"Jadi, maksud Tante, Kayla itu dulu pernah hampir bertunangan dengan Mas Adam?" Nada bicara Sofia terdengar sedikit meninggi.Bu Ami baru saja menceritakan hubungan Adam dan Kayla di masa lalu tanpa ada yang ditutup-tutupi."Tenang, Sof, itu dulu. Sekarang Adam sudah move on," kata Bu Ami menenangkan Sofia. Dia cukup kaget karena reaksi gadis itu sedikit berlebihan."Tapi tadi Mas Adam ketemu sama Kayla, Tan. Kan ada bukti fotonya juga.""Tante tahu betul karakter Adam. Percaya sama Tante, mungkin Adam memang punya keperluan lain yang belum bisa dibagikan ke kamu. Dia enggak suka umbar-umbar sesuatu kepada orang yang bukan siapa-siapa baginya."Mata Sofia berkaca-kaca. "Jadi, aku ini dianggap bukan siapa-siapa?"Bu Ami mulai geregetan. Gadis itu pintar, tetapi kenapa susah sekali memahami kalimatnya."Bukan siapa-siapa BAGINYA, Sof. Perjodohan itu kan rencana Tante dan mamamu. Kalau kamu setuju, itu tentu lebih memudahkan kami. Tapi kalau Adam belum, ya kamu harus berusaha juga dong s
Menjelang Asar, sebuah mobil menepi dan berhenti tepat di depan pagar rumah Adam. Sofia turun dan membungkukkan badan begitu menyadari sang tuan rumah sedang berada di teras."Assalamu'alaikum, Tante, Mas Adam."Adam membukakan pintu gerbang untuknya lalu segera masuk rumah untuk bersiap-siap. Dia akan pergi ke masjid, salat berjamaah lanjut mengajar mengaji."Lagi santai, ya, Tan?""Iya, Sof. Mumpung saya dan Adam sama-sama di rumah. Gimana kabar mama kamu?" jawab Bu Ami setelah mempersilakan Sofia duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Adam."Sehat, Tante. Saya ke sini enggak apa-apa, kan? Mau ikut Mas Adam ngajar ngaji."Bu Ami terharu dengan kegigihan Sofia. Kadang dia kasihan jika gadis sebaik itu harus menghadapi sikap Adam yang cuek."Saya seneng malah kalau kamu sering main ke sini pas Tante lagi di rumah. Tante jadi punya temen ngobrol. Kalau soal ngajar, coba bilang aja sama Adam."Dari dalam rumah, samar-samar Adam masih bisa mendengar ucapan Sofia. Dia hanya bisa berdoa,
Sabrina meletakkan barang-barang belanjaannya di kursi ruang tamu lalu duduk dengan napas ngos-ngosan. Keringat membasahi dahi dan membuat badannya terasa gerah. Memangku tiga kantong belanja sambil berdesak-desakan di dalam angkot jelas bukan perkara mudah. Penumpang lain sampai memelototinya karena dianggap makan tempat.Sejak motornya dikembalikan ke mantan ibu mertua, Sabrina terpaksa menggunakan angkutan umum untuk bepergian. Sebenarnya dia sudah memesan jasa ojek online, tetapi para driver selalu membatalkan setelah tiba di lokasi karena barang bawaannya terlalu banyak. Dia sempat disarankan untuk memesan mobil, tetapi merasa sayang karena ongkosnya lumayan mahal."Mama capek, ya? Sini aku pijitin," kata Alifa. Dia mendekat lalu memijit pundak sang mama dengan tangan mungilnya. Meski tenaganya tidak seberapa, perlakuan manis Alifa itu membuat capek Sabrina otomatis hilang."Belanja apa saja, Sab?" Bu Retno ikut duduk di ruang tamu sambil menyalakan televisi."Alat bahan jahit sa
Keluarga Pak Muklis ada di Singapura selama dua minggu. Sabrina memakai kesempatan itu dengan sebaik-baiknya untuk mengumpulkan uang. Sebulan lagi sudah masuk tahun ajaran baru. Selain butuh uang untuk membayar cicilan kepada Bu Ami, Sabrina juga perlu menabung untuk membayar SPP Alifa.Sabrina mengelola warung dan membuka PO jilbab anak. Modelnya tidak lain adalah Alifa. Dia membuat tiga desain lalu mengedit fotonya dengan pilihan warna jilbab yang bisa dia buat. Sabrina memasarkannya melalui story WhatApp dan Facebook.Sehari dua hari, tidak ada yang memesan jilbabnya. Paling hanya ada satu dua tetangga yang menjahitkan pakaian robek atau menambal bolongan. Namun, Sabrina tak patah arang. Di waktu-waktu senggang, dia menonton tutorial merajut di Youtube.Merintis usaha itu relatif mudah. Yang sulit adalah tetap konsisten meski belum ada yang memesan jualannya. Sabrina tak menampik jika semangatnya juga sempat turun. Jangankan memesan, yang sekadar tanya-tanya pun tidak ada.Kesabara
Orderan jilbab dari Annisa langsung dikebut Sabrina setiap kali ada waktu luang. Hanya dalam waktu tiga hari, sepertiga dari jumlah pesanan sudah jadi. Sabrina menjual dengan harga Rp 25.000 per potongnya. Dikali total pesanan 60 pcs, Sabrina bisa mengantongi omzet 1,5 juta rupiah. Lumayan, untung bersihnya hampir 40%. Setidaknya, cicilan untuk Bu Ami bulan ini sudah aman.Saat sedang asyik mengerjakan model jilbab kedua, mesin jahit Sabrina tiba-tiba mogok. Roda pemutar sampingnya tersendat sehingga pekerjaannya terhenti."Pak, minta tolong benerin mesin jahit, dong," pinta Sabrina ke Pak Jaya yang sedang mencangkul di halaman belakang.Dia berencana membuat kolam untuk budidaya lele. Melihat Sabrina bekerja keras banting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Pak Jaya malu jika hanya duduk berpangku tangan.Pak Jaya meletakkan cangkul kemudian menyeka keringat sebelum mendatangi Sabrina."Mesinnya kenapa?" tanyanya."Enggak tahu, mogok. Coba Bapak cek."Mereka berjalan beriringa
Sabrina merapikan dagangan dan membersihkan sampah sebelum menutup warung. Remang-remang lampu warga membuat lingkungan tersebut tidak terlalu gelap. Dia sengaja berjualan sampai malam karena banyak anak yang jajan sepulang mengaji, ba'da Isya. Ada juga satu dua tetangga yang ingin membeli kebutuhan rumah tangga karena mendadak habis. Bisa dibilang, warung Sabrina selalu ramai dan cukup membantu perekonomian keluarga.Sebelum mengunci pintu, Sabrina mengintip keadaan sekitar melalui jendela. Hatinya was-was, khawatir lelaki mencurigakan yang sejak kemarin berkeliaran di sekitar sana masih mengintai. Pasalnya, mereka masih lewat menjelang Maghrib tadi.Bagaimana jika mereka membobol rumah ketika para penghuni sedang lelap tertidur?Bagaimana jika mereka memang berniat jahat dan melancarkan aksinya malam itu?Siapa yang akan melindungi Sabrina sekeluarga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan?Sabrina beristighfar, mencoba menyingkirkan berbagai skenario buruk yang berkeliaran di ke
Sabrina berangkat dari rumah ketika matahari belum seberapa tinggi. Cahayanya bersinar hangat, memancarkan warna kuning keemasan bak disiram langsung dari langit. Semilir angin meniupkan kesejukan. Keindahan pagi itu makin lengkap dengan iringan cicit suara burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon berikutnya.Dahi Sabrina basah. Tangan kanan dan kirinya sibuk menenteng dua tas besar berisi jilbab pesanan Annisa. Dari rumahnya, Sabrina harus berjalan kaki sekitar lima menit untuk sampai ke pemberhentian angkot. Tidak adanya kendaraan membuat dirinya sulit bepergian, termasuk ketika harus mengantar pesanan.Melewati jembatan kecil sebelum berbelok ke jalan raya, bulu kuduk Sabrina meremang. Dia merasa ada yang mengikuti langkahnya. Namun, setiap kali menoleh, dia tidak menemukan siapa-siapa selain jalanan lengang.Sabrina mengembuskan napas lega ketika sampai di jalan raya."Syukurlah, semua aman. Mungkin tadi cuma perasaanku saja," ucap Sabrina dalam hati.Wanita itu mematung di tep
"Bu Sabrina?" Pertanyaan Sofia lebih terdengar seperti monolog.Dia tidak menyangka akan bertemu wanita yang pernah mengisi hati Adam itu di PAUD milik Annisa. Mungkin saja, sampai sekarang nama Sabrina masih lekat di hati Adam sebab lelaki itu masih bersikap dingin kepadanya. Kali terakhir mereka bertemu, Sabrina juga buru-buru pamit seakan sengaja menghindarinya."Loh, tamu yang mau mendistribusikan buku sumbangan di sini itu Mbak Sofia?"Annisa memandang keduanya dengan tak kalah kaget. "Jadi, kalian saling kenal? Kok, bisa?"Sabrina tersenyum canggung. Bagaimana dia akan menjelaskan perkenalannya dengan Sofia? Tidak mungkin, kan, dia mengaku bahwa pernah ada lelaki bernama Adam yang pernah mengajaknya taaruf dan dia kini tengah dekat dengan Sofia?Sofia lebih dulu menguasai keadaan. "Kebetulan pernah ketemu di TPA, Bu."Sabrina mengiakan perkataan Sofia. Annisa justru terlihat semringah karena dua orang itu tidak perlu canggung lagi jika diajak berbincang bersama."Nis, urusanku s