Matahari pukul setengah sebelas terasa sangat menyengat. Angin yang bertiup semilir tidak mampu mengenyahkan titik-titik keringat yang membasahi dahi Sabrina. Wanita itu sedikit terengah-engah karena jarak dari rumah ke sekolah Alifa harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sepuluh menit.Alifa keluar dari ruang kelas dengan wajah murung. Tidak biasanya, batin Sabrina. Biasanya, gadis kecil itu akan tersenyum lebar dan berlari sambil merentangkan kedua tangan ke arah mamanya. Lalu, dalam perjalanan pulang, dia akan menceritakan semua kegiatan di sekolah.“Alifa kenapa, Sayang?” tanya Sabrina ketika anak itu sampai di hadapannya.Alifa menggeleng, tetapi bibirnya tetap cemberut. Dia menolak beradu pandang dengan Sabrina. Air matanya menggenang seakan-akan siap tumpah kapan saja.Wanita berjilbab ungu itu berjongkok hingga tingginya sejajar dengan Alifa. Dia mengelus rambut anaknya yang dikuncir kuda.“Mau cerita sendiri atau Mama tanya ke Bu Guru?” tanyanya dengan nada lembut.Dia kh
“Mami, Mbak. Tolong Mami ….” Suara Kayla terdengar penuh harap.Sabrina mencoba tenang meski dalam hatinya bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya. Dia harus membawa Alifa pergi dulu dari situ agar tidak mendengar percakapan orang dewasa."Bu, tolong gantiin baju Alifa." Pandangan Sabrina lantas beralih ke anaknya. "Alifa sama Nenek dulu, ya."Gadis kecil itu mengangguk kemudian berlalu sambil melirik Kayla yang mengelap air mata.Sabrina menempati kursi yang semula diduduki ibunya, diapit oleh Kayla dan Pak Jaya. Tangannya merangkul gadis berjilbab hitam itu."Ada apa, Kay? Bu Muklis kenapa?"Kayla kembali terisak dengan pipi dan hidung yang kian memerah. "Papi marah besar karena Mbak Bina bersikukuh menolak pernikahan itu. Dia jadi nyalah-nyalahin Mami dan bilang kalau Mami istri penyakitan.""Astaghfirullahalazim ...."Sabrina berulang kali mengucap istighfar seraya mengelus dada. Meski tidak mengalami, tapi dia ikut sakit hati. Bagaimana bisa seseorang mengatakan hal semenyaki
Hai! Terima kasih masih mengikuti cerita Sabrina. Setelah kemarin disibukkan dengan beberapa hal, Insyaa Allah aku akan rutin update lagi. Dukung aku, ya 🤗***"Ma-maksud kamu apa, Mbak?" Bu Muklis memaksakan sebuah senyuman, tetapi suaranya jelas terdengar bergetar."Saya ulangi sekali lagi, Bu. Saya tidak akan menikah dengan orang yang melakukan tindak kekerasan," ucap Sabrina tegas.Bu Muklis masih berusaha mengelak. Dia makin melebarkan senyum dan memasang wajah polos."Mbak Bina ngomongin siapa, sih? Saya nggak ngerti."Kayla yang sudah frustrasi sejak tadi lantas berdecak kesal."Udah lah, Ma, nggak usah pura-pura. Aku dan Mbak Bina udah tahu semua, kok. Jadi sekarang, daripada bahas persiapan nikah, mending kita cari cara supaya Mami dan Mbak Bina aman dari ancaman Papi."Bu Muklis bergerak cepat memeluk anaknya. Kata-kata Kayla itu berhasil membuat perasaannya campur aduk tidak karuan."Mama mohon, Sayang, pura-puralah tidak tahu." Air matanya mulai bercucuran. Senyum yang se
Bu Ami tampak cantik dalam balutan kaftan hijau sage dengan jilbab warna senada. Untuk melengkapi penampilan, dia menyematkan bros bermanik mutiara asli di sisi bahu kiri. Tak lupa dijinjingnya sebuah tas hitam keluaran merek ternama. Ada inisial huruf H pada bagian penutupnya."Sudah siap, Ma?" tanya Adam. Dia meletakkan remot televisi setelah mamanya keluar dari kamar. Aroma mawar nan lembut dari parfum Bu Ami menyapa indra penciumannya."Adam! Kamu beneran cuma mau pakai baju kayak gitu aja?" Bukannya menjawab, Bu Ami justru melayangkan protes. Dia geleng-geleng kepala melihat Adam hanya mengenakan celana bahan hitam dan baju koko hijau muda yang biasa dipakai untuk salat Jumat.Adam menunduk untuk melihat dirinya sendiri. Perasaan tidak ada yang aneh dengan pakaiannya. Meski bukan baju baru, Adam juga tidak mungkin asal-asalan memilih baju yang sudah kurang layak pakai."Kamu, kan, masih muda, Dam. Masih cocok pakai celana jeans dan baju koko. Sana, ganti! Masak mau ke rumah calon
Interior kafe itu didominasi perabot kayu sehingga menimbulkan kesan antik dan nyaman. Aroma kopi tubruk yang menguar dari tiap tetesnya mengantarkan ketenangan. Pengunjung yang datang siang itu cukup banyak, tetapi suasana kafe masih terbilang tenang. Satu sama lain seolah-olah sepakat untuk tidak saling mengganggu.Di sanalah Adam berada, duduk di meja sudut sambil menyesap secangkir frappuccino yang uapnya masih mengepul. Matanya terus-terusan melongok ke arah jalan raya dan sesekali mengecek jam yang melingkar di tangan kirinya.Sementara itu, di seberang meja, duduk seorang laki-laki yang usianya jauh lebih tua. Jarinya menari lincah di atas keyboard. Mulutnya sering menggumamkan sesuatu yang Adam tidak terlalu paham. Saking fokusnya pada pekerjaan, kopi lelaki itu belum disentuh sama sekali.Wajah kusut Adam berubah lebih cerah setelah sebuah mobil hitam dengan plat nomor yang dia hafal memasuki area parkir. Namun, alisnya kembali berkerut ketika mengetahui ada dua orang perempu
Sofia terpekur di meja belajar. Laptop di hadapannya masih menampilkan surat resmi dari sebuah universitas terkemuka di Jepang, menyampaikan bahwa Sofia diterima sebagai mahasiswa baru jenjang S2 dengan beasiswa penuh. Orang tua Sofia belum mengetahui kabar bahagia tersebut. Mereka masih sibuk menyiapkan beberapa hal sebab keesokan harinya sudah berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah umroh sekeluarga. Tadinya Sofia hendak berdoa di depan Ka’bah agar bisa diterima, tapi ternyata Tuhan menjawab doanya lebih cepat.Gadis itu senang, teramat senang. Namun, kenyataan bahwa nantinya dia harus berpisah dengan Adam untuk sementara waktu menghantui pikirannya.“Mas, kalau aku diterima sekolah di Jepang, Mas Adam berkenan mempercepat tanggal pernikahan dan ikut aku ke sana?” tanyanya pada suatu ketika.“Papa saya sudah tidak ada, Sof. Kalau saya pergi, apalagi ke luar negeri, siapa yang akan menjaga Mama saya?” jawab Adam.Dia mengaku merasa berat jika harus berjauhan dengan Bu Ami.
Adam dilanda dilema. Berbagai pertimbangan menyerbu pikirannya. Dia ingin sekali memberi jawaban saat itu juga. Selain agar semuanya bisa segera lebih jelas, dia juga tidak ingin membuat Sofia menunggu lebih lama. Sofia berhak hidup bahagia dan mempersiapkan keberangkatan umrohnya dengan lebih khusyuk.Masalahnya, Adam benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Jika bicara soal cinta, dia memang belum memiliki perasaan apa-apa terhadap gadis itu. Sofia pun tahu. Namun, Adam juga tidak setega itu untuk menolaknya.“Dengar, Mas. Aku memang ingin bersama dengan Mas Adam, tapi aku enggak mau egois. Kalau ditolak, yah, aku pasti akan sedih. Tapi lebih sedih mana coba dibanding menjalani pernikahan seumur hidup dengan seseorang yang tidak mencintaiku?”Adam bisa merasakan ketegaran dan kepasrahan dari nada bicara gadis itu. Sebagai laki-laki yang usianya tujuh tahun lebih tua, Adam sungguh malu. Pemikiran Sofia lebih dewasa sedangkan dirinya tidak lebih dari seorang pengecut.“Sebentar, ya,
Sabrina tersedak saat makan ketika melihat unggahan terbaru Sofia di Instagram. Pada foto yang diunggah delapan menit yang lalu itu, Adam dan Bu Ami tampak akrab berfoto bersama keluarga besar Sofia. Keramaian Bandara Soekarno Hatta menjadi latar belakang foto orang-orang yang memakai seragam batik tersebut. Gadis itu membubuhkan caption, “Yang selalu disemogakan (emoji love) Bismillah, lancar semuanya.”Alifa menepuk-nepuk punggung Sabrina kemudian menyodorkan segelas air putih. Dengan ekspresi datar, gadis cilik itu mengingatkan sang ibu.“Makanya, kalau lagi makan jangan sambil main HP. Lagian Mama lihat apa, sih, sampai batuk begitu?”Sabrina merasa tertohok oleh celetukan anaknya. Dalam hati dia menggerutu kepada dirinya sendiri. Coba kalau dia tidak main ponsel, pasti hatinya akan baik-baik saja.Tak bisa dimungkiri, Sabrina merasa iri atas kelapangan rezeki yang dimiliki oleh keluarga Sofia. Mereka terlihat begitu mudah berangkat umroh sekeluarga menggunakan jasa travel kenamaa
[2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma
Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke
Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi
Nuansa haru yang sempat tercipta karena Sabrina hendak merantau menjadi TKW mendadak buyar. Sabrina menyusut air mata. Bu Retno sontak berdiri dan menghampiri dua lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Pak Muklis?" Sapaannya lebih terdengar seperti pertanyaan. Bu Retno sampai melebarkan mata dan mencondongkan badan saking tidak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Pak Muklis. Ya, dia adalah juragan sembako yang pernah sangat ingin menikahi Sabrina. Sabrina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan takut dan cemas yang diam-diam menelusup di hatinya. Bagaimanapun, urusannya dengan Pak Muklis tidak pernah menyenangkan. "Maaf, Bu, boleh kami masuk?" Kali ini yang bertanya adalah sopir Pak Muklis. "Oh, iya ... bo--boleh. Silakan, Pak." Wanita itu menepi agar tamunya masuk. Sabrina menuntun Alifa, hendak menghindari pertemuan itu dengan alasan ingin menjaga warung. Namun, Pak Muklis menahannya. "Mbak Sabrina boleh di sini sebentar? Saya ada perlu.
"Izinkan aku merantau ke luar negeri." Sabrina mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan anak dan orang tuanya di Indonesia. Selain rindu, dia juga pasti akan lebih sering mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka.Namun, utang nyaris seratus juta ke Adam bukanlah perkara sepele. Jika dia hanya mampu mencicil 500 ribu per bulan, dia butuh waktu selama 16 tahun untuk melunasi seluruh utang tersebut.Dalam kurun waktu 16 tahun itu, pasti akan banyak hal yang berubah. Orang tuanya akan makin berumur. Alifa pun harus bersekolah di SD, SMP, hingga SMA yang pastinya butuh biaya lebih besar. Sabrina juga bercita-cita ingin menguliahkan putri semata wayangnya.Lebih dari itu semua, siapa yang menjamin dirinya masih ada umur? Alangkah sedihnya jika membawa utang hingga liang lahat. Maka, merantau menjadi TKW menjadi pilihan yang paling mungkin Sabrina ambil."Kalau kamu pergi, Alifa gimana, Sab?" tanya Bu Retno hati-hati. Dia paham betul kegelisahan anak
"Alhamdulillah, semua pesanan sudah jadi. Bu, tolong bantu cocokkan jumlahnya, ya," pinta Sabrina kepada Bu Retno. Dia sendiri tengah sibuk menghitung sisa pembayaran yang harus dilunasi Salim. Jumlah itu setara dengan keuntungan bersih yang akan dia peroleh."Jahitannya rapi, Sab. Masing-masing juga udah disetrika, jadi meringankan pekerjaan kita. Bisa aja kamu cari konveksi yang bagus.""Iya, Bu. Yang bikin makin kagum, mereka mempekerjakan orang-orang yang cacat fisik. Aku jadi makin termotivasi buat mengikuti jejaknya."Sabrina menghentikan pekerjaannya sejenak. Matanya menerawang jauh sedangkan bibirnya tersenyum manis. Terbayang seperti apa bahagianya jika impian tersebut bisa terwujud."Ya ... Ya ... Tapi bikin konveksi juga modalnya nggak sedikit, Sab. Apalagi kamu masih ada utang sama Ustadz Adam."Bibir Sabrina langsung kembali seperti semula. Ucapan ibunya sangat realistis."Bapak sama Ibu nggak bisa bantu banyak. Tapi nanti, kalau kami sudah meninggal, kamu boleh jual ruma
"Sudah siap, Ma?" tanya Adam setelah memasukkan tiga koper dan beberapa kardus besar ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Dam." Bu Ami menghela napas. Hatinya serasa sesak dan badannya penat. Hari itu, mereka memutuskan untuk pindah rumah. Rumah tersebut akan disewakan kepada teman Om Adib.Sebenarnya rumah itu baru mereka tempati selama setahun. Namun, semenjak Adam batal menikah dengan Sofia, Bu Ami tidak lagi merasakan kenyamanan di sana. Penyebabnya tak lain adalah mulut-mulut tetangga yang selalu merasa paling tahu urusan orang lain.Sekali dua kali, Bu Ami tidak terlalu memusingkan omongan tetangga yang menggunjing batalnya pernikahan Adam. Namun, cerita tersebut berulang terus dan ditambah bumbu-bumbu lain. Ada yang bilang, Adam itu pembawa tulah atau kutukan. Entah siapa yang pertama kali tahu, tetapi kabar bahwa dia sudah tiga kali gagal menikah sudah menyebar luas. Dampaknya tidak hanya pada psikologis Bu Ami, tetapi juga TPA yang dikelola Adam. Banyak walisantri yang memindah
"Ma, capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Alifa pada suatu malam menjelang tidur.Dia melihat Sabrina kepayahan bangun dari kasur sebab pinggangnya terlalu letih. Duduk terlalu lama di depan mesin jahit memang kurang baik untuk kesehatan. Apalagi Sabrina terkadang lupa minum air putih atau meregangkan otot barang sebentar."Mau, Sayang. Terima kasih ya, anak baik. Mama sangat bersyukur memiliki anak yang solehah seperti Alifa," jawabnya seraya tersenyum.Alifa dengan senang hati memijit tangan dan kaki Sabrina. Meskipun tenaganya tidak seberapa dan dia belum paham titik-titik yang mesti dpijit, Sabrina merasakan hatinya hangat. Tangan mungil itulah yang secara tidak langsung telah menguatkannya selama ini.Meski letih, Sabrina merasa Allah sangat memudahkan usahanya ketika memulai proses produksi pesanan Salim. Selain doa yang dia panjatkan seusai salat, Sabrina juga rutin melaksanakan salat Tahajjud dan salat Dhuha.Dia tidak bisa berkeluh kesah kepada sembarang orang. Jadi, salat adal