Sabrina meletakkan barang-barang belanjaannya di kursi ruang tamu lalu duduk dengan napas ngos-ngosan. Keringat membasahi dahi dan membuat badannya terasa gerah. Memangku tiga kantong belanja sambil berdesak-desakan di dalam angkot jelas bukan perkara mudah. Penumpang lain sampai memelototinya karena dianggap makan tempat.Sejak motornya dikembalikan ke mantan ibu mertua, Sabrina terpaksa menggunakan angkutan umum untuk bepergian. Sebenarnya dia sudah memesan jasa ojek online, tetapi para driver selalu membatalkan setelah tiba di lokasi karena barang bawaannya terlalu banyak. Dia sempat disarankan untuk memesan mobil, tetapi merasa sayang karena ongkosnya lumayan mahal."Mama capek, ya? Sini aku pijitin," kata Alifa. Dia mendekat lalu memijit pundak sang mama dengan tangan mungilnya. Meski tenaganya tidak seberapa, perlakuan manis Alifa itu membuat capek Sabrina otomatis hilang."Belanja apa saja, Sab?" Bu Retno ikut duduk di ruang tamu sambil menyalakan televisi."Alat bahan jahit sa
Keluarga Pak Muklis ada di Singapura selama dua minggu. Sabrina memakai kesempatan itu dengan sebaik-baiknya untuk mengumpulkan uang. Sebulan lagi sudah masuk tahun ajaran baru. Selain butuh uang untuk membayar cicilan kepada Bu Ami, Sabrina juga perlu menabung untuk membayar SPP Alifa.Sabrina mengelola warung dan membuka PO jilbab anak. Modelnya tidak lain adalah Alifa. Dia membuat tiga desain lalu mengedit fotonya dengan pilihan warna jilbab yang bisa dia buat. Sabrina memasarkannya melalui story WhatApp dan Facebook.Sehari dua hari, tidak ada yang memesan jilbabnya. Paling hanya ada satu dua tetangga yang menjahitkan pakaian robek atau menambal bolongan. Namun, Sabrina tak patah arang. Di waktu-waktu senggang, dia menonton tutorial merajut di Youtube.Merintis usaha itu relatif mudah. Yang sulit adalah tetap konsisten meski belum ada yang memesan jualannya. Sabrina tak menampik jika semangatnya juga sempat turun. Jangankan memesan, yang sekadar tanya-tanya pun tidak ada.Kesabara
Orderan jilbab dari Annisa langsung dikebut Sabrina setiap kali ada waktu luang. Hanya dalam waktu tiga hari, sepertiga dari jumlah pesanan sudah jadi. Sabrina menjual dengan harga Rp 25.000 per potongnya. Dikali total pesanan 60 pcs, Sabrina bisa mengantongi omzet 1,5 juta rupiah. Lumayan, untung bersihnya hampir 40%. Setidaknya, cicilan untuk Bu Ami bulan ini sudah aman.Saat sedang asyik mengerjakan model jilbab kedua, mesin jahit Sabrina tiba-tiba mogok. Roda pemutar sampingnya tersendat sehingga pekerjaannya terhenti."Pak, minta tolong benerin mesin jahit, dong," pinta Sabrina ke Pak Jaya yang sedang mencangkul di halaman belakang.Dia berencana membuat kolam untuk budidaya lele. Melihat Sabrina bekerja keras banting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Pak Jaya malu jika hanya duduk berpangku tangan.Pak Jaya meletakkan cangkul kemudian menyeka keringat sebelum mendatangi Sabrina."Mesinnya kenapa?" tanyanya."Enggak tahu, mogok. Coba Bapak cek."Mereka berjalan beriringa
Sabrina merapikan dagangan dan membersihkan sampah sebelum menutup warung. Remang-remang lampu warga membuat lingkungan tersebut tidak terlalu gelap. Dia sengaja berjualan sampai malam karena banyak anak yang jajan sepulang mengaji, ba'da Isya. Ada juga satu dua tetangga yang ingin membeli kebutuhan rumah tangga karena mendadak habis. Bisa dibilang, warung Sabrina selalu ramai dan cukup membantu perekonomian keluarga.Sebelum mengunci pintu, Sabrina mengintip keadaan sekitar melalui jendela. Hatinya was-was, khawatir lelaki mencurigakan yang sejak kemarin berkeliaran di sekitar sana masih mengintai. Pasalnya, mereka masih lewat menjelang Maghrib tadi.Bagaimana jika mereka membobol rumah ketika para penghuni sedang lelap tertidur?Bagaimana jika mereka memang berniat jahat dan melancarkan aksinya malam itu?Siapa yang akan melindungi Sabrina sekeluarga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan?Sabrina beristighfar, mencoba menyingkirkan berbagai skenario buruk yang berkeliaran di ke
Sabrina berangkat dari rumah ketika matahari belum seberapa tinggi. Cahayanya bersinar hangat, memancarkan warna kuning keemasan bak disiram langsung dari langit. Semilir angin meniupkan kesejukan. Keindahan pagi itu makin lengkap dengan iringan cicit suara burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon berikutnya.Dahi Sabrina basah. Tangan kanan dan kirinya sibuk menenteng dua tas besar berisi jilbab pesanan Annisa. Dari rumahnya, Sabrina harus berjalan kaki sekitar lima menit untuk sampai ke pemberhentian angkot. Tidak adanya kendaraan membuat dirinya sulit bepergian, termasuk ketika harus mengantar pesanan.Melewati jembatan kecil sebelum berbelok ke jalan raya, bulu kuduk Sabrina meremang. Dia merasa ada yang mengikuti langkahnya. Namun, setiap kali menoleh, dia tidak menemukan siapa-siapa selain jalanan lengang.Sabrina mengembuskan napas lega ketika sampai di jalan raya."Syukurlah, semua aman. Mungkin tadi cuma perasaanku saja," ucap Sabrina dalam hati.Wanita itu mematung di tep
"Bu Sabrina?" Pertanyaan Sofia lebih terdengar seperti monolog.Dia tidak menyangka akan bertemu wanita yang pernah mengisi hati Adam itu di PAUD milik Annisa. Mungkin saja, sampai sekarang nama Sabrina masih lekat di hati Adam sebab lelaki itu masih bersikap dingin kepadanya. Kali terakhir mereka bertemu, Sabrina juga buru-buru pamit seakan sengaja menghindarinya."Loh, tamu yang mau mendistribusikan buku sumbangan di sini itu Mbak Sofia?"Annisa memandang keduanya dengan tak kalah kaget. "Jadi, kalian saling kenal? Kok, bisa?"Sabrina tersenyum canggung. Bagaimana dia akan menjelaskan perkenalannya dengan Sofia? Tidak mungkin, kan, dia mengaku bahwa pernah ada lelaki bernama Adam yang pernah mengajaknya taaruf dan dia kini tengah dekat dengan Sofia?Sofia lebih dulu menguasai keadaan. "Kebetulan pernah ketemu di TPA, Bu."Sabrina mengiakan perkataan Sofia. Annisa justru terlihat semringah karena dua orang itu tidak perlu canggung lagi jika diajak berbincang bersama."Nis, urusanku s
Lima pasang mata yang ada di ruang tamu langsung melayangkan tatapan tajam begitu Sabrina mengucap salam dan memasuki rumah. Jantung Sabrina berdebar tak karuan. Bibirnya terkunci sedangkan langkah kakinya terasa berat untuk mendekat.“Duduk, Sab!” perintah Bu Retno. Nada suaranya sedingin cuaca musim hujan.Sabrina melangkah perlahan kemudian menempati kursi kosong di sebelah ibunya, tepat berhadapan dengan Bu Muklis. Wanita itu merogoh tas kemudian menjajarkan beberapa lembar foto di meja. Mata Sabrina membelalak sebab di foto itu Sabrina terlihat menaiki mobil Salim.“Ibu kecewa sama kamu,” ujar Bu Retno sambil memalingkan muka. Dia merasa malu sebab menganggap Sabrina telah menyalahgunakan kepercayaannya.“Saya juga kecewa karena Bapak dan Ibu Muklis tidak menghargai privasi saya.” Suara Sabrina bergetar karena menahan marah. Beberapa hari ini dia sampai susah tidur karena khawatir diintai oleh preman. Siapa sangka, ternyata mereka adalah suruhan keluarga Muklis.“jangan mengalihk
Adam berdiri lalu berjabat tangan dengan seorang pria paruh baya di sebuah kafe. Cuaca mendung di luar berkebalikan sekali dengan suasana hatinya yang cerah. Keduanya sama-sama tersenyum semringah.“Semoga kerjasama ini membuka peluang-peluang baru yang membuat bisnis kita makin berkembang, Pak Bram,” ucap Adam optimis.“Saya percayakan semua sama Mas Adam. Kalau butuh sesuatu, jangan segan-segan menghubungi asisten saya.”“Terima kasih, Pak.”Pria itu lantas pamit pergi. Seorang wanita muda yang tak lain adalah asisten Pak Bram menunduk hormat ke arah Adam kemudian mengekor di belakangnya. Adam mengantar mereka sampai tempat parkir sebelum kembali ke mejanya lagi.Lelaki berkemeja garis-garis itu belum hendak pulang. Dia baru mendapat beberapa data tambahan yang harus dimasukkan ke dalam tesis.Dering suara telepon memecah konsentrasi. Nama ‘Mama’ tertera di layar. Adam menghentikan kegiatannya untuk menerima telepon dari Bu Ami.“Meeting kamu sudah selesai, Dam?”“Sudah, Ma.”“Giman
[2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma
Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke
Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi
Nuansa haru yang sempat tercipta karena Sabrina hendak merantau menjadi TKW mendadak buyar. Sabrina menyusut air mata. Bu Retno sontak berdiri dan menghampiri dua lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Pak Muklis?" Sapaannya lebih terdengar seperti pertanyaan. Bu Retno sampai melebarkan mata dan mencondongkan badan saking tidak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Pak Muklis. Ya, dia adalah juragan sembako yang pernah sangat ingin menikahi Sabrina. Sabrina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan takut dan cemas yang diam-diam menelusup di hatinya. Bagaimanapun, urusannya dengan Pak Muklis tidak pernah menyenangkan. "Maaf, Bu, boleh kami masuk?" Kali ini yang bertanya adalah sopir Pak Muklis. "Oh, iya ... bo--boleh. Silakan, Pak." Wanita itu menepi agar tamunya masuk. Sabrina menuntun Alifa, hendak menghindari pertemuan itu dengan alasan ingin menjaga warung. Namun, Pak Muklis menahannya. "Mbak Sabrina boleh di sini sebentar? Saya ada perlu.
"Izinkan aku merantau ke luar negeri." Sabrina mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan anak dan orang tuanya di Indonesia. Selain rindu, dia juga pasti akan lebih sering mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka.Namun, utang nyaris seratus juta ke Adam bukanlah perkara sepele. Jika dia hanya mampu mencicil 500 ribu per bulan, dia butuh waktu selama 16 tahun untuk melunasi seluruh utang tersebut.Dalam kurun waktu 16 tahun itu, pasti akan banyak hal yang berubah. Orang tuanya akan makin berumur. Alifa pun harus bersekolah di SD, SMP, hingga SMA yang pastinya butuh biaya lebih besar. Sabrina juga bercita-cita ingin menguliahkan putri semata wayangnya.Lebih dari itu semua, siapa yang menjamin dirinya masih ada umur? Alangkah sedihnya jika membawa utang hingga liang lahat. Maka, merantau menjadi TKW menjadi pilihan yang paling mungkin Sabrina ambil."Kalau kamu pergi, Alifa gimana, Sab?" tanya Bu Retno hati-hati. Dia paham betul kegelisahan anak
"Alhamdulillah, semua pesanan sudah jadi. Bu, tolong bantu cocokkan jumlahnya, ya," pinta Sabrina kepada Bu Retno. Dia sendiri tengah sibuk menghitung sisa pembayaran yang harus dilunasi Salim. Jumlah itu setara dengan keuntungan bersih yang akan dia peroleh."Jahitannya rapi, Sab. Masing-masing juga udah disetrika, jadi meringankan pekerjaan kita. Bisa aja kamu cari konveksi yang bagus.""Iya, Bu. Yang bikin makin kagum, mereka mempekerjakan orang-orang yang cacat fisik. Aku jadi makin termotivasi buat mengikuti jejaknya."Sabrina menghentikan pekerjaannya sejenak. Matanya menerawang jauh sedangkan bibirnya tersenyum manis. Terbayang seperti apa bahagianya jika impian tersebut bisa terwujud."Ya ... Ya ... Tapi bikin konveksi juga modalnya nggak sedikit, Sab. Apalagi kamu masih ada utang sama Ustadz Adam."Bibir Sabrina langsung kembali seperti semula. Ucapan ibunya sangat realistis."Bapak sama Ibu nggak bisa bantu banyak. Tapi nanti, kalau kami sudah meninggal, kamu boleh jual ruma
"Sudah siap, Ma?" tanya Adam setelah memasukkan tiga koper dan beberapa kardus besar ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Dam." Bu Ami menghela napas. Hatinya serasa sesak dan badannya penat. Hari itu, mereka memutuskan untuk pindah rumah. Rumah tersebut akan disewakan kepada teman Om Adib.Sebenarnya rumah itu baru mereka tempati selama setahun. Namun, semenjak Adam batal menikah dengan Sofia, Bu Ami tidak lagi merasakan kenyamanan di sana. Penyebabnya tak lain adalah mulut-mulut tetangga yang selalu merasa paling tahu urusan orang lain.Sekali dua kali, Bu Ami tidak terlalu memusingkan omongan tetangga yang menggunjing batalnya pernikahan Adam. Namun, cerita tersebut berulang terus dan ditambah bumbu-bumbu lain. Ada yang bilang, Adam itu pembawa tulah atau kutukan. Entah siapa yang pertama kali tahu, tetapi kabar bahwa dia sudah tiga kali gagal menikah sudah menyebar luas. Dampaknya tidak hanya pada psikologis Bu Ami, tetapi juga TPA yang dikelola Adam. Banyak walisantri yang memindah
"Ma, capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Alifa pada suatu malam menjelang tidur.Dia melihat Sabrina kepayahan bangun dari kasur sebab pinggangnya terlalu letih. Duduk terlalu lama di depan mesin jahit memang kurang baik untuk kesehatan. Apalagi Sabrina terkadang lupa minum air putih atau meregangkan otot barang sebentar."Mau, Sayang. Terima kasih ya, anak baik. Mama sangat bersyukur memiliki anak yang solehah seperti Alifa," jawabnya seraya tersenyum.Alifa dengan senang hati memijit tangan dan kaki Sabrina. Meskipun tenaganya tidak seberapa dan dia belum paham titik-titik yang mesti dpijit, Sabrina merasakan hatinya hangat. Tangan mungil itulah yang secara tidak langsung telah menguatkannya selama ini.Meski letih, Sabrina merasa Allah sangat memudahkan usahanya ketika memulai proses produksi pesanan Salim. Selain doa yang dia panjatkan seusai salat, Sabrina juga rutin melaksanakan salat Tahajjud dan salat Dhuha.Dia tidak bisa berkeluh kesah kepada sembarang orang. Jadi, salat adal