Bagian 154Hakim yang Tidak Adil âKau ini sudahlah tolol, bodoh pula. Di mana otakmu, Amran?â Heba memaki putra satu-satunya. Ia tak habis pikir, menjaga satu proyek saja sudah tak becus, apalagi kalau diberikan proyek-proyek lainnya. âSudah, tak ada gunanya marah-marah. Aku akan hubungi Harun sesegera mungkin. Harus dia yang menjadi hakim dalam kasus ini. Maira pasti akan memperkarakannya.â Asad bergerak cepat menghubungi adiknya. âIbu, maaf. Tapi aku tak tahan melihat uang sebanyak itu. Jadi sebagian aku masukkan ke dalam kantong, dan âŚâ Terjeda perkataan Amran. âDan apa?â tanya Heba agar lebih jelas. âAku berikan pada Ola. Dia cantik, jadi aku tak bisa berkata tidak padanya.â Amran menundukkan pandangan. Heba menghela napas dibuatnya. Asad apalagi, punya anak hanya satu perangai luar biasa. Itu pun harus didapatkan dengan program bertahun-tahun lamanya. âYa Allah, kau, ya ampun, otakmu memang tak ada atau bagaimana?â Heba duduk dan menepuk dadanya berkali-kali. Ola sudah terl
Bagian 155 Main Gila Benar saja, sidang yang membuat Maira duduk sebagai seorang saksi berlangsung sangat lama dan seperti mengulur-ngulur waktu. Sampai jenuh wanita itu dibuatnya. Belum lagi proyek tetap berjalan dan bahan-bahan yang dibeli juga atas pengawasannya. Menumpuk pekerjaan Maira, hingga tujuan utamanya untuk mengawasi keluarga Asad ia lupakan tanpa sengaja. Termasuk pula Amran. Ia lebih sering tidak peduli dengan suaminya. Tidur hanya sebatas melepas lelah di ranjang saja. Tidak ada pelukan, deep talk, atau aktifitas apa pun yang bisa mengeratkan hubungan dua orang itu. Maira ketika pulang sudah sangat lelah luar biasa. Dia juga seorang perempuan yang terkena tamu bulanan dan butuh istirahat. Tak terasa tiga bulan sudah sidang berjalan. Dan keputusan hakim akhirnya menjatuhkan bahwa mandor bersalah karena tuduhan menggelapkan uang. Maira seperti merasa ada yang aneh dengan semuanya. Amran tidak sedikit pun pernah dipanggil sebagai saksi. Namun, semua bukti memang menga
Bagian 156 Masih Berharap âSayang, kenapa tak masuk ke rumah, hari sudah malam, anak-anak juga sudah tidur. Tak takut kena angin yang panas?â tanya Gu ketika Ali merenung di depan rumah. Lelaki yang masih terlihat tegap di usia 50 tahun lebih itu hanya ingin duduk di sana saja tanpa melakukan apa-apa. Jujur saja ia sangat merindukan Maira. Jarak mereka tidaklah jauh. Namun, ada saja kendala bagi mereka berdua untuk bertemu. Video call hanya sebatas mendengar dan menatap dari jauh saja. âTidak apa-apa, kau tidurlah duluan dengan Zahra. Perasaanku malam ini tidak enak. Takutnya terjadi sesuatu dengan Maira,â ucap Ali sambil menarik napas. âPikirkan yang baik-baik saja. Apa pun yang terjadi di sana, semoga putri kita kuat. Kalau ada yang aneh, tentu kita tahu. Siapa yang tak mengenal Gubernur Asad, bukan?â âYang terlihat senang dari luar belum tentu bahagia. Aku merasa ada hal besar yang ditutupi Maira padaku. Semoga hanya prasangka saja.â Ali mengela napas panjang. Gu masuk ke kama
Bagian 157 Setahun yang Melelahkan Benar kata Gulaisha Amira, Gubernur Asad sekeluarga masih mengupayakan perdamaian antara kedua belah pihak. Mereka inginnya Amran diberi kesempatan kedua. Sayangnya mereka terlambat datang, Maira dan Ali sudah berangkat ke pengadilan untuk mendaftarkan gugatan perceraian. Gu menepati janjinya, tidak ia bukakan gerbang dan berbicara hanya melalui pagar besi saja dengan Heba. âTak bisakah putraku dimaafkan? Lagi pula baru sekali itu dia meniduri Ola yang belum dinikahi, bujuklah putrimu agar tak menggugat cerai Amran.â Heba kelepasan bicara, Gu kaget tak terkira. Pantas saja Maira sampai menangis seperti itu, ternyata putrinya dihadapkan dengan kenyataan sepahit empedu. âTak bisa, aku mengenal siapa putri dan suamiku. Nyonya dan Tuan Gubernur pulang saja, kami tidak perlu dikasihani. Juga tidak perlu dibujuk lagi, sekali pun putriku mau berbalikan, aku yang tidak sudi. Sudah, ya, aku masuk ke dalam dulu, pembicaraan ini selesai sampai di sini.â Gu
Bagian 158 Nasehat Seorang Ayah âJadi ternyata tujuanmu menikah untuk hal itu?â tanya Ali ketika mendengar pengakuan Maira. Putri pertamanya hanya mengangguk menegaskan pengakuan. âDan kau sudah mendapatkan pelajaran berharga bukan?â Kembali lelaki itu bertanya. âIya, Ayah. Aku pikir akan sama seperti kisah di zaman kerajaan dulu. Dengan pernikahan semuanya bisa selesai. Saat para raja mengambil istri lagi dan akhirnya wilayah mereka bersatu.â Begitu pikiran Maira. âSudah berbeda zaman dan berbeda situasi pula, dan para raja itu tidak sendirian. Mereka melibatkan orang lain. Kau nekat melangkah seorang diri,â jawab Ali akan pemikiran putrinya. Namun, ia maklumi karena darah muda Maira yang masih suka meledak-ledak dalam mengambil keputusan seperti halnya ia dulu. âAku pikir dulu tak sulit kalau hanya untuk mencari bukti.â âApakah kau benar-benar yakin ada kejahatan yang disembunyikan keluarga mantan mertuamu itu? Ingat, tuduhan tanpa bukti hukumannya berat, Nak. Selain kau dipec
Bagian 159 Doa Untuk Seorang Janda Maira duduk di sebelah Fahmi, tapi jelas sekali ia tak mengenalnya. Sebab beberapa tahun berlalu, fisik pemuda yang dulu cengeng itu sudah berubah 180 derajad celcius. Entah mungkin putra Naina itu masih mengenali kakak tercintanya. Namun, Fahmi kini sedang terlelap menuju kota tempat ia mendaftar masuk tentara nanti. Sultan selaku salah satu penguji juga sedang bersiap-siap. Maira merebahkan kepala di dekat kursi. Semua pria di dalam gerbong tidak ada yang berani melihatnya. Curi-curi pandang lalu menundukkan muka ada, itu hal yang normal. Bunga di tengah kumbang jelas sekali menarik perhatian. Padahal tadi putri pertama Ali sedang mengejar pesuruh Harun, dan ia kehilangan jejak di tengah keramaian. Bisa jadi pesuruh itu sadar sedang diikuti. âAku memang butuh tim untuk menyelesaikan pekerjaanku,â gumam gadis itu sembari menghirup napas panjang. Aroma wangi maskulin di dalam gerbong yang sangat menenangkan. Rata-rata parfum yang digunakan lelaki
Bagian 160 Kelima Kandidat Di tangan Sultan sudah ada lima kandidat nama yang akan dijadikan tim Maira. Dengan kata lain mereka tidak akan menjadi tentara yang menjaga perbatasan atau dikirim berperang. Melainkan posisi mereka bergeser menangani kejahatan di dalam negeri. Sama baiknya, tergantung niat masing-masing. Hanya saja apakah mereka terima? Lima berkas lengkap yang berisikan nama-nama lelaki itu di antaranya ; Fahmi, Yahya, Musa, Emir, Faiz. Musa dan Emir merupakan yang ahli di bidang IT seperti halnya Afnan dulu. Tiga yang lain memiliki kelebihan di bidang fisik yang akan sangat dibutuhkan Maira. Berkas tersebut dicopy oleh Sultan dan diantar ke rumah Maira. Kini gadis itu membaca satu demi satu profile calon timnya nanti. Terakhir, milik Fahmi ia baca lengkap dengan foto ukuran besar dan kecil. Lama putri pertama Ali itu pandang foto Fahmi. Khas wajah pemuda India dengan hidung mancung dan kulit kecokelatan. Pernah bertemu di kereta, taksi, dan kini jalan menunjukkan ag
Bagian 161 Tak Percaya Maira ditemani oleh ayahnya menghadap gubernur tempat mereka tinggal. Tuan Abdul Latief, begitu nama lengkapnya. Sebelum misi menumpas kejahatan Gubernur Asad dimulai, Maira harus memperoleh otoritas ganda dan tentu saja kepercayaan dari Tuan Latif, tanpa itu ia tidak akan bisa bergerak, tentu resiko ditanggung olehnya. Tuan Abdul Latief bersama keponakannya yang juga seorang tentara memandang dua orang yang begitu mendesak ingin menemuinya, satu laki-laki yang sudah sangat ia kenali, satu lagi putrinya. Jika tidak penting, tidak akan dua orang itu berdiri tegak di depannya. Maira mengenakan seragam kepolisian lengkap dengan penutup wajahnya. âEhm, bagaimana kalau kita berbicara sambil duduk saja. Tidak enak aku melihat dua tamuku seperti in.â Tuan Latief duduk di atas permadani sedangkan Ali dan Maira berdiri. Namun, dua orang itu kukuh pada pendiriannya. Terpaksa gubernur dan keponakannya itu ikut berdiri juga. Ali mempersilakan putrinya terlebih dahulu be