Orderan jilbab dari Annisa langsung dikebut Sabrina setiap kali ada waktu luang. Hanya dalam waktu tiga hari, sepertiga dari jumlah pesanan sudah jadi. Sabrina menjual dengan harga Rp 25.000 per potongnya. Dikali total pesanan 60 pcs, Sabrina bisa mengantongi omzet 1,5 juta rupiah. Lumayan, untung bersihnya hampir 40%. Setidaknya, cicilan untuk Bu Ami bulan ini sudah aman.Saat sedang asyik mengerjakan model jilbab kedua, mesin jahit Sabrina tiba-tiba mogok. Roda pemutar sampingnya tersendat sehingga pekerjaannya terhenti."Pak, minta tolong benerin mesin jahit, dong," pinta Sabrina ke Pak Jaya yang sedang mencangkul di halaman belakang.Dia berencana membuat kolam untuk budidaya lele. Melihat Sabrina bekerja keras banting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Pak Jaya malu jika hanya duduk berpangku tangan.Pak Jaya meletakkan cangkul kemudian menyeka keringat sebelum mendatangi Sabrina."Mesinnya kenapa?" tanyanya."Enggak tahu, mogok. Coba Bapak cek."Mereka berjalan beriringa
Sabrina merapikan dagangan dan membersihkan sampah sebelum menutup warung. Remang-remang lampu warga membuat lingkungan tersebut tidak terlalu gelap. Dia sengaja berjualan sampai malam karena banyak anak yang jajan sepulang mengaji, ba'da Isya. Ada juga satu dua tetangga yang ingin membeli kebutuhan rumah tangga karena mendadak habis. Bisa dibilang, warung Sabrina selalu ramai dan cukup membantu perekonomian keluarga.Sebelum mengunci pintu, Sabrina mengintip keadaan sekitar melalui jendela. Hatinya was-was, khawatir lelaki mencurigakan yang sejak kemarin berkeliaran di sekitar sana masih mengintai. Pasalnya, mereka masih lewat menjelang Maghrib tadi.Bagaimana jika mereka membobol rumah ketika para penghuni sedang lelap tertidur?Bagaimana jika mereka memang berniat jahat dan melancarkan aksinya malam itu?Siapa yang akan melindungi Sabrina sekeluarga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan?Sabrina beristighfar, mencoba menyingkirkan berbagai skenario buruk yang berkeliaran di ke
Sabrina berangkat dari rumah ketika matahari belum seberapa tinggi. Cahayanya bersinar hangat, memancarkan warna kuning keemasan bak disiram langsung dari langit. Semilir angin meniupkan kesejukan. Keindahan pagi itu makin lengkap dengan iringan cicit suara burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon berikutnya.Dahi Sabrina basah. Tangan kanan dan kirinya sibuk menenteng dua tas besar berisi jilbab pesanan Annisa. Dari rumahnya, Sabrina harus berjalan kaki sekitar lima menit untuk sampai ke pemberhentian angkot. Tidak adanya kendaraan membuat dirinya sulit bepergian, termasuk ketika harus mengantar pesanan.Melewati jembatan kecil sebelum berbelok ke jalan raya, bulu kuduk Sabrina meremang. Dia merasa ada yang mengikuti langkahnya. Namun, setiap kali menoleh, dia tidak menemukan siapa-siapa selain jalanan lengang.Sabrina mengembuskan napas lega ketika sampai di jalan raya."Syukurlah, semua aman. Mungkin tadi cuma perasaanku saja," ucap Sabrina dalam hati.Wanita itu mematung di tep
"Bu Sabrina?" Pertanyaan Sofia lebih terdengar seperti monolog.Dia tidak menyangka akan bertemu wanita yang pernah mengisi hati Adam itu di PAUD milik Annisa. Mungkin saja, sampai sekarang nama Sabrina masih lekat di hati Adam sebab lelaki itu masih bersikap dingin kepadanya. Kali terakhir mereka bertemu, Sabrina juga buru-buru pamit seakan sengaja menghindarinya."Loh, tamu yang mau mendistribusikan buku sumbangan di sini itu Mbak Sofia?"Annisa memandang keduanya dengan tak kalah kaget. "Jadi, kalian saling kenal? Kok, bisa?"Sabrina tersenyum canggung. Bagaimana dia akan menjelaskan perkenalannya dengan Sofia? Tidak mungkin, kan, dia mengaku bahwa pernah ada lelaki bernama Adam yang pernah mengajaknya taaruf dan dia kini tengah dekat dengan Sofia?Sofia lebih dulu menguasai keadaan. "Kebetulan pernah ketemu di TPA, Bu."Sabrina mengiakan perkataan Sofia. Annisa justru terlihat semringah karena dua orang itu tidak perlu canggung lagi jika diajak berbincang bersama."Nis, urusanku s
Lima pasang mata yang ada di ruang tamu langsung melayangkan tatapan tajam begitu Sabrina mengucap salam dan memasuki rumah. Jantung Sabrina berdebar tak karuan. Bibirnya terkunci sedangkan langkah kakinya terasa berat untuk mendekat.“Duduk, Sab!” perintah Bu Retno. Nada suaranya sedingin cuaca musim hujan.Sabrina melangkah perlahan kemudian menempati kursi kosong di sebelah ibunya, tepat berhadapan dengan Bu Muklis. Wanita itu merogoh tas kemudian menjajarkan beberapa lembar foto di meja. Mata Sabrina membelalak sebab di foto itu Sabrina terlihat menaiki mobil Salim.“Ibu kecewa sama kamu,” ujar Bu Retno sambil memalingkan muka. Dia merasa malu sebab menganggap Sabrina telah menyalahgunakan kepercayaannya.“Saya juga kecewa karena Bapak dan Ibu Muklis tidak menghargai privasi saya.” Suara Sabrina bergetar karena menahan marah. Beberapa hari ini dia sampai susah tidur karena khawatir diintai oleh preman. Siapa sangka, ternyata mereka adalah suruhan keluarga Muklis.“jangan mengalihk
Adam berdiri lalu berjabat tangan dengan seorang pria paruh baya di sebuah kafe. Cuaca mendung di luar berkebalikan sekali dengan suasana hatinya yang cerah. Keduanya sama-sama tersenyum semringah.“Semoga kerjasama ini membuka peluang-peluang baru yang membuat bisnis kita makin berkembang, Pak Bram,” ucap Adam optimis.“Saya percayakan semua sama Mas Adam. Kalau butuh sesuatu, jangan segan-segan menghubungi asisten saya.”“Terima kasih, Pak.”Pria itu lantas pamit pergi. Seorang wanita muda yang tak lain adalah asisten Pak Bram menunduk hormat ke arah Adam kemudian mengekor di belakangnya. Adam mengantar mereka sampai tempat parkir sebelum kembali ke mejanya lagi.Lelaki berkemeja garis-garis itu belum hendak pulang. Dia baru mendapat beberapa data tambahan yang harus dimasukkan ke dalam tesis.Dering suara telepon memecah konsentrasi. Nama ‘Mama’ tertera di layar. Adam menghentikan kegiatannya untuk menerima telepon dari Bu Ami.“Meeting kamu sudah selesai, Dam?”“Sudah, Ma.”“Giman
“Ah, sudahlah. Kamu ini kalau lagi fokus memang suka lupa segalanya.” Bu Ami merajuk. Dia tidak benar-benar kesal, hanya gemas karena bukan sekali dua kali saja Adam mengaktifkan mode pesawat di ponsel ketika sedang bekerja. Kalau seperti itu, kan, jadi susah mau berkomunikasi.Masih dengan berbisik, Adam meminta maaf kepada mamanya dan melanjutkan makan. Selain karena perut sudah keroncongan, Sofia dan mamanya juga memperhatikan gerak-gerik mereka.“Gimana persiapan wisuda kamu, Sof?” tanya Bu Ami di sela-sela menyuap makanan.“Alhamdulillah, sudah siap hampir semuanya, Tan. Aku jadinya pakai MUA yang Tante rekomendasikan, lho.” Gadis itu menjawab dengan antusias.“Wah, Tante yakin hasilnya bakalan bagus banget. Secara, kamu dasarnya memang sudah cantik.”“Ah, Tante ini bisa aja.” Sofia merapikan pashminanya karena salah tingkah. Sejenak dia melirik ke Adam, tetapi lelaki itu malah makan dengan lahap seperti tidak terlalu menyimak obrolan mereka.“Tapi kebayanya belum jadi, Jeng,” sa
Seperti hari-hari lainnya, pagi itu alarm Adam berbunyi nyaring beberapa menit menjelang azan Subuh. Lelaki itu pun terbangun, berjalan sempoyongan ke kamar mandi dengan mata setengah terpejam, lalu mengambil wudhu hingga kantuknya sedikit hilang.Lantunan azan dari berbagai penjuru mengiringi langkah kaki Adam menuju masjid. Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa orang yang juga menuju masjid berjalan di depannya.Jamaah pagi itu hanya ada satu shaf, sama seperti hari-hari lainnya juga. Udara pagi yang segar dan suasana yang tenang membuat ibadah mereka makin khusyuk.Adam langsung pulang setelah melaksanakan salat berjamaah. Hari itu hari Sabtu. Dia ingin tidur barang beberapa menit lagi sebelum kembali beraktivitas. Sisa-sisa kantuk dan letih di badan membuatnya lebih nyaman bergelung di bawah selimut."Dam, jangan lupa hari ini ajak Sofia ambil hadiah," seru Bu Ami dari luar kamar. Padahal fajar juga belum menyingsing. Toko perhiasan juga baru buka pukul sepuluh pagi."Iya, Ma."A