Tatapan kami bertemu. Bang Fahad belum memulai kembali sarapannya. Dia justru meraih tanganku lalu mengecupnya cukup lama."Kamu bukan orang asing. Kamu istri saya. Mungkin dulu kita memang hanya orang asing yang tidak saling mengenal, tapi sekarang kamu adalah seseorang yang menjadi prioritas dalam hidup saya," ucapnya lembut."Saya juga bukan manusia sempurna, Chi. Saya nggak selalu tahu bagaimana caranya menunjukkan rasa peduli, cinta atau apapun itu. Tapi saya mau kamu tahu satu hal, saya nggak akan pernah menyerah untuk belajar memahami kebersamaan kita dan kehadiran kamu dalam hidup saya," sambungnya membuat hatiku berdesir.Ternyata, pria berumur memang berbeda. Tidak gamblang bilang cinta dan sayang, tidak mudah mengakui perasaan tapi dia bisa lebih menjaga pasangannya.Laki-laki yang masih mengenakan piyama tidurnya itu menatapku, terlihat sedikit gugup dengan tatapan yang kugunakan untuk menggodanya. Dia kembali
Layar televisi dibiarkan menyala. Jam dinding menunjuk di angka tujuh malam. Makan malam sudah siap di meja makan. Sedangkan aku berkutat dengan laptop dan buku-buku untuk mempersiapkan diri mengikuti tes sebelum diterima kuliah lagi, setelah siang tadi aku melakukan pengumpulan berkas sebagai salah satu syarat administratif dan melakukan pembayaran."Rajinnya istri saya, sampai suaminya pulang enggak disambut."Aku menoleh dan melihat Bang Fahad berjalan mendekat. Aku yang duduk lesehan di bawah sofa hanya tersenyum lebar tanpa ada niatan bangkit. Hingga akhirnya Bang Fahad menghempas bobotnya pada sofa di belakangku."Maaf, Bang. Aku lagi persiapan buat tes nanti, semoga aja lolos," ucapku lalu membereskan buku-buku dan mematikan layar laptop.Tampak Bang Fahad melonggarkan kancing kemejanya. "Ada kesulitan?"Aku menggeleng. "Sejauh ini gak ada.""Sudah selesai?" tanyanya lagi.Aku me
Setelah menikmati makan malam, aku mengangkat piring-piring kotor ke bak wastafel dan mencucinya segera. Sedangkan Bang Fahad masih duduk di meja makan, lanjut memakan kue klepon pemberian Rakana. Semoga saja kue itu bersih tanpa campuran apapun yang Rakana tambahkan."Kapan tes masuk universitasnya, Chi?" tanya Bang Fahad di meja makan sana."Hari Sabtu jam sepuluh, Bang.""Sudah menguasai materinya?"Aku mengangguk pelan. "Aku ambil jurusan yang sama dengan kuliah sebelumnya. So far, ga ada masalah.""Hmmm. Baguslah. Oh ya, tolong bawakan teh hangat, ya?" pintanya."Iya, Bang." Aku yang sudah selesai dengan piring-piring kotor tadi, langsung mengeringkan tangan. Lalu membuatkan teh hangat permintaan Bang Fahad.Aku kembali ke meja makan, tapi entah bagaimana, kakiku tersandung ujung meja. Air dalam gelas tumpah, mengarah tepat pada Bang Fahad di hadapanku. Setengah air tehnya, tumpah
Aku menelan saliva mendengar ucapan Bang Fahad yang terdengar santai tapi juga serius."Cucu ...? Ma—maksud a—bang anak bayi?" tanyaku terbata-bata."Huumm. Mama Papa saya belum punya cucu. Mereka sudah sangat ingin menjadi Oma dan Opa. Pasti mereka senang kalau saya bisa memberikan mereka cucu."Aku kembali menelan ludah. "E ... tapi, Bang. Itu 'tuh bukan sembarang kado. Tapi itu makhluk hidup. Menghadirkannya gak mudah. Harus diadon dulu. Emm, maksudku harus diproses dan itu bukan kue donat yang sudah diketahui takaran adonannya." Astaga, ngomong apa sih aku ini?Bang Fahad malah terkekeh. "Iya, kamu benar sekali. Kita tidak bisa asal-asalan membuat adonannya. Kita harus pakai ilmu biologi, fisiologi, genetika bahkan melibatkan ilmu psikologi agar bisa menghasilkan embrio yang berkualitas dan melahirkan generasi bernilai."Astaga.Sudah seperti perencanaan proyek besar saja memakai berbagai macam ilmu.Aku membasahi bibir yang terasa kering. "Ta—tapi, Bang, a—aku—"Ucapanku menggant
Film berlangsung kurang lebih sekitar sembilan puluh menit. Aku bersama Bang Fahad lantas keluar dari gedung teater, berbarengan dengan para pengunjung lain. Menyusuri mall yang mulai sepi karena waktu memang makin malam.Sejak keluar dari teater, Bang Fahad tidak melepaskan pegangan tangannya padaku. Entah kenapa, aku juga tidak mau menariknya. Membiarkan tangan besarnya itu menuntunku menyusuri lantai mall untuk segera menuju parkiran lalu pulang. Sampai tiba-tiba langkahnya terhenti begitu saja."Kenapa, Bang?" tanyaku yang masih berdiri di sebelahnya.Bang Fahad menoleh padaku tapi tak lama. Ia menggerakkan kembali kepalanya hingga menoleh ke arah yang berbeda. Aku melongokkan kepala, ingin tahu apa yang dia lihat. Dan aku malah melotot dibuatnya."Abang!" Aku memekik. Sedangkan Bang Fahad menatapku lagi dengan satu sudut bibir tertarik. Menciptakan senyuman jahil di wajahnya."Beli yuk, Chi?" ajaknya membuatk
Aku terbangun karena rasa haus yang tiba-tiba menyerang. Mataku membuka perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu tidur. Aku mengerjap beberapa kali, menatap sekeliling yang terasa aneh.Perlahan aku lantas bangkit, mengerutkan kening sambil memperhatikan detail ruangan. Tempat tidur ini lebih besar, lemari pakaian di sudut juga lebih besar dari yang biasa kulihat. Di atas meja kecil dekat tempat tidur, ada beberapa barang pribadi milik Bang Fahad—jam tangan, kunci motor, dan beberapa buku kecil.Ini kamar utama, kamar yang ditempati Bang Fahad.Seketika wajahku memanas. Bagaimana bisa aku tidur di sini?Ingatanku berusaha mengulang kejadian sebelumnya. Yang terakhir kuingat, aku tertidur di motor saat pulang dari bioskop. Aku juga ingat, jika Bang Fahad yang menggendongku dari garasi hingga masuk rumah.Jadi, dia memindahkanku ke sini? Kenapa malah ke kamarn
Matahari pagi menyusup lewat celah gorden. Aku baru saja kembali ke dalam rumah usai mengantar Bang Fahad berangkat dengan mobilnya.Aku langsung menuju dapur dan membereskan meja makan bekas kami sarapan. Jika awalnya aku merasa tidak suka dan merasa sudah seperti pembantu karena harus mengurus rumah ini, tapi perlahan aku jadi mulai terbiasa.Selesai dengan piring kotor dan gelas bekas sarapan, aku membersihkan lantai rumah serta sofa menggunakan vacum cleaner. Setelah semua selesai, barulah aku kembali ke kamarku dan langsung mandi.Air dingin yang mengalir, berhasil mengusir lelah dan lengket yang tersisa di kulit. Setelah tubuhku bersih dan terasa begitu segar, aku melilitkan handuk dan meninggalkan kamar mandi.Membuka lemari pakaian untuk memilih baju, tapi mataku langsung berhenti pada sesuatu di dalamnya.Aku tertegun memandanginya.Paper bag hitam kecil berisi pakaian dinas malam yang Bang Fahad beli
Aku terdiam. Rasanya darahku mengalir lebih cepat dari biasa, wajahku memanas hingga tak bisa kututupi. Aku memegangi ujung selimut lebih erat, seolah kain itu benteng terakhir yang melindungiku dari sorot matanya yang dalam. "A—aku cuma iseng aja, Bang. Cuma ... coba-coba, kok," jawabku lantas mengigit bibir. Tidak tahu harus merespon bagaimana, merasa bodoh karena lupa mengunci pintu dan bisa-bisanya malah mencoba pakaian kurang bahan ini."Terus gimana hasilnya? Gimana bayangan kamu dalam cermin? Uhh ... pasti seksi sekali istri saya ...." Bang Fahad berujar membuatku tertunduk dan tersipu."Apa ... memberikan orang tua saya seorang cucu sudah mulai kamu setujui?"Aku memalingkan wajah, berusaha menghindari tatapannya yang membuatku semakin salah tingkah. Rasanya seperti seluruh tubuhku terbakar hanya karena kata-katanya. "Bang! Udah deh. Keluar dulu, ya? Aku mau ganti baju," pintaku akhirnya, mencoba mengalihkan situasi.Bang Fahad malah terkekeh. Seakan-akan ada yang lucu dari u
Seharian kami menghabiskan waktu di luar vila. Hingga tiba malam hari dan rupanya aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh dari dapur.Begitu keluar dari kamar, aku menemukan Bang Fahad berdiri dengan celemek bunga-bunga dan di tangannya ada mixer yang sedang menyala.“Abang ngapain?” tanyaku sambil menahan tawa.Dia menoleh dengan ekspresi penuh percaya diri, walau sedikit tepung menempel di pipinya. “Saya lagi bikin kue buat istri tercinta.”Mataku menyipit. “Bikin kue? Emang bisa?”“Bisa dong. Bisa gagal juga sih, tapi ... niatnya aja udah manis kan?”Aku tertawa sambil berjalan mendekat. “Tepungnya aja nempel di hidung. Udah kayak badut ulang tahun.”Dia nyengir, lalu tiba-tiba mencolekkan sedikit adonan dalam wadah ke ujung hidungku. “Nah, sekarang kita kembar.”“Bang! Ini lengket tau!” Aku coba membersihkannya, tapi dia malah kabur ke ruang tengah setelah menyemburkan lagi tepung ke arahku, membuatku harus mengejarnya sambil tertawa-tawa.“Kalau kamu bisa nangkep sa
Usai sarapan dan sedikit bersantai di teras vila, Bang Fahad menggandeng tanganku menuju dermaga kecil di belakang vila. Terdapat sebuah perahu kayu mungil sudah terikat di sana, mengapung tenang di atas danau yang berkilau di bawah sinar matahari siang.“Mau keliling danau pakai perahunya?” tanyanya sambil menatapku penuh semangat.Aku menatapnya ragu. "Abang yakin bisa mendayung? Jangan-jangan baru mulai udah nyangkut di tengah.”Dia tertawa renyah, lalu meraih pelampung untukku. “Kalau bersama kamu, saya mendadak seperti petugas damkar, apapun pasti bisa saya lakukan."Kami lantas naik ke perahu pelan-pelan. Perahu mulai bergerak perlahan, menyisakan riak kecil yang tenang di permukaan air.Aku duduk di ujung yang berhadapan langsung dengan Bang Fahad, sementara dia mulai mengayuh dengan tenang dan teratur.Angin menerpa wajah kami, lembut dan menenangkan. Pemandangan sekeliling terasa seperti lukisan hidup, pepohonan rindang, suara burung dari kejauhan, dan sinar matahari yang men
Satu bulan usai malam paling romantis itu, kami akhirnya berangkat. Keadaanku tiap harinya kian membaik. Aku sudah mampu berjalan dengan normal lagi, meski sesekali masih ada sakit yang terasa.Hari ini kamu pergi. Bukan ke luar negeri, bukan pula ke kota besar yang ramai dan gemerlap. Hanya ke sebuah vila tersembunyi di daerah perbukitan, tempat di mana suara alam jauh lebih lantang daripada deru kendaraan. Tempat yang dipilih Bang Fahad sendiri, tempat yang katanya sudah lama ingin ia kunjungi bersamaku.Perjalanan kami ditemani udara sejuk dan senyum yang tak pernah lepas dari wajah kami. Aku duduk di kursi penumpang sambil sesekali meliriknya, dan setiap kali itu terjadi, Bang Fahad selalu sempat menangkap pandanganku.“Kamu ngelihatin saya terus, kenapa?” tanyanya sambil nyengir, matanya masih fokus ke jalan.Aku mengangkat bahu dengan wajah sok polos. “Salah, ya? Ngelihatin suami sendiri?”Dia tertawa kecil. “Enggak. Cuma takut kamu gak kuat nahan rasa cinta aja, nanti meledak d
Waktu terasa lambat saat aku harus hidup bergantung di kursi roda. Tidak ada hari yang terlewat tanpa obat dan terapi. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa bantuan dari Bang Fahad padaku. Hingga detik ini, terhitung sudah lima bulan aku menjalani semuanya. Dukungan dan kesetiaan Bang Fahad tidak perlu diragukan. Dia ada di setiap saat aku membutuhkannya.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pelan tapi pasti, aku sudah mulai bisa berjalan meski hanya baru di dalam rumah. Keadaanku berangsur membaik dan semua ini tidak lepas dari dukungan penuh Bang Fahad selama aku menjalani terapi."Saya senang, akhirnya kamu bisa jalan lagi, meski masih pelan-pelan," ucap Bang Fahad saat kami duduk bersama di sofa ruang televisi pagi hari setelah selesai sarapan."Semua karena bantuan Abang juga. Kalau tanpa Abang, aku gak yakin bisa membaik seperti ini," jawabku apa adanya.Bang Fahad tampak menggeleng. "Enggak, Chi. Semua karena usaha dan kegigihan kamu juga.
Hari demi hari berlalu.Aku belum juga mampu berjalan. Hidupku masih terus bergantung pada kursi roda, tetapi gips yang semula membungkus kakiku sudah dilepaskan. Pergelangan kakiku tidak sempurna bentuknya. Aku masih harus menjalani terapi dan Bang Fahad merawatku dengan sangat telaten selama ini.Seperti pagi ini, dia sudah membawa semangkuk bubur hangat ke kamar dan bersiap menyuapiku. Namun, aku menundanya."Kamu belum laper?" tanya Bang Fahad yang duduk di sisi tempat tidur.Aku menggeleng pelan. "Belum. Tapi ... aku ngerasa gerah banget. Boleh gak minta tolong?"Dia menatapku penuh perhatian. "Boleh, dong. Kamu mau apa?""Aku pengen mandi dulu, mau keramas."Dia mengangguk mantap. "Oke. Ayo, saya bantu."Bang Fahad bergerak cepat menggulung lengan kausnya, mengambil baskom dari lemari kecil, handuk bersih, dan sampo favoritku yang disimpan di rak pojok."Emm, saya gendong aja ya?" tanyanya setelah
Pelukan itu masih bertahan.Lama.Seakan tidak ada kata yang lebih tepat selain diam yang saling menyampaikan isi hati. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang tenang, ritmenya menyatu dengan napasku yang perlahan mulai normal kembali. Tak ada luka yang benar-benar hilang, tapi pagi ini aku merasa luka itu mulai sembuh lewat cara yang tak pernah kusangka.Setelah beberapa menit, Bang Fahad melepaskan pelukan. Ia menatapku, dan masih dengan sorot rasa bersalah. "Chi?"Aku mengangkat dagu, menatapnya balik.“Boleh saya mulai dari awal?” tanyanya. “Tidak harus langsung. Tidak perlu buru-buru. Tapi ... boleh saya temani kamu dari awal lagi? Belajar ulang tentang kamu, tentang kita?”Jantungku berdetak lebih cepat. Bukan karena gugup, tapi karena pertanyaan itu seperti angin sejuk yang datang setelah badai panjang di musim penghujan.Aku tersenyum kecil. “Mulai dari awal sekali?”D
Malam ini seakan menjadi saksi bisu dari dua hati yang pernah patah dan kini saling menopang. Tidak sempurna, tidak juga langsung sembuh. Tapi setidaknya, kami sepakat untuk saling menggenggam.Bang Fahad mengantarku kembali ke kamar. Sesampainya di ranjang, dia membantu dengan lembut saat aku berpindah dari kursi roda. Tak banyak kata, hanya gerakan-gerakan penuh kehati-hatian yang membuat dadaku hangat.Saat aku sudah rebah dan selimut menutupi tubuh, Bang Fahad duduk di sisi ranjang, tak langsung pergi. Tangannya masih menggenggam jemariku erat, seolah enggan melepas."Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saya ya," ucapnya pelan.Aku hanya mengangguk. Suaraku seolah tertinggal di ruang doa tadi. Dia kemudian berdiri, tapi sebelum melangkah ke luar, aku menahannya dengan satu kalimat sederhana."Bang ... boleh duduk di sini sebentar lagi?"Dia menoleh. Wajahnya menegang sesaat, sebelum melunak dan kembali duduk di kursi samping tempat tidurku."Sebentar aja, ya?" Aku menatapnya ragu.B
Aku merasa ada yang runtuh dari dalam diriku. Tembok tinggi yang aku bangun perlahan mulai retak-retak oleh ucapannya yang penuh harap dan doa yang lirih.Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa dicegah. Mungkin ini bukan karena kasihan. Tapi lebih pada ... aku tak pernah menyangka ada seseorang yang begitu bersungguh-sungguh meminta kesempatan kedua, bahkan ketika dia tahu tak ada jaminan untuk diterima.Tanganku gemetar saat menyentuh pegangan kursi roda. Ingin rasanya aku putar balik, kembali ke kamar dan pura-pura tak pernah mendengar apa pun tadi. Tapi langkahnya yang kini berdiri, menoleh, dan langsung terpaku melihatku di sana membuat semuanya terlambat."Chi?" ucapnya sambil buru-buru mengusap wajah, seolah tak ingin aku melihat bekas air matanya. Dia melipat sajadah dengan cepat, lalu menyalakan lampu ruangan hingga terang benderang. Dia berlari, sampai berjongkok di depan kursi rodaku."Ada apa? Kenapa kamu ke luar kamar? Kamu perlu apa? Air minum kamu habis?" Dia mencecar d
"Selamat datang di rumah."Bang Fahad berucap dengan begitu lembut ketika baru saja sampai di ruang tamu. Setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit, pagi ini aku sudah kembali ke rumah."Kamu mau langsung istirahat dulu di kamar atau makan dulu?" tawar Bang Fahad lagi. Namun, aku belum bereaksi. Aku yang duduk di kursi roda, hanya menatap lurus ke depan. Jujur saja aku merasa kesal karena harus bergantung padanya. "Gak usah sok baik, Bang!" ucapku akhirnya dengan pandangan masih lurus ke arah depan. Kejadian perampokan malam itu, masih sering berkelebat dalam pikiranku. Karena kejadian itu, aku kehilangan mobil, ponsel dan dompet dalam tas. Papa yang sudah mencoba mengusutnya di pihak berwajib, tapi belum menemukan titik terang.Bang Fahad tiba-tiba berjongkok di depan kursi rodaku. Sempat pandangan mata kami bertemu, sebelum kemudian aku memalingkan wajah. Namun saat itu pula, aku malah teringat bagaimana dia menjagaku selam