Lima pasang mata yang ada di ruang tamu langsung melayangkan tatapan tajam begitu Sabrina mengucap salam dan memasuki rumah. Jantung Sabrina berdebar tak karuan. Bibirnya terkunci sedangkan langkah kakinya terasa berat untuk mendekat.“Duduk, Sab!” perintah Bu Retno. Nada suaranya sedingin cuaca musim hujan.Sabrina melangkah perlahan kemudian menempati kursi kosong di sebelah ibunya, tepat berhadapan dengan Bu Muklis. Wanita itu merogoh tas kemudian menjajarkan beberapa lembar foto di meja. Mata Sabrina membelalak sebab di foto itu Sabrina terlihat menaiki mobil Salim.“Ibu kecewa sama kamu,” ujar Bu Retno sambil memalingkan muka. Dia merasa malu sebab menganggap Sabrina telah menyalahgunakan kepercayaannya.“Saya juga kecewa karena Bapak dan Ibu Muklis tidak menghargai privasi saya.” Suara Sabrina bergetar karena menahan marah. Beberapa hari ini dia sampai susah tidur karena khawatir diintai oleh preman. Siapa sangka, ternyata mereka adalah suruhan keluarga Muklis.“jangan mengalihk
Adam berdiri lalu berjabat tangan dengan seorang pria paruh baya di sebuah kafe. Cuaca mendung di luar berkebalikan sekali dengan suasana hatinya yang cerah. Keduanya sama-sama tersenyum semringah.“Semoga kerjasama ini membuka peluang-peluang baru yang membuat bisnis kita makin berkembang, Pak Bram,” ucap Adam optimis.“Saya percayakan semua sama Mas Adam. Kalau butuh sesuatu, jangan segan-segan menghubungi asisten saya.”“Terima kasih, Pak.”Pria itu lantas pamit pergi. Seorang wanita muda yang tak lain adalah asisten Pak Bram menunduk hormat ke arah Adam kemudian mengekor di belakangnya. Adam mengantar mereka sampai tempat parkir sebelum kembali ke mejanya lagi.Lelaki berkemeja garis-garis itu belum hendak pulang. Dia baru mendapat beberapa data tambahan yang harus dimasukkan ke dalam tesis.Dering suara telepon memecah konsentrasi. Nama ‘Mama’ tertera di layar. Adam menghentikan kegiatannya untuk menerima telepon dari Bu Ami.“Meeting kamu sudah selesai, Dam?”“Sudah, Ma.”“Giman
“Ah, sudahlah. Kamu ini kalau lagi fokus memang suka lupa segalanya.” Bu Ami merajuk. Dia tidak benar-benar kesal, hanya gemas karena bukan sekali dua kali saja Adam mengaktifkan mode pesawat di ponsel ketika sedang bekerja. Kalau seperti itu, kan, jadi susah mau berkomunikasi.Masih dengan berbisik, Adam meminta maaf kepada mamanya dan melanjutkan makan. Selain karena perut sudah keroncongan, Sofia dan mamanya juga memperhatikan gerak-gerik mereka.“Gimana persiapan wisuda kamu, Sof?” tanya Bu Ami di sela-sela menyuap makanan.“Alhamdulillah, sudah siap hampir semuanya, Tan. Aku jadinya pakai MUA yang Tante rekomendasikan, lho.” Gadis itu menjawab dengan antusias.“Wah, Tante yakin hasilnya bakalan bagus banget. Secara, kamu dasarnya memang sudah cantik.”“Ah, Tante ini bisa aja.” Sofia merapikan pashminanya karena salah tingkah. Sejenak dia melirik ke Adam, tetapi lelaki itu malah makan dengan lahap seperti tidak terlalu menyimak obrolan mereka.“Tapi kebayanya belum jadi, Jeng,” sa
Seperti hari-hari lainnya, pagi itu alarm Adam berbunyi nyaring beberapa menit menjelang azan Subuh. Lelaki itu pun terbangun, berjalan sempoyongan ke kamar mandi dengan mata setengah terpejam, lalu mengambil wudhu hingga kantuknya sedikit hilang.Lantunan azan dari berbagai penjuru mengiringi langkah kaki Adam menuju masjid. Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa orang yang juga menuju masjid berjalan di depannya.Jamaah pagi itu hanya ada satu shaf, sama seperti hari-hari lainnya juga. Udara pagi yang segar dan suasana yang tenang membuat ibadah mereka makin khusyuk.Adam langsung pulang setelah melaksanakan salat berjamaah. Hari itu hari Sabtu. Dia ingin tidur barang beberapa menit lagi sebelum kembali beraktivitas. Sisa-sisa kantuk dan letih di badan membuatnya lebih nyaman bergelung di bawah selimut."Dam, jangan lupa hari ini ajak Sofia ambil hadiah," seru Bu Ami dari luar kamar. Padahal fajar juga belum menyingsing. Toko perhiasan juga baru buka pukul sepuluh pagi."Iya, Ma."A
"Kita mau ke mana, sih, Om?" tanya Kevin, keponakan Adam.Dia duduk di sebelah kursi sopir. Otomatis, Sofia harus mengalah dan duduk di barisan jok belakang."Jalan-jalan, makan, main ke Timezone, terserah Kevin. Tapi sebelum itu, kita nganter Kak Sofia dulu, ya.""Kok, manggilnya Kakak? Kenapa bukan Tante Sofia?"Adam tampak berpikir. Sebenarnya tadi dia spontan saja sebab Sofia delapan tahun lebih muda dibanding dirinya. Akan tetapi, yang namanya anak kecil memang selalu punya pertanyaan ajaib untuk diajukan.Kekeh tawa Sofia terdengar dari kursi belakang."Kalau Kevin mau panggil Tante juga boleh, kok," katanya."Enggak, ah, enggak cocok. Kak Sofia masih muda dan cantik."Adam pura-pura menjitak keponakannya tersebut. Kecil-kecil sudah bisa menilai mana yang cantik. Sofia hanya menahan tawa melihat keributan kecil di hadapannya.Di depan mereka, antrean kendaraan mengular karena lampu merah. Klakson dibunyikan di sana-sini. Suasana jadi membosankan karena kemacetan panjang terjadi.
Tidak ada yang istimewa dalam kegiatan Sabrina sehari-hari. Setiap pagi, dia bangun menjelang Subuh untuk salat dan menyiapkan sarapan bagi seluruh anggota keluarga.Setelah mengantar Alifa sekolah, dia membuka warung sambil bersih-bersih rumah. Jika sedang ada pesanan jahit, Bu Retno lah yang menjaga warung sampai sore. Malamnya, Sabrina mengajari Alifa baca tulis dan mengaji. Begitu terus setiap hari.Terkadang rasa bosan datang menghampiri. Dahulu, saat suaminya masih hidup, mereka sering naik motor bertiga untuk sekadar menghirup udara luar. Tidak jauh-jauh, paling hanya keliling kompleks perumahan. Kalau sedang ada rezeki lebih, terkadang mampir warung mie ayam bakso sekalian memesan es campur. Begitu saja rasanya sudah bahagia luar biasa.Kini, jangankan jajan di luar, motor pun sudah tak punya. Sebenarnya Sabrina butuh untuk antar jemput Alifa sekolah. Selain itu, dia juga agak kesulitan jika harus mengantar pesanan. Belum lagi kalau rematik Pak Jaya kambuh dan harus membeli ob
“Mbak, itu mobil Kak Adam, kan?” tanya Kayla yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.“Setahu saya, iya.”Sejujurnya, Sabrina tahu betul jika Honda BR-V putih itu memang milik Adam. Dia juga hafal nomor platnya.“Kok, malah Sofia yang turun dari mobil? Terus Kak Adamnya mana?”“Mungkin mereka memang sudah mulai terbuka soal hubungan." Sabrina menjawab setenang dan senormal mungkin. Meski jauh di lubuk hati terdalam, ada perasaan aneh yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata.Ada apa ini? Sementara menunggu Sofia berdiri di ambang pintu dan mengucap salam, Sabrina mulai bertanya-tanya mengapa Adam tidak ikut turun.Sungkan kah? Malu kah? Atau memang merasa tidak perlu karena sudah tidak menyimpan perasaan apa-apa lagi terhadap dirinya?"Assalamu'alaikum," sapa Sofia. Wajahnya berseri-seri dalam sapuan blush on tipis dan lipstik warna nude."Wa'alaikumsalam, Mbak Sofia. Silakan masuk."Sabrina menyongsongnya. Selain untuk menghormati tamu, Sabrina ingin memastikan apakah Adam s
Matahari pukul setengah sebelas terasa sangat menyengat. Angin yang bertiup semilir tidak mampu mengenyahkan titik-titik keringat yang membasahi dahi Sabrina. Wanita itu sedikit terengah-engah karena jarak dari rumah ke sekolah Alifa harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sepuluh menit.Alifa keluar dari ruang kelas dengan wajah murung. Tidak biasanya, batin Sabrina. Biasanya, gadis kecil itu akan tersenyum lebar dan berlari sambil merentangkan kedua tangan ke arah mamanya. Lalu, dalam perjalanan pulang, dia akan menceritakan semua kegiatan di sekolah.“Alifa kenapa, Sayang?” tanya Sabrina ketika anak itu sampai di hadapannya.Alifa menggeleng, tetapi bibirnya tetap cemberut. Dia menolak beradu pandang dengan Sabrina. Air matanya menggenang seakan-akan siap tumpah kapan saja.Wanita berjilbab ungu itu berjongkok hingga tingginya sejajar dengan Alifa. Dia mengelus rambut anaknya yang dikuncir kuda.“Mau cerita sendiri atau Mama tanya ke Bu Guru?” tanyanya dengan nada lembut.Dia kh