Bagian 156 Masih Berharap “Sayang, kenapa tak masuk ke rumah, hari sudah malam, anak-anak juga sudah tidur. Tak takut kena angin yang panas?” tanya Gu ketika Ali merenung di depan rumah. Lelaki yang masih terlihat tegap di usia 50 tahun lebih itu hanya ingin duduk di sana saja tanpa melakukan apa-apa. Jujur saja ia sangat merindukan Maira. Jarak mereka tidaklah jauh. Namun, ada saja kendala bagi mereka berdua untuk bertemu. Video call hanya sebatas mendengar dan menatap dari jauh saja. “Tidak apa-apa, kau tidurlah duluan dengan Zahra. Perasaanku malam ini tidak enak. Takutnya terjadi sesuatu dengan Maira,” ucap Ali sambil menarik napas. “Pikirkan yang baik-baik saja. Apa pun yang terjadi di sana, semoga putri kita kuat. Kalau ada yang aneh, tentu kita tahu. Siapa yang tak mengenal Gubernur Asad, bukan?” “Yang terlihat senang dari luar belum tentu bahagia. Aku merasa ada hal besar yang ditutupi Maira padaku. Semoga hanya prasangka saja.” Ali mengela napas panjang. Gu masuk ke kama
Bagian 157 Setahun yang Melelahkan Benar kata Gulaisha Amira, Gubernur Asad sekeluarga masih mengupayakan perdamaian antara kedua belah pihak. Mereka inginnya Amran diberi kesempatan kedua. Sayangnya mereka terlambat datang, Maira dan Ali sudah berangkat ke pengadilan untuk mendaftarkan gugatan perceraian. Gu menepati janjinya, tidak ia bukakan gerbang dan berbicara hanya melalui pagar besi saja dengan Heba. “Tak bisakah putraku dimaafkan? Lagi pula baru sekali itu dia meniduri Ola yang belum dinikahi, bujuklah putrimu agar tak menggugat cerai Amran.” Heba kelepasan bicara, Gu kaget tak terkira. Pantas saja Maira sampai menangis seperti itu, ternyata putrinya dihadapkan dengan kenyataan sepahit empedu. “Tak bisa, aku mengenal siapa putri dan suamiku. Nyonya dan Tuan Gubernur pulang saja, kami tidak perlu dikasihani. Juga tidak perlu dibujuk lagi, sekali pun putriku mau berbalikan, aku yang tidak sudi. Sudah, ya, aku masuk ke dalam dulu, pembicaraan ini selesai sampai di sini.” Gu
Bagian 158 Nasehat Seorang Ayah “Jadi ternyata tujuanmu menikah untuk hal itu?” tanya Ali ketika mendengar pengakuan Maira. Putri pertamanya hanya mengangguk menegaskan pengakuan. “Dan kau sudah mendapatkan pelajaran berharga bukan?” Kembali lelaki itu bertanya. “Iya, Ayah. Aku pikir akan sama seperti kisah di zaman kerajaan dulu. Dengan pernikahan semuanya bisa selesai. Saat para raja mengambil istri lagi dan akhirnya wilayah mereka bersatu.” Begitu pikiran Maira. “Sudah berbeda zaman dan berbeda situasi pula, dan para raja itu tidak sendirian. Mereka melibatkan orang lain. Kau nekat melangkah seorang diri,” jawab Ali akan pemikiran putrinya. Namun, ia maklumi karena darah muda Maira yang masih suka meledak-ledak dalam mengambil keputusan seperti halnya ia dulu. “Aku pikir dulu tak sulit kalau hanya untuk mencari bukti.” “Apakah kau benar-benar yakin ada kejahatan yang disembunyikan keluarga mantan mertuamu itu? Ingat, tuduhan tanpa bukti hukumannya berat, Nak. Selain kau dipec
Bagian 159 Doa Untuk Seorang Janda Maira duduk di sebelah Fahmi, tapi jelas sekali ia tak mengenalnya. Sebab beberapa tahun berlalu, fisik pemuda yang dulu cengeng itu sudah berubah 180 derajad celcius. Entah mungkin putra Naina itu masih mengenali kakak tercintanya. Namun, Fahmi kini sedang terlelap menuju kota tempat ia mendaftar masuk tentara nanti. Sultan selaku salah satu penguji juga sedang bersiap-siap. Maira merebahkan kepala di dekat kursi. Semua pria di dalam gerbong tidak ada yang berani melihatnya. Curi-curi pandang lalu menundukkan muka ada, itu hal yang normal. Bunga di tengah kumbang jelas sekali menarik perhatian. Padahal tadi putri pertama Ali sedang mengejar pesuruh Harun, dan ia kehilangan jejak di tengah keramaian. Bisa jadi pesuruh itu sadar sedang diikuti. “Aku memang butuh tim untuk menyelesaikan pekerjaanku,” gumam gadis itu sembari menghirup napas panjang. Aroma wangi maskulin di dalam gerbong yang sangat menenangkan. Rata-rata parfum yang digunakan lelaki
Bagian 160 Kelima Kandidat Di tangan Sultan sudah ada lima kandidat nama yang akan dijadikan tim Maira. Dengan kata lain mereka tidak akan menjadi tentara yang menjaga perbatasan atau dikirim berperang. Melainkan posisi mereka bergeser menangani kejahatan di dalam negeri. Sama baiknya, tergantung niat masing-masing. Hanya saja apakah mereka terima? Lima berkas lengkap yang berisikan nama-nama lelaki itu di antaranya ; Fahmi, Yahya, Musa, Emir, Faiz. Musa dan Emir merupakan yang ahli di bidang IT seperti halnya Afnan dulu. Tiga yang lain memiliki kelebihan di bidang fisik yang akan sangat dibutuhkan Maira. Berkas tersebut dicopy oleh Sultan dan diantar ke rumah Maira. Kini gadis itu membaca satu demi satu profile calon timnya nanti. Terakhir, milik Fahmi ia baca lengkap dengan foto ukuran besar dan kecil. Lama putri pertama Ali itu pandang foto Fahmi. Khas wajah pemuda India dengan hidung mancung dan kulit kecokelatan. Pernah bertemu di kereta, taksi, dan kini jalan menunjukkan ag
Bagian 161 Tak Percaya Maira ditemani oleh ayahnya menghadap gubernur tempat mereka tinggal. Tuan Abdul Latief, begitu nama lengkapnya. Sebelum misi menumpas kejahatan Gubernur Asad dimulai, Maira harus memperoleh otoritas ganda dan tentu saja kepercayaan dari Tuan Latif, tanpa itu ia tidak akan bisa bergerak, tentu resiko ditanggung olehnya. Tuan Abdul Latief bersama keponakannya yang juga seorang tentara memandang dua orang yang begitu mendesak ingin menemuinya, satu laki-laki yang sudah sangat ia kenali, satu lagi putrinya. Jika tidak penting, tidak akan dua orang itu berdiri tegak di depannya. Maira mengenakan seragam kepolisian lengkap dengan penutup wajahnya. “Ehm, bagaimana kalau kita berbicara sambil duduk saja. Tidak enak aku melihat dua tamuku seperti in.” Tuan Latief duduk di atas permadani sedangkan Ali dan Maira berdiri. Namun, dua orang itu kukuh pada pendiriannya. Terpaksa gubernur dan keponakannya itu ikut berdiri juga. Ali mempersilakan putrinya terlebih dahulu be
Bagian 162 Jangan Dipanggil “Tak percaya. Sampai kapan pun aku tak akan percaya kalau aku tak membuktikan sendiri perkataannya,” ucap Maira yang terkejut dengan pengakuan Fahmi tadi. Benar tak percaya, tapi kentang goreng itu terus ia makan sampai hampir habis. Naima yang duduk di sebelah mobil Maira hanya melirik saja. “Apanya yang tak percaya?” tanya istri Sultan. “Yang tadi, polisi tadi itu.” “Yang wajah India itu?” “Iya, dulunya dia itu jelek, hitam, kusam, kurus, tak ada semangat hidup, cengeng lagi. Kenapa sekarang bisa jadi seperti …” Gengsi Maira mengakuinya. “Tampan, gagah, dan pandangan matanya antara ingin melihatmu atau melihat tanah. Astaghfirullah, seperti melihat orang sedang kasmaran aku jadinya.”“Bagaimana orang bisa berubah seperti itu hanya dalam kurun waku kira-kira tiga tahun?” “Asal ada niat dan dananya, semua bisa. Kalau masih tak percaya, cari tahu saja sendiri biar lebih yakin.” “Ide bagus. Besok libur, jadi aku jalan-jalan ke luar kota dulu. Awas sa
Bagian 163 Tak Bisa Menghindar “Inspektur Maira.” Fahmi berlari dan memberi hormat pada atasannya. “Sudah, ini hari libur. Anggap saja aku orang biasa. Maaf aku merepotkanmu,” ucap wanita itu salah tingkah, terlihat dari ujung telapak kakinya yang bergerak-gerak memainkan pasir dari tadi. “Sama sekali tidak. Silakan masuk ke rumah.” Fahmi senang bukan main kakak tercintanya mau datang mengunjungi dirinya. Para ibu yang masih berkumpul di halaman jadi bertanya-tanya. Perempuan mana seorang diri pula berani mendatangi rumah seorang ibu yang anak lelakinya belum menikah. Naina sampai memanggil putranya. Maira masih belum mau masuk, ia melihat-lihat pemandangan tak jelas. “Siapa, Nak?” tanya Naina pada putranya. “Atasanku di kantor, Bu.” “Ooh, begitu. Alasan dia datang ke sini, apa? Bukankah kau bilang di awal minggu baru mulai bekerja?” “Ya, itu yang belum aku cari tahu. Ibu, dia itu, Kak Maira yang beberapa tahun lalu pernah menolong kita. Sekarang dia atasanku di kantor,” ucap