Aku terdiam, kata-katanya membuat pikiranku berputar. Apa mungkin ada sesuatu yang membuatnya tidur begitu lelap semalam? Ataukah ini hanya kebetulan? Rasanya ada yang janggal, tapi aku juga tidak tahu itu apa.
"Kenapa nanya gitu, Chi?" tanyanya, kali ini tatapannya kembali fokus padaku. "Ada yang mengganggu tidur kamu semalam?"Aku terkesiap. Ada dorongan untuk menceritakan semuanya, tentang Rakana yang semalam begitu mendesakku hingga batas, tentang ketakutan dan rasa tak berdaya yang kurasakan. Tapi bibirku kelu, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun."Enggak, Bang. Cuma ... cuma nanya aja," jawabku akhirnya, mencoba tersenyum tipis untuk menutupi kebohongan kecil itu.Bang Fahad memandangku beberapa detik, matanya menyiratkan keraguan. "Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Kamu bisa cerita ke saya."Aku hanya mengangguk kecil, meski dalam hati aku tahu aku masih terlalu takut untuk membicarakannya.Jemarinya yang besar dan hangat menggenggam tanganku dengan lembut, membuatku terpaku. Tatapannya mendalam, seakan mencari sesuatu di mataku. Aku menelan ludah, mencoba mengalihkan pandangan, tapi dia terlalu dekat.“Chiara,” panggilnya pelan.“Iya, Bang?”Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, jemarinya perlahan-lahan menarik tanganku ke dadanya, tepat di atas degup jantungnya. Aku tertegun, merasakan ritmenya yang kuat juga stabil.“Dengar ini?” tanyanya lembut. Aku mengangguk kecil, meski bingung kemana arah pembicaraannya. “Jantung saya nggak pernah berdetak sekencang ini sebelumnya, Chi.”Aku terdiam, mencerna ucapannya yang terdengar tidak biasa dan entah apa maksudnya.Dia melanjutkan. “Gak tahu kenapa, setiap kali kamu ada di dekat saya, rasanya beda.""Beda gimana?"Bang Fahad mengangkat bahu. "Saya juga gak bisa menjelaskan." Genggaman tangannya makin erat. Bah
Hari ini kami habiskan hanya di rumah. Hingga malam menjelang dan seperti biasa, aku mengisi kamar tamu sedang Bang Fahad di kamar utama. Sudah hampir jam sebelas malam, tapi aku masih terjaga. Aku berharap, kejadian semalam tidak akan terjadi lagi. Rakana tidak akan menggangguku dan dia menyadari bahwa perbuatannya salah. Aku juga berharap Rakana bisa mengerti, bahwa aku tidak akan kembali lagi padanya, karena sudah mulai menerima pernikahanku bersama Bang Fahad. Sekali lagi aku melihat waktu pada layar ponsel. Sudah jam sebelas lewat lima menit. Aku membenahi selimut dan mencari posisi yang paling nyaman untuk mulai tidur. Akhirnya, tengkurap menjadi pilihan. Tok Tok Tok. Belum sampai sedetik mataku memejam, pintu kamar terdengar diketuk. Refleks mataku kembali terbuka dengan cepat dan menoleh pada daun pintu. Ketukan kembali terdengar dan aku belum berniat
Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Bang Fahad. Nafasku tercekat, dadaku berdebar kencang."Abang berpikir serendah itu tentang aku?" Suaraku lirih, tapi ada kemarahan yang tak bisa kusembunyikan.Bang Fahad hanya menatapku dingin. "Kalau bukan begitu, lalu kenapa saya jadi seperti ini? Tidur terlalu nyenyak hingga kehilangan kendali waktu itu bukanlah kebiasaan saya. Sebelum kamu ada di rumah ini, saya tidak pernah begini. Pasti ada yang gak beres."Aku menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak dalam hatiku. "Bang, aku gak tahu apa yang terjadi sama abang. Tapi aku bersumpah, aku gak pernah melakukan apa pun yang abang tuduhkan itu. Lagipula, kenapa aku harus repot-repot mengatur skenario seperti itu? Kalau aku mau bersama Rakana, aku tidak akan bertahan dalam pernikahan ini!"Matanya menyipit, seolah menganalisis setiap kata yang kuucapkan. "Kamu tahu, kata-kata bisa saja bohong."Aku memejamkan mata sejenak, menenangkan diriku yang nyaris kehilangan
Tatapan kami bertemu. Bang Fahad belum memulai kembali sarapannya. Dia justru meraih tanganku lalu mengecupnya cukup lama."Kamu bukan orang asing. Kamu istri saya. Mungkin dulu kita memang hanya orang asing yang tidak saling mengenal, tapi sekarang kamu adalah seseorang yang menjadi prioritas dalam hidup saya," ucapnya lembut."Saya juga bukan manusia sempurna, Chi. Saya nggak selalu tahu bagaimana caranya menunjukkan rasa peduli, cinta atau apapun itu. Tapi saya mau kamu tahu satu hal, saya nggak akan pernah menyerah untuk belajar memahami kebersamaan kita dan kehadiran kamu dalam hidup saya," sambungnya membuat hatiku berdesir.Ternyata, pria berumur memang berbeda. Tidak gamblang bilang cinta dan sayang, tidak mudah mengakui perasaan tapi dia bisa lebih menjaga pasangannya.Laki-laki yang masih mengenakan piyama tidurnya itu menatapku, terlihat sedikit gugup dengan tatapan yang kugunakan untuk menggodanya. Dia kembali
Layar televisi dibiarkan menyala. Jam dinding menunjuk di angka tujuh malam. Makan malam sudah siap di meja makan. Sedangkan aku berkutat dengan laptop dan buku-buku untuk mempersiapkan diri mengikuti tes sebelum diterima kuliah lagi, setelah siang tadi aku melakukan pengumpulan berkas sebagai salah satu syarat administratif dan melakukan pembayaran."Rajinnya istri saya, sampai suaminya pulang enggak disambut."Aku menoleh dan melihat Bang Fahad berjalan mendekat. Aku yang duduk lesehan di bawah sofa hanya tersenyum lebar tanpa ada niatan bangkit. Hingga akhirnya Bang Fahad menghempas bobotnya pada sofa di belakangku."Maaf, Bang. Aku lagi persiapan buat tes nanti, semoga aja lolos," ucapku lalu membereskan buku-buku dan mematikan layar laptop.Tampak Bang Fahad melonggarkan kancing kemejanya. "Ada kesulitan?"Aku menggeleng. "Sejauh ini gak ada.""Sudah selesai?" tanyanya lagi.Aku me
Setelah menikmati makan malam, aku mengangkat piring-piring kotor ke bak wastafel dan mencucinya segera. Sedangkan Bang Fahad masih duduk di meja makan, lanjut memakan kue klepon pemberian Rakana. Semoga saja kue itu bersih tanpa campuran apapun yang Rakana tambahkan."Kapan tes masuk universitasnya, Chi?" tanya Bang Fahad di meja makan sana."Hari Sabtu jam sepuluh, Bang.""Sudah menguasai materinya?"Aku mengangguk pelan. "Aku ambil jurusan yang sama dengan kuliah sebelumnya. So far, ga ada masalah.""Hmmm. Baguslah. Oh ya, tolong bawakan teh hangat, ya?" pintanya."Iya, Bang." Aku yang sudah selesai dengan piring-piring kotor tadi, langsung mengeringkan tangan. Lalu membuatkan teh hangat permintaan Bang Fahad.Aku kembali ke meja makan, tapi entah bagaimana, kakiku tersandung ujung meja. Air dalam gelas tumpah, mengarah tepat pada Bang Fahad di hadapanku. Setengah air tehnya, tumpah
Aku menelan saliva mendengar ucapan Bang Fahad yang terdengar santai tapi juga serius."Cucu ...? Ma—maksud a—bang anak bayi?" tanyaku terbata-bata."Huumm. Mama Papa saya belum punya cucu. Mereka sudah sangat ingin menjadi Oma dan Opa. Pasti mereka senang kalau saya bisa memberikan mereka cucu."Aku kembali menelan ludah. "E ... tapi, Bang. Itu 'tuh bukan sembarang kado. Tapi itu makhluk hidup. Menghadirkannya gak mudah. Harus diadon dulu. Emm, maksudku harus diproses dan itu bukan kue donat yang sudah diketahui takaran adonannya." Astaga, ngomong apa sih aku ini?Bang Fahad malah terkekeh. "Iya, kamu benar sekali. Kita tidak bisa asal-asalan membuat adonannya. Kita harus pakai ilmu biologi, fisiologi, genetika bahkan melibatkan ilmu psikologi agar bisa menghasilkan embrio yang berkualitas dan melahirkan generasi bernilai."Astaga.Sudah seperti perencanaan proyek besar saja memakai berbagai macam ilmu.Aku membasahi bibir yang terasa kering. "Ta—tapi, Bang, a—aku—"Ucapanku menggant
Film berlangsung kurang lebih sekitar sembilan puluh menit. Aku bersama Bang Fahad lantas keluar dari gedung teater, berbarengan dengan para pengunjung lain. Menyusuri mall yang mulai sepi karena waktu memang makin malam.Sejak keluar dari teater, Bang Fahad tidak melepaskan pegangan tangannya padaku. Entah kenapa, aku juga tidak mau menariknya. Membiarkan tangan besarnya itu menuntunku menyusuri lantai mall untuk segera menuju parkiran lalu pulang. Sampai tiba-tiba langkahnya terhenti begitu saja."Kenapa, Bang?" tanyaku yang masih berdiri di sebelahnya.Bang Fahad menoleh padaku tapi tak lama. Ia menggerakkan kembali kepalanya hingga menoleh ke arah yang berbeda. Aku melongokkan kepala, ingin tahu apa yang dia lihat. Dan aku malah melotot dibuatnya."Abang!" Aku memekik. Sedangkan Bang Fahad menatapku lagi dengan satu sudut bibir tertarik. Menciptakan senyuman jahil di wajahnya."Beli yuk, Chi?" ajaknya membuatk
Aku membuka mata. Rasanya tubuhku makin tidak karuan saja. Aku mengedarkan pandangan, dan ternyata aku berada dalam kamarku di lantai atas. Mungkin Papa yang sudah membawaku, karena usai Bang Fahad pergi, tubuhku limbung tak terkendali.Aku meraba dahi, mendapati kompres instan yang menempel. Menyentuh leher dan tubuhku memang lebih hangat dari biasanya."Mba sudah sadar?" tanya pembantu rumah yang duduk di sampingku terbaring.Aku mengangguk lemah sebagai jawaban. "Sekarang jam berapa?""Jam delapan malam, Mba.""Mama sama Papa mana?""Bapak sama Ibu pergi dulu katanya.""Ke mana?""Tidak bilang, Mba. Bapak sama Ibu berpesan, kalau Mba sudah sadar, Mba harus makan. Tadi sudah diperiksa dokter yang datang, Mba Chia demam, makanya dipasang kompres instan."Aku pun hanya mengangguk. Kondisi tubuhku rasanya naik turun dan tidak juga membaik. Aku lantas meminta pembantu rumah untuk membuatku bangkit sampai akhirnya duduk bersandar. Ketika duduk, pusing di kepalaku kembali terasa. Rasanya
Tidak tinggal diam, aku berjalan cepat keluar dari ruangan depan rumah Mama. Menyusul Bang Fahad yang melangkah begitu lebar dan sudah sampai di halaman. Aku berlari menuruni teras seraya meneriakkan namanya. Langkahnya tampak melambat, sedangkan aku mempercepat langkah kaki.Sampai aku berhasil memeluknya dari belakang. Kepalaku rebah di punggung lebarnya. "Bang, jangan seperti ini. Kenapa Abang gak percaya sama aku?" tanyaku dengan suara lirih. Jujur saja, sebenarnya aku tidak begitu bertenaga. Tubuhku rasanya lelah sekali, tapi aku tidak mungkin membiarkan Bang Fahad pergi begitu saja.Laki-laki yang tengah kupeluk ini hanya bergeming tanpa reaksi. Tidak ada pula yang keluar dari mulutnya.Air mataku sudah tidak bisa dibendung. Hingga kubiarkan jebol dan membasahi pipi. "Aku hanya mencintai Abang. Sedikitpun aku gak pernah terpikirkan untuk kembali pada Raka apalagi sampai berselingkuh dengan dia. Tolong, percaya padaku, Bang," ucapku coba menjelaskan kembali. Kuharap, dia mau mend
"A—apa maksudnya?" Napasku rasanya tercekat di tenggorokan. Suaraku melemah. Tidak mengerti dan mencoba mencerna apa yang disampaikan penjaga rumah.Mungkinkah Bang Fahad mengusirku? Atau ... dia ingin menyudahi mahligai rumah tangga kami?"Saya tidak tahu, Mba. Tuan hanya berpesan sebelum pergi, untuk menyampaikan pada Mba Chiara, kalau Mba tidak diizinkan masuk ke dalam rumah. Dan menyampaikan kalau Tuan ada di rumah orang tuanya Mba," jawab si penjaga rumah menambah keresahan dalam hatiku.Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Kakiku sebenarnya lemas sekali, tapi dipaksa kuat karena keadaan yang membingungkan dan harus kuhadapi.Kutarik napas panjang, melirik pada koper-koper milikku yang sudah berada di luar pagar. "Pak, titip dulu kopernya. Aku ke rumah orang tuaku dulu pakai ojeg online," pintaku pada si penjaga rumah."Baik, Mba."Aku menjauh dari depan pagar. Memesan ojeg online dengan cepat melalui ponsel. Menunggunya dengan perasaan tak menentu. Hingga berselang sepuluh me
Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi yang kurasakan tubuhku rasanya begitu lemas. Kesadaranku mulai pulih. Aku membuka mata yang rasanya teramat berat. Langit-langit kamar yang putih membuatku merasa ingin kembali memejam, karena artinya aku sudah di rumah.Meski mataku terpejam, aku bisa merasakan kalau sekarang tubuhku sudah terbaring di atas kasur empuk dengan selimut yang menutupi. Hingga turut kurasakan, tangan yang membelai rambutku lalu kecupan yang mendarat di kening. Namun karena keadaan, aku enggan membuka mata.Aku memilih mengubah posisi, membawa tubuhku berbaring miring lalu memeluk pinggang Bang Fahad. Merasakan kehangatan yang menjalari tubuh, meski hawa tubuhku sendiri rasanya panas. Aku membawa wajah ini tenggelam di dadanya. Menelusup mencari tempat paling nyaman yang selalu kudapatkan darinya.Tangannya kembali mengusap kepalaku, membelai rambutku, sentuhannya begitu lembut dan membuatku merasakan nyaman berkali lip
Dua Minggu berlalu, Bang Fahad benar-benar menepati ucapannya. Dia selalu menungguku hingga selesai kelas dan baru pergi ke kantornya setelah mengantarku dengan aman sampai ke rumah. Aku seperti anak TK yang harus ditunggui tiap jam belajar. Tapi dengan seperti itu, aku benar-benar terbebas dari gangguan Rakana. Sejak Bang Fahad dengan setia menungguiku, Rakana memang tidak pernah lagi menemuiku. Membuat hidup ini terasa lebih tentram kembali.Pagi ini seperti biasanya aku tengah menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Dua cangkir teh hangat beserta sandwich roti panggang sudah tersaji. Aku menunggu di meja makan, menatap cangkir teh di depanku yang masih mengepulkan asapnya.Tanganku mengarah ke belakang, menyentuh leher lalu mengusap pundak dan memijatnya pelan. Rasanya tubuhku meriang dan sedikit lemas, entah kenapa tapi kemarin aku masih baik-baik saja."Kenapa, Chi?" Bang Fahad datang dan langsung bertanya.Aku menggerakkan kepala ke kanan serta kiri. "Tiba-tiba aku meriang, Bang,"
Aku menatapnya heran. Penampilannya siang ini mirip eksekutif muda. Aku heran karena penampilannya kali ini benar-benar jauh berbeda dari sebelumnya, saat bertemu terakhir dengannya di toko florist hari itu.Trek!!!Aku tersentak saat Rakana menjentikkan jarinya di depan wajahku."Chi? Gak usah terkesima gitu lah lihatin aku," ucapnya dengan senyuman yang terukir. "Ayo, aku antar kamu pulang."Aku menggeleng cepat. "Gak usah ge-er kamu! Dan gak perlu repot-repot, aku gak mau dianter kamu!" tegasku lalu bergeser, ingin segera berlalu darinya.Namun tiba-tiba pergelangan tanganku dicekal, hingga langkahku terhenti. Aku coba menariknya agar terlepas, tapi Rakana menahannya kuat."Lepas, Raka!" Bukannya melepaskan, Raka menarik tubuhku hingga berhadapan lagi dengannya. "Jutek banget sih, Chi? Aku udah gak jadi OB lagi. Mobil aku punya, kerjaanku juga sekarang jauh lebih bagus, kamu lihat p
Bang Fahad sudah merebahkan tubuhku mengisi kursi belakang mobil saat ini. Dia masih menciumku dengan seduktif. Kedua tanganku menahan dadanya. Pikiran serta respon tubuhku mulai bertolak belakang. Pikiran ini menolak tapi respon tubuhku justru berkhianat."Bang ...," bisikku saat ia melepaskan bibirnya. Namun itu tidak lama, karena dia menciumku kembali. Kali ini bahkan lebih dalam. Tubuhku panas dingin dibuatnya."Bang, jangan di sini," ucapku saat ciumannya sudah berpindah ke leher."Terus di mana, Sayang?" balasnya dengan suara parau, namun ia tidak menghentikan aktivitasnya itu."Di rumah," jawabku dengan napas tersengal."Saya maunya di sini," timpal Bang Fahad yang sudah merambat turun ke dadaku."Tapi ... ini di jalan, Bang. Malu nanti kepergok orang," sahutku coba menyadarkannya. Walau aku sendiripun sudah terpancing dengan sentuhan liarnya itu."Gak masalah, kita bukan pasangan mesum, kita suami istri kok," jawabnya tak mau kalah."Tapi, Bang——" Ucapanku tertahan, saat Bang
Pukul setengah sebelas malam, aku dan Bang Fahad baru pulang dari rumah Mama dan sedang di dalam mobil. Satu jam sebelumnya kami baru pulang dari mall, itupun dengan Mama yang tidak hentinya menelpon Mba Lin agar segera pulang karena dia sudah rindu pada dua cucunya.Di perjalanan pulang, sekilas aku melihat pada Bang Fahad yang sedang menyetir. Wajahnya terlihat berseri dengan senyum kecil yang tersungging."Abang kenapa? Kok senyum-senyum gitu?" tanyaku penasaran.Bang Fahad menggeleng pelan. "Gak papa, saya inget tadi jalan-jalan sama keponakan kamu. Keira walaupun baru enam tahun, tapi dia udah pintar dan tanggap. Kalau Keshara, moody-an banget anaknya," jawabnya terdengar bahagia dan antusias. "Rasanya seneng aja gitu jalan-jalan sama mereka."Aku memiringkan duduk hingga menghadap padanya dengan kepala masih dibiarkan bersandar. Jujur saja aku lelah sudah berkeliling mall bersama Mba Lin tadi. "Emm ... Abang pengen punya anak juga?"
Hampir satu jam berkutat di dapur, makanan akhirnya tersaji memenuhi meja makan. Mba Lin lepas tangan, dia hanya membuat puding buah sebagai dessert dan membiarkanku memasak beberapa menu sendirian.Mba Lin dan anak-anaknya sudah mengisi meja, begitu pula denganku dan Bang Fahad yang duduk bersisian. Aku pun mulai mengisi piring makan Bang Fahad lalu menyajikannya. Berlanjut mengisi piring makanku sendiri. Sedangkan Mba Lin sudah selesai menyiapkan untuk Keira makan sendiri, sementara Keshara makan di piring yang sama dengannya.Kami semua lantas makan bersama. Keira tampak begitu lahap, sedangkan Keshara sedikit diwarnai drama gerakan tutup mulut. Seperti kebiasaan Bang Fahad, selama makan hanya denting sendok dan garpu yang terdengar. Tidak ada obrolan selama kami makan, bahkan sampai menikmati puding buah sebagai penutupnya."Keira, gimana masakan Tante Chi, kamu kasih nilai berapa?" Bang Fahad bertanya pada Keira setelah kami semua benar-benar sel