Bagian 155 Main Gila Benar saja, sidang yang membuat Maira duduk sebagai seorang saksi berlangsung sangat lama dan seperti mengulur-ngulur waktu. Sampai jenuh wanita itu dibuatnya. Belum lagi proyek tetap berjalan dan bahan-bahan yang dibeli juga atas pengawasannya. Menumpuk pekerjaan Maira, hingga tujuan utamanya untuk mengawasi keluarga Asad ia lupakan tanpa sengaja. Termasuk pula Amran. Ia lebih sering tidak peduli dengan suaminya. Tidur hanya sebatas melepas lelah di ranjang saja. Tidak ada pelukan, deep talk, atau aktifitas apa pun yang bisa mengeratkan hubungan dua orang itu. Maira ketika pulang sudah sangat lelah luar biasa. Dia juga seorang perempuan yang terkena tamu bulanan dan butuh istirahat. Tak terasa tiga bulan sudah sidang berjalan. Dan keputusan hakim akhirnya menjatuhkan bahwa mandor bersalah karena tuduhan menggelapkan uang. Maira seperti merasa ada yang aneh dengan semuanya. Amran tidak sedikit pun pernah dipanggil sebagai saksi. Namun, semua bukti memang menga
Bagian 156 Masih Berharap “Sayang, kenapa tak masuk ke rumah, hari sudah malam, anak-anak juga sudah tidur. Tak takut kena angin yang panas?” tanya Gu ketika Ali merenung di depan rumah. Lelaki yang masih terlihat tegap di usia 50 tahun lebih itu hanya ingin duduk di sana saja tanpa melakukan apa-apa. Jujur saja ia sangat merindukan Maira. Jarak mereka tidaklah jauh. Namun, ada saja kendala bagi mereka berdua untuk bertemu. Video call hanya sebatas mendengar dan menatap dari jauh saja. “Tidak apa-apa, kau tidurlah duluan dengan Zahra. Perasaanku malam ini tidak enak. Takutnya terjadi sesuatu dengan Maira,” ucap Ali sambil menarik napas. “Pikirkan yang baik-baik saja. Apa pun yang terjadi di sana, semoga putri kita kuat. Kalau ada yang aneh, tentu kita tahu. Siapa yang tak mengenal Gubernur Asad, bukan?” “Yang terlihat senang dari luar belum tentu bahagia. Aku merasa ada hal besar yang ditutupi Maira padaku. Semoga hanya prasangka saja.” Ali mengela napas panjang. Gu masuk ke kama
Bagian 157 Setahun yang Melelahkan Benar kata Gulaisha Amira, Gubernur Asad sekeluarga masih mengupayakan perdamaian antara kedua belah pihak. Mereka inginnya Amran diberi kesempatan kedua. Sayangnya mereka terlambat datang, Maira dan Ali sudah berangkat ke pengadilan untuk mendaftarkan gugatan perceraian. Gu menepati janjinya, tidak ia bukakan gerbang dan berbicara hanya melalui pagar besi saja dengan Heba. “Tak bisakah putraku dimaafkan? Lagi pula baru sekali itu dia meniduri Ola yang belum dinikahi, bujuklah putrimu agar tak menggugat cerai Amran.” Heba kelepasan bicara, Gu kaget tak terkira. Pantas saja Maira sampai menangis seperti itu, ternyata putrinya dihadapkan dengan kenyataan sepahit empedu. “Tak bisa, aku mengenal siapa putri dan suamiku. Nyonya dan Tuan Gubernur pulang saja, kami tidak perlu dikasihani. Juga tidak perlu dibujuk lagi, sekali pun putriku mau berbalikan, aku yang tidak sudi. Sudah, ya, aku masuk ke dalam dulu, pembicaraan ini selesai sampai di sini.” Gu
Bagian 158 Nasehat Seorang Ayah “Jadi ternyata tujuanmu menikah untuk hal itu?” tanya Ali ketika mendengar pengakuan Maira. Putri pertamanya hanya mengangguk menegaskan pengakuan. “Dan kau sudah mendapatkan pelajaran berharga bukan?” Kembali lelaki itu bertanya. “Iya, Ayah. Aku pikir akan sama seperti kisah di zaman kerajaan dulu. Dengan pernikahan semuanya bisa selesai. Saat para raja mengambil istri lagi dan akhirnya wilayah mereka bersatu.” Begitu pikiran Maira. “Sudah berbeda zaman dan berbeda situasi pula, dan para raja itu tidak sendirian. Mereka melibatkan orang lain. Kau nekat melangkah seorang diri,” jawab Ali akan pemikiran putrinya. Namun, ia maklumi karena darah muda Maira yang masih suka meledak-ledak dalam mengambil keputusan seperti halnya ia dulu. “Aku pikir dulu tak sulit kalau hanya untuk mencari bukti.” “Apakah kau benar-benar yakin ada kejahatan yang disembunyikan keluarga mantan mertuamu itu? Ingat, tuduhan tanpa bukti hukumannya berat, Nak. Selain kau dipec
Bagian 159 Doa Untuk Seorang Janda Maira duduk di sebelah Fahmi, tapi jelas sekali ia tak mengenalnya. Sebab beberapa tahun berlalu, fisik pemuda yang dulu cengeng itu sudah berubah 180 derajad celcius. Entah mungkin putra Naina itu masih mengenali kakak tercintanya. Namun, Fahmi kini sedang terlelap menuju kota tempat ia mendaftar masuk tentara nanti. Sultan selaku salah satu penguji juga sedang bersiap-siap. Maira merebahkan kepala di dekat kursi. Semua pria di dalam gerbong tidak ada yang berani melihatnya. Curi-curi pandang lalu menundukkan muka ada, itu hal yang normal. Bunga di tengah kumbang jelas sekali menarik perhatian. Padahal tadi putri pertama Ali sedang mengejar pesuruh Harun, dan ia kehilangan jejak di tengah keramaian. Bisa jadi pesuruh itu sadar sedang diikuti. “Aku memang butuh tim untuk menyelesaikan pekerjaanku,” gumam gadis itu sembari menghirup napas panjang. Aroma wangi maskulin di dalam gerbong yang sangat menenangkan. Rata-rata parfum yang digunakan lelaki
Bagian 160 Kelima Kandidat Di tangan Sultan sudah ada lima kandidat nama yang akan dijadikan tim Maira. Dengan kata lain mereka tidak akan menjadi tentara yang menjaga perbatasan atau dikirim berperang. Melainkan posisi mereka bergeser menangani kejahatan di dalam negeri. Sama baiknya, tergantung niat masing-masing. Hanya saja apakah mereka terima? Lima berkas lengkap yang berisikan nama-nama lelaki itu di antaranya ; Fahmi, Yahya, Musa, Emir, Faiz. Musa dan Emir merupakan yang ahli di bidang IT seperti halnya Afnan dulu. Tiga yang lain memiliki kelebihan di bidang fisik yang akan sangat dibutuhkan Maira. Berkas tersebut dicopy oleh Sultan dan diantar ke rumah Maira. Kini gadis itu membaca satu demi satu profile calon timnya nanti. Terakhir, milik Fahmi ia baca lengkap dengan foto ukuran besar dan kecil. Lama putri pertama Ali itu pandang foto Fahmi. Khas wajah pemuda India dengan hidung mancung dan kulit kecokelatan. Pernah bertemu di kereta, taksi, dan kini jalan menunjukkan ag
Bagian 161 Tak Percaya Maira ditemani oleh ayahnya menghadap gubernur tempat mereka tinggal. Tuan Abdul Latief, begitu nama lengkapnya. Sebelum misi menumpas kejahatan Gubernur Asad dimulai, Maira harus memperoleh otoritas ganda dan tentu saja kepercayaan dari Tuan Latif, tanpa itu ia tidak akan bisa bergerak, tentu resiko ditanggung olehnya. Tuan Abdul Latief bersama keponakannya yang juga seorang tentara memandang dua orang yang begitu mendesak ingin menemuinya, satu laki-laki yang sudah sangat ia kenali, satu lagi putrinya. Jika tidak penting, tidak akan dua orang itu berdiri tegak di depannya. Maira mengenakan seragam kepolisian lengkap dengan penutup wajahnya. “Ehm, bagaimana kalau kita berbicara sambil duduk saja. Tidak enak aku melihat dua tamuku seperti in.” Tuan Latief duduk di atas permadani sedangkan Ali dan Maira berdiri. Namun, dua orang itu kukuh pada pendiriannya. Terpaksa gubernur dan keponakannya itu ikut berdiri juga. Ali mempersilakan putrinya terlebih dahulu be
Bagian 162 Jangan Dipanggil “Tak percaya. Sampai kapan pun aku tak akan percaya kalau aku tak membuktikan sendiri perkataannya,” ucap Maira yang terkejut dengan pengakuan Fahmi tadi. Benar tak percaya, tapi kentang goreng itu terus ia makan sampai hampir habis. Naima yang duduk di sebelah mobil Maira hanya melirik saja. “Apanya yang tak percaya?” tanya istri Sultan. “Yang tadi, polisi tadi itu.” “Yang wajah India itu?” “Iya, dulunya dia itu jelek, hitam, kusam, kurus, tak ada semangat hidup, cengeng lagi. Kenapa sekarang bisa jadi seperti …” Gengsi Maira mengakuinya. “Tampan, gagah, dan pandangan matanya antara ingin melihatmu atau melihat tanah. Astaghfirullah, seperti melihat orang sedang kasmaran aku jadinya.”“Bagaimana orang bisa berubah seperti itu hanya dalam kurun waku kira-kira tiga tahun?” “Asal ada niat dan dananya, semua bisa. Kalau masih tak percaya, cari tahu saja sendiri biar lebih yakin.” “Ide bagus. Besok libur, jadi aku jalan-jalan ke luar kota dulu. Awas sa
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast