Adam mengendarai motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Pikirannya kalut dan susah sekali mengatur fokus. Akibatnya, dia hampir hampir saja bertabrakan di perempatan jalan raya karena terlambat menyadari saat lampu merah menyala. Adam mengerem mendadak dan membanting setirnya ke kiri sehingga dia jatuh dan beberapa bagian motor mengalami kerusakan.Sebagian orang langsung sigap menolong. Ada yang mengatur lalu lintas, ada juga yang menepikan Adam beserta kendaraannya. Laki-laki itu meringis, menahan perih akibat goresan di mata kaki telapak tangan, dan luka lecet kecil di beberapa bagian lain. Untungnya, tidak ada korban lain dalam kecelakaan tersebut.Adam menenangkan diri sejenak di trotoar kemudian menelepon salah seorang karyawan bengkel. Dia meminta dua orang datang menjemput. Satu orang mengemudikan mobil yang nantinya akan dia tumpangi, satu orang lainnya membawa motor yang butuh diperbaiki. Sementara menunggu, beberapa penolong juga berdatangan membawakan air minum juga obat
Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Sabrina tersadar kalau dia masih berada di toilet kamar rumah sakit demi menghindari pertemuan dengan Bu Muklis."Iya, sebentar lagi," sahutnya parau.Sabrina menyusut air matanya yang sudah menganak sungai di pipi. Setiap kali selesai mencuci muka, air mata itu tumpah lagi. Begitu terus hingga suara ketukan pintu terdengar lagi.Mau tidak mau Sabrina harus segera keluar. Dia menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. Setelah merapikan penampilan, Sabrina kembali bergabung dengan orang-orang yang sudah berkumpul di sisi ranjang Alifa.Kayla memandangnya dengan tatapan kasihan. Namun, dia memilih menutup mulut dan mendengarkan perbincangan yang dimulai oleh ibu Sabrina."Sab, seluruh biaya pengobatan Alifa akan ditanggung oleh Bu Muklis. Ayo, ucapkan terima kasih!"Sabrina terpaksa menarik kedua sudut bibirnya agar membentuk lengkung senyum. Pernikahannya memang hanya akan menjadi ajang balas budi. Tidak ada cinta, yang ada
Sabrina memandang Kayla dengan tatapan meminta penjelasan. Dirinya datang memenuhi ajakan makan siang di sebuah resto lesehan tepi sawah, tetapi tidak menyangka jika Adam ikut serta. Gadis itu hanya bilang ingin mentraktir sebagai ungkapan syukur karena Alifa sudah pulang dari rumah sakit."Kita santai saja, ya, Mbak. Apa yang mau aku sampaikan ini kebetulan memang ada hubungannya dengan Kak Adam," kata Kayla.Wanita itu menurut meski masih meraba-raba maksud Kayla. Mereka memesan makanan terlebih dahulu sebelum masuk ke bahasan utama."Boleh saya tanya sesuatu?"Pertanyaan Sabrina itu dijawab anggukan oleh keduanya."Kalian ada hubungan apa?"Adam mempersilakan Kayla untuk menjelaskan. Dia sendiri lebih banyak menunduk atau melihat ke arah lain demi menjaga pandangan."Anggap saja, kami ini teman lama. Kebetulan kami satu almamater. Kak Adam pernah jadi asisten dosen waktu aku masih mahasiswa baru."Sabrina manggut-manggut. "Lalu, apa yang akan kita bicarakan sekarang?""Emm, jadi gi
Bu Muklis bersolek di depan cermin. Saat mengulas bedak, gerakan tangannya terhenti karena memperhatikan kerutan di sudut mata. Wajah yang dulu menjadi dambaan para pemuda kampung itu kini telah dimakan usia."Aku sudah tua dan penyakitan. Memang sudah seharusnya Papi diurus oleh wanita lain yang lebih muda," ucapnya dalam hati.Kayla memanggil Bu Muklis dari luar kamar. Gadis itu lantas membuka pintu setelah maminya menyuruh masuk."Aih, cantiknya mamiku ini." Kayla memeluk dari belakang sambil memperhatikan wajah mereka berdua di cermin.Bu Muklis tersenyum lalu bertanya apakah Kayla sudah siap untuk pergi. Gadis itu mengangguk. Dia terlihat cantik dalam balutan blus bunga-bunga dan rok berwarna senada dengan pasmina."Sebenarnya kita mau ke mana, sih, Mi?" tanya Kayla saat keduanya berjalan menuju garasi."Ngurus persiapan pesta pernikahan papimu."Kayla sempat menghentikan langkah. "Memangnya Mbak Bina udah seratus persen setuju?""Memangnya dia bisa nolak?" Bu Muklis justru balik
Adam termangu menatap kiriman foto dari Kayla. Tampak di layar ponsel, Sabrina mengenakan gaun putih dengan rok menjuntai sambil menghadap belakang. Sepertinya foto itu diambil tanpa sepengetahuan objek fotonya.Kayla menambahkan keterangan di bawah foto: "Mau gerak cepat atau pasrah aja terus keduluan?"Di satu sisi, Adam tidak mau menyerah begitu saja. Namun, di sisi lain, Sabrina juga belum menghubungi untuk menyatakan kesediaanya mengambil dana pinjaman itu.Bagaimana kalau seandainya Sabrina akhirnya memang bersedia menikah dengan Pak Muklis tanpa paksaan?Pertanyaan itu terus terngiang di benaknya dan membuatnya ragu untuk menghubungi Sabrina. Padahal, dia pun sebenarnya butuh kepastian."Sudah ada jawaban dari Sabrina, Dam?"Karena terlalu fokus dengan ponsel dan isi pikirannya, Adam sampai tidak menyadari kapan Bu Ami datang."Belum, Ma."Bu Ami berdecak. "Coba kamu pastikan lagi. Kalau kelamaan, Mama jadi khawatir. Bagaimana kalau dia malah memanfaatkan kebaikan kamu?"Laki-l
"Dam, nanti sore antar Mama arisan ke rumah Bu Yudi, ya! Sekalian mau Mama kenalin sama anaknya. Cakep, lho. Baru lulus cumlaude dari jurusan Farmasi," kata Bu Ami.Sepertinya Bu Ami cepat sekali move on dan ingin mencarikan calon istri lain untuk anaknya. Dirinya memang menyukai Sabrina, tetapi bisa apa kalau wanita itu sudah menerima lamaran orang lain? Kebahagiaan anaknya jadi prioritas utama."Adam mau antar, tapi enggak perlu pakai acara kenalin segala lah, Ma. Anak Mama ini enggak jelek-jelek amat, kok." Adam berusaha bercanda agar penolakannya tidak terkesan kasar. Bagaimanapun, dia menghargai niatan baik sang ibu."Anak Mama, mah, ganteng. Badan juga bagus. Siapa yang bilang Adam jelek? Sini berhadapan sama Mama!" Mata Bu Ami pura-pura melotot untuk menanggapi candaan anaknya.Keduanya lalu tertawa. Begitulah interaksi mereka, hangat dan tidak kaku. Karena itulah Adam merasa nyaman menceritakan apa pun kepada ibunya."Berangkat jam berapa, Ma? Siang ini Adam mesti ke kota sebe
Sebuah notifikasi pengikut baru masuk ke akun Instagram Adam. Biasanya dia tidak akan terlalu menggubris, apalagi jika mutual friends-nya hanya sedikit. Lagi pula Adam hanya sesekali menggunakan media sosial berbagi foto tersebut. Namun, kali ini Adam tercenung lama. Nama yang tertera di layar bukanlah orang asing.Sofia Kamala, begitu namanya. Di foto profilnya, dia mengenakan baju batik dan jilbab oranye, warna yang sama ketika pertama kali mereka berkenalan. Latar fotonya adalah jajaran huruf dari nama universitas tempatnya menuntut ilmu. Ada dua orang teman yang sama. Saat Adam klik, dia cukup terkejut karena akun Bu Ami dan Kayla yang tertera di sana.Adam mampir sebentar ke beranda akun Sofia sebelum nanti memutuskan akan mengikuti balik dan membiarkan saja. Di sana, Sofia banyak membagikan kegiatan mengajar dan magang kerja. Selain itu, ada juga foto-foto saat dia memenangi lomba karya tulis dan menerima beberapa penghargaan."Dam, sini! Mama mau minta tolong," seru Bu Ami cuku
Sabrina menerima uang pembayaran dari penumpang lalu memasukkannya ke dalam saku jaket. Dia melihat penunjuk waktu di ponsel, memastikan jam sudah menunjukkan angka sembilan atau lebih. Rupanya sudah tepat. Dengan mengendarai motor berkecepatan sedang, dia memperkirakan akan tiba di bengkel Adam setidaknya pukul setengah sepuluh.Sepanjang perjalan, Sabrina lebih banyak bermonolog. Lebih tepatnya, berlatih mengucapkan kata-kata saat menyerahkan amplop berisi jawabannya kepada Adam. Berkali-kali dia mencoba, berkali-kali itu juga dia menggelengkan kepala. Terlalu puitis lah, terlalu alay lah, terlalu bertele-tele lah. Sampai akhirnya dia kesal sendiri karena tidak ada terdengar yang cocok.Sabrina akhirnya mengambil pilihan yang berani. Dia sudah menjelaskan duduk persoalan kepada Pak Jaya dan Bu Retno, pun dengan rencana selanjutnya. Keputusan itu sudah berdasarkan pertimbangan baik dan buruk selama beberapa hari.Adam tiba di bengkel pukul setengah sepuluh tepat. Dia baru menyapa tig