“Mbak, itu mobil Kak Adam, kan?” tanya Kayla yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.“Setahu saya, iya.”Sejujurnya, Sabrina tahu betul jika Honda BR-V putih itu memang milik Adam. Dia juga hafal nomor platnya.“Kok, malah Sofia yang turun dari mobil? Terus Kak Adamnya mana?”“Mungkin mereka memang sudah mulai terbuka soal hubungan." Sabrina menjawab setenang dan senormal mungkin. Meski jauh di lubuk hati terdalam, ada perasaan aneh yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata.Ada apa ini? Sementara menunggu Sofia berdiri di ambang pintu dan mengucap salam, Sabrina mulai bertanya-tanya mengapa Adam tidak ikut turun.Sungkan kah? Malu kah? Atau memang merasa tidak perlu karena sudah tidak menyimpan perasaan apa-apa lagi terhadap dirinya?"Assalamu'alaikum," sapa Sofia. Wajahnya berseri-seri dalam sapuan blush on tipis dan lipstik warna nude."Wa'alaikumsalam, Mbak Sofia. Silakan masuk."Sabrina menyongsongnya. Selain untuk menghormati tamu, Sabrina ingin memastikan apakah Adam s
Matahari pukul setengah sebelas terasa sangat menyengat. Angin yang bertiup semilir tidak mampu mengenyahkan titik-titik keringat yang membasahi dahi Sabrina. Wanita itu sedikit terengah-engah karena jarak dari rumah ke sekolah Alifa harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sepuluh menit.Alifa keluar dari ruang kelas dengan wajah murung. Tidak biasanya, batin Sabrina. Biasanya, gadis kecil itu akan tersenyum lebar dan berlari sambil merentangkan kedua tangan ke arah mamanya. Lalu, dalam perjalanan pulang, dia akan menceritakan semua kegiatan di sekolah.“Alifa kenapa, Sayang?” tanya Sabrina ketika anak itu sampai di hadapannya.Alifa menggeleng, tetapi bibirnya tetap cemberut. Dia menolak beradu pandang dengan Sabrina. Air matanya menggenang seakan-akan siap tumpah kapan saja.Wanita berjilbab ungu itu berjongkok hingga tingginya sejajar dengan Alifa. Dia mengelus rambut anaknya yang dikuncir kuda.“Mau cerita sendiri atau Mama tanya ke Bu Guru?” tanyanya dengan nada lembut.Dia kh
“Mami, Mbak. Tolong Mami ….” Suara Kayla terdengar penuh harap.Sabrina mencoba tenang meski dalam hatinya bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya. Dia harus membawa Alifa pergi dulu dari situ agar tidak mendengar percakapan orang dewasa."Bu, tolong gantiin baju Alifa." Pandangan Sabrina lantas beralih ke anaknya. "Alifa sama Nenek dulu, ya."Gadis kecil itu mengangguk kemudian berlalu sambil melirik Kayla yang mengelap air mata.Sabrina menempati kursi yang semula diduduki ibunya, diapit oleh Kayla dan Pak Jaya. Tangannya merangkul gadis berjilbab hitam itu."Ada apa, Kay? Bu Muklis kenapa?"Kayla kembali terisak dengan pipi dan hidung yang kian memerah. "Papi marah besar karena Mbak Bina bersikukuh menolak pernikahan itu. Dia jadi nyalah-nyalahin Mami dan bilang kalau Mami istri penyakitan.""Astaghfirullahalazim ...."Sabrina berulang kali mengucap istighfar seraya mengelus dada. Meski tidak mengalami, tapi dia ikut sakit hati. Bagaimana bisa seseorang mengatakan hal semenyaki
Hai! Terima kasih masih mengikuti cerita Sabrina. Setelah kemarin disibukkan dengan beberapa hal, Insyaa Allah aku akan rutin update lagi. Dukung aku, ya 🤗***"Ma-maksud kamu apa, Mbak?" Bu Muklis memaksakan sebuah senyuman, tetapi suaranya jelas terdengar bergetar."Saya ulangi sekali lagi, Bu. Saya tidak akan menikah dengan orang yang melakukan tindak kekerasan," ucap Sabrina tegas.Bu Muklis masih berusaha mengelak. Dia makin melebarkan senyum dan memasang wajah polos."Mbak Bina ngomongin siapa, sih? Saya nggak ngerti."Kayla yang sudah frustrasi sejak tadi lantas berdecak kesal."Udah lah, Ma, nggak usah pura-pura. Aku dan Mbak Bina udah tahu semua, kok. Jadi sekarang, daripada bahas persiapan nikah, mending kita cari cara supaya Mami dan Mbak Bina aman dari ancaman Papi."Bu Muklis bergerak cepat memeluk anaknya. Kata-kata Kayla itu berhasil membuat perasaannya campur aduk tidak karuan."Mama mohon, Sayang, pura-puralah tidak tahu." Air matanya mulai bercucuran. Senyum yang se
Bu Ami tampak cantik dalam balutan kaftan hijau sage dengan jilbab warna senada. Untuk melengkapi penampilan, dia menyematkan bros bermanik mutiara asli di sisi bahu kiri. Tak lupa dijinjingnya sebuah tas hitam keluaran merek ternama. Ada inisial huruf H pada bagian penutupnya."Sudah siap, Ma?" tanya Adam. Dia meletakkan remot televisi setelah mamanya keluar dari kamar. Aroma mawar nan lembut dari parfum Bu Ami menyapa indra penciumannya."Adam! Kamu beneran cuma mau pakai baju kayak gitu aja?" Bukannya menjawab, Bu Ami justru melayangkan protes. Dia geleng-geleng kepala melihat Adam hanya mengenakan celana bahan hitam dan baju koko hijau muda yang biasa dipakai untuk salat Jumat.Adam menunduk untuk melihat dirinya sendiri. Perasaan tidak ada yang aneh dengan pakaiannya. Meski bukan baju baru, Adam juga tidak mungkin asal-asalan memilih baju yang sudah kurang layak pakai."Kamu, kan, masih muda, Dam. Masih cocok pakai celana jeans dan baju koko. Sana, ganti! Masak mau ke rumah calon
Interior kafe itu didominasi perabot kayu sehingga menimbulkan kesan antik dan nyaman. Aroma kopi tubruk yang menguar dari tiap tetesnya mengantarkan ketenangan. Pengunjung yang datang siang itu cukup banyak, tetapi suasana kafe masih terbilang tenang. Satu sama lain seolah-olah sepakat untuk tidak saling mengganggu.Di sanalah Adam berada, duduk di meja sudut sambil menyesap secangkir frappuccino yang uapnya masih mengepul. Matanya terus-terusan melongok ke arah jalan raya dan sesekali mengecek jam yang melingkar di tangan kirinya.Sementara itu, di seberang meja, duduk seorang laki-laki yang usianya jauh lebih tua. Jarinya menari lincah di atas keyboard. Mulutnya sering menggumamkan sesuatu yang Adam tidak terlalu paham. Saking fokusnya pada pekerjaan, kopi lelaki itu belum disentuh sama sekali.Wajah kusut Adam berubah lebih cerah setelah sebuah mobil hitam dengan plat nomor yang dia hafal memasuki area parkir. Namun, alisnya kembali berkerut ketika mengetahui ada dua orang perempu
Sofia terpekur di meja belajar. Laptop di hadapannya masih menampilkan surat resmi dari sebuah universitas terkemuka di Jepang, menyampaikan bahwa Sofia diterima sebagai mahasiswa baru jenjang S2 dengan beasiswa penuh. Orang tua Sofia belum mengetahui kabar bahagia tersebut. Mereka masih sibuk menyiapkan beberapa hal sebab keesokan harinya sudah berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah umroh sekeluarga. Tadinya Sofia hendak berdoa di depan Ka’bah agar bisa diterima, tapi ternyata Tuhan menjawab doanya lebih cepat.Gadis itu senang, teramat senang. Namun, kenyataan bahwa nantinya dia harus berpisah dengan Adam untuk sementara waktu menghantui pikirannya.“Mas, kalau aku diterima sekolah di Jepang, Mas Adam berkenan mempercepat tanggal pernikahan dan ikut aku ke sana?” tanyanya pada suatu ketika.“Papa saya sudah tidak ada, Sof. Kalau saya pergi, apalagi ke luar negeri, siapa yang akan menjaga Mama saya?” jawab Adam.Dia mengaku merasa berat jika harus berjauhan dengan Bu Ami.
Adam dilanda dilema. Berbagai pertimbangan menyerbu pikirannya. Dia ingin sekali memberi jawaban saat itu juga. Selain agar semuanya bisa segera lebih jelas, dia juga tidak ingin membuat Sofia menunggu lebih lama. Sofia berhak hidup bahagia dan mempersiapkan keberangkatan umrohnya dengan lebih khusyuk.Masalahnya, Adam benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Jika bicara soal cinta, dia memang belum memiliki perasaan apa-apa terhadap gadis itu. Sofia pun tahu. Namun, Adam juga tidak setega itu untuk menolaknya.“Dengar, Mas. Aku memang ingin bersama dengan Mas Adam, tapi aku enggak mau egois. Kalau ditolak, yah, aku pasti akan sedih. Tapi lebih sedih mana coba dibanding menjalani pernikahan seumur hidup dengan seseorang yang tidak mencintaiku?”Adam bisa merasakan ketegaran dan kepasrahan dari nada bicara gadis itu. Sebagai laki-laki yang usianya tujuh tahun lebih tua, Adam sungguh malu. Pemikiran Sofia lebih dewasa sedangkan dirinya tidak lebih dari seorang pengecut.“Sebentar, ya,