halaman belakang.Dia berencana membuat kolam untuk budidaya lele. Melihat Sabrina bekerja keras banting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Pak Jaya malu jika hanya duduk berpangku tangan.Pak Jaya meletakkan cangkul kemudian menyeka keringat sebelum mendatangi Sabrina."Mesinnya kenapa?" tanyanya."Enggak tahu, mogok. Coba Bapak cek."Mereka berjalan beriringa
Sabrina merapikan dagangan dan membersihkan sampah sebelum menutup warung. Remang-remang lampu warga membuat lingkungan tersebut tidak terlalu gelap. Dia sengaja berjualan sampai malam karena banyak anak yang jajan sepulang mengaji, ba'da Isya. Ada juga satu dua tetangga yang ingin membeli kebutuhan rumah tangga karena mendadak habis. Bisa dibilang, warung Sabrina selalu ramai dan cukup membantu perekonomian keluarga.Sebelum mengunci pintu, Sabrina mengintip keadaan sekitar melalui jendela. Hatinya was-was, khawatir lelaki mencurigakan yang sejak kemarin berkeliaran di sekitar sana masih mengintai. Pasalnya, mereka masih lewat menjelang Maghrib tadi.Bagaimana jika mereka membobol rumah ketika para penghuni sedang lelap tertidur?Bagaimana jika mereka memang berniat jahat dan melancarkan aksinya malam itu?Siapa yang akan melindungi Sabrina sekeluarga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan?Sabrina beristighfar, mencoba menyingkirkan berbagai skenario buruk yang berkeliaran di ke
Sabrina berangkat dari rumah ketika matahari belum seberapa tinggi. Cahayanya bersinar hangat, memancarkan warna kuning keemasan bak disiram langsung dari langit. Semilir angin meniupkan kesejukan. Keindahan pagi itu makin lengkap dengan iringan cicit suara burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon berikutnya.Dahi Sabrina basah. Tangan kanan dan kirinya sibuk menenteng dua tas besar berisi jilbab pesanan Annisa. Dari rumahnya, Sabrina harus berjalan kaki sekitar lima menit untuk sampai ke pemberhentian angkot. Tidak adanya kendaraan membuat dirinya sulit bepergian, termasuk ketika harus mengantar pesanan.Melewati jembatan kecil sebelum berbelok ke jalan raya, bulu kuduk Sabrina meremang. Dia merasa ada yang mengikuti langkahnya. Namun, setiap kali menoleh, dia tidak menemukan siapa-siapa selain jalanan lengang.Sabrina mengembuskan napas lega ketika sampai di jalan raya."Syukurlah, semua aman. Mungkin tadi cuma perasaanku saja," ucap Sabrina dalam hati.Wanita itu mematung di tep
[2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma
Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke
Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi
Nuansa haru yang sempat tercipta karena Sabrina hendak merantau menjadi TKW mendadak buyar. Sabrina menyusut air mata. Bu Retno sontak berdiri dan menghampiri dua lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Pak Muklis?" Sapaannya lebih terdengar seperti pertanyaan. Bu Retno sampai melebarkan mata dan mencondongkan badan saking tidak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Pak Muklis. Ya, dia adalah juragan sembako yang pernah sangat ingin menikahi Sabrina. Sabrina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan takut dan cemas yang diam-diam menelusup di hatinya. Bagaimanapun, urusannya dengan Pak Muklis tidak pernah menyenangkan. "Maaf, Bu, boleh kami masuk?" Kali ini yang bertanya adalah sopir Pak Muklis. "Oh, iya ... bo--boleh. Silakan, Pak." Wanita itu menepi agar tamunya masuk. Sabrina menuntun Alifa, hendak menghindari pertemuan itu dengan alasan ingin menjaga warung. Namun, Pak Muklis menahannya. "Mbak Sabrina boleh di sini sebentar? Saya ada perlu.
"Izinkan aku merantau ke luar negeri." Sabrina mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan anak dan orang tuanya di Indonesia. Selain rindu, dia juga pasti akan lebih sering mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka.Namun, utang nyaris seratus juta ke Adam bukanlah perkara sepele. Jika dia hanya mampu mencicil 500 ribu per bulan, dia butuh waktu selama 16 tahun untuk melunasi seluruh utang tersebut.Dalam kurun waktu 16 tahun itu, pasti akan banyak hal yang berubah. Orang tuanya akan makin berumur. Alifa pun harus bersekolah di SD, SMP, hingga SMA yang pastinya butuh biaya lebih besar. Sabrina juga bercita-cita ingin menguliahkan putri semata wayangnya.Lebih dari itu semua, siapa yang menjamin dirinya masih ada umur? Alangkah sedihnya jika membawa utang hingga liang lahat. Maka, merantau menjadi TKW menjadi pilihan yang paling mungkin Sabrina ambil."Kalau kamu pergi, Alifa gimana, Sab?" tanya Bu Retno hati-hati. Dia paham betul kegelisahan anak
"Alhamdulillah, semua pesanan sudah jadi. Bu, tolong bantu cocokkan jumlahnya, ya," pinta Sabrina kepada Bu Retno. Dia sendiri tengah sibuk menghitung sisa pembayaran yang harus dilunasi Salim. Jumlah itu setara dengan keuntungan bersih yang akan dia peroleh."Jahitannya rapi, Sab. Masing-masing juga udah disetrika, jadi meringankan pekerjaan kita. Bisa aja kamu cari konveksi yang bagus.""Iya, Bu. Yang bikin makin kagum, mereka mempekerjakan orang-orang yang cacat fisik. Aku jadi makin termotivasi buat mengikuti jejaknya."Sabrina menghentikan pekerjaannya sejenak. Matanya menerawang jauh sedangkan bibirnya tersenyum manis. Terbayang seperti apa bahagianya jika impian tersebut bisa terwujud."Ya ... Ya ... Tapi bikin konveksi juga modalnya nggak sedikit, Sab. Apalagi kamu masih ada utang sama Ustadz Adam."Bibir Sabrina langsung kembali seperti semula. Ucapan ibunya sangat realistis."Bapak sama Ibu nggak bisa bantu banyak. Tapi nanti, kalau kami sudah meninggal, kamu boleh jual ruma
"Sudah siap, Ma?" tanya Adam setelah memasukkan tiga koper dan beberapa kardus besar ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Dam." Bu Ami menghela napas. Hatinya serasa sesak dan badannya penat. Hari itu, mereka memutuskan untuk pindah rumah. Rumah tersebut akan disewakan kepada teman Om Adib.Sebenarnya rumah itu baru mereka tempati selama setahun. Namun, semenjak Adam batal menikah dengan Sofia, Bu Ami tidak lagi merasakan kenyamanan di sana. Penyebabnya tak lain adalah mulut-mulut tetangga yang selalu merasa paling tahu urusan orang lain.Sekali dua kali, Bu Ami tidak terlalu memusingkan omongan tetangga yang menggunjing batalnya pernikahan Adam. Namun, cerita tersebut berulang terus dan ditambah bumbu-bumbu lain. Ada yang bilang, Adam itu pembawa tulah atau kutukan. Entah siapa yang pertama kali tahu, tetapi kabar bahwa dia sudah tiga kali gagal menikah sudah menyebar luas. Dampaknya tidak hanya pada psikologis Bu Ami, tetapi juga TPA yang dikelola Adam. Banyak walisantri yang memindah
"Ma, capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Alifa pada suatu malam menjelang tidur.Dia melihat Sabrina kepayahan bangun dari kasur sebab pinggangnya terlalu letih. Duduk terlalu lama di depan mesin jahit memang kurang baik untuk kesehatan. Apalagi Sabrina terkadang lupa minum air putih atau meregangkan otot barang sebentar."Mau, Sayang. Terima kasih ya, anak baik. Mama sangat bersyukur memiliki anak yang solehah seperti Alifa," jawabnya seraya tersenyum.Alifa dengan senang hati memijit tangan dan kaki Sabrina. Meskipun tenaganya tidak seberapa dan dia belum paham titik-titik yang mesti dpijit, Sabrina merasakan hatinya hangat. Tangan mungil itulah yang secara tidak langsung telah menguatkannya selama ini.Meski letih, Sabrina merasa Allah sangat memudahkan usahanya ketika memulai proses produksi pesanan Salim. Selain doa yang dia panjatkan seusai salat, Sabrina juga rutin melaksanakan salat Tahajjud dan salat Dhuha.Dia tidak bisa berkeluh kesah kepada sembarang orang. Jadi, salat adal