Tanganku terkepal, gemetar di antara ketakutan dan kemarahan yang membuncah, tapi untuk berontak, aku kesulitan karena tenaga Rakana yang terlalu kuat. "LEPASKAN AKU, RAKA!" Jeritanku memenuhi kamar, menggema dengan nyaring, cukup untuk membuat Rakana berhenti sejenak. "Aku bilang jangan melawan. Semakin kamu melawan, semua akan terasa makin sakit. Coba kamu rileks, Sayang." "Jangan panggil aku sayang! Aku jijik!" Entah kenapa, aku merasa mual saat Rakana memanggil dengan sebutan seperti barusan. Rakana mendecak. "Coba kamu tenang dan jangan terus melawan seperti ini. Aku gak menyakiti kamu, Chi. Aku hanya ingin menyentuh kamu. Kenapa kamu keras kepala sekali?" Aku memejamkan mata. Mencoba tenang seperti yang ia bilang. Hingga kepalaku mampu sedikit berpikir, bahwa menghadapi Rakana memang harus dengan ketenangan. Kalau aku melawan, yang ada dia makin keras menahanku. Aku menarik napas panjang. Berhenti melawan dan membuat tubuhku se-rileks mungkin. "Apa mau kamu?" tanyaku kem
Aku tidak sempat berpikir lebih jauh ketika tiba-tiba tangan Rakana mencengkeram lenganku dengan kuat. Tubuhku rasanya kaku, kepalaku menoleh seketika, dan saat itu aku bisa melihat jelas wajah Rakana yang begitu dekat. Nafasnya terasa hangat, tetapi malah membuat tengkukku merinding."Chi, aku nggak peduli. Kalau aku nggak bisa memiliki kamu dengan cara baik-baik, aku akan lakukan dengan caraku sendiri," desisnya rendah, hampir seperti geraman.Aku menggeleng lemah. "Enggak, Raka. Tolong ... jangan lakukan apapun," bisikku dengan suara nyaris tak terdengar.Air mataku jatuh lebih deras, membasahi pipi. Tapi Rakana masih bergeming. Dia hanya memandangku dengan sorot mata yang kelam, penuh obsesi."Jangan menangis, Chi. Aku tidak suka melihat kamu bersedih. Aku tidak menyakiti kamu, aku hanya ingin menyentuh kamu. Apa itu salah?" tanyanya dengan tatapan yang berubah sendu."Aku jijik sama kamu, Raka. Pergi"
Aku terdiam, kata-katanya membuat pikiranku berputar. Apa mungkin ada sesuatu yang membuatnya tidur begitu lelap semalam? Ataukah ini hanya kebetulan? Rasanya ada yang janggal, tapi aku juga tidak tahu itu apa."Kenapa nanya gitu, Chi?" tanyanya, kali ini tatapannya kembali fokus padaku. "Ada yang mengganggu tidur kamu semalam?"Aku terkesiap. Ada dorongan untuk menceritakan semuanya, tentang Rakana yang semalam begitu mendesakku hingga batas, tentang ketakutan dan rasa tak berdaya yang kurasakan. Tapi bibirku kelu, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun."Enggak, Bang. Cuma ... cuma nanya aja," jawabku akhirnya, mencoba tersenyum tipis untuk menutupi kebohongan kecil itu.Bang Fahad memandangku beberapa detik, matanya menyiratkan keraguan. "Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Kamu bisa cerita ke saya."Aku hanya mengangguk kecil, meski dalam hati aku tahu aku masih terlalu takut untuk membicarakannya.
Jemarinya yang besar dan hangat menggenggam tanganku dengan lembut, membuatku terpaku. Tatapannya mendalam, seakan mencari sesuatu di mataku. Aku menelan ludah, mencoba mengalihkan pandangan, tapi dia terlalu dekat.“Chiara,” panggilnya pelan.“Iya, Bang?”Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, jemarinya perlahan-lahan menarik tanganku ke dadanya, tepat di atas degup jantungnya. Aku tertegun, merasakan ritmenya yang kuat juga stabil.“Dengar ini?” tanyanya lembut. Aku mengangguk kecil, meski bingung kemana arah pembicaraannya. “Jantung saya nggak pernah berdetak sekencang ini sebelumnya, Chi.”Aku terdiam, mencerna ucapannya yang terdengar tidak biasa dan entah apa maksudnya.Dia melanjutkan. “Gak tahu kenapa, setiap kali kamu ada di dekat saya, rasanya beda.""Beda gimana?"Bang Fahad mengangkat bahu. "Saya juga gak bisa menjelaskan." Genggaman tangannya makin erat. Bah
Hari ini kami habiskan hanya di rumah. Hingga malam menjelang dan seperti biasa, aku mengisi kamar tamu sedang Bang Fahad di kamar utama. Sudah hampir jam sebelas malam, tapi aku masih terjaga. Aku berharap, kejadian semalam tidak akan terjadi lagi. Rakana tidak akan menggangguku dan dia menyadari bahwa perbuatannya salah. Aku juga berharap Rakana bisa mengerti, bahwa aku tidak akan kembali lagi padanya, karena sudah mulai menerima pernikahanku bersama Bang Fahad. Sekali lagi aku melihat waktu pada layar ponsel. Sudah jam sebelas lewat lima menit. Aku membenahi selimut dan mencari posisi yang paling nyaman untuk mulai tidur. Akhirnya, tengkurap menjadi pilihan. Tok Tok Tok. Belum sampai sedetik mataku memejam, pintu kamar terdengar diketuk. Refleks mataku kembali terbuka dengan cepat dan menoleh pada daun pintu. Ketukan kembali terdengar dan aku belum berniat
Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Bang Fahad. Nafasku tercekat, dadaku berdebar kencang."Abang berpikir serendah itu tentang aku?" Suaraku lirih, tapi ada kemarahan yang tak bisa kusembunyikan.Bang Fahad hanya menatapku dingin. "Kalau bukan begitu, lalu kenapa saya jadi seperti ini? Tidur terlalu nyenyak hingga kehilangan kendali waktu itu bukanlah kebiasaan saya. Sebelum kamu ada di rumah ini, saya tidak pernah begini. Pasti ada yang gak beres."Aku menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak dalam hatiku. "Bang, aku gak tahu apa yang terjadi sama abang. Tapi aku bersumpah, aku gak pernah melakukan apa pun yang abang tuduhkan itu. Lagipula, kenapa aku harus repot-repot mengatur skenario seperti itu? Kalau aku mau bersama Rakana, aku tidak akan bertahan dalam pernikahan ini!"Matanya menyipit, seolah menganalisis setiap kata yang kuucapkan. "Kamu tahu, kata-kata bisa saja bohong."Aku memejamkan mata sejenak, menenangkan diriku yang nyaris kehilangan
Tatapan kami bertemu. Bang Fahad belum memulai kembali sarapannya. Dia justru meraih tanganku lalu mengecupnya cukup lama."Kamu bukan orang asing. Kamu istri saya. Mungkin dulu kita memang hanya orang asing yang tidak saling mengenal, tapi sekarang kamu adalah seseorang yang menjadi prioritas dalam hidup saya," ucapnya lembut."Saya juga bukan manusia sempurna, Chi. Saya nggak selalu tahu bagaimana caranya menunjukkan rasa peduli, cinta atau apapun itu. Tapi saya mau kamu tahu satu hal, saya nggak akan pernah menyerah untuk belajar memahami kebersamaan kita dan kehadiran kamu dalam hidup saya," sambungnya membuat hatiku berdesir.Ternyata, pria berumur memang berbeda. Tidak gamblang bilang cinta dan sayang, tidak mudah mengakui perasaan tapi dia bisa lebih menjaga pasangannya.Laki-laki yang masih mengenakan piyama tidurnya itu menatapku, terlihat sedikit gugup dengan tatapan yang kugunakan untuk menggodanya. Dia kembali
Layar televisi dibiarkan menyala. Jam dinding menunjuk di angka tujuh malam. Makan malam sudah siap di meja makan. Sedangkan aku berkutat dengan laptop dan buku-buku untuk mempersiapkan diri mengikuti tes sebelum diterima kuliah lagi, setelah siang tadi aku melakukan pengumpulan berkas sebagai salah satu syarat administratif dan melakukan pembayaran."Rajinnya istri saya, sampai suaminya pulang enggak disambut."Aku menoleh dan melihat Bang Fahad berjalan mendekat. Aku yang duduk lesehan di bawah sofa hanya tersenyum lebar tanpa ada niatan bangkit. Hingga akhirnya Bang Fahad menghempas bobotnya pada sofa di belakangku."Maaf, Bang. Aku lagi persiapan buat tes nanti, semoga aja lolos," ucapku lalu membereskan buku-buku dan mematikan layar laptop.Tampak Bang Fahad melonggarkan kancing kemejanya. "Ada kesulitan?"Aku menggeleng. "Sejauh ini gak ada.""Sudah selesai?" tanyanya lagi.Aku me
Aku menggigit bibir, menahan kepanikan yang menggelegak dalam dada. Tanganku terus menekan sisi perut Bang Fahad, berusaha mengurangi pendarahan."Pa, cepat! Kita harus segera sampai!"Mobil melaju kencang membelah jalanan sepi dini hari. Mama menangis tertahan di sampingku, menggenggam tangan Bang Fahad yang kini dingin."Fahad, bertahanlah. Tolong bertahan!" isak Mama, seolah ketakutan akan kehilangan seseorang lagi setelah Mas Althaf pergi untuk selamanya.Aku menatap wajah Bang Fahad yang semakin pucat. Perasaan aneh berkecamuk dalam dadaku. Harusnya aku tidak peduli. Harusnya aku membiarkan dia mati karena kehabisan darah.Tapi saat ini, melihatnya dalam keadaan seperti ini, jujur saja aku merasa sesak. Aku kasihan padanya. Tidak tega. Apa kebencianku hanya setengah hati? Apa aku tidak benar-benar membencinya?Mobil akhirnya berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Papa tampak buru-buru keluar untuk meminta bantuan. Dalam hitungan detik, beberapa petugas medis datang me
"Apa, Chi? Tinggal di luar negeri? Kenapa tiba-tiba kamu bicara begini?" tanya Mama dengan ekspresi terkejut."Iya, Chi. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba sekali kamu ingin tinggal di luar negeri. Ada apa?" Papa menimpali dengan reaksi tak kalah terkejutnya.Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembusnya sekaligus. Kedua tangan terangkat meraup wajah, meremas kepala kemudian barulah menatap Mama dan Papa lagi."Mama dan Papa sudah tahu, kalau Bang Fahad ada di kota ini juga. Dia ... masih terus menemuiku, Ma, Pa. Dia masih terus saja muncul di hadapanku. Dia bersikap seolah-olah ingin menebus kesalahannya di masa lalu terhadap kita. Dan tentu saja aku marah terus-terusan bertemu dia. Mama dan Papa tahu, bagaimana aku membenci dia setengah mati. Makanya, aku ingin tinggal di luar negeri. Di tempat yang jauh dan gak akan pernah bertemu lagi dengan dia," jelasku akhirnya."Kita lebih dulu tinggal di kota ini, Chi. Kalaupun harus ada yang pergi, itu bukan kamu atau kita. Tapi, ya dia.
Pagi ini udara terasa lebih segar dari biasanya. Entah mungkin hanya perasaanku saja setelah semalam aku bisa sedikit melupakan kesedihan karena kematian Mas Althaf. Meski caranya tidak dibenarkan, tapi aku rasa itu tidak merugikan siapapun.Dengan pakaian olahraga dan earphone terpasang di telinga, aku siap keluar dari rumah untuk melakukan jogging pagi ini. Tapi belum sempat melewati pagar, Mama lebih dulu datang dan menahan kepergianku."Chi, sebentar," ucapnya dengan lembut.Aku melepas satu sisi earphone. "Ada apa, Ma?"Mama menatapku lama, seakan mempertimbangkan kata-kata yang ingin diucapkan. "Kamu pulang larut tadi malam?"Aku menghembus napas kasar. "Iya, Ma. Maaf, aku keasyikan keliling mall terus nonton di bioskopnya, enggak sadar udah larut."Mama menghela napas. "Iya, Papa juga bilang kamu pulang kemalaman karena nonton bioskop, tapi mama rasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan."
Aku melangkah cepat menuju mobil, telapak tanganku masih terasa panas setelah dua kali menampar wajah Bang Fahad. Aku ingin pergi sejauh mungkin dari laki-laki itu, tak ingin mendengar suaranya, apalagi melihat wajahnya.Namun, baru saja meraih gagang pintu mobil, seseorang menarik pergelangan tanganku dari belakang. Seketika aku menoleh dan menemukan Bang Fahad yang melakukannya. Dia mencengkram pergelangan tanganku sambil menyudutkan pada badan mobil."Kamu berpikir saya merencanakan semua ini?" tanyanya dengan suara masih tenang, tapi sorot matanya menunjukkan tidak terima.Aku mendengkus, menepis tangannya dengan kasar. "Pergi dari sini! Pergi dari hadapanku!"Bang Fahad menghela napas panjang. "Chi, kamu enggak tahu betapa khawatirnya saya ketika melihat kamu tadi. Kenapa kamu berpikir kalau saya mengenal orang-orang itu?"Aku tertawa sinis. "Khawatir? Jangan pura-pura peduli, Bang! Jangan berlaku seolah-olah Abang adalah pahlawan yang sudah menyelamatkan aku malam ini. Aku tahu
Aku kembali meronta di dalam gendongan Bang Fahad, tapi dia tetap berjalan tegap hingga keluar dari area taman tanpa mengindahkan protesku. Napasku tersengal, dada terasa sesak karena emosi yang memuncak."Turunin aku, Bang! Aku bisa pulang sendiri!" seruku sambil mencari-cari pegangan berharap bisa bertumpu pada sesuatu dan menghentikan langkahnya.Bang Fahad hanya menghela napas, lalu sedikit mengeratkan lengannya agar aku tidak banyak bergerak. "Jangan banyak gerak, Chi. Nanti kaki kamu makin sakit.""Aku gak peduli! Aku lebih baik ngesot pulang daripada harus digendong Abang!" Aku menggertakkan gigi, tapi laki-laki itu tetap tak menggubrisku.Dia terus berjalan menyusuri trotoar jalanan kian menjauh dari taman. Sementara aku terus meronta meski tenagaku tak seberapa besar dan kalah telak dengan tenaga Bang Fahad."Turunin aku, Bang! Apa Abang udah gak bisa denger?!" teriakku kembali. Namun Bang Fahad tidak jug
Namun sepertinya Bang Fahad terus saja mengikuti, hingga ia berhasil menyamai langkahku lagi dan berlari tepat di lintasan di sebelahku. Akhirnya aku berhenti berlari lalu beralih menatapnya dengan pandangan penuh kebencian."Mau apalagi, sih? Gak ada tempat lain yang bisa Anda datangi selain taman ini?!" tegasku dengan memasang wajah muak yang semoga bisa ia pahami.Terdengar laki-laki itu berdehem seraya memutar tubuh hingga tak lagi berhadapan denganku. "Ini tempat umum. Siapa saja boleh ke sini, termasuk saya.""Memang, tapi aku muak bertemu Abang lagi, Abang lagi. Ngapain sih, ngikutin aku terus? Mau apa? Kita sudah selesai sejak tiga tahun yang lalu. Apalagi yang membuat Abang selalu muncul di hadapanku?" cecarku kemudian.Tampak laki-laki itu menggeleng dengan pandangan yang masih lurus ke depan, sebelum detik berikutnya berubah hingga menghadapku. "Saya mau memastikan kamu baik-baik saja, Chi."Aku mendecih kesal. "Abang buta? Abang gak lihat? Aku sekarang di hadapan Abang seh
"Aakhhh!" Aku memukul setir kemudi berulang, meluapkan kekesalan yang memenuhi hati. Entah bagaimana, Bang Fahad bisa datang dan mengacaukan niatku.Aku tahu apa yang akan kulakukan memang tidak dibenarkan, tapi sekali lagi aku tekankan, aku hanya sedang membutuhkan pelarian agar tidak tertekan atas kematian Mas Althaf. Mungkin saja, satu atau dua gelas minuman di klub malam tadi bisa menenangkan pikiranku. Tapi sialnya, Bang Fahad datang dan berlagak seperti orang suci."Memuakkan. Kenapa dia masih di kota ini? Dia juga tahu kematian Mas Althaf. Apa dia benar mengawasiku? Kalau iya, buat apa? Buat apalagi dia datang dalam kehidupanku? Aarghhh! Menyebalkan!" Aku merutuk sambil mengemudi, teringat pertemuan di klub malam tadi dengan Bang Fahad.Laki-laki yang kubenci setengah mati, sekarang justru hadir kembali dalam kehidupanku. Aku benar-benar muak.Setelah tiga tahun sebelumnya dia menghempasku seperti seonggok sampah, sekara
"Chi ... kamu mau minum? Sadar, Chiara. Itu gak baik. Minuman yang ada di sini itu beralkohol dan kamu pasti tahu kalau itu haram."Aku menatap laki-laki itu dengan pandangan muak. Amarah seketika memenuhi dada melihat sosoknya yang tiba-tiba muncul dan menghalangi apa yang hendak aku lakukan."Apa peduli kamu? Dan, ngapain kamu di sini?" tanyaku dengan rahang mengeras. Aku memang sudah memaafkan Bang Fahad atas kesalahannya, tapi bukan berarti aku bisa menerima kehadirannya kembali."Tentu saya peduli, Chi. Saya sangat peduli. Saya tahu kamu sedih atas kematian dokter Althaf, tapi tidak seperti ini caranya, Chi," ucapnya membuat telingaku rasanya panas.Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh. "Pergi," pintaku dengan jari telunjuk mengarah ke pintu masuk.Bang Fahad tampak menggeleng. "Saya tahu kamu sedang bersedih, Chi. Saya tahu keadaan kamu sekarang tidak baik-baik saja, tapi tidak seperti ini kamu mencari pelarian. Kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi kesedihan, ada saya." Dia
POV CHIARA #Waktu tujuh hari berjalan dengan begitu lambat. Di mana setiap malamnya aku harus menghadapi kenyataan dengan adanya acara tahlilan di rumahku. Rumah yang selama satu tahun ini aku tempati bersama Mas Althaf.Tempat yang setiap sudutnya menguarkan aroma tubuh dari laki-laki itu, membuat dadaku sesak dan rasanya aku ingin menyusulnya saja.Aku tidak sanggup lebih lama menempati rumah itu seorang diri, karena setiap jengkalnya membangkitkan kenangan bersama Mas Althaf.Laki-laki yang menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang telah membawa pelangi serta semangat dalam hidupku yang semula gelap dan hancur usai kematian bayi yang sedang aku kandung karena kecelakaan.Setelah aku memutuskan untuk memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Bang Fahad, setelah aku mengikhlaskan hubungan kami yang baru seumur jagung itu, aku masih baik-baik saja.Aku juga mampu menjaga kandunganku yang semula d