Holaaa goodreaders, mohon maaf karena baru up lagi. Ada beberapa part yg harus diperbaiki. Selamat membaca kembali semoga terhibur💋💋💋♥️
Aku tidak sempat berpikir lebih jauh ketika tiba-tiba tangan Rakana mencengkeram lenganku dengan kuat. Tubuhku rasanya kaku, kepalaku menoleh seketika, dan saat itu aku bisa melihat jelas wajah Rakana yang begitu dekat. Nafasnya terasa hangat, tetapi malah membuat tengkukku merinding."Chi, aku nggak peduli. Kalau aku nggak bisa memiliki kamu dengan cara baik-baik, aku akan lakukan dengan caraku sendiri," desisnya rendah, hampir seperti geraman.Aku menggeleng lemah. "Enggak, Raka. Tolong ... jangan lakukan apapun," bisikku dengan suara nyaris tak terdengar.Air mataku jatuh lebih deras, membasahi pipi. Tapi Rakana masih bergeming. Dia hanya memandangku dengan sorot mata yang kelam, penuh obsesi."Jangan menangis, Chi. Aku tidak suka melihat kamu bersedih. Aku tidak menyakiti kamu, aku hanya ingin menyentuh kamu. Apa itu salah?" tanyanya dengan tatapan yang berubah sendu."Aku jijik sama kamu, Raka. Pergi"
Aku terdiam, kata-katanya membuat pikiranku berputar. Apa mungkin ada sesuatu yang membuatnya tidur begitu lelap semalam? Ataukah ini hanya kebetulan? Rasanya ada yang janggal, tapi aku juga tidak tahu itu apa."Kenapa nanya gitu, Chi?" tanyanya, kali ini tatapannya kembali fokus padaku. "Ada yang mengganggu tidur kamu semalam?"Aku terkesiap. Ada dorongan untuk menceritakan semuanya, tentang Rakana yang semalam begitu mendesakku hingga batas, tentang ketakutan dan rasa tak berdaya yang kurasakan. Tapi bibirku kelu, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun."Enggak, Bang. Cuma ... cuma nanya aja," jawabku akhirnya, mencoba tersenyum tipis untuk menutupi kebohongan kecil itu.Bang Fahad memandangku beberapa detik, matanya menyiratkan keraguan. "Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Kamu bisa cerita ke saya."Aku hanya mengangguk kecil, meski dalam hati aku tahu aku masih terlalu takut untuk membicarakannya.
Jemarinya yang besar dan hangat menggenggam tanganku dengan lembut, membuatku terpaku. Tatapannya mendalam, seakan mencari sesuatu di mataku. Aku menelan ludah, mencoba mengalihkan pandangan, tapi dia terlalu dekat.“Chiara,” panggilnya pelan.“Iya, Bang?”Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, jemarinya perlahan-lahan menarik tanganku ke dadanya, tepat di atas degup jantungnya. Aku tertegun, merasakan ritmenya yang kuat juga stabil.“Dengar ini?” tanyanya lembut. Aku mengangguk kecil, meski bingung kemana arah pembicaraannya. “Jantung saya nggak pernah berdetak sekencang ini sebelumnya, Chi.”Aku terdiam, mencerna ucapannya yang terdengar tidak biasa dan entah apa maksudnya.Dia melanjutkan. “Gak tahu kenapa, setiap kali kamu ada di dekat saya, rasanya beda.""Beda gimana?"Bang Fahad mengangkat bahu. "Saya juga gak bisa menjelaskan." Genggaman tangannya makin erat. Bah
Hari ini kami habiskan hanya di rumah. Hingga malam menjelang dan seperti biasa, aku mengisi kamar tamu sedang Bang Fahad di kamar utama. Sudah hampir jam sebelas malam, tapi aku masih terjaga. Aku berharap, kejadian semalam tidak akan terjadi lagi. Rakana tidak akan menggangguku dan dia menyadari bahwa perbuatannya salah. Aku juga berharap Rakana bisa mengerti, bahwa aku tidak akan kembali lagi padanya, karena sudah mulai menerima pernikahanku bersama Bang Fahad. Sekali lagi aku melihat waktu pada layar ponsel. Sudah jam sebelas lewat lima menit. Aku membenahi selimut dan mencari posisi yang paling nyaman untuk mulai tidur. Akhirnya, tengkurap menjadi pilihan. Tok Tok Tok. Belum sampai sedetik mataku memejam, pintu kamar terdengar diketuk. Refleks mataku kembali terbuka dengan cepat dan menoleh pada daun pintu. Ketukan kembali terdengar dan aku belum berniat
Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Bang Fahad. Nafasku tercekat, dadaku berdebar kencang."Abang berpikir serendah itu tentang aku?" Suaraku lirih, tapi ada kemarahan yang tak bisa kusembunyikan.Bang Fahad hanya menatapku dingin. "Kalau bukan begitu, lalu kenapa saya jadi seperti ini? Tidur terlalu nyenyak hingga kehilangan kendali waktu itu bukanlah kebiasaan saya. Sebelum kamu ada di rumah ini, saya tidak pernah begini. Pasti ada yang gak beres."Aku menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak dalam hatiku. "Bang, aku gak tahu apa yang terjadi sama abang. Tapi aku bersumpah, aku gak pernah melakukan apa pun yang abang tuduhkan itu. Lagipula, kenapa aku harus repot-repot mengatur skenario seperti itu? Kalau aku mau bersama Rakana, aku tidak akan bertahan dalam pernikahan ini!"Matanya menyipit, seolah menganalisis setiap kata yang kuucapkan. "Kamu tahu, kata-kata bisa saja bohong."Aku memejamkan mata sejenak, menenangkan diriku yang nyaris kehilangan
Tatapan kami bertemu. Bang Fahad belum memulai kembali sarapannya. Dia justru meraih tanganku lalu mengecupnya cukup lama."Kamu bukan orang asing. Kamu istri saya. Mungkin dulu kita memang hanya orang asing yang tidak saling mengenal, tapi sekarang kamu adalah seseorang yang menjadi prioritas dalam hidup saya," ucapnya lembut."Saya juga bukan manusia sempurna, Chi. Saya nggak selalu tahu bagaimana caranya menunjukkan rasa peduli, cinta atau apapun itu. Tapi saya mau kamu tahu satu hal, saya nggak akan pernah menyerah untuk belajar memahami kebersamaan kita dan kehadiran kamu dalam hidup saya," sambungnya membuat hatiku berdesir.Ternyata, pria berumur memang berbeda. Tidak gamblang bilang cinta dan sayang, tidak mudah mengakui perasaan tapi dia bisa lebih menjaga pasangannya.Laki-laki yang masih mengenakan piyama tidurnya itu menatapku, terlihat sedikit gugup dengan tatapan yang kugunakan untuk menggodanya. Dia kembali
Layar televisi dibiarkan menyala. Jam dinding menunjuk di angka tujuh malam. Makan malam sudah siap di meja makan. Sedangkan aku berkutat dengan laptop dan buku-buku untuk mempersiapkan diri mengikuti tes sebelum diterima kuliah lagi, setelah siang tadi aku melakukan pengumpulan berkas sebagai salah satu syarat administratif dan melakukan pembayaran."Rajinnya istri saya, sampai suaminya pulang enggak disambut."Aku menoleh dan melihat Bang Fahad berjalan mendekat. Aku yang duduk lesehan di bawah sofa hanya tersenyum lebar tanpa ada niatan bangkit. Hingga akhirnya Bang Fahad menghempas bobotnya pada sofa di belakangku."Maaf, Bang. Aku lagi persiapan buat tes nanti, semoga aja lolos," ucapku lalu membereskan buku-buku dan mematikan layar laptop.Tampak Bang Fahad melonggarkan kancing kemejanya. "Ada kesulitan?"Aku menggeleng. "Sejauh ini gak ada.""Sudah selesai?" tanyanya lagi.Aku me
Setelah menikmati makan malam, aku mengangkat piring-piring kotor ke bak wastafel dan mencucinya segera. Sedangkan Bang Fahad masih duduk di meja makan, lanjut memakan kue klepon pemberian Rakana. Semoga saja kue itu bersih tanpa campuran apapun yang Rakana tambahkan."Kapan tes masuk universitasnya, Chi?" tanya Bang Fahad di meja makan sana."Hari Sabtu jam sepuluh, Bang.""Sudah menguasai materinya?"Aku mengangguk pelan. "Aku ambil jurusan yang sama dengan kuliah sebelumnya. So far, ga ada masalah.""Hmmm. Baguslah. Oh ya, tolong bawakan teh hangat, ya?" pintanya."Iya, Bang." Aku yang sudah selesai dengan piring-piring kotor tadi, langsung mengeringkan tangan. Lalu membuatkan teh hangat permintaan Bang Fahad.Aku kembali ke meja makan, tapi entah bagaimana, kakiku tersandung ujung meja. Air dalam gelas tumpah, mengarah tepat pada Bang Fahad di hadapanku. Setengah air tehnya, tumpah
Seharian kami menghabiskan waktu di luar vila. Hingga tiba malam hari dan rupanya aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh dari dapur.Begitu keluar dari kamar, aku menemukan Bang Fahad berdiri dengan celemek bunga-bunga dan di tangannya ada mixer yang sedang menyala.“Abang ngapain?” tanyaku sambil menahan tawa.Dia menoleh dengan ekspresi penuh percaya diri, walau sedikit tepung menempel di pipinya. “Saya lagi bikin kue buat istri tercinta.”Mataku menyipit. “Bikin kue? Emang bisa?”“Bisa dong. Bisa gagal juga sih, tapi ... niatnya aja udah manis kan?”Aku tertawa sambil berjalan mendekat. “Tepungnya aja nempel di hidung. Udah kayak badut ulang tahun.”Dia nyengir, lalu tiba-tiba mencolekkan sedikit adonan dalam wadah ke ujung hidungku. “Nah, sekarang kita kembar.”“Bang! Ini lengket tau!” Aku coba membersihkannya, tapi dia malah kabur ke ruang tengah setelah menyemburkan lagi tepung ke arahku, membuatku harus mengejarnya sambil tertawa-tawa.“Kalau kamu bisa nangkep sa
Usai sarapan dan sedikit bersantai di teras vila, Bang Fahad menggandeng tanganku menuju dermaga kecil di belakang vila. Terdapat sebuah perahu kayu mungil sudah terikat di sana, mengapung tenang di atas danau yang berkilau di bawah sinar matahari siang.“Mau keliling danau pakai perahunya?” tanyanya sambil menatapku penuh semangat.Aku menatapnya ragu. "Abang yakin bisa mendayung? Jangan-jangan baru mulai udah nyangkut di tengah.”Dia tertawa renyah, lalu meraih pelampung untukku. “Kalau bersama kamu, saya mendadak seperti petugas damkar, apapun pasti bisa saya lakukan."Kami lantas naik ke perahu pelan-pelan. Perahu mulai bergerak perlahan, menyisakan riak kecil yang tenang di permukaan air.Aku duduk di ujung yang berhadapan langsung dengan Bang Fahad, sementara dia mulai mengayuh dengan tenang dan teratur.Angin menerpa wajah kami, lembut dan menenangkan. Pemandangan sekeliling terasa seperti lukisan hidup, pepohonan rindang, suara burung dari kejauhan, dan sinar matahari yang men
Satu bulan usai malam paling romantis itu, kami akhirnya berangkat. Keadaanku tiap harinya kian membaik. Aku sudah mampu berjalan dengan normal lagi, meski sesekali masih ada sakit yang terasa.Hari ini kamu pergi. Bukan ke luar negeri, bukan pula ke kota besar yang ramai dan gemerlap. Hanya ke sebuah vila tersembunyi di daerah perbukitan, tempat di mana suara alam jauh lebih lantang daripada deru kendaraan. Tempat yang dipilih Bang Fahad sendiri, tempat yang katanya sudah lama ingin ia kunjungi bersamaku.Perjalanan kami ditemani udara sejuk dan senyum yang tak pernah lepas dari wajah kami. Aku duduk di kursi penumpang sambil sesekali meliriknya, dan setiap kali itu terjadi, Bang Fahad selalu sempat menangkap pandanganku.“Kamu ngelihatin saya terus, kenapa?” tanyanya sambil nyengir, matanya masih fokus ke jalan.Aku mengangkat bahu dengan wajah sok polos. “Salah, ya? Ngelihatin suami sendiri?”Dia tertawa kecil. “Enggak. Cuma takut kamu gak kuat nahan rasa cinta aja, nanti meledak d
Waktu terasa lambat saat aku harus hidup bergantung di kursi roda. Tidak ada hari yang terlewat tanpa obat dan terapi. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa bantuan dari Bang Fahad padaku. Hingga detik ini, terhitung sudah lima bulan aku menjalani semuanya. Dukungan dan kesetiaan Bang Fahad tidak perlu diragukan. Dia ada di setiap saat aku membutuhkannya.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pelan tapi pasti, aku sudah mulai bisa berjalan meski hanya baru di dalam rumah. Keadaanku berangsur membaik dan semua ini tidak lepas dari dukungan penuh Bang Fahad selama aku menjalani terapi."Saya senang, akhirnya kamu bisa jalan lagi, meski masih pelan-pelan," ucap Bang Fahad saat kami duduk bersama di sofa ruang televisi pagi hari setelah selesai sarapan."Semua karena bantuan Abang juga. Kalau tanpa Abang, aku gak yakin bisa membaik seperti ini," jawabku apa adanya.Bang Fahad tampak menggeleng. "Enggak, Chi. Semua karena usaha dan kegigihan kamu juga.
Hari demi hari berlalu.Aku belum juga mampu berjalan. Hidupku masih terus bergantung pada kursi roda, tetapi gips yang semula membungkus kakiku sudah dilepaskan. Pergelangan kakiku tidak sempurna bentuknya. Aku masih harus menjalani terapi dan Bang Fahad merawatku dengan sangat telaten selama ini.Seperti pagi ini, dia sudah membawa semangkuk bubur hangat ke kamar dan bersiap menyuapiku. Namun, aku menundanya."Kamu belum laper?" tanya Bang Fahad yang duduk di sisi tempat tidur.Aku menggeleng pelan. "Belum. Tapi ... aku ngerasa gerah banget. Boleh gak minta tolong?"Dia menatapku penuh perhatian. "Boleh, dong. Kamu mau apa?""Aku pengen mandi dulu, mau keramas."Dia mengangguk mantap. "Oke. Ayo, saya bantu."Bang Fahad bergerak cepat menggulung lengan kausnya, mengambil baskom dari lemari kecil, handuk bersih, dan sampo favoritku yang disimpan di rak pojok."Emm, saya gendong aja ya?" tanyanya setelah
Pelukan itu masih bertahan.Lama.Seakan tidak ada kata yang lebih tepat selain diam yang saling menyampaikan isi hati. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang tenang, ritmenya menyatu dengan napasku yang perlahan mulai normal kembali. Tak ada luka yang benar-benar hilang, tapi pagi ini aku merasa luka itu mulai sembuh lewat cara yang tak pernah kusangka.Setelah beberapa menit, Bang Fahad melepaskan pelukan. Ia menatapku, dan masih dengan sorot rasa bersalah. "Chi?"Aku mengangkat dagu, menatapnya balik.“Boleh saya mulai dari awal?” tanyanya. “Tidak harus langsung. Tidak perlu buru-buru. Tapi ... boleh saya temani kamu dari awal lagi? Belajar ulang tentang kamu, tentang kita?”Jantungku berdetak lebih cepat. Bukan karena gugup, tapi karena pertanyaan itu seperti angin sejuk yang datang setelah badai panjang di musim penghujan.Aku tersenyum kecil. “Mulai dari awal sekali?”D
Malam ini seakan menjadi saksi bisu dari dua hati yang pernah patah dan kini saling menopang. Tidak sempurna, tidak juga langsung sembuh. Tapi setidaknya, kami sepakat untuk saling menggenggam.Bang Fahad mengantarku kembali ke kamar. Sesampainya di ranjang, dia membantu dengan lembut saat aku berpindah dari kursi roda. Tak banyak kata, hanya gerakan-gerakan penuh kehati-hatian yang membuat dadaku hangat.Saat aku sudah rebah dan selimut menutupi tubuh, Bang Fahad duduk di sisi ranjang, tak langsung pergi. Tangannya masih menggenggam jemariku erat, seolah enggan melepas."Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saya ya," ucapnya pelan.Aku hanya mengangguk. Suaraku seolah tertinggal di ruang doa tadi. Dia kemudian berdiri, tapi sebelum melangkah ke luar, aku menahannya dengan satu kalimat sederhana."Bang ... boleh duduk di sini sebentar lagi?"Dia menoleh. Wajahnya menegang sesaat, sebelum melunak dan kembali duduk di kursi samping tempat tidurku."Sebentar aja, ya?" Aku menatapnya ragu.B
Aku merasa ada yang runtuh dari dalam diriku. Tembok tinggi yang aku bangun perlahan mulai retak-retak oleh ucapannya yang penuh harap dan doa yang lirih.Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa dicegah. Mungkin ini bukan karena kasihan. Tapi lebih pada ... aku tak pernah menyangka ada seseorang yang begitu bersungguh-sungguh meminta kesempatan kedua, bahkan ketika dia tahu tak ada jaminan untuk diterima.Tanganku gemetar saat menyentuh pegangan kursi roda. Ingin rasanya aku putar balik, kembali ke kamar dan pura-pura tak pernah mendengar apa pun tadi. Tapi langkahnya yang kini berdiri, menoleh, dan langsung terpaku melihatku di sana membuat semuanya terlambat."Chi?" ucapnya sambil buru-buru mengusap wajah, seolah tak ingin aku melihat bekas air matanya. Dia melipat sajadah dengan cepat, lalu menyalakan lampu ruangan hingga terang benderang. Dia berlari, sampai berjongkok di depan kursi rodaku."Ada apa? Kenapa kamu ke luar kamar? Kamu perlu apa? Air minum kamu habis?" Dia mencecar d
"Selamat datang di rumah."Bang Fahad berucap dengan begitu lembut ketika baru saja sampai di ruang tamu. Setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit, pagi ini aku sudah kembali ke rumah."Kamu mau langsung istirahat dulu di kamar atau makan dulu?" tawar Bang Fahad lagi. Namun, aku belum bereaksi. Aku yang duduk di kursi roda, hanya menatap lurus ke depan. Jujur saja aku merasa kesal karena harus bergantung padanya. "Gak usah sok baik, Bang!" ucapku akhirnya dengan pandangan masih lurus ke arah depan. Kejadian perampokan malam itu, masih sering berkelebat dalam pikiranku. Karena kejadian itu, aku kehilangan mobil, ponsel dan dompet dalam tas. Papa yang sudah mencoba mengusutnya di pihak berwajib, tapi belum menemukan titik terang.Bang Fahad tiba-tiba berjongkok di depan kursi rodaku. Sempat pandangan mata kami bertemu, sebelum kemudian aku memalingkan wajah. Namun saat itu pula, aku malah teringat bagaimana dia menjagaku selam