Seperti hari-hari lainnya, pagi itu alarm Adam berbunyi nyaring beberapa menit menjelang azan Subuh. Lelaki itu pun terbangun, berjalan sempoyongan ke kamar mandi dengan mata setengah terpejam, lalu mengambil wudhu hingga kantuknya sedikit hilang.Lantunan azan dari berbagai penjuru mengiringi langkah kaki Adam menuju masjid. Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa orang yang juga menuju masjid berjalan di depannya.Jamaah pagi itu hanya ada satu shaf, sama seperti hari-hari lainnya juga. Udara pagi yang segar dan suasana yang tenang membuat ibadah mereka makin khusyuk.Adam langsung pulang setelah melaksanakan salat berjamaah. Hari itu hari Sabtu. Dia ingin tidur barang beberapa menit lagi sebelum kembali beraktivitas. Sisa-sisa kantuk dan letih di badan membuatnya lebih nyaman bergelung di bawah selimut."Dam, jangan lupa hari ini ajak Sofia ambil hadiah," seru Bu Ami dari luar kamar. Padahal fajar juga belum menyingsing. Toko perhiasan juga baru buka pukul sepuluh pagi."Iya, Ma."A
"Kita mau ke mana, sih, Om?" tanya Kevin, keponakan Adam.Dia duduk di sebelah kursi sopir. Otomatis, Sofia harus mengalah dan duduk di barisan jok belakang."Jalan-jalan, makan, main ke Timezone, terserah Kevin. Tapi sebelum itu, kita nganter Kak Sofia dulu, ya.""Kok, manggilnya Kakak? Kenapa bukan Tante Sofia?"Adam tampak berpikir. Sebenarnya tadi dia spontan saja sebab Sofia delapan tahun lebih muda dibanding dirinya. Akan tetapi, yang namanya anak kecil memang selalu punya pertanyaan ajaib untuk diajukan.Kekeh tawa Sofia terdengar dari kursi belakang."Kalau Kevin mau panggil Tante juga boleh, kok," katanya."Enggak, ah, enggak cocok. Kak Sofia masih muda dan cantik."Adam pura-pura menjitak keponakannya tersebut. Kecil-kecil sudah bisa menilai mana yang cantik. Sofia hanya menahan tawa melihat keributan kecil di hadapannya.Di depan mereka, antrean kendaraan mengular karena lampu merah. Klakson dibunyikan di sana-sini. Suasana jadi membosankan karena kemacetan panjang terjadi.
Tidak ada yang istimewa dalam kegiatan Sabrina sehari-hari. Setiap pagi, dia bangun menjelang Subuh untuk salat dan menyiapkan sarapan bagi seluruh anggota keluarga.Setelah mengantar Alifa sekolah, dia membuka warung sambil bersih-bersih rumah. Jika sedang ada pesanan jahit, Bu Retno lah yang menjaga warung sampai sore. Malamnya, Sabrina mengajari Alifa baca tulis dan mengaji. Begitu terus setiap hari.Terkadang rasa bosan datang menghampiri. Dahulu, saat suaminya masih hidup, mereka sering naik motor bertiga untuk sekadar menghirup udara luar. Tidak jauh-jauh, paling hanya keliling kompleks perumahan. Kalau sedang ada rezeki lebih, terkadang mampir warung mie ayam bakso sekalian memesan es campur. Begitu saja rasanya sudah bahagia luar biasa.Kini, jangankan jajan di luar, motor pun sudah tak punya. Sebenarnya Sabrina butuh untuk antar jemput Alifa sekolah. Selain itu, dia juga agak kesulitan jika harus mengantar pesanan. Belum lagi kalau rematik Pak Jaya kambuh dan harus membeli ob
“Mbak, itu mobil Kak Adam, kan?” tanya Kayla yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.“Setahu saya, iya.”Sejujurnya, Sabrina tahu betul jika Honda BR-V putih itu memang milik Adam. Dia juga hafal nomor platnya.“Kok, malah Sofia yang turun dari mobil? Terus Kak Adamnya mana?”“Mungkin mereka memang sudah mulai terbuka soal hubungan." Sabrina menjawab setenang dan senormal mungkin. Meski jauh di lubuk hati terdalam, ada perasaan aneh yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata.Ada apa ini? Sementara menunggu Sofia berdiri di ambang pintu dan mengucap salam, Sabrina mulai bertanya-tanya mengapa Adam tidak ikut turun.Sungkan kah? Malu kah? Atau memang merasa tidak perlu karena sudah tidak menyimpan perasaan apa-apa lagi terhadap dirinya?"Assalamu'alaikum," sapa Sofia. Wajahnya berseri-seri dalam sapuan blush on tipis dan lipstik warna nude."Wa'alaikumsalam, Mbak Sofia. Silakan masuk."Sabrina menyongsongnya. Selain untuk menghormati tamu, Sabrina ingin memastikan apakah Adam s
Matahari pukul setengah sebelas terasa sangat menyengat. Angin yang bertiup semilir tidak mampu mengenyahkan titik-titik keringat yang membasahi dahi Sabrina. Wanita itu sedikit terengah-engah karena jarak dari rumah ke sekolah Alifa harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sepuluh menit.Alifa keluar dari ruang kelas dengan wajah murung. Tidak biasanya, batin Sabrina. Biasanya, gadis kecil itu akan tersenyum lebar dan berlari sambil merentangkan kedua tangan ke arah mamanya. Lalu, dalam perjalanan pulang, dia akan menceritakan semua kegiatan di sekolah.“Alifa kenapa, Sayang?” tanya Sabrina ketika anak itu sampai di hadapannya.Alifa menggeleng, tetapi bibirnya tetap cemberut. Dia menolak beradu pandang dengan Sabrina. Air matanya menggenang seakan-akan siap tumpah kapan saja.Wanita berjilbab ungu itu berjongkok hingga tingginya sejajar dengan Alifa. Dia mengelus rambut anaknya yang dikuncir kuda.“Mau cerita sendiri atau Mama tanya ke Bu Guru?” tanyanya dengan nada lembut.Dia kh
“Mami, Mbak. Tolong Mami ….” Suara Kayla terdengar penuh harap.Sabrina mencoba tenang meski dalam hatinya bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya. Dia harus membawa Alifa pergi dulu dari situ agar tidak mendengar percakapan orang dewasa."Bu, tolong gantiin baju Alifa." Pandangan Sabrina lantas beralih ke anaknya. "Alifa sama Nenek dulu, ya."Gadis kecil itu mengangguk kemudian berlalu sambil melirik Kayla yang mengelap air mata.Sabrina menempati kursi yang semula diduduki ibunya, diapit oleh Kayla dan Pak Jaya. Tangannya merangkul gadis berjilbab hitam itu."Ada apa, Kay? Bu Muklis kenapa?"Kayla kembali terisak dengan pipi dan hidung yang kian memerah. "Papi marah besar karena Mbak Bina bersikukuh menolak pernikahan itu. Dia jadi nyalah-nyalahin Mami dan bilang kalau Mami istri penyakitan.""Astaghfirullahalazim ...."Sabrina berulang kali mengucap istighfar seraya mengelus dada. Meski tidak mengalami, tapi dia ikut sakit hati. Bagaimana bisa seseorang mengatakan hal semenyaki
Hai! Terima kasih masih mengikuti cerita Sabrina. Setelah kemarin disibukkan dengan beberapa hal, Insyaa Allah aku akan rutin update lagi. Dukung aku, ya 🤗***"Ma-maksud kamu apa, Mbak?" Bu Muklis memaksakan sebuah senyuman, tetapi suaranya jelas terdengar bergetar."Saya ulangi sekali lagi, Bu. Saya tidak akan menikah dengan orang yang melakukan tindak kekerasan," ucap Sabrina tegas.Bu Muklis masih berusaha mengelak. Dia makin melebarkan senyum dan memasang wajah polos."Mbak Bina ngomongin siapa, sih? Saya nggak ngerti."Kayla yang sudah frustrasi sejak tadi lantas berdecak kesal."Udah lah, Ma, nggak usah pura-pura. Aku dan Mbak Bina udah tahu semua, kok. Jadi sekarang, daripada bahas persiapan nikah, mending kita cari cara supaya Mami dan Mbak Bina aman dari ancaman Papi."Bu Muklis bergerak cepat memeluk anaknya. Kata-kata Kayla itu berhasil membuat perasaannya campur aduk tidak karuan."Mama mohon, Sayang, pura-puralah tidak tahu." Air matanya mulai bercucuran. Senyum yang se
Bu Ami tampak cantik dalam balutan kaftan hijau sage dengan jilbab warna senada. Untuk melengkapi penampilan, dia menyematkan bros bermanik mutiara asli di sisi bahu kiri. Tak lupa dijinjingnya sebuah tas hitam keluaran merek ternama. Ada inisial huruf H pada bagian penutupnya."Sudah siap, Ma?" tanya Adam. Dia meletakkan remot televisi setelah mamanya keluar dari kamar. Aroma mawar nan lembut dari parfum Bu Ami menyapa indra penciumannya."Adam! Kamu beneran cuma mau pakai baju kayak gitu aja?" Bukannya menjawab, Bu Ami justru melayangkan protes. Dia geleng-geleng kepala melihat Adam hanya mengenakan celana bahan hitam dan baju koko hijau muda yang biasa dipakai untuk salat Jumat.Adam menunduk untuk melihat dirinya sendiri. Perasaan tidak ada yang aneh dengan pakaiannya. Meski bukan baju baru, Adam juga tidak mungkin asal-asalan memilih baju yang sudah kurang layak pakai."Kamu, kan, masih muda, Dam. Masih cocok pakai celana jeans dan baju koko. Sana, ganti! Masak mau ke rumah calon